I'm Not a Monster

Mei Anna's Fanfiction

Disclaimer: Kalau punya saya mah bukannya pada latihan serta jalanin misi tapi pada pacaran dan bergalau ria ;D

Summary: Ia tidak terlalu peduli dengan kehidupan yang bukan urusannya, tapi Hyuuga Hinata selalu menerobosnya tanpa sadar apa yang Hyuuga itu lewati. Kini ia harus mengawasinya. "Si-siapa kau?" / "Kau bisa tutup mulutmu agar kau tetap hidup," bisiknya.

Inspired: BigBang - Monster

AU | Typos-maybe | Fantasy | OOC | Etc

'...' : Seseorang yang berbicara dipikiran Hinata.

Italic: Batin.

.◊.

Hyuuga Hinata tahu apa yang aneh darinya.

Mereka bertemu di rumah sakit tua yang di sampingnya adalah rumah sakit baru hasil pemugaran beberapa bangunan yang terpisah dari rumah sakit tua di sampingnya, dimana tahun 1945 diputuskan untuk tidak menggunakan rumah sakit Konoha yang tua itu lagi. Pada tahun 1995 sudah kembali digunakan tapi hanya sebagiannya saja yang terpisah dan lainnya dibiarkan begitu saja.

Di tahun 2012 ini sisa bangunan rumah sakit tua Konoha yang tidak digunakan akan dibumi ratakan dengan mesin berat. Dan di sanalah mereka bertemu. Gadis itu berteriak padanya saat ia melangkah dan memasuki bangunan tua yang setengah jam lagi akan dihancurkan.

Ia memijaki lantai demi lantai yang kusam dan tertumpuk debu. Lorong yang ia lewati begitu suram seakan meneriakan kesedihan, apalagi tirai-tirai jendela yang harusnya berwarna putih sekarang sudah rapuh dan berwarna kuning kusam juga robek tidak karuan. Dinding masih putih dan penuh bercak tanah yang entah darimana. Tujuannya adalah lantai 5 yang dulu adalah lantai khusus bersalin ibu dan anak. Kakinya melangkah dan mengisi kekosongan lorong yang telah lama diam.

Sepatu kulit hitamnya yang berkilau itu berhenti di depan ruangan yang daun pintunya sudah setengah hancur. Kamar khusus penginkubatoran bayi dulunya dan sekarang hanya ruangan tua nan lusuh yang berisi alat-alat rongsokan ketinggalan zaman.

Ia melangkah lebih dalam dan berhenti pada titik tengah ruangan itu, pada sebuah box bayi yang sudah tidak dapat dikenali kalau kau tidak pernah ketempat itu sebelumnya. Dan ia mengelus sisi box itu sebelum menyadari kehadiran seseorang dua meter di depannya dengan mata yang menyeringai, mengalahi heina lapar dan berpakaian lengkap dengan mantel hitam serta kerahnya yang panjang sampai menutupi sebagian wajahnya. Tak lupa sebuah topi koboi berwarna coklat kehitaman.

"Hanya kelahiran manusia yang ingat kembali pada titik awal. Ne, benar 'kan?"

Ia mengacuhkan keberadaan itu dan mempengaruhi kakinya untuk berjalan ke sisi lain ruangan—sebuah basa-basi menghabiskan waktu sebelum pertikaian hadir bila keadaan mulai tidak kondusif. Ia memungut papan nama dari jalannya, sebuah nama kecil yang baru-baru ia ketahui kalau itu adalah namanya—Sasuke, Uchiha Sasuke. Ia tidak tahu apa Uchiha adalah nama keluarga Ayah atau Ibunya, yang pasti salah satu dari mereka berusaha menyingkirkannya, seperti orang dihadapannya ini. Si Pemenggal—Algojo dunia bawah.

"Kau harus berbaik hati untuk meringankan dosamu, Sasuke."

Orang itu tahu nama kecilnya dan berarti memang benar adanya, "Dosaku pada siapa? Ayah? Ibu?" katanya masih diketenangan yang diam-diam dapat membunuh siapapun.

Si Pemenggal itu terkekeh pelan lalu mengikuti jejaknya untuk melangkah mengitari ruangan, "Ternyata kau cukup pintar untuk menebaknya, tapi aku lebih suka kau mengira-ngira sampai akhir hayatmu—

TRINGG!

