"Aku Kardia. Namamu?"

"Defteros."

Disclaimer:

Saint Seiya © Kurumada Masami

Saint Seiya The Lost Canvas © Shiori Teshigori

The Two of Us © AkaKuro815

Alternative Universe

Warning :

Possible OOC, Typo's

Xoxoxo

Mentari kini telah terbangun dari peraduannya. Semburat sinar keemasannya tampak menggelayut mesra dalam pelukan langit di ufuk barat. Kesunyian malam terpecah ketika kicauan burung didendangkan. Memainkan melodi alam yang indah, menyambut datangnya hari baru.

Di sudut kota Berlin, tepatnya di sebuah pasar yang begitu ramai dengan segala macam aktivitas jual-beli, ajang tawar-menawar maupun orang-orang yang hanya berlalu-lalang. Sebuah kerusuhan kecil terjadi . Seorang bocah berambut biru panjang berantakan ber-scraft merah tengah berlari dari kejaran seorang pria berbadan cukup besar. Sesekali bocah tersebut melemparkan ejekan yang membuat pria yang mengejarnya semakin geram.

"Bocah sialan!"

Teriak murka pria berbadan besar itu yang kini sudah jatuh terduduk dengan beberapa box barang berserakan di sekitarnya. Nampaknya bocah tadi berhasil kabur dari kejarannya.

.

Gelak tawa penuh kemenangan menggema di sudut sebuah gang sempit. Tentu saja itu suara milik Kardia, bocah yang membuat onar beberapa saat lalu.

"Kau tak pernah bosan membuat keributan, ya?"

Seorang bocah sebaya dengan Kardia terlihat tengah bersandar di tembok dengan lengan terlipat di dada. Rambutnya berwarna biru namun lebih pekat dari Kardia, kulitnya pun tak seputih Kardia melainkan berwarna tan. Manik biru yang kontras dengan rambutnya itu menatap Kardia yang sedang mengatur napas.

Merasa sudah cukup puas tertawa dan napasnya sudah kembali teratur, bocah bernama Kardia itu kini balas menatap figur di depannya. "Kau datang lagi, eh?"

"Kau tidak suka? Kalau begitu aku akan pergi."

Kardia menggeleng cepat sebelum kemudian mengembangkan sebuah cengiran lebar. "Ayo aku tunjukkan banyak hal menarik padamu!" ucapnya seraya menarik lengan bocah berkulit tan itu untuk mengikutinya.

xoxoxo

"Kau mau membawaku kemana?"

"Sudah diam saja dan ikuti aku."

Setelah melewati tanjakkan yang cukup panjang serta hutan kecil di perbukitan akhirnya mereka berdua sampai disebuah ladang kosong yang ditumbuhi hijau rerumputan. Ditengah-tengah ladang tersebut ada sebuah pohon besar berdiri. Dari yang Defteros amati nampaknya pohon tersebut adalah sebuah pohon tua yang sebentar lagi akan mati. Terlihat dari ranting dan dahannya yang tampak mengering. Belum lagi daun yang seharusnya berwarna hijau lebat malah berwarna kuning kecoklatan dan sangat sedikit.

Bocah berkulit tan itu menutkan alis. Tak mengerti maksud dari temannya itu mengajaknya ke tempat seperti ini.

"Kau sedang mengerjaiku, Kardia?"

Kardia tak langsung menanggapi Defteros. Ia malah berjalan mendekati pohon tua yang hampir mati itu. Berbalik memandang Defteros dengan sebuah senyuman terukir di bibirnya. Tangan kirinya terjulur ke samping memegang pohon tersebut.

"Kau tahu, Defteros? Ini pohon apel."

Defteros berjalan perlahan menghampiri Kardia dengan lengan ia lipat di dada. "Lalu apa itu penting kau memberi tahukanku soal itu, eh? Lagi pula pohon itu sebentar lagi akan mati."

Sudah hal biasa Defteros mengeluarkan kata-kata pedas seperti itu. Namun Kardia tak tampak terlihat marah atau pun tersinggung. Lagi pula ia sendiri sering melakukan hal yang sama seperti Defteros. Mengeluarkan apa yang ada di otaknya tanpa perlu disaring lagi.

