"—Petra-senpai, sudah lama.. aku menyukaimu."

Surai emas milik gadis itu tertiup angin lembut—ia beradu tatap dengan seorang lelaki dengan warna Emerald menawan di maniknya. Rona merah menghiasi wajah lelaki itu—begitu terlihat manis, dan sesaat gadis bernama Petra itu tertawa kecil.

Dan yang ada di pikiran gadis itu saat ini adalah, 'Ah, lelaki ini boleh juga.'

"..Kau benar-benar suka padaku?"

"Eh—Iya! Maksudnya, a-aku betul-betul suka padamu!"

"—Kalau aku memintamu melakukan sesuatu sebagai bukti bahwa kau menyukaiku—kau akan melakukannya?"

"Aku akan melakukan apapun!"

Oh—senyum manis yang memiliki sejuta makna kini terukir di wajah cantiknya.

"—Eren Jaeger, cium."

. . . .

...Apa?

Hening beberapa saat menyelimuti—sampai lelaki yang ada di hadapannya akhirnya membuka mulut dengan wajah yang merona, "CI-CIUM?!"

"—Iya, cium." Petra tertawa geli. "—Tapi, bukan aku. Cium anak kelas 3-2 yang bernama Rivaille."

. . . .

Eh?

.

.

.

Love Potion

Chapter 1: First Step

.

AuthorNacchan Sakura

.

Shingeki no Kyojin belongs to Hajime Isayama

Enjoy!

.

.

.

Karena menurut Petra—ia hanya memberikan sentuhan sihir yang begitu manis terhadap lelaki itu;

Ia memberikan sebotol ramuan cinta; kalau ampuh, siapapun akan menemukan orang yang betul-betul ia cintai dengan segera.

Dan kata-katanya akan menjadi mantra yang membuat mereka terikat dalam suatu cerita yang berakhir bahagia.

...Tetapi, tidak semuanya sesuai dengan harapan. Petra memiliki jalan pikiran berbeda.

Dan sebenarnya... semuanya ia lakukan hanya untuk kepuasan dan kepentingan pribadi semata.

. . . .

...Ups?

.

.

.

"Petra, kelihatannya kau senang sekali...?"

Petra berhenti tersenyum lebar dan tersadar dari lamunannya seketika, ketika mendengar salah seorang temannya menatap gadis dengan surai emas itu dengan tatapan mengkhawatirkan. Petra hanya membalas tatapan itu dengan senyum manis yang bisa membuat banyak lelaki luluh—oh, siapa yang tidak? Ia gadis yang cantik, baik hati, sopan santun dan lembut; sosok gambaran malaikat yang dipahat pada tubuh seorang manusia.

Tapi, sebenarnya...

"—Ah, tidak. Aku hanya menemukan bahan ide untuk BL manga terbaruku!"

. . . .

—Ya... sosok malaikat. Kalau saja, dia bukan seorang mangaka untuk komik Boys Love dan seorang Fujoshi...

"..Kau memang setan berkedok malaikat.." —dan Petra pun hanya tertawa kecil mendengar komentar Hanji yang geleng-geleng kepala.

.

.

.

Yah.. Mari kita lihat keadaan di sisi lain.

—Eren Jaeger,

Lima belas tahun.

Status—baru saja memberanikan diri untuk menyatakan cinta pada kakak kelas pujaannya; Petra Ral.

Keadaan saat ini, tengah kebingungan seraya menatap lelaki bernama Rivaille dari kejauhan.

Eren menghela nafas—sudah ketiga kalinya. Ia memperhatikan sosok yang menjadi targetnya dari balik rak buku yang jaraknya cukup jauh—dan matanya tak sedetikpun lepas fokus dari orang yang disebut-sebut sebagai 'target'nya untuk bisa mendapatkan hati Petra Ral.

Naif, polos, mudah dibohongi—selain kalian yang membaca cerita ini, tak ada yang tahu bahwa Eren saat ini sebenarnya tengah masuk ke dalam perangkap yang dibuat secara apik oleh Petra Ral; mengira bahwa Petra benar-benar akan menerima cintanya setelah ia berhasil menjalankan misi yang luar biasa aneh ini.

Matanya menajamkan fokus—dirinya merasa menjadi elang predator yang mengincar musuh.

Eren menatap kembali sosok lelaki yang sedang membaca buku literatur seraya menopang dagu dengan telapak tangan kanannya—Rivaille, anak kelas 3-2. Senior yang populer karena tampan dan pintar, juga hebat dalam semua bidang olahraga dan bela diri. Hobinya adalah membaca, caranya memegang gelas teh cukup aneh, rambutnya berwarna hitam pekat, dan iris matanya berwarna silver yang berkilauan. Tingginya, sih—

"—Tuan stalker yang disana, jika kau berani menyebut kata 'pendek', aku akan membuat kau tak bisa lagi memandang apapun dengan kedua mata hijaumu yang jelek itu."

. . . .

EH?! —Eren kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan—disini tak ada orang lain selain dia, bukan? Tunggu, lalu ia berbicara dengan siapa? Ada stalker ya memangnya, di daerah sini? Tapi—dimana?

"Iya, kau. Kau yang semenjak tadi memperhatikanku dengan bola matamu yang sebesar bola tenis itu, dasar penguntit sial. Untuk apa kau menoleh kiri-kanan seperti itu?"

'Sial! Apa tadi aku tanpa sadar menyuarakan isi pikiranku dengan lantang?'

"—Tidak, tapi isi pikiranmu terbaca jelas, bocah."

'HAH?!dia bisa membaca pikiran orang?!'

"Tidak, aku tidak bisa. Tapi kau mudah untuk dibaca seperti buku yang terbuka."