Terdengar seperti adu antara pedang, tapi salah. Hanya Si Pemenggal dengan pedang pajang berwarna hitam dan bersilau saat terpantul sinar, sedangkan Sasuke menahan dengan tangan kirinya begitu cepat kala orang itu menyerangnya dalam satu kedipan mata. Ia mengerut dahinya heran.

"Kau harusnya tidak terkejut, Bocah."

Tiba-tiba ia seperti mendapat tekanan yang sangat berat di tangannya. Kakinya yang sudah terpaku dilantai perlahan mundur akibat dorongan kuat ditangannya dan perlahan-lahan suara 'Krak' makin kentara di bawah kakinya—"Pilihanmu!"

KRAKK!

Pijakannya hilang menjadi bongkahan reruntuhan dan ia terus terdorong dengan orang itu mencoba membunuhnya. Orang itu mendorongnya sampai bahunya menembus dan menghancurkan dua lantai sampai berkeping-keping. Ia ditentang bertubi-tubi pada bagian perut saat lengah tapi tendangan terakhir orang itu berhasil ia tahan dengan kedua tangannya dan hanya membuahkan dirinya terpental jauh kebelakang. Ia berhasil mengendalikan dengan terhenti pada dinding yang menjadi pijakannya. Ia berdiri horisontal pada dinding dan mendongak untuk menatap orang dikejauhan sana.

"Hei!" panggil Si Pemenggal itu dari kejauhan. "Kuberi pilihan lagi, bagaimana? Aku yang menyerangmu duluan atau kau ingin menyerangku duluan?"

Ia tidak menanggapi dan menoleh pada jendela di sampingnya saat traktor yang bersiap menghancurkan rumah sakit itu bersiap. Masih ada lima menit lagi. Ia menatap jendela yang kacanya masih utuh—samar refleksi dirinya terlihat di sana. Entah sejak kapan kulitnya berubah menjadi abu-abu dan matanya sehitam tembaga dengan pupil berwarna kuning dalam cermin itu, tapi kulit tangannya masih berwarna terang—Bagaimana bisa?

"Baiklah—

Ia segera mendongak dan mendapati orang itu melesat bagai angin kearahnya—ia dapat melihatnya dan segera menghindar dengan melompat di udara. Ia ada di atas orang itu yang belum sadar ia sudah berpindah di belakang Si Pemenggal itu. Detik berikutnya ia segera berlari dengan kekuatan yang entah dapat darimana dan orang itu meneriaki namanya—mengejeknya karena ia penakut.

Ia tidak peduli.

Ia akan segera meninggalkan rumah sakit itu, tapi ia dihadapkan dengan masalah lagi. Gadis yang tadi meneriakinya sedang ada di depannya. Dengan peluh dan debu memenuhi wajah gadis yang mulai ketakuatan itu. Gadis itu bergetar melihatnya—Apa ia sudah berubah wujudnya?

Lalu perasaannya tidak enak. Ia menoleh kebelakang, sadar Si Pemenggal itu akan menyusulnya. Bila ia tidak meninggalkan tempat itu secepatnya, maka sulit untuk menghindari Si Pemenggal.

"Si-siapa kau?"

"Kau bisa tutup mulutmu agar tetap hidup." Segera ia menarik gadis berambut panjang dengan warna aneh itu bersamanya.

Mereka berlarian turun melalui tangga darurat yang telah rapuh dari lantai tiga menuju lantai dua. Berlarian dilorong dan terhenti saat sepuluh meter dihadapan mereka sudah ada Si Pemenggal, berjalan perlahan kearah mereka dengan pedang hitam itu terseret dilantai yang menghasilkan sayatan memanjang sepanjang Si Pemenggal itu berjalan.

Ia mengeratkan pegangannya pada gadis itu.

"Ia akan sangat kecewa kau melarikan diri dariku, Sasuke."

Sasuke memandang orang itu tanpa emosi. Ia sedang berpikir bagaimana caranya keluar dari tempat itu bersama gadis di sampingnya ini. Pilihannya adalah berbalik atau—

BOMM!

