Dia bukan jual mahal dengan menolak semua kaum hawa yang melemparinya surat cinta. Ya, benar. Dia bukan pembohong kok. Dia benar-benar dilempari surat cinta.
Yah, seandainya mereka memberikannya dengan pose malu-malu, pasti seorang bertopi hitam-emas itu tidak akan menolaknya. Dia juga laki-laki, masih punya perasaan.
Seketika muncul latar blink-blink penuh percaya diri.
"Haaah...," ia menghela nafas. Kakinya mulai begerak menuju kost-nya. Agak jauh memang. Sekitar 1 km. Biasanya ia akan dijemput oleh teman karibnya, namun apalah daya. Temannya itu sedang sibuk PDKT dengan gadis bertudung merah jambu yang manisnya tak perlu dipertanyakan.
Tapi tolong, ia tak tahan.
"Apa aku minta dijemput Taufan aja ya?" entah itu ditujukan kepada siapa. Ia langsung mengeluarkan handphone-nya, mencari kontak dengan nama 'Pembawa Bencana' dan menelponnya.
"Halo?" –Taufan.
"Fan, jemput aku."
"Eh, tapi—"
"Ya sudah, itu berarti kau makan pakai mie instan."
"Serius deh. Aku sibuk."
Gempa, si pemuda yang menjadi korban pelemparan surat cinta, menyatukan alis. "Sejak kapan kau sibuk?"
"Sejak aku sadar kalau kunci motorku hilang."
Sebuah tepukan dari belakang mendarat mulus di pundak Gempa. Ia segera menoleh.
Itu Taufan dengan tatapan 'ayo-bantu-aku-mencari-kunci-atau-kita-terpaksa-pulang-jalan-kaki'.
.
.
.
Sebab dan Akibat
Disclaimer : chara(s) ©Monsta, alur cerita gak semuanya milikku, dan fic ini terinspirasi dari fic di fandom AssaClass.
Genre : Humor, Parody (maybe?)
Warn : typo(s), OOC, semua karakter disini udah pada kuliah, alur ngebingungin.
` RnR `
.
.
.
Halilintar jongkok tidak elit di depan pintu. Apalah ini udah sore tapi Gempa tak kunjung pulang. Kunci kost ada di Gempa dan sialnya sejak pagi Halilintar belum memakan apapun.
Niatnya sih mau minta kunci cadangan ke ibu kost. Sayangnya penampilan Halilintar yang tidak rapi ini pasti akan membuat sang ibu kost naik darah.
Maklumlah, penderita OCD.
Lalu niat keduanya ialah makan di warteg terdekat. Namun isi dompet tidak mendungkung. Terkutuklah tanggal tua. Belum lagi orangtuanya yang ngambek dan hanya mau mengirimi uang dengan jumlah yang dipotong setengahnya. Bukan pelit atau apa dan Halilintar malah jadi flashback mengingat alasannya.
("Itu salah kamu sendiri! Uang buat bayar kost dan kuliah malah dipakai buat godain anak orang."
"Mak, bukan godain mak." –Halilintar.
"Ya, terserah! Intinya, dia godain kamu dan kamu bales 'godain' dia sampe dia masuk rumah sakit!"
"Atuh maaf mak," Halilintar menyesal dengan tidak niat.
"Uang kamu sekarang dipakai buat biaya perawatan dia dan mulai sekarang kamu hanya akan dikirimi uang untuk kost, kuliah, makan sehari sekali! Tidak lebih!"
"Eh, mak—"
—Tut. Telepon diputus. )
Untung saja Halilintar itu anak tahan cobaan. Mau nyari tisu dan nangis, ia malah dapat baju Taufan yang semerbak baunya.
Halilintar langsung pengen muntah membayangkannya.
"Halo, Hali!"
Senyum, pemuda dengan jaket merah itu menoleh. "Gempa?"
"Ah, maaf. Kelamaan ya?" Gempa turun dari motor dan segera membuka kunci pintu.
Taufan memakirkan motornya. "Jangan tanya kenapa."
"Pasti kunci hilang lagi ya," Halilintar berdiri, kalau ia jongkok terus, imej anak kerennya akan menguap ditelan langit.
Gempa tertawa kecut. "Hahaha...," pintu terbuka. "Sudahlah, ayo kita masuk."
-: Sebab dan Akibat :-
"Betewe of betewe, Hali, bajumu kenapa basah gitu? Tumben amat," Taufan yang lagi sibuk nonton tv sambil menikmati makan malam yang dibuat Gempa langsung melirik.
Halilintar baru selesai mandi kala ditanya. "Hm?"
"Jangan bilang kalau kau jadi korban bully para senior kita," kebiasaan Taufan, asal nyeplos, tak tahu apa yang akan menimpanya.