Senyuman masih terukir di bibir Kardia, namun lebih tipis dan lembut dari biasanya. "Dulu aku ditemukan di sini. Ibu panti yang memberitahuku. Jadi bisa dibilang tempat ini adalah jati diriku yang sebenarnya."

Defteros tertegun mendengarnya. Ia jadi merasa sedikit bersalah dengan ucapan yang ia lontarkan sebelumnya. "Maaf, aku tidak tahu."

Tawa kecil meluncur dari mulut Kardia. "Untuk apa meminta maaf?"—ada jeda sebentar saat Kardia menatap Defteros.—"Oh ya, kau orang pertama yang aku beri tahu tentang tempat ini."

"Eh? Kenapa harus aku?"

Menggedikkan bahu, "Entahlah. Aku tiba-tiba ingin memberitahumu begitu saja."

Semilir angin berhembus, menemani keheningan yang tercipta. Membelai lembut wajah keduanya serta membuat helai rambut mereka seperti menari di udara.

"Suatu hari nanti aku ingin melihat pohon ini kembali hijau dan dapat berbuah lagi." ungkap Kardia memecah keheningan untuk sesaat.

xoxoxo

Dua bocah berambut biru itu terlihat mengendap-endap di balik semak sambil memperhatikan sesuatu atau lebih tepatnya seseorang. Cengiran jahil terukir jelas di wajah Kardia dan Defteros.

"Kau siap, Defteros?"

"Sangat!" Mengangguk mantap.

"Sekarang!"

Setelah aba-aba dari Kardia tersebut mereka berdua melompat ke luar semak sambil meneriakkan suara yang bisa membuat jantung siapa pun bisa lepas dari tempatnya.

"Sialan!"

Cercah orang yang menjadi korban kejahilan Kardia dan Defteros. Beribu kutukan sudah ia lafalkan dalam hati, mengutuk dua bocah tersebut. Sedangkan dua orang yang bersangkutan sudah kabur sambil tertawa penuh kepuasan.

xoxox

"Lepaskan aku, Minos!" geram seorang bocah berparas cantik yang kini helai indah kebiruannya tangah dijambak oleh seorang bocah lainnya yang berambut silver.

Seringaian lebar jelas terlihat di wajah bocah laki-laki berambut silver. "Berusaha lepaskan sendiri, cantik." Ucapnya sambil mengeratkan genggamannya. Membuat Albafica kembali meringis kesakitan.

Decakan kesal penuh kebencian meluncur dari bocah korban bully itu. Sedangkan gelak tawa terus terdengar dari para pengikut Minos.

"Hei kau yang berambut seperti kakek-kakek! Lepaskan gadis itu!"

'Apa? Gadis?'

Suara lantang Kardia menggema. Membuat kumpulan bocah-bocah tersebut menoleh ke arahnya. Cengiran lebar terpampang jelas di wajah Kardia. Membuat Minos benar-benar geram melihatnya dan segera melepaskan genggamannya pada rambut Albafica.

Minos mencengkram kerah baju Kardia dan memberikan tatapan intimidasi pada bocah berbintang Scorpio itu. Tak gentar Kardia membalas menatap amber milik Minos sambil menyeringai.

Buak!

Satu tinju mentah mendarat tepat di pipi sebelah kanan Kardia. Segaris darah mengalir keluar dari sudut bibirnya yang pecah. Kardia berdecak sambil mengelap darah di bibirnya sebelum kemudian balas meninju wajah Minos.

Akhirnya ajang baku hantam pun tak terelakan lagi.

xoxoxo

Tidak seperti Kardia yang bebas melakukan apapun sesuka hatinya, Defteros justru hidup di lingkungan yang sungguh ketat dan teratur. Sesungguhnya ia adalah putra dari salah seorang prawira tinggi di pemerintahan. Hal itu pula yang memaksanya dididik untuk menjadi seperti kakak kembarnya, Aspros yang begitu sempurna di mata orang-orang.

Ia tidak membenci Aspros karena hal itu, ia justru sangat menyayangi kakanya. Hanya saja ia sudah muak dengan segala perbandingan yang terus menghujami dirinya dan Aspros. Sebagai bentuk pemberontakan itu lah akhirnya Defteros sering kabur dari rumah meninggalkan segala kewajibannya sebagai salah satu calon penerus keluarga.