Dinding dan lantai gedung itu menjadi runtuhan serta pandangan menjadi kabur oleh debu, sepertinya penghancuran gedung telah dimulai. Ia segera menarik pinggang gadis itu untuk ia bawa dengan kedua tangannya. Berapa menit atau detik yang ia punya? Ia pun bersyukur Si Pemenggal itu menghilang dibalik reruntuhan yang berjatuhan menimpah mereka.

Ia segera melompati bebatuan dinding yang runtuh dari atas untuk mencari cela terbuka. Beban ditangannya makin berat saat gadis itu pingsan, ia harus mengeluarkan ekstra kekuatannya. Memikirkan itu pundaknya jadi gatal dan saat suara kedua yang lebih besar akibat penghancuran gedung rumah sakit itu, suara jeritannya menggelegar—"AAAAAAKHH!"

.◊.

"Aku sudah sangat berbaik hati, oke. Kalian ini memang muridku yang paling menyebalkan tapi kuakui kalian rajin," ironi katanya. Anko-sensei bila kau bertanya siapa, guru Olahraga sekaligus wali kelas 11-2, yang paling blak-blakan dan menganggap anak didiknya adalah hanya gangguan yang enak untuk dipermainkan.

"Hei-hei, kau! Ya, Inu-Anjing-zuka, aku memanggilmu!"

Yang dipanggil itu sebenarnya bernama Inuzuka Kiba. Ya, penyayang anjing yang kesal sekali bila namanya jadi ejekan. Kiba berdecak lalu menyenggol teman sebangkunya yang sedang melamun saja sedangkan Kiba langsung berdiri dan malas-malasan menghampiri wali kelas mereka.

Teman sebangku Kiba atau si pemilik rambut panjang dengan warna aneh serta matanya yang juga bisa dikatakan unik itu—Hinata, Hyuuga Hinata—mengalihkan pandangannya dari luar jendela dan melihat ke depan kelas saat Kiba yang sepertinya sedang dipermainkan wali kelas mereka yang sekarang memukul kepala Kiba dengan buku saat Kiba menjawab sesuatu dengan salah. Kasian juga.

Tapi tiba-tiba perasaannya berubah aneh. Hatinya bergetar tanpa ia tahu, seperti mimpi-mimpi selama tiga hari ini. Bila ia ingat, tiga hari lalu memang ia jatuh pingsan dan ditemukan di sebuah ruang inap dimana itu adalah bekas kakaknya dirawat sebelum Tuhan memanggilnya. Kakaknya meninggal dini hari di Rumah Sakit Konoha II tiga hari yang lalu saat ia ditemukan pingsan.

Bicara tentang mimpi itu, ia selalu dihantui rasa takut dengan sebuah mata hitam yang pupilnya seperti bersinar dalam kegelapan dan mengawasinya. Rasa takutnya pada malam juga makin kuat, karena ia merasa bila ia keluar saat larut maka seseorang akan menemuinya. Menenggelamkan ia dalam kegelapan pekat saat akhir dan jeritan yang tidak pernah ia lupakan—ZZET!

'Lupakan saja.'

Apa? Siapa yang berbicara?

Hinata tolah-toleh seperti orang kebingung, tapi tidak ada orang disamping—karena Kiba ada di depan kelas—atau di belakangnya—karena ia duduk dikursi paling belakang—yang berbisik padanya. Mungkin imajinasinya saja, tapi kepalanya tiba-tiba pusing dan ia ingin ke ruang kesehatan. Ia segera berdiri hingga kursinya berderit dan bersamaan dengan itu pintu kelasnya bergeser.

"Anko-sensei, maaf mengganggumu."

"Hah ... tidak masalah sih," Anko-sensei lalu memerintahkan Kiba—dengan seenaknya—untuk duduk kembali. "Ada apa, Kakashi?"

Hinata kembali duduk setelah Kiba kembali ke sampingnya. Kiba berbisik padanya, "Aku tidak sabar tahun ajaran baru." Hinata tersenyum prihatin.

"Hah?" Anko-sensei bergaya tidak mengerti atas perkataan guru Biologi, Kakashi. Dalam hati, Kakasih mengutuk guru olahraga yang seksi itu.

"Kepala Sekolah bertanya, apa kelasmu punya bangku kosong?"