Sosok bernama Rivaille itu beranjak dari kursinya dan berjalan mendekat ke tempat dimana Eren berdiri sekarang—oh, baiklah. Eren di dalam hati sudah berdoa dan berharap bahwa nanti pemakamannya akan didatangi banyak orang—kabarnya, kalau banyak orang mendatangi pemakamanmu, kau akan masuk surga. Keringat dingin bercucuran dari dahinya—baiklah, ia siap menyambut kematiannya. Setidaknya, ia akan bertemu Ibunya di surga—

"Siapa yang bilang bahwa aku akan membunuhmu, eh?"

"—HYAAA!" Eren berteriak layaknya gadis tokoh utama Shoujo manga—kemudian dengan cepat ia menutup mulutnya. Sejak kapan lelaki pendek ini ada di belakang dia?!

"Kau mengatakan 'pendek' sekali lagi, dan aku akan menggantungmu di tiang bendera."

—Ah, Eren lupa, lelaki ini 'kan bisa baca pikiran, ya..

"Ah—euh.. maafkan aku?"

"Untuk apa tanda tanya di belakang kata 'maaf'mu itu? Kau ragu-ragu untuk minta maaf kepadaku, hmm?"

"—EH, BUKAN! A-aku hanya, uh, itu—" Eren menelan ludah—duh, kenapa Petra menyuruhnya untuk mencium lelaki macam begini, sih. Coba saja kalau yang harus ia cium adalah Armin; mungkin akan lebih mudah.. "Aku.. uhm, memiliki satu permintaan..."

Satu alisnya terangkat sedikit ke atas—di iris peraknya untuk sesaat terbesit ketertarikan. "—Permintaan?"

"Rivaille-senpai," Eren menarik nafas dalam-dalam—"Biarkan aku menciummu!"

. . . . .

"...Hah?"

.

.

.

Angin yang bertiup lembut..

Daun yang berguguran ke atas tanah..

Cuaca cerah yang menenangkan jiwa..

Warna kuning keemasan yang mendominasi pemandangan musim gugur—

. . . .

—Namun kontras dengan satu warna biru lebam di pipi kiri Eren Jaeger.

"Ugh, sakit..." Ia mengelus-elus perlahan pipinya yang menjadi korban keganasan tangan kanan Rivaille—tinju berhadiah yang sampai kini masih terasa sakitnya.

Eren kemudian mengangkat tubuhnya yang semenjak tadi terbaring di atas material empuk beraroma obat—sekelilingnya berwarna putih dan Eren tak mengingat apapun kecuali tangan kanan yang menyentuh pipinya, dan membuatnya hilang kesadaran seketika. Dan kini—ia dengan ajaibnya sudah ada di dalam ruang kesehatan.

Eh—sejak kapan coba, dia ada disini?

Dan siapa juga—yang membawanya kesini?

"—Kau sudah sadar eh, bocah mabuk?"

Terkejut untuk beberapa saat—Eren kini bertemu dengan iris perak yang sama dengan pelaku yang menorehkan warna biru di wajahnya. Dengan santainya dan tanpa sedikitpun tanda-tanda rasa bersalah—Rivaille menghampiri Eren seraya membawa handuk kecil dari dalam lemari.

"Eh... Rivaille-senpai, kau yang membawaku kesini?"

"Tentu saja, bodoh—memangnya siapa lagi?"

"...Tidak, hanya saja, kau 'kan yang memukulku—tapi kenapa kau juga yang—"

"—Maaf, aku emosi sesaat. Seharusnya aku mendengarkan dulu apa alasanmu meminta hal aneh seperti itu kepadaku."

Rivaille membuka lemari pendingin kecil di atas meja—memasukkan beberapa butir es batu ke dalam handuk dan menggulungnya dengan rapi.

"Mendekatlah sedikit—aku akan mengompresmu."

"Ah—eh.. terima kasih."

Jujur saja—Eren kebingungan tingkat dua. Kurang dari tiga puluh lima menit yang lalu, lelaki ini baru saja menonjoknya—sikapnya membuat Eren berasumsi bahwa ia benar-benar orang yang kasar. Dan di detik ini, ia dengan lembut menempelkan handuk kompresan ke pipinya—tindakan yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan sebelumnya.

Bipolar kah? Atau—memang memiliki sisi lembut?

"..Jadi, siapa namamu, bocah stalker?"

"E-ehh—" Eren menelan ludah, "Namaku Eren Jaeger—dan aku bukan stalker! Itu, aku hanya... mengamatimu."

"Mengamati dari kejauhan selama kurang lebih dua puluh menit dari balik rak buku. oh—ya, itu jelas sekali bukan stalker." Ucap Rivaille sarkastik.

"Tidak, aku jujur! Aku tidak menguntitmu—aku hanya... membutuhkan bantuanmu."

Rivaille kembali menarik satu alisnya ke atas—semenjak tadi, ia sadar bahwa lelaki ini memang membutuhkan sesuatu darinya; dan ia terlihat melakukannya dengan kadar niat nol persen alias terpaksa. Tapi ada seratus persen keyakinan atau sesuatu yang lain—yang membuat lelaki ini tetap ingin melakukannya meski ia tidak mau.

"—Dan apa maksudmu mencium, hmm?"

"—Itu... aku diminta oleh... seseorang, untuk menciummu."

"Hah? Apa kau sedang bermain Truth or Dare?"

"Bukan, bukan! A-aku.. semacam, menyatakan cinta kepada gadis yang aku suka—tapi dia bilang, dia hanya akan menerimaku kalau aku menjalankan misi yang ia berikan.."

"—Dan misi itu adalah 'mencium'ku?"

Eren mengangguk lemah, "Iya..."

