Hehe, saya (Rhie) sepertinya sedang menganggur nih sodara-sodara. Jadi bagaimana jika saya tuliskan sebuah kisah dari ChieRhie'zZ Project yang sudah lama di mainkan tapi tak kunjung di tuliskan menjadi sebuah kata-kata? Yah…, mumpung si Chie sedang tidak berada di tempat :D haa… Baiklah, lupakan paragraph ini! Kita langsung saja pada topik tujuan saya kali ini :) hmm…
It's about gender (judul sebenarnya agak tidak elit, mungkin nanti akan di perbaiki jika si Chie sudah kembali)
Disclaimer : SnK by abang Hajime Isayama
Rated : untuk saat ini T saja, tapi nanti ganti jika sudah pada "iya-iya"-nya (memang ada?)
Genre : masih di pertanyakan.
Summary : (Rhie gak bisa bikin summary yang dapat di mengerti, mohon pemaklumannya) Dinding setinggi 50 meter menjadi penghalang antara kaum Adam maupun kaum Hawa. Eren Jaeger seorang bocah berusia 15 tahun dan tentunya masuk dalam jejeran Adam mendapatkan tugas untuk membuat keadaan kota dibalik dinding kembali normal dalam wujud …(?) Mampukah dia?
-[xXx]-
Eren Jaeger, seorang anak laki-laki berusia 15 tahun tampak sedang duduk terdiam menatap keluar jendela. Dimana pemandangan diluar jendela memperlihatkan seorang gadis seusia dengannya dan juga wanita paruh baya yang tengah menjemur cucian. Sorot matanya yang berwarna hijau menunjukan ekspresi ketidak sukaan dengan dua manusia tersebut, terutama terhadap gadis yang seumuran dengannya, memiliki rambut berwarna hitam gelap sebahu, serta menggunakan syal warna merah disekitar lehernya.
Merasa diperhatikan, gadis dengan surai gelap itu menghentikan aktifitasnya dan beralih memandang kearah pria yang sedari tadi menatapnya. Ekspresi tidak suka masih terlukis dengan jelas di wajah Eren Jaeger. Gadis tersebut hanya membalas tatapan Eren dengan ekspresi sedatar-datarnya. Manik hitam gelap bertemu dengan manik-manik, aksi tatap-tatapan berlangsung cukup lama di antara keduanya. Aura persaingan yang entah untuk apa terasa begitu mencengkam . Wuidih…, kok panas ya?
Bosan bertatap-tatapan yang tak ada juntrungannya, Eren mengalihkan pandangannya kemudian beranjak pergi dari tempat dia duduk. Gadis itu terus menatap Eren hingga pria itu tak tampak lagi. Menghela nafas sesaat, lalu kembali berkutat dengan cuciannya.
-[xXx]-
Shingansina adalah sebuah tempat yang biasa-biasa saja. Bukan tempat yang berteknologi tinggi dan merupakan tempat yang hampir ketinggalan jaman alias JaDul. Akan tetapi, masyarakat yang tinggal disini lumayan banyak sehingga membuat tempat yang sempit ini padat dengan penduduk. Mau tau alasannya kenapa? Itu karena Shingansina adalah tempat yang paling mojok dari segala tembok, paling jauh pula dari kerajaan, dan yang paling penting adalah dekat dengan dunia luar. Tempat yang nyaman bukan? Tentu saja!
Kemudian, mayoritas penduduk yang tinggal disini adalah keluarga yang harmonis. Biasanya satu keluarga bisa terdiri dari bapak, ibu, anak, kakak, adik, om, tante, kakek, nenek, yah macam-macamlah pokoknya. Terserah ada pada si keluarga mau nampung orang macam apa dalam keluarganya.
Disini, anak laki yang kita kenal bernama Eren Jaeger itu tinggal disebuah rumah sederhana bersama dengan Grisha Jaeger alias bapaknya, Carla Jaeger sebagai ibunya, kemudian gadis bernama Mikasa Ackerman yang merupakan orang tambahan dalam keluarga Jaeger ini.
Kemunculan gadis bernama Mikasa ini, pada saat Eren berusia 9 tahun. Pada waktu ini, Grisha pulang dari kerjaannya sebagai dokter membawa seorang anak perempuan yang diketahui sebagai Mikasa. Eren yang mendapatkan teman baru tentunya merasa senang dengan kehadiran si Mikasa ini, apalagi ibunya si Carla. Beliau ini dari dulu kepingin punya anak perempuan, tapi yang Maha Kuasa tak berkehendak, jadilah dia dapat si Eren.
