Ailouros.

HAEHYUK

Lee Donghae/Lee Hyukjae

.

.

By macchxato

Rate: M

Disclaimer: I own this fic. Plagiarism is still illegal tho.

Warning: OOC, Alternative Universe, BoyxBoy / Boys Love, Typos.

Donghae menghembuskan napasnya dengan cepat. Pandangan matanya terpaku pada kerikil-kerikil kecil yang berada di jalanan, menuntunnya entah ke mana. Pikirannya tak fokus, tubuhnya tak mau diajak kompromi. Benaknya terus memutar film pendek tadi sore, yang sesungguhnya Donghae ingin melupakannya. Bayangan pak tua gendut bermata duitan sialan itu terus berteriak ke arahnya. Gerakan menghempas map kuning di tangan gemuknya terus mengotori pikirannya.

Si pemegang perusahaan itu memecat Donghae, menghempaskan mimpi Donghae yang berusaha bertahan pada posisinya sebagai pemimpin redaksi. Dia tak tahu saja, bagaimana Donghae mati-matian bertahan pada posisi itu. Beberapa rekan terdekatnya bisa saja menjadi musuh terberatnya. Sikut-menyikut bukan lagi hal yang biasa di tempat ini. Ini adalah hutan belantara.

Dan si gendut itu menghempaskan semuanya. Semuanya. Termasuk kewarasan Donghae.

Donghae menggeram tertahan dan menghempaskan tubuhnya pada trotoar jalanan. Gulita sudah mendominasi hari. Arloji hitam Armani asli buatan Itali-nya menunjukan bahwa sekarang adalah pukul sebelas malam. Kemudian Donghae masih di jalanan, dua ratus meter dari bangunan kantornya, hasil Donghae berjalan kaki, karena sialannya, mobil Donghae merajuk ingin segera pergi ke bengkel.

"Fuck! Fuck! Fuck!"

Donghae berteriak. Tangan kanannya menarik lengan kemejanya hingga siku, menyusul tangan kirinya yang mengacak rambut cokelat gelap Donghae. Dengan posisi Donghae masih duduk di trotoar, kakinya terbuka lebar.

Oh, betapa sialnya Donghae sekarang.

Donghae menggertakkan gigi gerahamnya, mengakibatkan pada rahangnya yang mengatup. Bibirnya membentuk garis mutlak dan mengerikan. Tatapan matanya sudah melemah, dan entah angin dari mana, Donghae menangis tersedu-sedu karena nasibnya yang amat mengerikan hari ini.

Donghae, si pemimpin redaksi yang gemar berteriak kepada editor untuk merevisi semua karangan yang akan terbit, kini menangis hingga badannya bergetar seperti bayi merah.

Kedua tangannya yang dipenuhi otot khas pria pekerja itu menutup kedua matanya. Kepalanya menunduk. Merasakan betapa syahdunya tangisan yang amat jarang seperti ini.

Sebuah suara grasak-grusuk membuat Donghae menghentikan tangisnya serta menelan salivanya. Grasak-grusuk tersebut berasal dari semak-semak yang berada di punggungnya. Berjarak tak jauh, hanya setengah meter. Donghae mengusap hidungnya yang memerah dan basah. Sesegukannya masih menyandera tubuhnya, Donghae berusaha untuk tegap tanpa mengidahkan satu atau dua getaran refleks sesudah menangis.

Suara dari semak-semak tiba-tiba berhenti. Donghae benar-benar menghentikan tangis sekejapnya. Justru sekarang Donghae mengedip penuh minat ke arah semak itu, penasaran.

"Miaw!"

Dan kesialan satu lagi datang.

Seekor kucing berbulu cokelat tiba-tiba menerjang dadanya dan menyakar pundaknya.

Fuck you.

...

Spencer menunduk dalam-dalam di hadapan seorang petinggi malaikat yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam. Napasnya menggebu, tatapannya lurus ke arah surai Spencer seolah-olah bisa mengeluarkan laser dan melubangi kepala si dungu, tak peduli tatapan malaikat lainnya yang ikut bergetar takut.

