Sakata Gintoki menggulirkan iris merah darah. Di sana, pemuda bersurai sepekat jelaga dan iris sewarna padang rumput melangkah. Meniti jalannya nihil ragu, dengan arah pandang telak yang berani; membara, namun juga mendung, persis sulang.

Susah juga, ya.

Apa yang selanjutnya bola mata darah itu tangkap dalam visualnya ialah kontur suasana yang mendadak cerah di sekitar Takasugi Shinsuke. Asal masalah sederhana; Kawakami Bansai datang dan membikin segalanya berbeda.

Gintoki mengusap tengkuk, berjalan menjauh.


Gintama © Hideaki Sorachi

Warning! Teacher!Hijikata Toshiro x student!Sakata Gintoki, slight Okita SougoxKagura, AU! school life, lemon, friendship, family, romance, drama, OOC, typo(s), EyD semoga betul seluruhnya, rate mature (18+), dan lain-lain. Penjelasan lebih lanjut ada pada author note di akhir.

A Year by Saaraa


"Baru meninggal, kan? Kasihan, ya."

"Tapi Hijikata-sensei tampak biasa saja, tuh. Apa dia tidak sedih?"

"Bodoh! Itu namanya profesional. Lagipula, ia seorang guru, kan. Mana mungkin membuat murid-muridnya mengkhawatirkan dia."

Satu gerakan tegas yang lahirkan bunyi derak akibat geseran pintu membungkam suara mana pun. Ocehan yang lebih serupa dengan raungan katak di bawah hujan itu akhirnya retas; tak lagi berkeliaran tak tahu diri di udara. Hijikata Toshiro menghela napas pendek sebelum menutup pintu dan langkahnya membawa pada meja guru.

"Kumpulkan makalah biologi kalian. Ketua kelas, taruh berdasarkan urutan absen."

Ketua kelas yang dimaksud bangkit dari kursi. Suasana menjelma hening dan kebisuan merasuk hingga pangkal tenggorokan. Setelah berkas-berkas dikumpulkan, sebuah suara mendeklarasikan sesuatu yang aktual dan sudah biasa didengar, "Hijikata-sensei, Sakata belum mengerjakan tugasnya."

Gintoki mengangkat wajah. Toshiro mendelik. Daripada intimidasi, itu lebih dapat dikatakan sebagai rasa lelah yang tak ada pangkal dan ujungnya, bila menyangkut muridnya yang satu ini.

"Enak tidurnya, eh, Sakata-kun?"

Kuapan diloloskan. Tentu saja sengaja. Manifestasi akan rasa jengah, disebabkan hanya oleh omelan guru biologinya.

"Pulang sekolah ke ruanganku. Kalau kau kabur, akan kupanggil adikmu."

Gintoki mendecak lidah. Ia tidak ingin melibatkan Kagura.

Menyebalkan.

"Ha'i, ha'i. Bukankah lebih baik kaucari pacar baru daripada memberiku detensi, Sensei?"

Semua insan dalam ruangan meneguk saliva. Entah berani, bodoh, tak memiliki hati, atau ketiganya, tentu Gintoki dianggap lancang untuk suarakan ejekan semacam itu. Beruntung Okita Sougo adalah adik kelas yang tidak menghuni ruangan ini. Kalau tidak, sang pemuda perak barangkali sisa nama.

Gintoki membatu. Ia sendiri tidak paham mengapa itu lolos dari lidahnya. Masih dengan pelupuk setengah terangkat bagai ikan mati, ia memiliki ekspektasi untuk dilempari kapur papan tulis.

Namun, Toshiro hanya menghela napas dan melanjutkan pelajaran.

.

.

.

Sebab menurut sistematika iklim, cuaca, dan segala yang tunduk padanya, hujan seharusnya turun pada awal bulan Juni. Namun kali ini, di pertengahan Maret, bulir air yang jatuh bebas, membalut siapa pun yang ada di bawah naungan biosfer. Ini terasa amat sendu serta dingin.