Rivaille menatap Eren sesaat—ia memperhatikan Eren yang terlihat begitu putus asa dan ingin agar 'misi' atau apapun itu yang harus ia lakukan agar cepat selesai. Kemudian ia menghela nafas panjang—ah, rasanya... ia tahu ini semua kerjaannya siapa.

"Eren, boleh aku bertanya?"

"—Um, iya?"

"Orang yang kau suka itu—siapa namanya?"

"Eh? Namanya?" Eren sesaat menatap Rivaille kebingungan, "Namanya Petra Ral."

—Dan Rivaille langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

"..Sudah kuduga."

.

.

.

Di hari itu, misi yang Petra berikan sama sekali tidak bisa dibilang 'berhasil'.

Eren menghela nafas panjang—tamat sudah, ia tak akan bisa mendapatkan hati Petra karena ia tidak lulus dalam misinya; Rivaille hanya terdiam dan mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan Petra soal misinya yang cukup aneh tersebut; dan Eren tidak mendapatkan ciuman dari seniornya yang kemudian pergi begitu saja.

—Huh... Mau dapat kekasih saja, rintangannya banyak sekali, sih...

"Makanya sudah kubilang, menyerah sajalah soal Petra-senpai... kau ini punya Mikasa, seharusnya kau bersyukur!"

"Kau gila, Connie? Mikasa itu saudaraku! Meski tak ada hubungan darah, dia tetap saudaraku! Maaf saja, aku tak mendukung incest."

"Bukankah incest sedang populer sekarang ini? manga dan anime banyak yang pakai tema incest loh, ada ecchi nya lagi—"
"Tolong jangan samakan isi otakku ini dengan isi otak mesum milikmu." Eren memotong kalimat Connie seraya cemberut. "Aaah... kalau begini sih, hancur sudah harapanku untuk bisa mendapatkan Petra-senpai.."

"Yah, sabar saja ya, Eren." Connie memberikan tepukan kecil di kepala Eren. "Eh, kalau sama Armin bagaimana? 'kan dia tidak terlihat seperti lelak—"

"CONNIE."

"...Oke, maaf."

.

.

.

Gadis dengan surai emas madu itu menorehkan pensilnya di atas kertas seraya tersenyum kecil—sesekali mulutnya bahkan melantukan nada yang beraturan, pertanda bahwa gadis itu sedang sangat bahagia. Ya—tentu saja, bagaimana tidak? Gadis bernama Petra Ral ini bahagia—setelah sekian lama terkena art block, ia akhirnya bisa menorehkan imajinasinya lagi!

Dan ini semua berkat seorang lelaki bernama Eren Jaeger; oh, sungguh, Petra awalnya tak begitu memperhatikan Eren—hanya beberapa kali berbicara dengannya karena mereka berada di dalam klub yang sama. Dan Petra hanya menganggap Eren sebagai murid kelas satu yang rajin dan juga baik terhadap teman-temannya; tak pernah ia memperhatikan Eren lebih jauh.

Namun Petra akhirnya tahu bahwa Eren adalah sosok yang tepat, ketika lelaki itu menyatakan cintanya kepada Petra.

Tunggu dulu! 'tepat' yang dimaksud oleh Petra itu agak berbeda dengan apa yang kalian pikirkan, loh.

Petra menghela nafas panjang seraya melihat hasil coretan pensilnya—sosok seorang lelaki yang sedang merona, dan seorang lelaki lainnya yang sedang menyentuh bagian tertentu dari lelaki di hadapannya—

"—Ehehe, Eren memang sosok uke yang ternyata cocok untuk manga baruku!" Petra tersenyum lebar—merasa senang dan bangga. "Sekarang, hanya tinggal menunggu Rivaille beraks—"

"—Beraksi merobek kertasmu, maksudmu?"

Tak ada satu detik—dan Petra hanya bisa mengucapkan kata 'eh?' ketika sosok yang ia bicarakan tiba-tiba ada di hadapannya—mengambil kertas sketsa milik Petra, menyentuh kedua ujung kertasnya dengan ibu jari dan telunjuk—kemudian menarik kertas itu kedua arah yang berlawanan sehingga sobek terbagi dua.

"—KYAAAAAA! SKETSA MILIKKUUU!"

"Petra Ral." Rivaille menatap Petra tajam seraya mengeluarkan aura penuh kemarahan dari tubuhnya. "Aku kira Hanji adalah orang paling parah dalam sifat 'penyuka homo'nya. Tapi ternyata kau lebih mengerikan."

"Huee, maafkan aku! Habis, Hanji bilang dia tidak terlalu menyukai dirimu kalau dipasangkan dengan Eren, dia lebih senang melihat Rivaille dengan Irvin-san—"

"MASA BODOH. Sejak kapan aku ini jadi mainan yang bisa kalian pasangkan dengan lelaki lain seenaknya, hah?!" Rivaille menggebrak meja—membuat Petra beranjak dari kursinya karena terkejut. "Katakan apa tujuanmu, Petra. Kalau kau sebenarnya tidak menyukai Eren Jaeger itu, kau 'kan bisa menolaknya! Kau pikir orang yang bersangkutan tidak akan sakit hati—kalau tahu bahwa kau hanya memanfaatkannya untuk komik homomu itu?!"

"—Aku tidak memanfaatkan! Aku hanya memberikan Eren sihir, Rivaille. Atau Love Potion—lebih tepatnya."

"...Apaan lagi itu?"

"Aku memberikannya orang lain—mempertemukannya dengan orang lain yang lebih baik dariku. Orang lain yang pasti bisa membahagiakan dirinya." Petra tersenyum seraya mengangkat telunjuknya, mengarahkannya kepada Rivaille. "—Dan itu adalah kau."

"Kau pikir aku homo?!"