Sayap gelap seorang petinggi malaikat itu membentang. Menampakkan sayap berwarna gelap yang menjadi identitas bahwa ialah yang tertua di sini. Tak mengidahkan fakta bahwa seluruh kinerja malaikat akan dipantau setiap harinya, juga berhak untuk menjatuhi hukuman atau menghadiahi sanjungan untuk kerja keras mereka. Tentunya setimpal atas apa yang mereka kerjakan.

Dan lihatlah kekacauan yang dibuat Spencer hari ini, yang bertugas menembakan panah cinta untuk para manusia.

Sang Petinggi menunduk. Mengurut keningnya, kemudian turun mengusap janggut putih yang menjuntai. Hembusan napas terdengar kasar dari celah bibirnya.

Omong-omong, malaikat mempunyai fisik yang hampir sama seperti manusia. Mereka tumbuh dan berkembang. Mereka mempunyai rangka yang semu, tidak bisa dilihat para manusia. Namun yang membedakan; Malaikat tidak punya napsu seperti manusia, tidak bisa dipandang oleh manusia, dan mereka mempunyai sayap.

"Spencer, kau tahu apa kesalahanmu," Sang Petinggi berdeham. Masih menatap surai Spencer yang tak mempunyai keberanian untuk menatap langsung Petingginya.

Surai Spencer bergerak tatkala dia mengangguk. "Ya, Tuan,"

Sang Petinggi mengangguk. "Sebutkan kesalahanmu, Spencer."

Spencer menggaruk tengkuknya. Dia bergerak gusar sebelum mengatakan, "Pertama, membuat kesalahan pada menembak panah cinta. Hmm..." Spencer bergumam. Ia semakin takut. "Lee yang seharusnya bersama Song- ah, itu, aku menembaknya dengan salah. Aku menembak Park untuk Song."

"Ya. Lanjutkan."

Nah, ini. Kesalahan yang fatal, menyalahi koderat target tembakannya. Spencer semakin gelisah.

"Aku... menjadikan Lee seorang- homoseksual." Spencer kemudian mengangkat wajahnya. Ia terlihat mengajukan banding untuk keadilannya. "Tapi, itu tidak langsung! Kesalahan utamaku ialah salah menembak panah!"

Sang Petinggi menggertak. "DIAM!"

Sebuah tongkat yang berada di tangan Petinggi menghentakkan tanah. Dan secara tiba-tiba, sulur tumbuhan khas hutan membelit leher Spencer, menggantung Spencer yang terlihat berontak. Kaki Spencer bergerak tak tentu arah. Sayap berwarna salemnya tak bisa membentang dikarenakan punggungnya ditahan oleh sulur yang rupanya membelit daerah sayap Spencer.

Spencer berteriak protes. Dirinya merasa pergerakannya terkungkung, walaupun Spencer tak akan mati seperti manusia jika dijerat lehernya. Ini hanya membatasi ruang geraknya.

Petinggi bergerak ke arah Spencer. Tongkat agungnya terjulur ke arah Spencer. Menempatkan ujung tongkatnya pada dagu Spencer yang runcing agar Spencer menatap ke arahnya, ke matanya.

"Kau membuat Lee patah hati dan mengubah orientasi seksualnya!"

Spencer mengerang lagi. Dagunya terasa sakit dan panas sesaat sesudah Petinggi menggertak. Ini adalah magis yang hanya dimiliki Petinggi. Kemudian rasa sakitnya menyebar, ke seluruh tubuhnya. Membuat tubuh Spencer lemas.

Mulut Spencer terbuka. Bergerak beberapa kali namun tak kunjung bersuara. Ia berkata dengan putus-putus pada akhirnya. "Maafkan aku, Tuan. Tapi tolong, lepaskan aku,"

Sang Petinggi menghela. Diketuknya dua kali tongkat yang berada di genggamannya pada tanaha. Dan sulur pun menciut kemudian menghilang, menghempaskan tubuh Spencer yang linglung dan lemas.