Tunggu, penerus apanya? Toh yang akhirnya mendapatkan posisi itu adalah Aspros, bukan dirinya. Lagi pula ia bukan orang yang serakah akan kekuasaan, ia hanya ingin bebas menjadi dirinya sendiri. Bukankah miris mengingat dirinya yang baru berumur sebelas tahun sudah memikirkan hal-hal seperti itu?

"Kau akan pergi lagi, Defteros?"

"Bukan urusanmu, Aspros." Ucap Defteros yang terus melangkahkan kakinya menuju pintu tanpa menoleh ke arah kembarannya.

Greb!

"Lepas—"

Kalimat Defteros terputus ketika Aspros membelai lembut kepalanya sambil tersenyum. "Nikmati waktumu, Adikku. Aku tak akan melarangmu. Kau berhak meraih kebebasanmu sendiri."

xoxoxo

Sudah hampir satu jam Defteros mengelilingi sudut kota namun tak menemukan sosok sahabatnya, Kardia. Ya, setelah banyak menghabiskan waktu bersama akhirnya Defteros dan kardia melangkah ke tingkat yang lebih tinggi, dari teman biasa menjadi sahabat baik.

"Hei! Bukankah kau temannya Kardia?"

Defteros segera menoleh. Mendapati sosok bocah laki-laki seusianya yang juga memiliki rambut biru. Hanya saja rambutnya tak sepanjang dirinya dan Kardia, juga rambutnya itu jingkrak ke atas.

"Ya?"

Bocah itu menunjuk dirinya sendiri dengan ibu jarinya dari samping. "Aku Manigoldo. Sedang mencari Kardia, eh?"

Defteros mengangguk singkat. "Aku Defteros. Apa kau melihatnya?"

Manigoldo menggedikkan bahu. "Sejak beberapa hari ini ia tak keluar sama sekali dari panti."

Defteros mengerutkan keningnya. "Kenapa?"

"Manigoldo bodoh! Cepat atau kau ku tinggal!"

Sebuah teriakan memutus pembicaraan Defteros dengan Manigoldo. Terlihat bocah dengan paras cantik tengah mencak-mencak karena kesal menunggu temannya itu. Ya, dia Albafica, bocah yang beberapa hari lalu ditolong Kardia.

Manigoldo menghela napas sebelum kembali menatap Defteros. "Aku harus pergi sekarang. Kalau kau memang ingin bertemu kardia datangi saja panti tempat tinggalnya. Bye!"

TBC

.

.

Yak! Hallo~ ketemu lagi sama saya. Ehe~

Fanfic ketiga saya di fandom ini. Dan kali ini mencoba multi chapter. Coretsemogagakdiscontinuecoret

Kenapa harus Defteros x Kardia? Oh tenang, mereka nggak dibuat homo-an kok di sini. Cuma sahabatan. Ya, sahabatan yang mungkin ada hint-nya kalau saya iseng. #disambit

Oh iya ini settingnya di abad 18 ya. Jadi belum canggih kayak sekarang. Belum ada bangunan pencakar langit atau mobil-mobil mewah buat para horang kaya.

Kalau masalah romancenya mungkin nanti bakal diselipin sedikit. Misalnya kayak Kardia yang seneng ngejar-ngejar Degel gitu. Lalu Defteros yang tiba-tiba dijodohkan sama Degel tapi dia sukanya sama Asmita. Oke ini sinetron, jadi abaikan.

Pokoknya fanfic ini bakal lebih fokus ke ikatan persahabatan yang terjalin antar dua bocah ganteng ini. /halah

Btw, kok ya saya seneng ngebuat harem Albafica. Hahaha #dicucukmawar

Respon kalian yang mempertaruhkan nyawa fanfic ini (halah). Bakal lanjut atau malah discontinue. Soalnya saya punya penyakit men-discontinue-kan fanfic multi chapter yang saya buat.

Sankyu buat yang udah menyempatkan dirinya buat baca fanfic ini. Akhir kata...

See you next chapter!