"Cinta itu tidak memandang gender~ lagipula aku ini membantumu juga, tahu! Kau pikir sudah berapa lama kau ini memiliki hubungan yang tak pernah berjalan mulus—semua perempuan selalu kau buang begitu saja."

"Mereka tidak cocok denganku."

"Maka dari itu aku mencarikan orang yang tepat! Kalau dengan wanita tidak berjalan lancar, mungkin saja dengan pria bisa... 'kan?"

Urat-urat kemarahan menumpuk di dahi Rivaille—membuat Petra sesaat menelan ludah dan merasa keringat dingin turun dari dahinya. Untuk jaga-jaga, Petra bahkan mundur perlahan sebelum Rivaille datang dan membunuhnya sekarang juga.

—Tetapi Rivaille malah terdiam; entah sedang berpikir bagaimana cara tepat membunuh fujoshi di hadapannya ini, atau sedang mengumpulkan tenaga untuk menghabisi Petra secara langsung—namun Petra bersumpah bahwa ia betul-betul merasa takut saat ini; ia melihat sosok setan di hadapannya, bukan Rivaille yang ia kenal.

"...Kalau 'sihir'mu ini tidak berhasil—kau harus bersumpah bahwa kau tak akan menggambar komik homo lagi, Petra."

"...Eh?" Petra berhenti bergerak mundur—rasa takutnya pun hilang seketika.

. . . . . .

"...Apa maksudmu—oh." Petra terdiam sesaat. "...EEEH?!"

"Dan aku tak bertanggung jawab kalau Eren Jaeger masih tetap mempercayaimu setelah 'misi' nya berhasil; kau harus menerima cinta dia apapun kondisinya."

"Ehehe, baiklah! Kalau ternyata sihirku gagal, aku akan berhenti membuat manga yaoi dan aku akan pacaran dengan Eren. yah~ dia lumayan tipeku, kok." Petra tertawa kecil. "Tapi.. jangan salah, Rivaille. sihirku tak pernah gagal."

Rivaille mengangkat sebelah alisnya, "—Begitu? Yah, selamat berjuang."

Rivaille membuang sketsa milik Petra yang baru saja ia robek ke dalam tong sampah seraya berjalan meninggalkan kelas—ia menggeser pintu dengan perlahan, dan kini berdirilah Petra sendirian di dalam keheningan. Perlahan sebuah senyum ditorehkan oleh gadis itu di wajahnya—oh, ia tak pernah menyangka bahwa rencananya akan berjalan sesuai perkiraan.

"—Dan ketika aku mengatakan bahwa sihir ini tidak akan gagal—berarti aku memang tidak akan gagal, Rivaille."

.

.

.

Mungkin yang akan membuat mereka berdua terikat adalah sesuatu yang lebih kuat daripada sihir atau mantra belaka.

.

"Selamat pagi, Eren!" Armin menyapa pemuda dengan surai coklat tersebut dengan senyum lebar—Eren menatap Armin sesaat dan melemparkan gumaman 'selamat pagi' seraya menghela nafas—tak tersenyum barang sedikitpun. "Eh, kenapa lesu begitu?"

"Aku masih kecewa karena misiku gagal, Armin.." jawab Eren seraya tertawa pahit, "Aku gagal mendapatkan Petra-senpai.."

"L-loh? Kamu masih kecewa soal itu, Eren?" Armin geleng-geleng kepala—"Tapi belum sepenuhnya gagal, bukan? Asal kau bisa mencium Rivaille-senpai berarti kau berhasil, bukan?"
"—Iya sih, tapi 'kan yang bersangkutan sendiri sudah menolakku mentah-mentah—"

"—Untuk apa meminta izin darinya? Cium saja secara paksa..."

. . . . .

. . . . . .

TING!

"OOOH! Benar juga, kenapa aku tidak kepikiran soal itu, ya?"

"...EH?! Kau tidak kepikiran soal itu?"

"—Terima kasih, Armin! Aku akan menyusul Rivaille-senpai sekarang juga!"

"Eh—loh, Eren?! Sebentar lagi bel mas—"

—Dan dengan kecepatan cahaya; Armin sudah tak bisa lagi melihat sosok Eren yang sudah berlari menjauh ke arah gedung kelas tiga.

"Selamat pagi, Armin! Tadi aku melihatmu bersama Eren, tapi kok Eren tiba-tiba hilang, ya...?"

"...Entahlah, Christa... orang yang sedang jatuh cinta memang jadi aneh semua.."

"Eh?"

.

.

.

'Rivaille-senpai, Rivaille-senpai, Rivaille-senpai!' —hanya nama orang itu yang sedari tadi Eren ulang di benaknya; harus, ia harus menemukan senior pendek itu secepatnya. Di benaknya sudah tersusun rencana kilat dimana ia akan memanggil Rivaille secara biasa, kemudian menarik lengannya, mencuri kecupan di bibirnya—kemudian pergi begitu saja. Dan setelah itu, ia akan dengan bangga bilang kepada Petra bahwa ia berhasil menjalankan keinginan Petra.

Kalau diibaratkan judul lagu dari salah satu band terkenal sih, rencananya ini 'Sempurna'.

Alas sepatunya yang bergesekan dengan lantai menimbulkan suara yang cukup lantang—di lorong dan juga keadaan kelas tiga yang sepi, Eren bisa mendengarkan suara apapun bahkan debar jantungnya sendiri. Anak kelas tiga memulai kelas lebih siang daripada anak kelas satu; kelas mereka baru akan dimulai satu jam lagi. Namun waktu adalah emas—Eren tak ingin menyia-nyiakan sedetikpun dari waktu yang ia punya.

Nafasnya mulai sedikit terputus-putus karena berlari—namun ia tidak merasa lelah. Semangatnya mengalahkan rasa capeknya; saat ini ia sedang 'terbakar'.

—bukan secara harafiah, sih..