"Kau bersedia untuk menjalani hukuman?"

Spencer mengangguk lemah. "Ya, Tuan. Jika itu bisa menebus kesalahanku."

Sang Petinggi tersenyum ke arah Spencer. Ia mengedarkan pandangannya, menatap para malaikat yang mempunyai warna sayap berbeda satu sama lain. Ada yang salem seperti Hyukjae yang artinya pemula, lalu sayap berwarna putih yang artinya menengah, dan sayap berwarna kelabu yang mendominasi, malaikat-malaikat yang terdahulu.

"Aku menurunkanmu ke bumi."

"YA?!" Spencer berjingkat kaget. Bola matanya terbuka dramastis.

"Menjadi sosok kucing. Dan bisa berubah menjadi manusia persilangan kucing jika kau mau."

"HAH?! Dengan ekor dan telinga runcing?!"

"Ya. Sampai target Lee menemukan pujaan hatinya."

...

Donghae menghembuskan napasnya saat menyadari dirinya sedang memangku seekor kucing. Kucing lucu yang gemuk berbulu cokelat yang lebat. Matanya bulat dan hitam, jernih sekali sampai-sampai Donghae bisa melihat pantulan wajahnya yang kacau di mata kucing tersebut. Tubuh kucing yang gempal, wangi, serta terurus. Donghae pernah merawat kucing sebelumnya. Ras Bengal dengan ciri berbulu cokelat pendek disertai bintik hitam bak macan. Donghae langsung jatuh hati pada kucing Bengal-nya tersebut saat ia mengantar adik sepupunya yang berusia lima tahun ke pet shop. Keesokan harinya, si Bengal akhirnya resmi menjadi anggota rumahnya yang hanya ditinggali Donghae seorang. Menjadi teman rumah Donghae dan gemar sekali mengusap kepala bulat kecilnya di paha dan perut Donghae, saat Donghae sibuk menatap revisian untuk majalah yang akan diterbitkan bulan depan.

Tapi sayang sekali, Bengal (Donghae tak kreatif dan akhirnya menamai kucing itu sama dengan nama rasnya) dibawa kabur oleh kakak lelakinya. Kakak lelakinya, Donghwa, bilang bahwa Bengal amat eksotik dan menculiknya semena-mena seminggu yang lalu.

Intinya, Donghae suka kucing.

Donghae menimang kembali kucing cokelat itu. Kemudian didekapnya erat-erat. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, mengawasi lingkungan sekitarnya yang siapa tahu ada orang telah kehilangan kucingnya. Karena dilihat-lihat, kucing ini sangat cantik. Pasti kucing rumahan. Tetapi Donghae tak tahu jenis apa si Manis yang berada di dekapannya ini. Donghae lumayan cerdas menentukan ras kucing karena Donghae selalu mencuri waktu kerjanya untuk membuka situs Naver, mencari foto-foto kucing lucu di sela-sela kesibukannya. Ia namakan kegiatan itu adalah 'Kitten Therapy'.

"Apa kau kedinginan?" Donghae berkata dengan lembut. Tangannya mengusap kepala si Manis. Kemudian mengecupnya singkat.

Seolah menjawab, tubuh kucing cokelat itu gemetaran. Tak lama, terdengar suara dengkuran nyaman, tanda bahwa kucing cokelat itu nyaman di tubuh Donghae. Merasakan hangatnya dada Donghae dan lengan kokoh Donghae yang memeluknya. Donghae menilai bahwa kucing cokelat ini benar-benar kedinginan.

Dan di sanalah Spencer. Meringkuk kedinginan di pelukan Donghae. Kedua mata kucingnya terpejam dan tak menghiraukan kata-kata Donghae yang kini menjadi tuannya.