Akan tetapi, ke harmonisan antara Eren dan Mikasa tak berlangsung lama. Soalnya, sejak kemunculan Mikasa, Eren jadi sering di cuekin sama the mama. Bocah Jaeger merasa jika kasih sayang dari ibunya di ambil sama Mikasa, makanya bocah ini gak suka. Apalagi jika si Carla mulai muji-muji ples mbanding-mbandingin antara Eren sama Mikasa. Tau sendirilah gimana perasaannya Eren waktu itu.
Jadi begitulah kronologi perselisihan antara Eren juga Mikasa. Tapi walaupun begitu, perhatian Carla masih tertuju pada Eren kok. Bagaimana pun juga, Eren itu anak kandungnya. Mana mungkin beliau tak memperhatikannya?
-[xXx]-
Bengong, bengong, dan bengong. Kebiasaan buruk dari lakon utama kita ini, sodara-sodara. Pinggir sungai merupakan tempat favorit bagi Eren untuk melaksanakan aksi bengongnya selama berjam-jam. Ya ampun, gak ada kerjaan lain po mas?
Kedua kaki di selonjorkan ke depan, telapak tangan bertemu dengan tanah terjulur lurus ke arah belakang sebagai penompang tubuh, pandangan tertuju lurus ke arah langit yang berwarna oranye menandakan jika hari telah sore, mulut sedikit terbuka melongo tapi gak pake menitikkan air liur loh.
….
Sudah beberapa jam Eren berada dalam posisi seperti ini, sepertinya dia betah-betah saja. Pandangannya kosong. Untungnya sih dia gak kerasukan. Tapi tunggu dulu! Walaupun pandangannya kosong, tapi kita kan tidak tau apa yang sedang ada dalam pikiran anak ini. Bisa sajakan saat ini dia sedang memikirkan yang jorok-jorok? Oke, lupakan beberapa kalimat sebelumnya!
"HUUAAA…!" Eren yang sedang asik berbengong ria terlonjak kaget dengan teriakan seseorang yang tentunya dia kenal. Pandangannya ia alihkan ke arah belakang, mendapati seorang gadis… ah bukan, pria maksudnya, dengan balutan pakaian lolita yang manis tengah berlari ke arahnya. Kedua telapak tangannya berada di depan menutupi seluruh wajahnya yang mungkin dapat di deskripsikan manis. Apalagi surai pirangnya yang rapi dan terlihat lembut tertiup angin, serta terdapat pita sebagai aksesoris kepalanya. Membuat orang ini terlihat seperti seorang wanita tulen.
Pria (gadis?) ini terus berlari tanpa memperhatikan langkah kakinya, hingga tak di sadari sebuah batu kecil telah mengenai kakinya. Dan membuat pria (gadis?) tersebut sukses jatuh dalam pelukan Eren yang kebetulan berada di depannya. Dari kejauhan terlihat 3 orang gadis tengah menertawakan kedua manusia yang sedang berpelukan ini.
"Astaga Armin…, kamu benar-benar terlihat seperti seorang wanita jika berada dalam posisi seperti itu." salah satu gadis di antara mereka mengomentari.
"Nee, Eren…" seseorang memanggil. "Nanti jika kalian sudah jadian, beritahu kami ya! Kami akan berusaha mendandani gadismu itu sesempurna mungkin ketika acara kencan kalian atau malah malam pertama kalian!" pendapat kali ini sukses membuat ketiga gadis tersebut tertawa terbahak-bahak.
Eren tak mampu berkata-kata atau membalas. Entah karena dia takut berhadapan dengan ketiga gadis itu atau karena dirinya tak mau cari gara-gara. Matanya hanya mampu menatap orang yang berada dalam pelukannya dengan tatapan kesal. Ketiga gadis yang sedari tadi memandangi adegan berharga di hadapan mereka telah menghilang di ujung jalan. Tampaknya mereka puas dengan apa yang telah di perbuat.
"Ooi Armin…. Mau sampai kapan kamu berada dalam posisi seperti ini?" akhirnya Eren membuka mulutnya. Pria (gadis?) yang bernama Armin ini terus membenamkan wajahnya di dada Eren. Sengaja, untuk menghapus air mata dan juga ingusnya yang terus menerus mengalir. "Kau jorok, Armin." komentar Eren terhadap pria (gadis?) di hadapannya.