Gintoki memusatkan iris darah pada sebuah foto berpigura hitam. Foto gadis bersurai cokelat keruh yang senyumnya manis kelewatan. Bunga dan dupa menjadi latar suasana, begitu pula isak tangis dan raungan yang menyita kebahagiaan.

Lalu, pandangannya beralih pada lelaki bersurai hitam pekat. Wajahnya buruk dengan gurat hitam dan iris samudra yang redup.

Tapi, berbanding terbalik dengan angkasa yang menangis, dia tidak.

Entah kenapa.

.

.

.

"Maaf," ujar Gintoki, setelah dua menit lebih terisolasi dalam sikap geming. "Aku bicara keterlaluan tadi pagi. Aku turut berduka atas meninggalnya Okita-san."

Toshiro menyambit kepala bersurai selembut bulu domba itu dengan buku biologi tebal. "Itte!"

"Sudahlah. Tidak usah kaupikirkan."

Gintoki melirik jari manis lelaki itu. Benda logam kecil yang bersepuh emas masih melingkar di sana.

"Aku tahu makalahmu sudah jadi. Kau hanya tidak mem-print-nya. Berikan aku soft copy-nya, lalu kau boleh pulang."

Gintoki mengangguk. Ia membawa flash disk, bagaimana pun. Toshiro meraih rokoknya dari atas meja berpelitur krem. Dinyalakan geretan dan jilatan apinya menyentuh ujung rokok. Asap keabuan tercipta, mengudara di depan wajah sang perak.

"Sensei," panggil Gintoki.

"Nanda?"

"Err …," Gintoki menautkan alis. Sebetulnya ini bukan perkaranya, lebih-lebih urusannya. Namun ada kompulsi dari sanubarinya untuk tetap suarakan pertanyaan yang mengandung sedikit cipratan kekhawatiran, "Kau baik-baik saja?"

Toshiro menoleh, iris samudra dalam membola. Tidak sangka akan mendapat pertanyaan serupa itu dari muridnya yang paling berandal macam begundal jalan. Toshiro mengeraskan ekspresi. Gintoki paham, meski tidak sejelas tinta di atas kertas putih. Itu adalah cara untuk menyatakan luka tak pegari.

"Pulanglah. Hari sudah sore."

Pada akhirnya, tak ada jawaban diberikan.

.

"Iya, ya, aku ingat!" Sakamoto Tatsuma tergelak, begitu keras. Gintoki sampai-sampai harus menyingkir, hindari kemungkinan gendang telinganya rusak akibat dirisak suara semacam itu. Kotaro Katsura ikut tertawa kecil. "Waktu tahun pertama SMA, kita pergi ke Okinawa, kan? Lalu Gintoki mau beli chinsuko malah terpeleset lidah bilang chinko*!"

"Gya, gya, gya, gya. Berisik, Tatsuma!"

Katsura membuka popsicle yang baru saja dibelinya dari minimarket. Membagi dua popsicle itu, ia menyodorkan setengahnya seraya bertanya, "Siapa yang mau?"

"AKU!"

Sontak, Gintoki dan Tatsuma bersaing demi setangkai camilan beku itu. Untuk kekuatan dan kelincahan Gintoki yang di luar rasionalitas, Tatsuma berakhir tersungkur di tanah. Dengan wajah sengak dan nada hina, Gintoki tertawa. "Rasakan!"

"Pelit! Minggu kemarin, kan, kau sudah dapat, Kintoki!"

"Aku bukan Kintoki, sampah!"

Katsura memijit pelipis. "Kalian kenapa tidak beli sendiri saja, sih? Dasar miskin."

"BERISIK, ZURA!"

"Bukan Zura, tapi Katsura!"

Tatsuma bangun, menepuk-nepuk seragamnya yang ternistai oleh debu dan tanah akibat perbuatan si pemuda perak. Ia merutuk kesal. "Dulu Takasugi saja tidak pelit. Dia suka membelikan yakulk dingin!"