Spencer? Ya. Dia berubah menjadi kucing, persis seperti apa yang dikatakan Sang Petinggi untuk menjalani hukumannya. Spencer kira awalnya bahwa Spencer akan menjadi kucing berbulu tipis nan lepek. Berjalan-jalan mencari seseorang untuk mengadopsinya, kemudian terasingkan begitu saja dan berakhir pada penangkapan kucing-kucing liar. Untung bocoran, sebenarnya Spencer tak tahu adanya orang-orang yang dibayar untuk menangkap kucing-kucing liar kemudian mengurungnya di jeruji mirip penjara. Namun sepertinya Sang Petinggi masih menaruh rasa iba untuk Hyukjae; membuat Hyukjae menjadi seekor kucing cokelat yang indah bak kucing rumahan yang terurus.

"Terima kasih sudah menolongku, Tuan!"

Kucing cokelat itu mengadah dan membuka matanya. Asyik melihat sosok rupawan Donghae yang sedap dipandang mata. Mulutnya terbuka, menampilkan dua pasang taring kecil dan gigi-gigi yang mungil. Matanya mengedip, dan sejurus kemudian, kucing itu mengusal pada dada Donghae.

Donghae tertawa geli. Dari atas, Donghae meneliti kucing yang benar-benar lucu dan menggemaskan ini. Wanginya juga wangi stroberi. Tapi, siapa yang membuang kucing ini?

"Kau tidak keberatan jika aku membawamu pulang, kan?"

Donghae berbisik lembut. Kedua tangannya masih menopang tubuh gempal Spencer yang berada di tubuh kucing. Sedangkan kedua kakinya mengayun santai ke arah timur. Mata jernih Donghae menatap segala reaksi manis dari kucing itu. Dan seolah teringat sesuatu, Donghae menggeram.

Sialan. Rumahnya masih sejauh lima kilometer dari sini.

...

Bersyukurlah untuk taksi yang Donghae telefon untuk keamanan mereka berdua. Maksud Donghae, untuk dirinya dan kucingnya (Spencer). Taksi tadi sama sekali tidak keberatan jika Donghae memangku seekor kucing. Bahkan, sang supir yang paruh baya tersebut, juga gemas oleh bulu cokelatnya. Dia sempat mengusap bulu si Manis dan mengeong untuk meminta perhatian Spencer yang sedang tertidur sebelum benar-benar menyupiri Donghae ke rumahnya. Dia bilang, saat muda, dia mempunyai banyak kucing domestik. Air wajahnya saat itu sangat bahagia jika dilihat dari kaca persegi panjang kecil yang terpasang. Namun, dia tidak tahu jika adik dari istrinya memiliki asma kronis. Maka dari itu, dia menyumbangkan kucing-kucingnya untuk panti asuhan. Untuk bermain dengan para anak yang bisa memberikan kasih sayang untuk kucing-kucingnya.

Ah, ya. Jangan lupa omongan Donghae bahwa dirinya dipecat dari pekerjaannya karena si gendut itu, namun kesedihannya tidak lama dikarenakan si manis yang sedang tertidur nyaman di selangkangannya. Ya, Spencer tidur di selangkangan Donghae yang hangat. Dia belum bisa mengimbangi tubuh kucingnya. Seperti jetlag, mungkin?

"Purr, purr, manis~" Donghae memanggil Spencer dengan nada yang diayunkan, membangunkan Spencer yang kini bergulat dengan angin selagi tidur.

Telinga runcing Spencer bergerak. Tubuh gempalnya bergerak beberapa kali dengan keempat kakinya yang menendang-nendang angin, tak sengaja menendang tangan Donghae yang mengusap kaki depan Spencer. Akhirnya, Spencer membuka matanya setelah tidur singkat selama di perjalanan, dan sekarang mereka di lantai berbalut karpet tebal di ruang tengah. Donghae mengulum senyum melihat kucing manisnya tersebut. Memang menggemaskan, tapi kucing manisnya butuh makan.