"Heh, kalau kalian bertanya tentu aku jawab tidak. Aku saja sudah repot dengan anak-anak ini. Mereka begitu nakal, lihat?—Hei, jangan hanya menonton! Kerjakan PR kalian! Aku dibayar bukannya untuk mengabiskan suaraku!—Pergilah Kakashi!"

Siswa-siswi kelas itu agak mengeluh dengan sikap otoriter Anko-sensei. Lagipula kenapa pelajaran olahraga tapi menulis esai? Tentu mereka tidak mengerjakannya karena tidak mengerti. Yang pasti Anko-sensei menyebalkan!

Tapi Kakashi-sensei juga keras kepala—belum pernah lihat saja dia bagaimana Anko-sensei ngamuk—dan masih berdiri diambang pintu, "Dia murid yang pintar—jenius dan namanya sudah terdaftar dalam calon mahasiswa Harvard dan Tokyo Daigaku."

Semua terdiam dan menyimak baik-baik apa yang akan keluar lagi dari mulut Kakashi-sensei selanjutnya, termaksud Hinata. Bertanya-tanya siapa murid yang pintar itu.

Kenapa ingin masuk ke sekolah yang tidak terlalu besar dan jarang berprestasi ini? Tunggu, mungkin namanya pernah terpampang disuatu majalah, Hinata akan mengingat-ingat. Lalu pikirannya buyar digantikan kebingungan luar biasa saat Anko-sensei tertawa—mengejek.

"HAHA ... Kau kira aku bodoh, Kakashi! Br*ngs*k! Kalau benar begitu, mana mungkin kau, wali kelas dari kelas unggulan, menyerahkan bibit unggulan seperti itu! Kalau mau bohong, jangan terlalu idi*t, Kakashi. Ckck...!"

Benar juga. Tidak masuk akal.

"Terserah." Kakashi sensei berbalik dan menutup pintu, mungkin itu akhir perjuangannya untuk membujuk Anko-sensei. Atau karena kesabarannya tiba-tiba habis?

"Jangan bengong! Cepat kerjakan!"

.◊.

"Aku beritahu satu hal, Anko-sensei lebih me-nye-bal-kan dari neko," neko atau kucing. Mana pernah anjing dan kuncing saling menyukai? Kiba ini ada-ada saja, Hinata jadi tersenyum geli.

"Jangan tertawa!"

"Ma-maaf," Hinata kembali menyantap isi kotak bentonya. Ini jam makan siang dan kebanyakan siswa-siswi Kono-Gakuen menghabiskan waktu di sana, ada pilihan alternatif sih; atap sekolah, halaman belakang sekolah dan kursi penonton di auditorium. Tapi pilihan alternatif itu hanya digunakan oleh siswa-siswi berstatus Tidak Single lagi alias punya pasangan—pacarlah.

"Heh ... dari mana kau, Shino?"

Satu lagi yang mereka tunggu, Aburame Shino, salah satu teman dekat Hinata saat mereka bertemu di hari pertama sekolah. Shino ada dikelas 11-1, yah ... pintar bila kau ingin tahu. Terlebih dari pintarnya itu, Shino juga dikenal misterius, tapi bagi mereka yang sudah bersahabat, itu adalah sikap pemalu—Aneh? Jangan tanya!

Hinata mendongak dan menoleh karena Shino berdiri di belakangnya, ia biasa menyapa dengan senyum terlebih dahulu, "Hai, Shino..."

Shino biasa bergumam tidak jelas lalu mengambil tempat di samping Kiba yang berlawanan duduknya dengan Hinata, padahal itu harus berputar dan lebih dekat tempat di samping Hinata. Inilah yang ia maksud pemalu, Shino selalu menghindari duduk dengan gadis-gadis. Ia tidak berpikir Shino punya kelainan, mungkin Shino menghargainnya sebagai gadis.

"Hei, apa dikelasmu ada anak baru?" nampaknya Kiba masih penasaran.

"Ya. Kenapa?"

"Berarti Kakashi-sensei tidak mengada-ngada, Hinata!"

Tiba-tiba Hinata tersedak dan—"Minumlah!" dua orang dihadapnnya itu mengulurkan sekotak jus. Dia bingung dan Shino menarik tangannya kembali hingga pilihan Hinata hanya ada jus kotak Kiba. Ia segera meredakan napasnya yang tersumbat.