Langkah kaki Eren terhenti sejenak—ia butuh waktu untuk mengambil nafas sejenak; setelah itu, ia akan kembali berlari dan mencari sosok mini tersebut dimanapun ia berada. Eren melihat ke sekelilingnya—lorong dengan pintu di kiri dan kanan, di masing-masing pintu tertempel papan yang menunjukan apa dari nama ruangan tersebut.

'Ruang klub Astronomi, ruang klub literatur, ruang serbaguna, ruang musik—'Eren terdiam sejenak ketika pendengarannya menangkap suara lain selain nafas dan debar jantungnya; suara samar yang terdengar lembut dan harmonis, kumpulan nada yang tersusun menjadi sebuah lagu dari denting piano..

"..Ruang musik...?"

Eren menyeka keringatnya dengan kain lengan seragam—kakinya berjalan mendekati ruang musik. Perlahan, suara denting piano semakin terdengar kencang di telinganya—dan Eren sampai di depan pintu yang sedikit terbuka celahnya. Dari celah kecil itu Eren dapat melihat sosok yang sedang duduk bermain piano dengan pandainya—sosok dengan surai hitam potongan pendek dan juga tinggi badan yang pen—

"—Sudah kubilang untuk tidak mengatakan kata terlarang itu, walaupun hanya di dalam pikiranmu, bocah.."

Eren reflek menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan—takut bahwa ia tanpa sadar sudah mengatakan kalimat tadi dengan kencang. Suara permainan piano berhenti—dan kini Eren melihat sosok tersebut beranjak dari kursinya—berbalik dan menatap Eren dari celah pintu yang terbuka.

—Ketemu!

"Ah.. eh.. selamat pagi, senpai.." Eren menggeser pintu ruang musik perlahan, "Maaf aku mengganggu permainanmu.."

"Kalau kau diam saja di balik pintu dan menatapku layaknya penguntit, itu lebih mengganggu." Rivaille mengerutkan dahinya. "Ada perlu apa kau kesini? Kenapa kau berkeringat begitu? Menjijikan."

"Ah—aku berlari kesini..."

"Lap dulu keringatmu—tidak, jangan pakai kain lengan seragam." Rivaille merogoh saku celananya—dan mengambil selembar sapu tangan. "Pakai ini."

"..Um—Terima kasih."

Eren menatap sejenak sapu tangan tersebut sebelum memakainya dengan baik—ia menyeka keringatnya perlahan dan lembut. Tercium aroma khas Rivaille dari sapu tangan tersebut; aroma yang berkesan bersih dan higienis, netral—namun, tetap saja khas.

"Ambil saja sapu tangan itu, tak usah dikembalikan."

"Eh.. baiklah.." Eren melipat sapu tangan tersebut dengan rapi dan memasukannya ke dalam tas. "Anu—"

"Jadi, kau mau apa kesini?"

Rivaille menatap Eren dengan tatapan penuh tekanan—seolah Eren harus memberikan jawaban saat itu juga dengan cepat—dan tak boleh berbohong. Eren menelan ludah—ia mengingat kembali rencananya saat berlari tadi dengan baik. Tarik lengannya, cium secara cepat, lalu keluarkan jurus langkah seribu. Oke, Eren ingat—dan Eren siap.

Eren menarik nafas panjang—semoga tidak gagal, semoga tidak gagal!

Eren berjalan perlahan mendekati Rivaille—dan Rivaille tak melakukan gestur yang menandakan bahwa ia kan kabur atau menjauh; sempurna. Ya, sempurna—kalau begini terus, rencana Eren mungkin tak akan gagal.

Eren berhenti tepat ketika jarak mereka sudah cukup dekat—atau bisa dibilang, sangat dekat. Eren menatap ke arah lantai—tak berani menatap mata seniornya yang masih memperhatikan gerak-gerik Eren tanpa berkedip.

Tidak akan gagal, tidak akan gagal.. —kalimat ini menjadi mantra dan jimat Eren saat ini. baiklah, mari kita mulai!

Langkah pertama sudah sukses—mendekati Rivaille sampai jarak yang memadai untuk bisa menciumnya.

Langkah kedua sedang dalam tahap proses—Eren menarik pergelangan tangan Rivaille, membuat Rivaille terlihat jelas sangat terkejut; namun, ia tidak melakukan apa-apa.

Langkah ketiga sedang dilakukan, Eren mendekatkan wajahnya pada wajah Rivaille—dan setepat mungkin membuat bibir mereka bersentuhan.

Langkah ke empat sedang berlangsung, Eren merasakan sesuatu yang lembut bersentuhan dengan bibirnya—oh, baiklah, mungkin untuk satu koma lima detik ia akan membiarkan bibirnya dan bibir Rivaille bertaut. Agar tidak terkesan 'tidak sengaja'.

Sebenarnya—dalam beberapa detik singkat tersebut, Eren dapat merasakan jantungnya berdegup kencang—dan oh, sensasi aneh apa yang ia rasakan di perutnya ini? dan walaupun hati kecil Eren ingin sekali memperpanjang waktu untuk bisa menggigit lembut sepasang bibir yang menempel dengan bibirnya saat ini; Eren harus segera melanjutkan ke langkah selanjutnya.

—HORE! Langkah ke lima akan segera dilakukan—Eren melepaskan tangannya dan menjauh, dan ia berbalik dengan cepat.

Langkah ke enam! akhirnya—Eren hanya tinggal melangkahkan kakinya dan kabur dari ruangan ini secepat mung—

"—Mau kemana kau, bocah?

—kin..

Eren menatap horror lengannya yang sudah tertangkan oleh Rivaille; kakinya bahkan baru melangkah setengah, belum bisa dikatakan 'siap' untuk melakukan jurus langkah seribu. Telapak tangan yang dingin menahannya untuk pergi—dan sekali lagi, tubuh Eren harus gemetar dan merasakan keringat dingin yang entah sejak kapan mulai membasahi dahinya..