Mendengar nama yang tak asing, lidah Gintoki berhenti mengecap manis dari es itu. Serbuan rasa segar berhenti dirasakan. Mendadak mual, padahal sebelumnya tak pernah sudi untuk berhenti rasakan manis.

"Ya sudah," respon Gintoki, menggerakan tungkai. Berjalan lebih dulu untuk meninggalkan kawan sejak ia masih ingusan itu. "Minta saja sana sama Shitsuke."

"Gintoki …," Katsura memanggil. Namun, tak ada reaksi yang berarti. Senggolan diberikan Katsura pada pemuda bersurai kastanya. "Kenapa kau harus menyinggung dia, sih?"

Tatsuma merengut. Glabella mengkerut bagai kertas yang diremat sekuat maksud dan tenaga. Memorinya menjelajah untuk kejadian sekitar triwulan lalu.

"Sejak Takasugi mendapat pacar, dia jadi jarang pulang bareng kita, ya."

Katsura mendengus. Ia melempar stik es krim pada tong sampah, meski popsicle itu belum sepenuhnya lesap dikonsumsi. Sudahlah, ia tak lagi berselera. Pernyataan Tatsuma retorik, lagipula.

"Wajar saja, bodoh."

.

.

.

Ujung sepatu kets sewarna seragam militer menyentuh batu dan memantulkannya satu hasta ke depan. Gintoki menarik napas, lalu menghelanya lamat-lamat. Ia bosan, sungguh. Liburan musim panas seharusnya identik dengan sorak sorai, sikap tidak waras anak remaja SMA, dan kegiatan tak berbobot yang menghabiskan tenaga tapi timbulkan kebahagiaan.

"Aku pergi bersama Sadis ke makam kakaknya. Mungkin akan pulang malam, karena kami akan jalan setelah itu. Gin-chan cari makan sendiri, oke, aru?"

Lobusnya kembali mereka ulang kalimat adiknya. Mendengar panggilan Sadis dan sang empunya nama di baliknya, ingatan itu bertalian dengan situasi yang baru saja ia alami minggu lalu. Di tengah suasana kelas yang sedikit pengap, kipas elektrik yang megap-megap, dan keheningan yang merasuk mendadak bagai sulap, Gintoki mengucapkan kalimat yang begitu kurang ajar.

"Ha'i, ha'i. Bukankah lebih baik kaucari pacar baru daripada memberiku detensi, Sensei?"

Gintoki sontak meringis, menepuk dahi. Kenapa, coba, aku bisa ngomong begitu?

Padahal, bukan seperti pemuda pemilik netra darah itu tidak pergi melayat ketika Okita Mitsuba dinyatakan habis napasnya. Raga dan fisik yang elok, jelita itu, yang akan bertemu api membara, menjelma abu. Gintoki bahkan masih ingat kata-kata Sougo bahwa kakaknya selalu ingin dikremasi bila meninggal. Bersatu dengan laut. Kembali pada air dan luasnya samudra.

Suara jangkrik mengetuk gendang telinganya. Setelah Gintoki melewati taman kota, lensanya menangkap sesuatu. Tiga manusia yang tak asing dilihatnya. Ketika gadis yang berada di antara manusia itu sadar akan eksistensinya, sang gadis melambaikan tangan, serukan nama kecilnya.

"Gin-chan!"

Oh, iya. Okita Mitsuba-san itu punya toko bunga.

Langkah kecil itu dipercepat. Dengan tangan di dalam kantung celana tiga per empat, Gintoki tunjukkan wajah. "Yo," sapanya.

"Oh, Danna," sahut Sougo. Kagura, gadis berhelai sewarna senja itu mengulas bibirnya dengan cengiran.

Gintoki melirik melalui ekor mata. Si pemilik sikap obsesif pada mayones belum berbicara apa-apa, memilih sibuk manjakan paru-paru dengan nikotin pembunuh.