"Makan, ya? Nanti kau tak gendut lagi." Donghae cekikikan seperti mendapatkan mainan baru. Ia masih memangku Spencer. Tangannya asyik menyisir bulu Spencer yang tipis namun lebat itu. "Kau gemuk tak apa. Kalau si Han sialan itu, sih, tetap jelek walaupun ia kurus!"

Spencer selesai melakukan peregangan. Kini ia bertumpu pada empat kakinya di kedua paha Donghae yang merapat. Kepalanya mengadah, menatap Donghae dengan matanya yang sejernih lautan itu. Mulutnya terbuka, mencoba mengatakan sesuatu selain mengeong. Nyatanya, tidak bisa. Hanya ada pergerakan kaku dari lidah mungilnya, tanpa ada kompromi dari pita suaranya.

Spencer tau bahwa ini adalah rasa lapar. Seingat Spencer, saat ia menjadi malaikat, tentu ia tidak akan merasakan lapar. Namun di raga kucingnya, tentu ia merasakanya.

"Tuan, aku lapar."

"Miaw! M-miawㅡ miaw!"

Donghae tergelak. Ia mengacak bulu lembut Spencer membuat tubuh Spencer sedikit oleng karena tubuhnya yang kecil. Matanya membulat melihat Donghae yang mendekatkan wajahnya pada wajah kucing Spencer. Dan senyumnya terukir lagi.

"Ughh."

"Errr."

"Ya, aku tahu kau lapar." Donghae mengangkat Spencer dengan lembut dari pahanya. Lantas ia berdiri. Donghae kembali mendudukan Spencer pada karpet tebal yang ia duduki tadi. "Jadi, tunggu sebentar, ya, manis?"

Yang Spencer lihat hanyalah punggung lebar Donghae yang melangkah menjauhi tubuh mungil berbulunya. Spencer menguap lebar-lebar, menjulurkan lidah kasarnya selagi ia menguap. Lalu Spencer menggerakan mulut kecilnya sebentar. Badannya berputar, seiring banyaknya pertanyaan yang kini memenuhi benaknya. Bagaimana rasa geli dari karpet menggesek bantalan kenyal di keempat telapak kakinya, bagaimana luasnya rumah Donghae, dan bagimana Spencer akan puas jika ia berguling-guling di karpet berbulu ini.

Spencer memekik senang yang tentunya mengeluarkan suara kucing yang terkejut. Dengan keempat kaki pendeknya, Spencer berlari ke tengah-tengah karpet. Sesekali kakinya melompat-lompat mengagumi luasnya karpet Donghae. Dan berakhir dengan gulingan manja di karpet Donghae, sesekali Spencer menggosokan tubuh kanan dan kirinya pada karpet Donghae yang menurut Spencer amat luas ini.

Spencer terkikik di balik tubuh kucingnya. Ah, menjadi kucing tak buruk juga. Ia mendapatkan hunian yang lebih dari nyaman dan aman. Bahkan banyak alat elektronik di sini yang Spencer tak tahu apa namanya. Apalagi, tuannya sangat tampan dan yang terpenting, hangat. Spencer amat nyaman jika tubuhnya bersandar pada tubuh hangat Donghae.

Spencer bangkit dari acara berguling-guling ria saat merasakan langkah kaki Donghae. Kepalanya mengadah menatap Donghae yang membawa dua mangkuk berwarna kuning dan biru di tangan kanan, plastik berukuran sedang di tangan kanan. Hidung Spencer mencium sesuatu, sesuatu yang amis dari plastik yang berada di tangan Donghae. Dan itu membuat perut gempal Spencer bergetar.

"Uugh, aku sangat lapar, Tuan!"

"Miaaaw- miaw, miaw, miaw!"

Spencer mengeong dengan semangat tatkala Donghae mulai tertawa gemas. Donghae menarik kedua sudut bibirnya membuat senyuman saat mata sendunya melihat kucing cokelatnya mulai berlompat dengan semangat. Donghae berjongkok, mulai menyimpan kedua mangkuk itu bersebelahan.