"Berbalik. Tatap mataku, bocah. ini perintah."

"—MAAF, MAAFKAN AKU! TAPI, TOLONG MENGERTI, AKU MELAKUKAN ITU KARENA—"

"Aku tahu. Aku hanya memintamu untuk melihatku... Eren."

Eren berhenti gemetar dan merasakan aura penuh penekanan menghilang dari sosok yang menahannya—dan nama Eren yang baru saja keluar dari mulut Rivaille terdengar begitu lembut. Ia memanggil nama Eren—ia memanggil nama Eren... dan suara rendah miliknya itu benar-benar terdengar menggoda ketika namanya disebutkan.

—Eh, konsentrasi, Eren, konsentrasi! Tujuanmu sesudah ini adalah kabur, jadi jangan berbalik!

"...Ba-baiklah..." —mengabaikan kata hatinya; tubuh dan mulut Eren seperti memiliki kehendaknya sendiri—Eren berbalik seraya menatap Rivaille dengan matanya yang masih menyisakan sedikit rasa takut, dan juga rona wajah tipis berwarna merah yang entah datang dari mana.

"—Eren.." Rivaille mengangkat lengannya perlahan—Eren menutup mata ketika merasakan jemari yang dingin menyentuh sisi wajahnya. Jantungnya berdegup kencang tanpa alasan—dan wajahnya semakin lama semakin panas.

Aneh. Padahal jemari yang menyentuhnya terasa dingin, tapi kenapa malah membuat wajahnya menjadi panas, ya..?

Rivaille mengusap sisi wajah Eren dengan ibu jarinya—sungguh bocah yang polos dan naif. Kenapa ia mau-maunya saja melakukan apa yang Petra minta? Terlebih lagi, ia begitu terlihat putus asa sampai-sampai ia menciumnya secara paksa..

. . . . .

Dan Rivaille mendengus kesal ketika teringat soal ciuman beberapa menit yang lalu itu; heh, ciuman yang paling buruk di dalam hidupnya... orang bodoh mana yang hanya menempelkan bibirnya selama beberapa detik lalu kabur begitu saja?

Rivaille ingin membalas—ingin sekali membalas.

Seringai kecil perlahan muncul di wajahnya—oh, apakah ia mulai tertarik untuk mengikuti skenario Petra—ataukah ia sudah terkena sihir yang entah sejak kapan Petra lakukan kepadanya?

..Atau mungkin, ini memang keinginan hatinya sendiri?

.

Dan saatnya tiba dimana sang penyihir mengucapkan mantra

.

"...Kau sebut yang seperti itu 'ciuman', bocah?"

"—He?"

"Sungguh bodoh." Rivaille tertawa pelan dengan suara rendahnya—membuat Eren sesaat merasakan wajahnya menjadi hangat. "Yang namanya 'mencium' itu seharusnya begini, Eren."

Rivaille menarik lengan Eren dan memojokan tubuh lelaki jangkung itu pada sudut ruang musik yang tak begitu luas—butuh sedikit waktu untuk Eren bisa mencerna apa yang sedang terjadi; karena ia yakin, beberapa detik yang lalu, ia masih berdiri di dekat piano—dan kenapa sekarang ia sudah tersandar pada sebuah dinding di sudut ruangan?

"Um.. senpai?" Eren dapat melihat kedua tangan yang menempel di kiri dan kanan tembok dimana ia bersandar—membuat lelaki dengan iris emerald tersebut tak bisa kabur ataupun bergerak. Ia menatap sosok yang lebih pendek di hadapannya; Rivaille sedang menatap mata Eren saat ini, meski dengan perbedaan tinggi badan yang sedikit jauh—Eren tak bisa melawan sosok yang kini sedang ada di hadapannya tersebut.

"Buka mulutmu, Eren."

—Perintah kecil dari Rivaille tersebut membuat pertahanan dan rencananya hancur seketika.

"...Eh?! t-tunggu, buat ap—" Kini warna merahnya semakin tebal di paras Eren; Eren merasakan suhu tubuhnya tiba-tiba naik secara tidak wajar.

"Buka. Buka saja mulutmu—sedikit. Atau perlu kulakukan secara paksa?"

"T-tapi aku tidak mengerti. Untuk apa aku membuka mul—"

—Mengambil kesempatan dalam kesempitan adalah keahlian Rivaille; ketika Eren masih berbicara, Rivaille dengan cepat menempelkan bibirnya.

"...?!"—Eren hanya bisa terkejut tanpa kata; ketika tersadar lagi, ia sudah merasakan sepasang bibir yang sama kembali bersentuhan dengannya—namun tidak berlangsung hanya dalam beberapa detik, dan tidak hanya sekedar bersentuhan dalam waktu singkat—kali ini berbeda.

Ini ciuman yang sesungguhnya.

Eren merasakan Rivaille sesekali menggigit bagian bawah bibirnya—membuah suara 'Unnh' yang lemah sesekali terlontar dari mulutnya; Rivaille bahkan mengulumnya seakan sepasang bibir itu adalah sebuah permen apel yang bisa kau beli setiap festival musim panas. Dan Rivaille memiliki kesempatan semenjak awal karena mulut Eren memang sudah terbuka; ia juga ingin membawa lidahnya ikut bermain.

"—Uhn!" Eren merasakan sensasi aneh tersebut kembali menyerang tubuhnya; dimana perutnya terasa geli, dan lehernya terasa digelitik; dicampur dengan wajahnya yang semakin hangat dan juga debar jantungnya yang cepat—Eren tak bisa mendefinisikan bahwa ia benci atau suka akan apa yang Rivaille lakukan.