"Hentikan menggunakan "pria (gadis?)"…! Aku ini PRIA, tau…!?" protes Armin terhadap author. Maaf….
Armin menjauh dari Eren. Dengan kasarnya ia melepas pita yang berada di kepalanya. Kakinya melangkah terburu-buru menuju pinggir sungai. Berlutut di sana, mengambil air dengan kedua telapak tangannya, kemudian membasuh wajahnya guna menghilangkan make up tipis penghias paras manisnya. Isak tangis masih terdengar dengan jelas di telingga Eren. Ia merasa kasihan terhadap teman masa kecilnya ini.
"Ngg…, Armin…" Eren memanggil dengan volume pelan. Tak ada sahutan, teman masa kecilnya ini masih sibuk dengan aktifitasnya. Eren menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perlahan ia melangkahkan kakinya kesamping pria bersurai pirang tersebut. Menyentuh pundak temannya itu tapi di tepis sama yang punya pundak.
"Sudah cukup, Eren." ucap Armin perlahan. "Aku lelah dengan semua ini." Eren tak mengerti. Dengan cepat, Armin beralih menatap ke arah Eren dengan tatapan tajam. Orang yang di tatap ini kaget dengan ekspresi yang di tunjukan oleh Armin, terlihat dengan jelas dari mata birunya jika dia saat ini kepingin marah-marah. "Kenapa sih kamu tak pernah mau menolongku…!?" Armin meraih leher Eren, mencengkramnya sambil menggoyang-goyangkannya maju mundur.
"Aduh-aduh…! Hei, tenanglah Armin!" Eren berusaha menghentikan tingkah Armin yang sepertinya membabi buta. "Aku memiliki alasannya." Pria dengan nama panjang Armin Arlert ini menghentikan aksi protesnya. Ia menatap Eren dengan tatapan tanya.
"Dan apa alasanmu?"
"Itu…" Eren tampak berpikir. "Itu karena aku tak ingin terlibat dalam permainan kalian. Takutnya jika nanti aku membelamu dan aku kalah, nanti aku malah didandanin seperti dirimu. Akunya mana maulah kalau begitu caranya." jelas Eren panjang lebar.
"Jadi intinya kamu takut jika didandanin seperti aku, gitu?" tanya Armin dengan tatapan horor. Bagian atas wajah Armin mulai menghitam.
"Ya…, iya…"
"KONCO TIPIS KAMU EREN!" Armin kembali mencengkram leher Eren sambil menggoyang-goyangknnya kali ini lebih kuat dan lebih cepat.
"Gyaa…, maaf Armin…!"
"Eren…" suara seorang gadis yang tenang dan lembut menghentikan aktifitas kedua kaum Adam ini. Keduanya menoleh ke arah si pemanggil. Raut wajah Eren berubah menjadi tidak suka.
"Apa…!?" Eren membalas dengan nada suara kasar. Armin melepaskan cengkramannya. Gadis yang di ketahui bernama Mikasa ini menghela nafas pendek.
"Tante Carla bilang, aku di suruh mencari kayu bakar. Ayo kita cari bersama-sama." ajak Mikasa dengan ekspresi datar.
"Kayu bakar…?" Armin kaget mendengarnya.
"Ooi, Mikasa! Ini itu jaman kapan sih? Masa iya masih pakai kayu bakar?"
"Aku gak tau, Eren. Tante Carla yang menyuruh." jelas Mikasa. Tampaknya si Carla makin gak waras saja pikirannya.
"Huh…, ya kau kerjakan saja sana!" Eren mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Mama kan nyuruhnya kamu, kenapa pake bawa-bawa aku segala!?"
"Eren…" panggil Mikasa tapi Eren tak menoleh. Armin memperhatikan kedua sodara tak sedarah ini secara bergantian. "Eren dengarkan aku! Ini supaya tante Carla kembali memandangmu. Jika kamu mengerjakan pekerjaan ini dan mengatakan aku kabur dari tugas ini, maka tante Carla akan menganggap aku sebagai anak yang tidak bertanggung jawab." jelas Mikasa panjang lebar. Eren sedikit tertarik dengan penjelasan Mikasa, ia perhatikan gadis surai hitam itu melalui ekor matanya. Wajah Mikasa masih datar.