"Manis, tunggu sebentar, ya?"

Spencer mengangguk di dalam tubuh kucingnya, sedangkan reaksi tubuh kucingnya hanya terdiam. Spencer berjalan cepat ke arah Donghae, bahkan hampir berlari sampai-sampai Donghae gemas lagi karena perut gempal Spencer bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti irama berlarinya. Dan saat ini, Spencer duduk manis di depan mangkuk berwarna kuning dan biru muda yang disediakan Donghae. Menunggu dan menebak apa yang akan Donghae berikan kepada perutnya yang sudah merengek lapar.

Donghae mengecup singkat kepala Spencer. Kedua tangannya mengeluarkan makanan kucing sebanyak satu plastik sedang dan air mineral yang masih tersegel utuh. Donghae kemudian teringat si Bengal yang gemar sekali melalap habis makanan kucingnya yang berbentuk ikan dan garing seperti snack manusia. Donghae sewaktu dulu senang sekali mendengar suara kunyahan Bengal. Donghae memberi makan Bengal sesaat sesudah ia pulang bekerja, dan suara kunyahan Bengal menjadi pelepas penatnya.

Ah, sayangnya, Bengal dan kucing tanpa nama di depannya ini berbeda sekali. Bengal terlihat eksotis, gagah, dan menawan. Gaya Donghae sekali yang seorang mantan pekerja kantoran yang keras, suka membentak, berwibawa, dan juga rupawan. Namun kucing yang sedang menatap lekat-lekat makanan kucing itu sangat cantik, manis, penuh dengan kesan manja. Bertolak belakang sekali dengan kepribadian Bengal dan Donghae.

"Aku lapar, Tuan!"

"Miaw miaw, miaaw!"

Donghae menunduk kembali. Senyumnya semakin lebar saat melihat paras cantik dari kucing cokelat di dekat kakinya ini. Walaupun berbeda dengan Bengal, Donghae sangat menyukainya. Matanya sangat bulat dan jernih, berwarna hitam pekat. Bibirnya juga tampak merah muda dan lembut.

"Oh? Maafkan aku, sayang."

Donghae menuangkan makanan kering untuk kucing. Suara kerasnya makanan kucing dan suara plastik berwarna kuning bertubrukan. Meninggalkan kesan lucu dan menggelikan di telinga Donghae. Setelah dirasa cukup, Donghae menggulung plastik makanannya kemudian menyimpannya kembali ke dalam plastik. Tangan lainnya menyusul membawa air mineral, membukanya dengan cepat dan menuangkannya secara perlahan ke mangkuk berwarna biru.

"Makan yang banyak, sayang. Agar cepat gemuk." Donghae mengusap perlahan kepala Spencer. Ada kesan memanjakan yang terselip. "Aku akan mengganti pakaian. Kemeja biru dan celana bahan. Ah, aku kembali mengingat pekerjaan kesukaanku itu."

Donghae bangkit dari posisi berjongkoknya sembari tertawa pelan. Bibirnya tertekuk kemudian. Donghae menghembuskan napas berat sekali hentak. "Masa bodoh! Si Han akan menyesal karena memecat pekerja yang pekerja keras yang sepertiku."

Setelah tubuh Donghae tertelan pintu kamar, Spencer mengendus makanannya. Sebenarnya, di dalam tubuh kucingnya, Spencer merasa jijik dengan makanan seperti snack berbentuk ikan. Bau ikannya sangat menyengat. Tetapi entah mengapa, tubuh kucingnya justru berjalan mendekat ke arah mangkuk kuning berisikan makanan itu. Mulutnya terbuka, menampilkan dua pasang taring dan mulai melahapnya secara langsung.

Bola mata Spencer berkaca-kaca. Ini sangat enak untuk raga kucingnya.

Suara gemeletuk berasal dari makanan yang keras yang digerus oleh gigi-gigi mungilnya. Spencer memakannya dengan cepat. Kaki kanan depannya menahan mangkuk karena mangkuk akan terdorong mundur oleh Spencer yang berada atas di batas ambang semangat.