Lidah seniornya mengabsen setiap ruang di dalam mulut Eren—kemudian memberi jeda dan kembali menggigit lembut bibir bawahnya; dan itu terus berulang.

—Dan sensasi aneh itu perlahan membuat tubuh Eren lelah—lemas dan kehilangan tenaga, tepatnya. Tubuhnya yang tersandar pada tembok perlahan mulai terjatuh—dan Rivaille mengikuti gerakan Eren yang terus turun, sampai akhirnya Eren terduduk lemas di atas lantai—dan Rivaille menopang tubuhnya dengan kedua lutut; ah, kali ini, Rivaille terlihat jadi lebih tinggi dibandingkan lawan mainnya.

"—Hn.. s-senpai, hentikan—" sesekali Eren bisa berbicara meskipun suaranya samar dan ditutupi desahannya sendiri; oh, ayolah! Eren ingin segera pergi dan melaporkan kepada Petra bahwa usahanya terlah berhasil. Tapi kenapa..

"Dari desahan dan erangan erotismu tadi, aku rasa kau tidak membencinya." Rivaille menuruti kata-kata Eren; ia berhenti. Perlahan wajahnya menjauh dari Eren—hanya disambungkan oleh segaris saliva yang tersisa dari aktivitas mereka. Rivaille menyeringai kecil ketika melihat sosok di hadapannya—yang kini sedang menutup kedua matanya seraya mengambil nafas, ditambah wajahnya yang merona.

—Imut.

"Walaupun aku sangat ingin melanjutkan apa yang kita lakukan ini, dengan amat sangat menyesal—aku harus berhenti, Eren." Rivaille berdiri dan merapikan seragamnya yang sedikit berantakan; kemudian ia lanjut berbicara, "Bukannya karena aku tidak mau; tapi, yah, aku pikir anak kelas satu seharusnya sudah masuk dari sepuluh menit yang lalu?"

Rivaille melihat ke arah jam dinding—dan Eren menyalin gerakannya. Kedua iris emerald Eren membesar seketika.

"...AKU TERLAMBAAAAAT!" Eren beranjak dari posisinya dan menyambar tas sekolah miliknya yang terjatuh ke lantai. Dengan cepat ia berlari dan menggeser pintu ruang musik secara kasar; masa bodoh, yang penting ia harus cepat masuk kelas. Ia bahkan tak mengatakan apapun kepada Rivaille yang baru saja menciumnya.

Dan Rivaille masih menatap sosok yang berlari dengan cepat itu seraya tersenyum tipis; bocah yang menarik. Sayang sekali jika ia harus melepaskannya dengan cepat.

Ia ingin kembali merasakan permen apel yang tak dijual dimanapun itu.

"—Ah, gawat. Petra itu memakai mantra apa sampai aku jadi seperti ini?"

Rivaille menghela nafas panjang dan mengambil tas sekolahnya—ia kemudian berjalan keluar dan bersiap untuk masuk ke kelasnya. Tanpa ia ketahui, sebuah tawa kecil terdengar dari balik lemari penyimpanan ruang musik—yang kini terbuka perlahan dan menampilkan sosok gadis dengan surai madu yang khas di dalamnya.

"Fufu~ sudah kubilang kalau mantraku itu ampuh, bukan?"

.

.

.

Degup, degup, degup

Eren menyamakan detik jam dinding dengan irama detak jantungnya yang masih berdebar tak karuan saat ini; oh, ketukannya berbeda. Jam dinding bergerak lebih lambat—atau jantungnya yang berdegup terlalu kencang?

Eren harus menjalani hukumannya di perpustakaan; mencari buku dan harus membacanya sampai selesai. Kemudian isi buku itu harus ia rangkum dalam waktu dua jam setengah; bukan hal yang sulit.

Tetapi debar jantungnya ini mempersulit. Rasanya, setiap ia menarik nafas—setiap ia melangkah—setiap ia membuat gerakan sekecil apapun... ingatannya akan terus kembali kepada saat Rivaille menciumnya dengan penuh hasrat.

Eren menggelengkan kepalanya dengan cepat—tidak, seharusnya ia bahagia. Ia berhasil berciuman dengan Rivaille; itu berarti, setelah ia melaporkan keberhasilannya pada Petra—ia resmi menjadi kekasih gadis itu, bukan?

...Bukan?

Tidak bisa—pikiran Eren saat ini bahkan TIDAK BISA membayangkan sepasang kekasih bahagia dimana itu adalah dirinya dan Petra; tertawa bersama seraya bergandengan tangan, atau memakan es krim di saat kencan musim panas—

Ia bahkan tak bisa membayangkan dirinya mencium Petra dengan lembut; pikirannya kembali ke saat Rivaille mencium dirinya.. dan semua gambaran tentang pasangan kekasih itu berganti menjadi dirinya dan juga Rivaille.

Loh—kenapa jadi begini?! Eren kembali menggelengkan kepalanya. Tidak, ia itu masih normal—ia menyukai Petra; ia terkadang masih suka mengintip isi buku dewasa dan terkadang ikut mengintip website aneh bersama Jean, walau tidak separah Connie. Ia pasti hanya sedikit kebingungan saat ini; mungkin memorinya sedang melakukan trik tertentu..

Eren menghela nafas—sudahlah, untuk saat ini lebih baik kalau ia fokus dahulu terhadap hukumannya, bukan?

Eren kembali mencari buku yang terlihat mudah untuk dibaca dan tidak terlalu tebal—ia berjalan ke bagian buku cerita dan novel. Dan ketika ia berbalik untuk mencari buku yang tepat—matanya menangkap sosok yang familiar.