"Terima kasih."

"Kupikir Anko-sensei hanya sensi karena selama ini Kakashi-sensei mendapatkan penghargaan sebagai wali kelas terbaik, yah harus kuakui juga sih Kakashi-sensei payah juga dalam kehadiran, tapi Kakashi-sensei baik pada muridnya."

'Pergilah dari tempat itu!'

Hinata mengedipkan matanya beberapa kali dengan perasaan aneh itu lagi. Hatinya berdebar-debar saat bisikan itu terdengar lagi—'Cepat!' seperti sebuah peringatan. Segera ia berdiri, "Ma-maaf, aku lupa meninggalkan sesuatu di toilet."

Tanpa menunggu jawaban sahabat-sahabatnya, dia bangkit dan berjalan cepat menuju pintu keluar kantin, tapi sialnya ia menabrak seseorang karena menunduk—"Maaf!"

"Ternyata kau disini."

Dan Hinata tahu, pilihan untuk menatap orang yang ditabraknya adalah salah. Ia termakan dengan mimpi-mimpi menakutkannya tentang sesuatu yang gelap—mata yang gelap, rambut yang gelap dan siapa orang itu? Mereka pernah bertemu sebelumnya? Suaranya...

Orang itu menyentuh rahangnya dengan jemari pucat dan kasar itu, "Kau terlalu banyak bertanya." Lalu orang itu mendekatkan bibirnya pada terlinga Hinata, "Sudah kukatakan untuk melupakannya saja atau kau akan menyesal." Sebuah ancaman—ancaman yang bukan main-main.

Memang, apa yang akan ia sesali?

.◊.

Saat sore datang dan jam sekolah telah berakhir sepuluh menit yang lalu, Hinata sendirian di kelas yang kosong. Ia masih duduk di kursinya, sedang memikirkan sesuatu. Ya, setelah orang yang mengancamnya itu pergi otaknya mengungkap suatu peristiwa hari dimana kakaknya meninggal. Ini berkaitan dengan kesedihannya yang mendalam, rumah sakit tua yang akan dihancurkan, seorang pria yang nekad masuk ke rumah sakit yang akan dihancurkan, dan mereka yang hampir dibunuh oleh orang misterius saat ia mencoba menolong orang yang mengancamnya.

Dan yang paling menyeramkan adalah wujud orang itu saat pantulannya dicermin—"Monster..." Tapi pikirannya mencela lagi, mungkin hanya imajinasi, tapi benar! Ia melihatnya sendiri bagaimana kulit, rambut dan mata itu—yang membuatnya mimpi buruk selama tiga hari belakangan.

Lalu kenapa orang itu—monster itu mencarinya? Bahkan monster itu sempat masuk ke kepalanya dan berbisik tentang sesuatu yang harus ia lupakan dan jauhi. Pikirannya melayang, seperti pernah bertemu orang itu sebelumnya—bukan saat di rumah sakit tua—lebih jauh dari itu. Mungkin pernah melihatnya disuatu tempat.

Dan ia sudah lelah. Ia harus pulang kerumah sebelum ayahnya pulang atau hari ini akan semakin kacau.

Ia berjalan sendiri dijalanan komplek yang sepi kalau sore datang. Ya, ia takut kegelapan, biasanya ia pulang dengan Neji, kakaknya yang sudah meninggal, dan ia merindukannya untuk selalu melindunginya. Ia menyakini diri dan berjalan cepat digang itu.

Bila ia tidak salah, kakaknya pernah berkata ketakutan datangnya dari diri sendiri, dengan cara terbaik untuk mengalihkannya adalah fokus. Fokus untuk pulang. Fokus agar ia tidak kena marah. Fokus untuk memikirkan perutnya yang tiba-tiba lapar. Fokus untuk—matanya melirik pada tanah lapang di sebelah kirinya yang akan segera dibangun gedung apartemen—sial! Fokus, Hinata! Fokus!

Srekk ... srek...

Samar sesuatu yang terseret di belakangnya dan tanpa aba-aba ia berlari dengan kaki gemetar lalu bersembunyi dibalik tempat sampah yang besar. Benar, memang ada sesuatu dijalannya tadi, seseorang berbadan besar dengan wajah penuh jenggot sedang morokok itu menyeret-nyeret sekarung besar ditangan kanan dan memasuki tanah lapang tadi. Hinata berpikir kalau orang itu mungkin salah satu pekerja disana, tapi ia kira ia tidak berhalusinasi saat melihat kareng itu menggeliat.