Kurasa dia tidak bilang apa-apa ke Sougo soal apa yang kukatakan tempo hari.

Kelereng merah bergulir, menjelajah toko bunga kecil merangkap tempat tinggal di lantai atasnya.

Oh, ya, kalau tidak salah, orang tua mereka juga sudah ….

"Kalau begitu, aku dan Sadis pergi dulu, aru. Oh, ya, mumpung kau ada di sini, Gin-chan, bagaimana kalau kau dan Toshi pergi makan bersama?"

Gintoki menoleh cepat. "Hah?"

Toshiro menggeleng, memberikan senyum formal yang hipokrit. Sebelum menyatakan penolakan yang tegas, ia terlebih dahulu memberi komplain atas namanya, "Hei, siapa yang kaupanggil Toshi? Lagipula, tidak usah, tidak apa. Aku tidak perlu merepotkan muridku."

Gintoki merotasi bola mata. Muak, jelas. Gurunya itu akhir-akhir ini selalu tampak palsu, seolah tidak terusik oleh distorsi buana yang Gintoki yakin pastilah, sebetulnya, merampas kewarasannya.

"Sikapmu menjijikan, Hijikata-san," komentar Sougo.

"Oi!"

"Oh, begitu?" Kagura memiringkan kepala. "Kalau begitu, sampai nanti, Gin-chan, Toshi. Sadis, ayo!"

Ketika sepasang insan itu hilang dari jarak pandang, Gintoki mengusap bulir air di dahinya. Rasanya dari ubun-ubun hingga ujung jempol kakinya bertempias air keringat. Meski lebih tampak seperti bunuh diri bila keluar di suhu yang membakar manusia secara harafiah ini, entah mengapa, Gintoki hanya ingin berkeliling.

"Aku masuk dulu, ya," ujar Toshiro, berbalik sepenuhnya. Namun sebelum lelaki di umur dewasanya itu dapat berjalan masuk, ada sesuatu yang menahannya, tenaga yang cukup bertekad menahan niatnya, dan Toshiro merasakan genggaman tegas di pergelangan tangannya.

"Eh." Gintoki mengerjap. Begitu sadar, ia telah meringkus pergelangan tangan Toshiro dengan telapak tangannya. Mengangkat kedua tangan, Gintoki bertanya, "Kau akan di sini saja? Tempat tinggalmu di mana?"

"Di apartemen dekat jalan utama," jawab Toshiro. "Aku akan menjaga toko ini. Lagipula, sebentar lagi toko ini akan digusur. Jadi lebih baik aku mengurus bunga-bunganya."

Gintoki tidak paham. "Kenapa harus digusur?"

Toshiro mengira-ngira seberapa Gintoki jatuh bebas tanpa tali pengaman. Soal kecerdasan pemuda itu, maksudnya. "Karena tidak ada lagi yang mengurusnya, bodoh," sahut Toshiro.

"Oh."

Gintoki menggaruk belakang kepala meski tidak gatal. Tinjunya yang mengepal bertemu telapak tangannya yang terbuka, melahirkan bunyi yang sukses dalam menarik atensi si surai sepekat bulu gagak. "Ya sudah. Aku juga belum makan siang, nih. Makan, yuk."

"Aku tidak lapar–"

Grrrrmmmblr.

Gintoki menahan tawa. Darah Toshiro berhamburan pada wajahnya dan epidermis itu dibalut gurat kemerahan.

"Sudah, ayo. Kunci pintunya. Aku tahu kedai hiyashi chukka* yang enak dan murah dekat sini."

Toshiro memaki di dalam hati. Menyumpah-serapahi tubuhnya yang berkhianat kepada akal sehat dan niatnya untuk tidak melanggar lini guru dan murid. Tapi mengingat lambungnya merintih sebab tidak diisi sejak sang surya menyembul malu-malu pagi tadi, Toshiro menyerah.

"Baik. Tunggu di sini."

Gintoki impulsif tersenyum lebar. Begitu kentara hingga deretan gigi putihnya nampak. "Siap, Sensei!"