—Tubuh mungil. Wajah manis. Surai berwarna emas yang cantik. Aroma parfum strawberry

"—Petra-senpai!" Eren tak bisa menahan senyum lebar untuk tidak muncul di wajahnya—oh, yang ia cari ternyata ada disini! Mungkin takdir tidak begitu kejam seperti perkiraannya.

"Oh—halo, Eren." Petra melemparkan senyum polosnya seraya menunggu Eren menghampirinya. "Kenapa kau disini? Bukankah seharusnya kau ada di dalam kelas?"

"Ini—aku terkena hukuman karena terlambat." —Jawaban yang sebenarnya Petra sudah ketahui. "Kalau senpai?"

"Ah, jam pertama memang pelajaran bahasa, makanya aku ada disini." Petra tertawa kecil.

"Oh, begitu.." Eren tertawa basa-basi seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Um, senpai, sebenarnya.. aku ingin mengatakan sesuatu."

Petra mulai menarik satu alisnya ke atas. "—Hmm? Mengatakan apa?"

"I—itu. Aku.. berhasil, men—men.. cium.. Rivaille-senpai." Agak sulit untuk Eren bisa mengatakannya; namun ia berhasil, akhirnya. "Jadi... bagaimana?"

Petra membuka mulutnya—membentuk sebuah huruf 'o' kecil yang menandakan bahwa ia terkejut. Terkejut bohongan, sih—ia sebenarnya sudah tahu akan hal itu. Dan ia juga tahu bahwa Eren berbohong; yang benar itu, dia 'dicium' oleh Rivaille—bukannya 'mencium'.

Tapi Petra masih membutuhkan anak ini untuk bahan idenya—maka dari itu, ia kembali mengucapkan mantra tak terduga.

Yah... berbohong sedikit tidak apa-apa, 'kan? Petra menghalalkan segala cara, demi sihirnya.

"Bagus, Eren! tapi.."

—Jujur, Eren tak merasa lemas ataupun kecewa ketika mendengar kata 'tapi' yang dilontarkan Petra; ia hanya mendengar kata 'bagus' yang Petra ucapkan. Dengan sabar Eren menunggu Petra melanjutkan kalimatnya.

"Kau tahu, Eren, sebenarnya... Rivaille itu tunanganku."

. . . .

"...Maaf?"

"Ah, jangan khawatir! Kami tidak saling menyukai; sebentar lagi, pertunangan kami akan dibatalkan." Petra melambaikan tangan seraya tertawa. "Tapi, ada satu hal yang kukhawatirkan.."

"...Khawatir soal—apa?"

"Kau tahu, Rivaille berkali-kali mencoba menjalin hubungan dengan banyak wanita—tetapi pada akhirnya, ia malah tersakiti. Dan.. ya, aku takut, setelah pertunangan kami batal, ia kembali tersakiti.. seperti sebelumnya."

Petra sengaja menambahkan efek dramatis dalam ceritanya dan membuat nada bicaranya terdengar sedih—layaknya drama sore hari yang bisa kau tonton di televisi. Eren dengan cepat memikirkan sebuah jawaban untuk menyemangati Petra; dan malah berakhir dengan ia balik bertanya,

"K-kalau begitu, jangan putuskan pertunangan kalian! Aku tidak merasa keberatan kok, kalau memang Petra-senpai—"

"Aku tidak menyukai Rivaille, Eren. kalau dipaksakan; aku malah semakin menyakitinya. Dan lagi, aku sudah berjanji kepadamu, bukan?" Petra tersenyum tipis. "Jadi—aku ingin meminta tolong kepadamu, Eren. Aku janji, ini yang terakhir! Setelah itu... kita akan resmi jadi sepasang kekasih."

—Mendengar kata terakhir di kalimat Petra membuat telinga dan ekor anjing imajiner muncul di tubuh Eren; matanya seketika berbinar dan dengan antusias, ekor imajinernya melambai dengan cepat "A-apa? Aku akan melakukan apapun!"

Dan—tepat di sasaran. Petra tersenyum penuh kemenangan di dalam hati; oh, mantranya memang tak pernah gagal.

"—Tolong dekati Rivaille, jadilah teman terbaiknya. Agar ketika pertunangan kami putus nanti, kau ada untuk menghiburnya. Agar ia menjadi lebih semangat. Ya?"

Dan, ketahuilah..

"Aku mengerti, Petra-senpai! Serahkan saja padaku! Aku akan lakukan yang terbaik untuk menghiburnya!"

...Ada makna lain dari 'teman baik' di dalam kamus kehidupan Petra.

"Sungguh? Selamat berjuang kalau begitu, Eren! aku akan menepati janji ketika tugasmu selesai. Terima kasih banyak!"

Eren mengangguk antusias—ia tak akan gagal, misi kali ini lebih mudah; ia pasti bisa melakukannya dengan cepat.

.

.

Sementara Rivaille dari balik rak buku—semenjak tadi sebenarnya sudah mendengarkan percakapan Eren dan Petra di balik sana. Rivaille memijit dahinya seraya menghela nafas; ia bergumam dengan suaranya yang dalam,

"—Sejak kapan aku jadi tunanganmu, Petra?"

.

Ya, jadilah temannya yang terbaik

...Dan layani setiap keinginannya dengan baik.

Itulah mantra yang Petra berikan saat itu.

.

.

.

To be continued

.

.

A/N:

Karena fanfic yang awalnya oneshot ini akan terlalu panjang jika dilanjutkan..

Mungkin akan terbagi jadi dua atau tiga chapter. Dan akan update kilat berhubung idenya sudah ada (iya ini kan oneshot awalnya huehue). Maaf buat yang menunggu recon host club dan unhappy refrain untuk update, akan segera saya update secepatnya... :"D

Semoga suka dengan fanfic ini!

With Love,

Nacchan Sakura.