Kau menyuruhku untuk mengawasi dari jauh. Kali ini, biarkan aku yang menghadapi gadis itu. Kita sudah ditakdirkan menang, katamu saat kita menuju Cornucopia. Aku mengganggukkan kepala. Meskipun aku khawatir setengah mati, mana bisa aku menunjukkan hal itu di hadapanmu?

"Sialan!"

Aku menoleh dan melihatmu menyipitkan mata. Si muka licik itu sudah menyambar tasnya. Entah apa yang ia punya, kita tidak bisa mengejar dia untuk mencari tahu. Prioritas kita adalah gadis itu. Dan perhatian kita tidak boleh teralihkan.

"Itu dia!" desismu.

Kebencianmu menular padaku. Aku juga ingin menghabisinya. Juga pasangannya yang bodoh itu. Untuk kita. Untuk kemenangan kita berdua.

"Awasi sekitar, Cato. Jaga aku."

Aku membiarkanmu berlari. Aku membiarkanmu menyerang gadis itu. Aku membiarkanmu mengambil alih keadaan. Aku terlalu jauh membiarkanmu membuatku terpesona dengan betapa kuatnya dirimu, hingga semuanya terlambat.

"Cato!" Kakiku serasa terpancang di tanah.

"Cato!" Jeritanmu membungkam bibirku, hingga aku bisa membalasmu.

"Clove!"

Tapi.. aku terlambat.

Clove, aku tidak bisa menjagamu. Aku gagal menjagamu. Aku gagal mencegah Thresh mencabut nyawamu.

Tapi, aku akan berusaha.

Berusaha untuk kemenangan kita.

Kita sudah ditakdirkan menang, aku berbisik pada angin. Saatnya menyingkirkan pembunuhmu.