Haikyū! by Haruichi Furudate
I own nothing but story
.
.
.
.
Saat sebentuk lengan menyentuh punggung tangannya (sengaja atau tidak, entahlah) Daichi tersenyum. Bukan gerakan yang terlalu berarti, hanya sekilas bahkan, tapi cukup untuk membuatnya merasa sedikit berdebar. Dan bicara soal kondisi dimana jari-jari bertemu di bawah meja, seharusnya mereka memberi perhatian lebih pada pelatih yang sedang memberi pengarahan di dalam ruangan tempat sejumlah anggota itu duduk berhadapan, juga pada lembar-lembar kertas dan papan tulis mini berisi bahan strategi di permukaan meja. Namun ritme dari ketuk pelan di pergelangan yang mungkin tak terdengar itu membujuknya untuk berpaling, memandang senyum yang terulas tipis di bibir Suga, begitu samar dan hampir-hampir tidak terlihat—dan balas mengaitkan telunjuknya dengan kelingking yang spontan teraih seperti sihir.
Daichi tak pernah terlalu percaya terhadap kalimat beraroma romansa. Ungkapan rasa yang selalu sejiwa terdengar begitu muluk dan bukanlah sesuatu yang berwujud. Dan mungkin, perlu ada kajian ulang mengenai nyata tidaknya seseorang bernama Suga.
Suga, tak ubahnya satu tanda tanya besar di balik sikap yang mudah tertebak. Sosok yang mengundang banyak dugaan hanya dari caranya bicara, bergerak, dan merespon. Mengamati Suga dari tahun ke tahun seperti sebuah ujian tertulis bagi Daichi. Suatu objek yang jarang bergeming, aktif, menyatukan sisi maskulin sekaligus feminim, kompleks. Sosok yang terus berkembang dan menjadi dewasa seiring tugas-tugasnya. Penuh ekspresi dan pertimbangan, namun tetap menjadi seorang Suga.
Suga tertawa ketika sekitarnya menularkan hal serupa, juga terisak di paragraf pertama dalam cerita sedih maupun gembira. Pun menerima orang lain tanpa banyak bertanya, serta selalu berkata bahwa dia ingin mencari kepribadian dengan caranya sendiri. Pedoman Suga tentang manusia yang pasti memiliki kebaikan tersembunyi, sering memaksa Daichi melipat dahi sambil mengingatkan akan garis tipis antara pujian dan sindiran.
Suga jauh dari sempurna, tentu saja. Tapi bagi Daichi, sosok sebenar-benarnya akan keluar bila Suga sedang berdua dengannya. Hanya berdua.
Di saat-saat seperti itu, kala kekeh rendah dan nada menggoda dari bisik yang bertukar diam-diam, 'Kau tampak capek lho, mau bersandar di bahuku? Semuanya masih sibuk melempari Hinata dengan gumpalan kertas karena terlalu berisik. Tidak akan ada yang sadar,' kemudian berlanjut ke denyut pelan di dada Daichi dan bergema menjadi dering menyenangkan, memberitahunya bila ada perhatian yang bertiup di udara.
Di saat-saat seperti itu, ketika bahu Suga mendadak menjelma menjadi tempat ternyaman sedunia, bersama seringai rahasia sekaligus barisan gigi-gigi rapi kebanggaannya; rasa segan untuk mengacuhkan sekeliling akan menguap tanpa bekas. Menyisakan Daichi yang balas menghela napas panjang dan menemukan dirinya bertumpu pasrah, berucap 'apa boleh buat' dalam gumam lirih.
Dan di saat-saat seperti itu, dengan jari yang masih mengait dan sentuhan lembut tanpa aba-aba, Daichi berpikir jika sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Suga, yang dia tak peduli apakah itu bernama, adalah hal yang mampu membuatnya selalu tersenyum.
Detik itu, dan seterusnya.
.
.
.