Ya ampun, ini sangat enak.

Hidung merah muda Spencer beberapa kali bergesekan dengan mangkuk kuningnya. Giginya sedari tadi tak henti-hentinya mengunyah makanan tersebut. Suara gemuruh ringan dari perutnya sudah diatasi. Makanannya baru dimakan setengah porsi, namun perutnya sudah hampir terisi penuh. Spencer cekikikan di dalam tubuh kucingnya.

Hingga ia tak menyadari Donghae sudah kembali dengan setelan rumahan. Kaus hitam polos yang terlihat ketat, menyetak otot-otot lengannya, dan celana pendek di atas lutut berwarna putih. Ada tali yang menjuntai dari ban celana pendek Donghae.

"Suka, hm?"

Akhirnya, kucing cokelat itu mengadah. Mempertemukan mata mereka yang sama-sama indah. Mulut kucing cokelat itu masih terlihat mengunyah. Lidahnya bergerak refleks membersihkan makanannya di sela-sela mulutnya.

"Terima kasih, tuan!"

"Miaaw, miaaawww!"

Kaki pendek kucing cokelat itu melangkah ke mangkuk berwarna biru di sebelahnya. Mulutnya terbuka dan lidahnya terjulur untuk meminum air mineral di dalam mangkuknya. Lidahnya bergerak cepat untuk menjilati air mineral itu. Diam-diam, Donghae tersenyum.

"Setelah ini, aku akan tidur." Donghae berjongkok kembali. Menatap kepala kucing yang sudah selesai meminum minumannya. Lidahnya bergerak membersihkan mulutnya. Kemudian, kepalanya mengadah menatap Donghae dengan mata bulatnya.

"Ayo, tidur, ayo."

...

Entah apa yang membuat Donghae berpikir bahwa tikus-tikus di rumahnya akan menakuti kucing cokelat barunya, hingga membuat Donghae membiarkan Spencer tidur di ranjang yang sama dengannya. Rumah yang besar bak mansion tak mengabaikan fakta jika pasti ada satu atau dua tikus yang hebat bermain petak umpet dengan si Bengal dahulu. Ini terbukti saat Donghae berada di dapur untuk memanaskan pizza beku lima hari yang lalu; Donghae melihat ada ibu tikus bertubuh gempal yang berlari amat cepat seperti mobil balap F1 melintasi kakinya. Dari situ, ada rasa kecewa kepada kakaknya karena telah menculik Bengal, si pemburu nomor satu untuk Donghae.

Benar-benar takut jika si Manis-nya akan takut jika melihat tikus sialan itu lagi. Akhirnya, Donghae menyimpan Spencer di perutnya. Perut hangat dan bidangnya. Lagipula, di posisi seperti ini, jika Donghae melipat kedua tangannya menjadi bantal, Donghae bisa meneliti wajah Manis-nya yang sedang tidur dengan leluasa.

Omong-omong, Donghae tidak kreatif untuk memberi hewan sebuah nama, sekali lagi. Donghae tidak tahu ras apa Manis-nya ini. Jadi untuk hari ini, Donghae akan membiarkan kucing barunya berkeliaran dengan status tanpa nama.

Waktu memang sudah menunjukan pukul tiga dini hari. Donghae sudah tertidur setelah memberi makan Spencer.

Spencer membuka mata kucingnya. Kamar Donghae amat benderang karena memang sejak kecil Donghae tak pernah mematikan lampu kamar tidurnya. Spencer bisa merasakan tubuhnya hangat, dan Spencer nyaman berada di sini. Spencer mengubah posisinya, menyamankan tubuhnya di celana pendek putih Donghae.

"Sang Petinggi berkata, aku bisa mengubah visualku. Aku harus mencobanya."

Spencer menutup matanya. Dalam hati, dia merapalkan kata-kata yang memantapkan hati untuk berubah menjadi separuh manusia separuh kucing. Ia akan mencoba tubuh barunya itu.