Angin berhembus lembut. Menggoyangkan surai mereka masing-masing. Mikasa masih menatap Eren. Eren tampak berpikir. Sedangkan Armin diam saja, eh tidak, dirinya malah sibuk memeganggi roknya yang hampir terbuka tertiup angin.
Eren membalikkan badannya menatap Mikasa secara langsung. Kakinya perlahan melangkah mendekati gadis tersebut. Jarak mereka hanya 5cm. Tinggi badan yang sama membuat Eren dapat menatap langsung ke arah bola mata Mikasa. Mata yang susah di tebak karena hampir setiap saat selalu berekspresi datar.
"Hei, Mikasa…" panggil Eren. "Apa-apaan kamu menyuruhku menggunakan cara licik kekanakan seperti itu?" Mikasa terlonjak kaget mendengar pernyataan Eren. "Memangnya kamu pikir aku mau-mau saja gitu menerima bantuanmu untuk mengambil hati mama?"
"Eren…, bukan begitu maksudku…" Mikasa berusaha menyangkal pikiran negatif sodaranya ini. Tangannya meraih tangan Eren tapi tentu saja ditepis sama yang punya tangan.
"Sudah cukup, Mikasa! Jangan urusi aku lagi. Terserah mama dia mau sayang sama siapa…" Eren beranjak pergi dari hadapan Mikasa. Armin menyusul.
-[xXx]-
Hari ini adalah hari yang berbahagia bagi Eren tentunya. Hari dimana dirinya merasa bebas melakukan segala aktifitasnya didalam rumah. Hanya ditinggal berdua dengan papanya sedangkan kedua gadis penghuni rumahnya pergi entah kemana, merupakan surga sesaat untuk Eren Jaeger. Tapi seperti yang di katakan sebelumnya, hal seperti ini hanya merupakan surga sesaat. Surga yang indah dengan burung-burung berterbangan runtuh menjadi neraka yang panas begitu kedua gadis itu telah kembali dari perginya.
Eren kembali duduk diam di sofa menyambut kepulangan mereka. Mikasa dengan wajah berseri-seri yang jarang di lihat oleh Eren, menghampiri sodaranya itu. Bad Feeling, tapi apa? Tangan Mikasa sukses menggenggam tangan Eren. Si Eren gak bisa melepaskannya lantaran tenaga Mikasa lebih kuat ketimbang dirinya yang bergender pria. Carla hanya tersenyum lembut melihat kedua putra-putrinya itu.
"Eren, dengar…" Mikasa memulai pembicaraan. "Kita kan sudah 15 tahun." lanjutnya, alis Eren naik sebelah. Terus kenapa? "Itu artinya kita sudah menginjak bangku SMA kan."
"Mikasa, katakan dengan jelas!" Eren tak ingin adanya basa-basi. Mikasa menarik nafas, membuka mulutnya. Hendak mengatakan jejeran kata yang sepertinya menyangkut di tenggorokannya.
"Kita berdua akan masuk SMA Sina yang terletak di distrik Hermiha."
"APA…!?" Eren kaget mendengarnya. Ia buru-buru menarik tangannya dari genggaman Mikasa sambil berdiri dari posisi duduknya. "SMA apa? Sina…!?" Mikasa mengangguk. "Jangan bercanda…!"
"Ini bukan candaan, Eren." Carla akhirnya angkat bicara. "Mama berpikir, sepertinya akan aman-aman saja jika memasukanmu ke SMA yang sama seperti Mikasa." jelasnya. "Lagipula SMA Sina itu termasuk sekolah yang elit loh di dalam tembok ini."
"Tentu saja kalian bercanda!" Eren mengepalkan telapak tangannya kuat. "SMA Sina itu kan sekolah khusus perempuan."
"Ya justru karena khusus perempuan itu, Eren. Mama rasa…"
"MAMA…!" bentak Eren. Carla terlonjak kaget dengan sikap Eren yang baru kali ini membentaknya. "Mama gak lihat aku sunatan apa!?"
"Ya, liat. Memangnya kenapa?"
"Itu artinya kan aku ini laki-laki, bukan perempuan!" lanjut Eren. Sang mama memiringkan kepalanya. Mikasa pergi mengambil sesuatu.
"Terus kenapa jika kamu laki-laki? Gak ada masalahkan?" ucap mama Carla polos. Eren makin geram dengan tingkah mamanya yang sok polos itu.