Untuk apa seorang tukang bangunan membawa sesuatu yang hidup? Seseorang kah didalam sana? Apa ini tindakan kriminal? Penculikan? Atau lebih parah lagi ... pembunuhan?

Hinata segera bangkit sambil menggeleng dan tersenyum miris. Ia tidak cocok dengan hal-hal seperti ini. Ia hanya perempuan, bahkan takut gelap dan hari sudah mulai gelap. Bersikap sok dektektif atau pahlawan kesorean bukan gayanya. Ia tahu ia penakut, jadi ia segera pergi dari tempat itu, tapi langkahnya seperti dipaku—

Ba-bagaimana kalau itu benar? Berarti akan ada orang yang mati 'kan? Ia tahu tapi membiarkannya begitu saja?

Menghela napas. Untuk sementara ia akan memeriksa terlebih dahulu, hanya mengintip.

Hinata berbalik dan berjalan teramat pelan agar tidak diketahui orang tadi. Ia mengintip dari balik pagar sederhana yang dibuat dari seng dan kawat. Kalau tidak salah ada anjing penjaga disana, tapi ia tidak melihatnya. Ia melangkah masuk dan berdoa semoga ini benar—Aku hanya ingin memastikan.

Tanah lapang itu tidak benar-benar lapang, sudah ada beberapa alat berat juga bahan-bahan bangunan yang sebentar lagi akan dipakai. Ia lihat orang itu berjalan menuju sebuah tenda besar berwarna oranye masih dengan sesuatu yang menggeliat dalam karung itu. Tapi bukannya masuk kedalam tenda itu, orang bertubuh besar itu melangkah kebalik tenda besar hingga ia tidak tahu apa yang dilakukannya.

Dengan keberanian yang dipaksakan, ia berjalan perlahan mendekati tenda oranye. Sepertinya tidak ada orang lain selain orang yang ia lihat besarnya seperti beruang madu itu. Tubuh belakangnya menempel pada permukaan luar tenda, ia mencoba agar tidak diketahui. Saat bergerak sedikit untuk mengintip bagian belakang tenda, ia melihat orang itu menjatuhkan karung itu di sana. Tiba-tiba jantungnya berdebar-debar tentang apa yang ada di dalam karung itu. Manusia 'kah? Mayat?

Dan saat orang itu membuka karung itu ternyata hanya seekor rusa hutan yang terluka pada kakinya—hasil buruan. Hinata menghela napas lega, ternyata itu hanya ketakutannya saja. Kalau begitu ia akan pergi dari sana sebelum hari makin gelap dan fokusnya hilang—rumah maksudnya.

Namun kakinya terhenti saat mendengar geraman yang menyeramkan. Kepalanya menoleh begitu saja dan melihat orang yang tadi ia ikuti menggeram kesakitan serta tubuhnya menegang kebelakang dengan wajah mendongak pada langit purnama. Suara yang orang itu hasilkan lebih seperti auman dan selanjutnya—Demi Tuhan!

Orang besar itu berubah dengan tubuh dipenuhi bulu hitam lebat seperti beruang—Bukan! Lebih menakutkan saat sesuatu itu mencabik rusa hutan dihadapannya, mengoyak daging segar itu dengan gigi taringnya dan tidak menyadari bagaimana lengkingan suara rusa disaat ajal menjemput. Itulah yang pernah ia dengar dan baca dibuku sebagai Werewolf—

Dukk

Syok dan ia terjatuh. Mulutnya terbuka dengan kenyataan aneh ini. Hatinya selalu berbisik kalau ini tidak nyata, ini hanya delusi—Bagaimana dengan orang yang menolongnya? Orang itu juga terasa tidak nyata. Dan ini—

Serigala besar itu menyadari kehadirannya, menatapnya dengan mata kuning bersinar. Kakinya lemas dan tidak bisa bangun saat monster berbulu itu menggeram tertahan—Apa ia akan mati?