.

"Kalau begitu, aku pulang, ya."

Gintoki menautkan alis. Lagi-lagi, sesuatu menyempil dalam relung hati. Perasaan janggal yang menyandera akal sehat.

"Hijikata-sensei," nama itu dipanggil beserta gelar resmi di belakangnya. Toshiro menoleh. Rokok enggan pergi dari belah bibirnya. Gintoki mencari kata-kata yang tepat. Hendak disusun rapi dan sedemikian rupa sebagai tatanan dari perasaannya.

Kenapa, ya? Hari ini rasanya pengen main.

"Ke game center, yuk."

Toshiro mendengus melalui hidung. Oh–Gintoki instan menyesali apa yang lidah petahnya katakan. Detik berikutnya, ia menggeleng.

"Tunggu, lupakan sa–"

"Boleh juga," sahut Toshiro.

"Eh?"

"Refreshing sekali-kali tidak ada salahnya. Jadi, mau ke mana?"

Gintoki tidak bisa menahan cengiran. Ia melompat, begitu lasak. Bagai bocah yang diizinkan memiliki amusement park untuk sisa senja hari ini. "Ke sana! Ada arcade yang bagus!"

"Duh, dasar bocah."

Toshiro tertawa. Gintoki jadi terdiam. Tawa lembut yang barangkali tak ada yang pernah saksikan. Julukan Oni no Sensei bukanlah melekat tanpa alasan. Tentu saja, sikap tegas, kaku, serta penuh didikan adalah khasnya, tanpa perlu dipertanyakan. Maka kali ini ketika kini imaji iblis luluh lantak untuk sesaat, Gintoki tidak bisa berhenti menatap.

Toshiro mengernyitkan alis untuk sikap muridnya yang kadang melewati batas kenakalan manusia biasa itu. "Apa, sih? Tadi loncat senang, sekarang diam. Aneh!"

Oh, mungkin memang inilah alasan dirinya aneh hari ini. Seharusnya memang musim panas diisi kegiatan tak penting macam ini. Tak memiliki arti, serta begitu kekanak-kanakan. Musim dengan panas yang menembus kulit, juga animo yang menyertai.

"Bawel, Mayora-sensei!"

"Siapa yang kaupanggil Mayora! Kurang ajar."

.

Kenapa jadi begini?

Gintoki limbung ketika tubuh berbalut kemeja hitam itu hampir jatuh ke belakang. Cepat-cepat menahan punggung Toshiro, Gintoki memantapkan kakinya, memastikan diri sendiri tidak ikut mengecup kasarnya aspal.

Dengan wajah serupa apel yang masak, Toshiro masih melantur. Pelupuknya setengah tertutup dan langkahnya berantakan. Deru napasnya anomali, temponya tidak jelas.

"–hiccup! Jadiii, karena Mitsuba berpesan padaku waktu itu, aku sekarang resmi walinya Sougo. Hiccup! Teruuusss, ya, Sougo itu bocah yang sangat mengesalkaaan!"

"Ha'i, ha'i. Kau ini kalau sudah mabuk melantur banget, ya, Sensei."

Gintoki melirik wajah di samping pundaknya. Dengan sebelah lengan yang melingkar di pundaknya, Gintoki harus menampung beban berat tubuh sang guru. Meski tidak terlihat, tubuh itu padat diisi massa otot yang tercetak jelas pada perut dan lengannya. Ini alasan mengapa rasanya Toshiro begitu berat.

Gintoki menyeret langkah. Mentari telah lama tidur, menelusuri belahan bumi yang lain. Angkasa gelap menjadi latar tidak menjanjikan perihal keamanan. Manusia pada malam hari tendensi lebih binal dan Gintoki tidak tahu harus berbuat apa bila benar-benar ada orang yang sodorkan bilah pisau serta merampoknya.