"Lihat Eren!" Mikasa telah kembali dengan membawa sebuah kain yang dibentuk menyerupai sebuah baju. Eren menatap Mikasa dengan tanda tanya di kepalanya. Mikasa membentangkan kain tersebut yang ternyata adalah sebuah seragam SMA Sina.
"Kamu pasti akan sangat cocok jika menggunakan seragam itu…" komentar mama Carla senang. Eren melongo, matanya membulat, menatap kedua kaum Hawa dihadapannya dengan tatapan horor.
Mikasa melangkah mendekati Eren, meraih pergelangan tangannya hendak mengajaknya ke suatu tempat. "Ayo Eren, sebaiknya kita coba dulu apakah seragam ini cocok untukmu atau tidak. Tapi pasti cocok denganmu."
Eren tentunya menepis tangan Mikasa. "Apa-apaan kalian!?"
"Eren…, dengarkan mama." Carla meletakkan kedua telapak tangannya di atas pundak Eren. "Mama memasukan kamu ke SMA Sina untuk kebaikanmu juga." nada suaranya terdengar lembut, tapi itu tak akan membuat hati Eren tersentuh kemudian dengan bodohnya mengiyakan saja dirinya akan masuk SMA Sina.
"Kebaikan apanya…?" tanya Eren pelan.
Mama Carla menyentuh dagu Eren guna menaikan wajah putranya agar keduanya bisa saling bertatapan. "Eren…, kamu tau kan sejarah pria dan wanita dalam tembok ini? Mama hanya memberi tahu jika pria itu sama sekali tak bertanggung jawab dan mereka itu seenaknya sendiri. Makanya mama memasukan kamu ke sekolah khusus perempuan supaya kamu tinggal bersama dengan para perempuan yang tentunya memiliki sikap yang lebih baik daripada pria." jelas Carla berharap agar si Eren mau mengerti. Tapi mana mungkin, penjelasan seperti itu tentu saja membuat Eren yang adalah seorang pria merasa sangat terhina.
Eren dengan perlahan menyingkirkan tangan mamanya dari dirinya. Pandangannya tertuju lurus ke arah lantai yang ia injak, wajah atasnya menghitam. Ingin melawan tapi bingung hendak mengatakan apa. Tubuhnya sedikit bergetar, matanya mulai terasa panas, pikirannya campur aduk. Carla yang melihat putranya tak membalas tampaknya sukses untuk membuat Eren masuk ke sekolah khusus perempuan. Sedangkan Mikasa, ia sepertinya hanyut sendiri dalam pikirannya yang harus senang atau sedih jika Eren masuk sekolah yang sama dengannya.
"Mama keterlaluan…" Eren akhirnya bersuara pelan.
"Ada apa, Eren?" Carla tak terlalu jelas mendengar suara putranya itu.
Eren menganggkat wajahnya menatap Carla. Matanya berair. Mikasa tersentak kaget melihat Eren, apalagi mamanya.
"Eren…" seru Mikasa.
"Kenapa sih mama dari tadi mengatakan sesuatu yang sepertinya hanya untuk kebaikan mama saja!?" bentak Eren akhirnya. "Kenapa sih mama gak bisa terima aku apa adanya!? Sudah jelaskan jika anakmu ini gendernya laki-laki, mana mungkin jika aku masuk sekolah khusus perempuan…!"
"Eren…, dengarkan ma…"
"FUCK! Aku gak mau dengar lagi…!" Eren beranjak pergi meninggalkan mamanya juga Mikasa. "Jangan kejar aku, you SHIT…!" Mikasa yang hendak mengejar, mengurungkan niatnya.
-[xXx]-
Braak…! Eren dengan kasar membuka sebuah pintu kayu yang menghubungkan ruang tamu dengan sebuah ruang kamar. Tubuhnya langsung dibantingnya dengan perlahan kearah kasur yang terletak di sudut kanan ruangan tersebut, wajahnya ia benamkan di bantal. Seorang pria paruh baya dengan kacamata sebagai penghias wajahnya, memperhatikan tingkah Eren dari awal dia masuk ruangan hingga tengkurap di atas kasur. Pria yang kita ketahui sebagai Grisha Jaeger, papa Eren, tak mengomentari tingkah Eren. Beliau malah kembali berkutat dengan penanya, asik menulis-nulis di atas bukunya. Eren melongokan kepalanya menatap papanya itu.