Tubuh Spencer menjadi ringan. Spencer sekali lagi merapalkan kata-katanya. Dan entah dimulai dari mana, Spencer merasakan sesuatu yang dingin menyergap tubuhnya. Sesuatu yang dingin membelai tubuhnya dengan manja.

Spencer membuka matanya. Matanya menjadi sedikit kabur, tidak setajam mata kucing sebelumnya. Tubuhnya menjadi berat, dan Spencer menyerngitkan hidungnya saat merasakan angin menyapa tubuh tanpa busananya.

Sekali lagi, tubuh Spencer yang tanpa busana. Tanpa sehelai benang pun.

Spencer bergerak untuk duduk di tempat ia terduduk. Tangannya terjulur, menatap betapa indahnya tangan-tangan barunya. Jangan lupa kuku yang dipotong rapi. Spencer menunduk, melihat tubuh bawahnya yang tak dilapisi apa pun. Perutnya rata, pinggangnya juga ramping. Sang Petinggi benar-benar iba kepada Spencer hingga dia memberi tubuh yang sempurna pada Spencer.

Dan, oh! Ekornya!

Spencer mencoba mengibas ekornya. Dan matanya terbelalak sempurna saat melihat ekornya masih berada di sana. Berwarna cokelat dan berbulu lebat, tetapi tidak seperti kemoceng. Ekornya masih bisa berfungsi dengan baik, masih bisa Spencer kibas dan akhirnya Spencer pun larut dalam permainan barunya; menggesek-gesekkan bulu ekornya dengan telapak tangannya. Kemudian, Spencer akan terkikik geli kemudian.

Dan mata Hyukjae turun ke bawah perutnya, di selangkangannya, menatap penisnya sendiri yang tertidur pulas. Matanya membulat heran dan kepalanya memiring. Melihat benda yang sebelumnya tidak ada pada tubuhnya saat ia menjadi malaikat. Malaikat tak mempunyai napsu untuk bersenggama, juga tak perlu berekskresi, tentu para malaikat tidak perlu penis ini.

Spencer tidak tahu apa ini namanya. Matanya turun ke bawah penisnya yang tertidur, dan dia terkejut saat menyadari sesuatu. Bahwa Donghae juga kemungkinan besar mempunyai penis sama seperti Spencer. Dan yang terparahnya, Spencer menduduki penis Donghae yang terbalut celana pendek. Membuat penis Donghae berada di himpitan pipi-pipi pantat Spencer.

"Ungh,"

Telinga Spencer bergerak. Oh! Rupanya ia masih memiliki telinga runcing kucing miliknya. Pantas saja pendengarannya amat tajam walaupun sudah menjadi manusia. Namun, Spencer tak mengerti arti lenguhan Donghae yang tertidur.

"Hngh,"

Mata Spencer membulat sempurna. Dia terkejut mendengar ada suara asing yang menjejali indera pendengarannya yang tajam. Membuat Spencer membeku di tempat ia terduduk.

Tanpa menyadari bahwa ereksi Donghae telah menyapa pantat Spencer.

...

TBC

a/n. YUHUUUUU AKHIRNYA AKU BISA POST CERITAKU :"D Aku termasuk baru di ffn. Beberapa kali baca, dan ngepost pun baru sekali. Tapi karena postingan sebelum ini sepi banget karena memang kesalahan aku baru teaser udah dipost gitu aja, dan mana lagi ga ada yang ripiu OMAYGAD :'D jadi untuk yang ini aku pikir lebih baik langsung (yhaa si emang karena beda genre sama yang sebelumnya uuu) tanpa teaser, DAN AKU MENGHARAPKAN RIPIUNYA KAWAAANNN :"""D itu pasti buat semangat aku makin makin naik dan bisa nyelesaiin ff ini secepatnya tanpa diserang writerblock dan moody hiks :'D

Enjoy reading, fellas! *smoochhhh*