Oh, kalau untuk sekadar baku hantam, tentu ia bisa. Masalahnya di sini ia tidak sendiri. Ada guru yang tengah kacau logika dan hatinya, terlebih setir wibawanya sebagai guru tengah dikendalikan alkohol. Ia tidak ingin mati konyol di tengah jalan bersama Toshiro karena hal kecil, sungguh.

Padahal, ia pikir ia dan Toshiro hanya akan keluar untuk makan hiyashi chuka, lalu mereka kembali ke habitat masing-masing. Toshiro pada apartemennya dan Gintoki bersama Kagura pada rumah mungil nan nyaman mereka. Namun, situasi paling gila memang selalu datang di saat tak terduga. Ia sendiri tak pernah sangka atas nada hati yang mendadak ingin bermain game center, hingga akhirnya menghabiskan senja bersama dengan Toshiro.

Untuk keinginan beralaskan perasaan lainnya, Toshiro mengajak Gintoki untuk masuk ke bar meski pemuda bersurai perak belum cukup umur. Jadilah Gintoki hanya diberi jus sitrun sementara Toshiro menegak bir.

"Kamu dengar, tidak, Sakata? Menyebalkaaan–hiccup!"

"U–uwaaahhh! Sensei bego!"

Gintoki memekik bagai anak gadis yang baru saja dirusak keperawanannya ketika tenaga berlebih Toshiro membuatnya jatuh ke belakang. Pantat itu terempas ke atas tanah, menyusul dengan belakang kepala. Gintoki mengaduh keras.

Tahu-tahu, Toshiro sudah menduduki perutnya, meremas kausnya. Gintoki menganga. "Oi–minggir dari sana!" ujarnya, sedikit berteriak. Sesuatu menelusup ke dalam rasa waspada, menjadikannya bersiap dengan segala kemungkinan dan pertahanan diri yang ada.

"Kau, Sakata Gintoki, adalah makhluk menyebalkan–hiccup! Tolol!"

"HAH?! SENSEI, AS-TA-GA–"

"Apa-apaan soal cari pacar–hiccup–baru? Kau mengolokku? Menghina Mitsuba dan Sougo? Apa-apaan, sih?"

Gintoki tafakur. Ingin membela diri rasanya tidak tepat. Ingin mengelak rasanya salah. Maka, hanya lirihan sehalus napas yang ia suarakan dari sisa tenaganya, "Maaf."

"Dan yang paling penting–hiccup! Kau bertanya apa aku baik-baik saja. Mana mungkin, kan?"

Dan, di sana.

Timbre alto terseret dalam friksi, menjadi fraksi. Suara sengau yang bahkan tak berniat dilapisi oleh kepura-puraan. Disusul vibra yang tampak pada pundak, juga kristal bening yang lari satu-satu dari sudut mata.

"Iya, ya," Gintoki merespon. "Mana mungkin Sensei baik-baik saja. Aku bodoh, ya?"

"Iya, kau memang bodoh, otak udang."

Gintoki tidak menjawab.

Setelah isak tangis reda, selanjutnya kesadaran pun ikut terbungkus gelap.

.

.

.

"Hijikata-san, bangun."

Toshiro mengerang. Pening langsung menghujam kepala, membuatnya mengaduh. Pelupuk terangkat perlahan-lahan. Pupil mengecil akibat serbuan partikel cahaya dari sang mentari yang menyelip melalui tirai transparan.

Menekan pelipis, Toshiro bangkit dari posisi tidurnya. Iris samudra dalam mengedar, mengobservasi tempatnya memaku diri kini.

Bukan–demi langit-langit dan sudut ruang yang asing, ini bukan apartemennya.

"Toshi sudah bangun, aru?"

Kala Toshiro menoleh ke samping, di atas kasur itu, terlelap seorang pemuda delapan belas tahun yang bersurai perak. Dengkuran lembutnya mengudara, mengisi kebingungan. Meski belum terjawab seluruh misteri yang terpampang di hadapan wajah, Toshiro mulai mengambil konklusi dan menerka.