"Pa…" Eren memanggil, di balas oleh Grisha hanya dengan "hmm" tanpa menatap si pemanggil. Eren memajukan bibirnya. "Lakukan sesuatulah, pa! Papa gak mau kan putra satu-satunya ini menggunakan seragam wanita dan masuk ke sekolah khusus perempuan?" Eren mulai mengajukan protesnya.
Grisha menghentikan aktifitasnya. Ia menatap Eren yang masih tidur-tiduran di atas kasur. "Eren, terkadang apa yang mamamu inginkan ada saatnya kita tak bisa menolak…" jelas papa Grisha membuat Eren mengambil posisi duduk di atas kasur.
"Jadi papa setuju-setuju saja gitu aku masuk sekolah khusus perempuan!?" tanya Eren. "Terus apa bedanya papa sama mama kalau begini caranya?"
"Bukan begitu Eren, papa kan belum selesai ngomong." Eren kembali tiduran sambil memeluk bantal.
"Kalau begitu cepat selesaikan omongannya!" nada suara Eren sedikit tidak jelas karena suaranya sedikit terbenam dalam bantal.
"Mamamu boleh bilang jika pria itu tak bertanggung jawab dan seenaknya sendiri, tapi justru tingkahnya yang saat ini memaksamu untuk masuk sekolah khusus perempuan malah menunjukan jika wanitalah yang seenaknya sendiri." Eren mengangkat wajahnya.
"Kalau begitu, katakan ucapan papa barusan di depan mama…" suruh Eren. "Aku capek pa, jika apa-apa harus selalu bersama Mikasa."
Grisha tak membalas. Kronologi kejadian yang sebenarnya adalah ketika Grisha pulang membawa Mikasa. Seandainya jika saat itu dirinya tak membawa Mikasa, mungkin saja kejadian saat ini tak akan terjadi. Tapi jangan salahkan Grisha, ada sebuah alasan di balik semua itu. Kita kan tidak tau kenapa Grisha bisa membawa Mikasa ke kediamannya. Mungkin saja ada rahasia di balik semua itu, mungkin.
"Ya sudah, biar papa bicara dengan mamamu…" Grisha meletakkan penanya serta menutup bukunya, kemudian beranjak pergi.
Eren tersenyum simpul, berharap semua akan kembali normal dengan sang papa sebagai pahlawannya. Sebenarnya sejak tadi, Eren penasaran dengan apa yang di kerjakan si Grisha. Ia celinggukkan dulu, memastikan jika tidak ada yang mengawasi dirinya. Tak peduli dengan suara berisik di luar, Eren mengambil buku yang tadi di gunakan papanya untuk menulis.
Dengan perlahan, ia membuka buku tersebut. Terdapat sebuah gambar lingkaran dengan tanda panah miring ke kanan atas, Eren berpikir, ini kan lambang pria. Sebuah tanda panah bergelombang terjuntai ke arah samping, menunjuk sebuah gambar lingkaran dengan tanda ples ke bawah, yang ini lambang wanita. Tak mengerti maksudnya, Eren membalik ke halaman selanjutnya. Jika Eren sudah tau sejak dulu, maka ia akan berguru pada papanya dalam bidang seni lukis. Halaman yang kali ini menunjukan sebuah gambar tubuh pria utuh tanpa busana, memang hanya sketsa asal-asalan karena beliau menggunakan pena, tapi bagi Eren yang gak bisa menggambar, karya ini termasuk bagus. Tunggu dulu! Untuk apa Grisha menggambar beginian, mana detil banget lagi gambarnya. Mulai dari bentuk muka, badan, tangan, kaki, bahkan pada bagian "iya-iya"nya. Tak kuasa, Eren segera membalik ke halaman berikutnya. Jika yang tadi gambar pria, kali ini malah gambar wanita. Oh shit…, bokapnya Eren ini emang mbakat banget jadi pelukis. Sketsa wanita yang beliau gambar kali ini juga tak ada bedanya dengan yang pria. Segalanya di gambar utuh dan detil. Eren menelan ludah, entah untuk apa.