Ia lihat serigala hitam itu mendekat lalu saat ia berkedip, entah sejak kapan serigala itu sudah melompat padanya—akan menerkamnya—dan yang bisa ia lakukan hanya memejamkan mata. Ia masih ingin hidup. Ia ingin hidup!

Tolong aku!

Sedetik dua detik, rasa sakit tidak kunjung datang. Apa penyikasaan memang terasa lama prosesnya? Atau—

Aku ... belum mati?

Segera ia membuka mata dan melihat serigala hitam itu tergeletak ditanah dengan kesulitan lalu perlahan berubah lah sosok itu jadi anjing Siberian Husky yang kalau tidak salah anjing penjaga tanah lapang itu. Tak lama sosok anjing itu berubah lagi menjadi manusia yang tadi ia lihat.

"Kau tahu apa saja makananmu, Asuma."—Orang yang mengancamnya!

Sejak kapan orang yang menolongnya, mengancamnya, teman satu sekolah dan sekarang menolongnya lagi itu datang?

"Dia harusnya menjaga batasan-batasan. Ini wilayahku," kata Asuma, serigala yang sudah menjadi manusia, dengan santai dan menepuk-nepuk bajunya yang berdebu kena tanah.

"Tenang. Aku pastikan dia tidak akan mengganggumu lagi."

Mengganggu?

"Terserah. Bisa kalian pergi? Aku ada urusan." Ya. Ternyata ia mengganggu makan malam Asuma.

Orang yang menolongnya itu segera meraih lengannya lalu menariknya kasar keluar dari tempat itu.

Selama diperjalanan, orang itu mendiaminya, tangan itu mencengkramnya dan rasanya hangat—mendekati panas mie yang baru keluar dari microwave. Itu agak menyakitkan, "Se-sebenarnya aku ingin tahu. Kau itu siapa?"

Orang itu segera menghadapnya mendadak hingga ia menabrak dada orang itu. Ia memerah malu dan mundur perlahan sambil meminta maaf. Tapi sepertinya orang itu terlalu peduli, "Aku menyuruhmu untuk melupakan apa yang kau pernah alami tiga hari yang lalu."

Jadi dia yang masuk dan berbisik di kepalanya. Bagaimana bisa?

"Kau tidak tahu apa yang kau hadapi saat kau melihat wujud asliku."

"A-apa?"

"Aku akan mengawasimu, Hyuuga."

Matanya tiba-tiba membelalak saat orang itu menarik kerah seragam sekolahnya hingga mereka sangat dekat. Hidung mereka hampir bersentuhan, bahkan napas orang itu terasa olehnya saat orang itu berkata padanya, "Jangan-mengatakan-apapun-yang-pernah-kau-lihat-pa da-siapapun!"

Ia hanya bisa mengangguk bisu bagai burung hantu yang menyingsing pagi.

To be Continued...

Sedikit Info (kayak berita aja):

Sasuke: Anak iblis, tapi belum diketahui jenisnya apa. Ia masih beranggapan kalau ia adalah anak dari orang yang membayar Si Pemenggal. Mungkin orang tuanya tidak ingin ia hidup. Umur belum diketahui tapi wajahnya seperti pria berumur 17 tahun. Ada yang bisa menebak berapa umurnya? Aku udah kasih clue, lho. :D

Hinata: Masih bersekolah di SMU kelas 11. Umurnya 16 tahun. Manusia biasa (mungkin). Pikirannya kadang dimasuki Sasuke. Penakut tapi terlalu ingin tahu apalagi yang menyangkut kehidupan. Ia menyadari wujud Sasuke saat terpantul dicermin.

Si Pemenggal: berpenampilan kayak TOP BigBang di MV Monster—ganteng pisaaan XDD *fangirling* *Plak*. Dia juga berkata pada Sasuke tentang 'Kembali ke titik awal' yang artinya tempat kelahiran. Siapa dia akan terungkap di Chapter-chapter berikutnya.

Asuma: Yap. Dia werewolf atau yang selama ini dianggap anjing penjaga dilahan itu.

Maaf ya jadi nge-spam mulu di FNI dan pair kesayangan aku ini dengan fic-fic gaje Mei :")

Terima Kasih mau baca. Aku perlu tahu ini layak apa engga untuk dilanjutkan, jadi jangan langsung pergi ya. Review, oke? :)