"Kau mabuk dan pingsan semalam. Karena tidak yakin di mana letak apartemenmu, Danna membawamu pulang."

"Uh," Toshiro menggumam. Wajahnya menjelma pucat, putih lesi–istilah hiperbolanya. Sougo yang melihat itu hanya mendengus.

"Tidak usah takut begitu. Kau juga tidak akan ketahuan berkeliaran hingga tengah malam dan mabuk bersama muridmu, Hijikata-san."

Toshiro mendelik, namun juga menggeram frustrasi di saat yang sama. "Gosh, that sounds so bad, doesn't it?"

"Yeah," Sougo kembali menyahut dengan bahasa asing. "It does, actually."

Kagura tersenyum tipis. "Toshi santai saja, aru."

Ah–Toshiro jadi sadar. Seluruh kamar ini memiliki aroma serupa sang pemuda perak. Ia menghidu harum mint yang halus, terutama dari kasurnya. Memijit pelipis, Toshiro mengingat-ingat mengapa matanya sembab. Ada sedikit rasa sesal sebab kemarin ia melewati ambang batas antara guru dan murid. Namun, separuh perasaannya lagi lega, sebab akhirnya sebulan setelah Mitsuba pergi, ia bisa benar-benar meraung tanpa peduli akan hal lain. Satu momen di mana isi hatinya tumpah ruah, tak terkendali, dan mengosongkan seluruh air dalam gelas perasaannya.

Mengangkat sebelah tangan untuk mengacak surai hitam, Toshiro sadar untuk satu hal. Ia membawa tangan kirinya ke depan iris samudra dalam dan sesuatu yang dicarinya tak ada di sana. "Oh, tidak," rutuknya.

"Apa?" Sougo bertanya.

"Cincinku hilang," Toshiro mendesah. Kesal. Murka pada dirinya sendiri. Kalap, panik–seluruhnya membaur jadi satu. Kagura bahkan ikut khawatir. "Aku pasti terlalu ceroboh semalam. Ya Tuhan–aku harus cari ke mana?"

"Hei, tenanglah," sahut Sougo. Mengangkat sebelah alis. Sesungguhnya kau tidak perlu cincin itu lagi juga, kan?

Namun, Sougo tidak mengubah isi sanubarinya menjadi suara yang audibel.

"Kalau soal cincin," sebuah suara serak terdengar. Gintoki menguap sebelum membuka laci di sebelah kasurnya. Masih dengan kepala berada di atas bantal, jemari berurat menonjol itu merogoh isi laci, lalu benda logam mungil menjelma bahan ekshibisi dadakan di ruangan itu. "Semalam kau melepaskannya ketika ingin muntah."

Pundak Toshiro lemas. Selanjutnya, ia menjitak sepenuh tenaga kepala perak.

"Sakiiit! Kau ini ringan tangan, ya, Sensei!" Gintoki terbangun, menatap iris samudra dalam. "Ini caramu berterimakasih?!"

"Berisik!"

Toshiro mendengus dan memakai cincin itu. Ia tersenyum tipis.

Perasaannya lebih ringan hari ini.

.

.

.

To be continued ...


A/N :

chinko* = penis

hayashi chukka* = ramen dingin, biasanya disantap saat musim panas.

Yahoo! Oke, pertama-tama, saya mau mengucapkan salam karena akhirnya berkontribusi fanfiksi yang serius di fandom Gintama. Fanfiksi ini terdiri dari 3 chapter, jadi tidak akan terlalu panjang. Lalu, kenapa saya memasukan fanfic ini untuk mature audience? Karena di chapter terakhir, akan ada hubungan seksual yang eksplisit. Jadi saya harap tidak ada pembaca di bawah 18 tahun yang membaca, ya. Bahkan kalau pun ada pembaca yang sudah legal, silahkan dibaca dengan risiko ditanggung masing-masing ;)

Oke, that's it! Semoga enjoy dengan ceritanya, ya. See you!