Baiklah-baiklah, halaman berikutnya. Hanya sebuah tulisan yang Eren tak sanggup membacanya. Ya astaga, sejelek-jeleknya tulisan seorang dokter, tulisan dokter tak ada yang separah Dr. Grisha. Walau pun tulisan Eren juga tak ada bedanya dengan tulisan bapaknya ini. Eren sedikit bisa membacanya, samar-samar ia dapat membaca tulisan tersebut seperti "percobaan", "pria dan …", "… berubah menjadi … atau sebaliknya". Eren menyipitkan matanya sambil menutup telinganya karena keadaan di luar makin menjadi saja gaduhnya. "Ereksi" mata Eren membulat, maksudnya? "Masturbasi", "berhubungan tubuh", "seks sesama jenis akan …"
BRAAK…!
"EREN…!" suara Grisha memanggil namanya. Eren buru-buru menutup buku tersebut dan berbalik menatap papanya. Grisha menghampiri Eren dengan raut wajah marah. Woloh, ada apa ini? "Kita pindah dari rumah ini sekarang…!"
"HAH…!?" Eren melongo.
"Jangan hah heh hah heh, cepat kamu kemasi barang-barangmu!" perintah Grisha. Eren masih bingung dengan tingkah bapaknya ini.
"Kamu tak akan pergi membawa Eren, Grisha…!" terdengar suara Carla dari luar ruangan.
"Eren itu putraku, terserah aku kan mau bawa dia kemana…!" balas Grisha. Baiklah, Eren bisa menyimpulkan. Bertengkar dan bermaksud untuk tidak serumah, kebiasaan hubungan dalam rumah tangga.
Kejadian mendadak seperti ini membuat Eren bingung. Grisha sudah melesat keluar ruangan, Eren segera menyusul. Di ruang tamu, mama Carla sedang terduduk lemah di atas sofa dengan nafas yang tidak beraturan. Sekedar info, Eren tau jika mamanya menderita sebuah penyakit pernafasan tapi ia tak peduli dan segera pergi meninggalkan mamanya.
Mikasa ternyata sudah menunggu di depan pagar rumah. Eren bermaksud melewatinya, tapi lengan Eren ditahan sama Mikasa. Ini adalah sebuah perpisahan yang tak mengasyikan. Kedua sodara ini tak saling menatap.
"Dimana kamu akan tinggal?" Mikasa mulai bertanya.
"Entahlah…" jawab Eren singkat.
"Jika tak betah, kamu bisa kembali ke rumah. Nanti kita bisa cari sekolah lanjutan yang cocok untukmu."
Eren menarik lengannya secara kasar. "Sudah kubilang tak usah mengurusiku seperti itu!" Eren hendak melanjutkan langkahnya tapi ditahan lagi sama Mikasa, kali ini cengrakaman Mikasa lebih terasa menyakitkannya. "Ooi…, Mikasa!"
Mikasa memutar tubuh Eren agar mereka bisa saling bertatap-tatapan. Perlahan gadis di hadapan Eren melepaskan syalnya yang selalu setia bertengker di lehernya. Kemudian melilitkannya di leher Eren, pria ini bengong. "Untukmu, Eren. Bawalah hingga suatu saat nanti kita bertemu kembali."
"Adegan ini kan seharusnya aku yang memberikannya ke kamu, bukannya malah kamu yang memberikannya ke aku." protes Eren.
"Ini bukan karyanya bapak Hajime, Eren. Jadi segalanya di buat berbeda. Ya sudah, paman Grisha sudah menunggumu. Segera pergi dan temukan kehidupan baru, Eren." Mikasa melambaikan tangannya yang entah kenapa di balas sama Eren.
Memang ini adegan yang sedikit absurd. Sebuah perpisahan yang tidak romantis sama sekali, tapi mana mungkin si Eren mau beromantis ria dengan Mikasa. Dan begitulah perpisahan mereka berdua. Yang pada kisah asli seharusnya Eren yang memberikan syal, tapi disini malah Mikasa yang memberikan. Lalu kemana mereka akan pergi?
[-TBC-]
-[xXx]-
Okay..., segini dulu saja ya sodara-sodara. Apalah arti kisah absurd ini untuk kalian semua para pembaca. Yah..., maklumi saja jika aneh. Soalnya saya masih baru di fandom ini, dan lagian saya ngetik ini tidak sedang bersama mbak saya. Mungkin nanti di chap berikutnya, bakalan mbak saya yang ngetik (mungkin...)
Itu saja, silahkan tinggalkan pesan, saran, kritik tapi gak pedes, dan lain-lain. Mungkin update agak lama, tergantung para pembaca sih, berharap fic ini lanjut apa kagak.
See ya~