"HAH?! HALI JADI KORBAN BULLY?!" Gempa yang tidak muncul dari awal pembicaraan malah salah tangkap. Buru-buru ia melirik matahari yang baru saja terbenam. "MATAHARI MASIH TERBENAM DI BARAT LHO."
Ini apaan.
Berdecak. "Kematian kalian kupercepat dua kali lipat."
Gempa gagal paham. Taufan lari menyelamatkan diri, mengelilingi ruangan dengan mangkuk nasi masih di tangan sementara Halilintar sudah memegang tongkat baseball. Lalu berakhir dengan Taufan yang menyembah alias memohon ampun kepada Halilintar.
"Jadi kenapa kau bisa kayak gitu?" agak takut, tapi Taufan memilih bertanya. Ia terlalu penasaran.
"Di-bully senior."
"EBUSET—"
Taufan melongo di tempat. Gempa seketika memuja Taufan.
"Kau memang pencenayang," ucap Gempa.
Maunya sih tertawa sambil mencubiti Halilintar, Taufan lebih memutuskan menahan diri. "Emangnya kau ngapain? Ngerebut gebetan senior?"
"Ya kali. Si Ying itu lho, yang pakai kacamata heri puter."
"Eh—"
"Fell like pencenayang-sta!" Taufan langsung memakai kacamata hitam dan berpose penuh percaya diri.
Gempa masuk pembicaraan. "Salah baca tuh, Hali," salah fokus.
"Peduli amat," Halilintar menyantap makan malam.
Taufan yang sudah selesai makan berjalan pelan dan menaruh piring kotor tidak pada tempatnya, toh nanti Gempa yang akan mencucikannya.
"Aku tidur duluan ya, piringnya kalian cuci sendiri. Besok aku ada kelas sama guru killer," ucap Gempa cepat sebelum melesat masuk ke kamarnya. Tersisalah Taufan dan Halilintar.
"Oi, babu," Halilintar menyodorkan piringnya yang sudah kosong. "Cucikan."
"Sialan, aku bukan pembantumu!" Taufan cuek dan mencuci piringnya sendiri.
Seringai dipasang. "Yakin? Oke, terserah. Jadi, wassalam saja buat Yaya—"
"IYA SINI AKU YANG CUCI PIRINGNYA!"
Setelah selesai mencuci, Halilintar dan Taufan bersantai ria sembari menonton televisi. Sebenarnya besok mereka juga ada kelas pagi, tapi ah bodo amat.
Yang penting sekarang heppi dulu, jangan pikirin yang lain.
"Nyengir mulu, mikirin apa?" pemuda beriris merah angkat suara. Dia risih.
Siapa coba yang tidak risih kalau duduk bersama dengan orang yang menyengir-nyengir aneh? Halilintar sih iya.
"Mikirin kamu."
Halilintar kicep.
"Ya nggak mungkin lah!" Taufan teriak histeris. "Lagi mikirin nasib hubunganku sama Yaya."
Oh.
"Tau nggak? Kemarin Yaya dijemput sama cowok yang kayaknya lebih muda dari dia. Ganteng pula."
Taufan seketika memeluk bantal sofa, menjerit histeris dan menangis mendramatisir. "S-s-s-s-serius?! Kamu nggak bohong kan?"
"Nggak kok, sumpah."
Pada titik ini Taufan sudah menggigiti bantal sofa sampai sobek sedikit.
"Ii-ii-itu siapa?! Ma-ma-maksudku, orang itu siapanya Yaya?!"
"Ya, makanya aku langsung nanya."
Terkadang Taufan berpikir kalau Halilintar itu perhatian kepada sobat karibnya. Tetapi tertutupi dengan sifat sulit ditebaknya. Hadeh.
"Te-te-te-terus?!" Taufan kembali menggigiti bantal.
Halilintar menatap horror. Mampus. Busa bantalnya mulai keluar. Gimana bayar ganti ruginya? Ogah deh. Wong itu bukan salah Halilintar kok.
"Ternyata itu—"
Pemuda tanpa topi namun berkaus biru terang dengan beraninya langsung menyobek bantal itu, menyebabkan semua busanya keluar.
"—adiknya."
Hening.
"SIALAN AH! UDAH TAKUT NIH! AAAARGH—" Taufan meraung-raung dengan latar monster yang ingin mencabik-cabik mangsanya.
Halilintar cuek. "Tuh. Lihat. Bantalnya sobek. Pasti ibu kost bakalan ngamuk."
"Eh?! SERIUSAN?!"
Ya, Halilintar serius kok.
"Mampus."
Taufan menggaruk-garuk lantai frustasi.
FIN (but not FIN)
A/N : Yo, aku author lumutan disini. Pernah punya akun FFn, tapi ah sudahlah. Aku gak mau teringat sama akun itu. Dan heyy, ini ff pertamaku di akun ini~ Semoga suka ya.
Dan ini fic kayaknya masih berlanjut deh.
After read the story, mind to review?
