Title : Dishonesty
Main Cast : HunHan
Support Cast : Wu Yifan a.k.a Kris Wu
Rate : T
Genre : Drama
Summary : Ini hanya sebuah cerita tentang bagaimana akhir dari kisah Sehun dan Luhan
Warning : GS!, Typo, OOC(?), PASARAN, alur amburadul.
.
.
.
Seorang pria tampan sedang sibuk dibalik layar laptopya saat ini. Ia berulang kali membuka map kertas disisi kanan dan sisi kirinya untuk mengecek kesesuaian dokumen yang diberikan karyawan padanya.
Mata sipitnya seperti terlihat tidak lelah sama sekali. Padahal sudah semenjak pagi ia harus duduk manis dan berkutat dengan laptop beserta dokumen-dokumen itu.
Ruangan miliknya memang luas. Ada sekitar empat rak buku disudut ruangan miliknya. Jendela yang besar, yang menampilkan langsung bagaimana keindahan pemandangan keramaian kota itu saat malam hari. Juga yang paling penting meja kerjanya yang tidak bisa dibilang kecil. Meja itu mengkilap, berwarna coklat dan ada sebuah papan nama tertera disana.
Presiden Direktur.
Oh Sehun.
Pria bernama Oh Sehun yang menjabat sebagai presiden direktur di perusahaan ayahnya itu begitu tekun menggarap semua proyek-proyek miliknya. Seakan ia akan dibunuh saat ini juga, kalau-kalau semua pekerjaannya tidak selesai.
Sekarang sudah pukul sembilan malam. Semua karyawan sudah pulang semenjak dua jam yang lalu. Meskipun ada juga beberapa yang lembur, seperti dirinya saat ini.
Ia berulang kali menghela nafas. Jujur saja, ia sangat lelah dan punggungnya juga sudah terasa sakit. Mengingat ia sudah duduk disana sepanjang hari. Bayangkan saja bagaimana sakit yang ia rasakan. Sehun butuh tidur. Ia juga punya kehidupan sendiri, bukan?
Sehun meletakkan map ditangannya, kemudian menutup laptopnya. Tinggal sedikit saja, pekerjaannya akan segera selesai. Tapi, ia sudah sangat lelah. Mungkin ia bisa melanjutkan sisa pekerjaannya dirumah?
Pria itu memejamkan matanya sejenak. Hari sudah malam, dan ia belum pulang kerumah. Beban pikirannya sangat banyak akhir-akhir ini. Sekelebat pikiran langsung hinggap dalam benaknya.
Sehun meraih ponselnya. Menggerakkan jarinya yang panjang itu di layar untuk membuka kunci. Ia menatap datar ponselnya kemudian mendesah pelan. Tak ada satu panggilan atau pesan dari Luhan, batinnya.
Luhan?
Ia adalah kekasih Sehun. Seorang model cantik yang ia kenal disebuah event yang sekarang sudah menjadi calon istrinya.
Seharian berada di kantor, Sehun sama sekali tak mendapat kabar mengenai Luhan. Gadis itu sama sekali tak menghubungi dirinya hari ini. Luhan seperti hilang ditelan bumi. Tak menunjukkan tanda-tandanya kalau ia baik-baik saja selama Sehun tak ada bersamanya.
"Dimana kau, Luhannie?" Gumam Sehun dengan sangat lirih sambil menempelkan ponselnya di dagunya.
Tak ingin menghabiskan waktunya, Sehun bangkit berdiri kemudian keluar dari ruangannya dengan membawa beberapa file setengah selesai yang ia kerjakan tadi untuk dibawa pulang. Ia tak mau menambah beban lagi. Ia cukup lelah dan ia harus pulang sekarang juga.
.
.
.
Di tempat lain seorang gadis terlihat sedang berjalan dengan bahagia bersama seorang lelaki tinggi. Seolah-olah dunia yang begitu luas ini hanya milik mereka berdua. Mereka berdua seakan tak peduli.
Bermesraan, bergandengan tangan, tertawa bersama, juga saling mencium. Walaupun itu hanya sekedar pipi saja, tak menutup kemungkinan kalau mereka menjadi buah bibir oleh orang-orang yang lewat disekitar mereka. Ini tempat umum. Mengapa mereka bisa berbuat seperti itu?
"Kau tidak ingin pulang? Ini sudah larut." Ucap sang lelaki tinggi dengan suara beratnya.
Si gadis mendongak menatap wajah dihadapannya, lalu tersenyum dengan sangat manis. Gadis itu mengeratkan cekalan tangannya pada lengan si lelaki tinggi. Seakan ia tak ingin ditinggalkan.
"Eum. Kau benar, Kris. Ini sudah larut. Antarkan aku pulang." Ujar si gadis menjawab pertanyaan dari lelaki yang bernama Kris itu.
Kris terkekeh mendengar jawaban polos gadis itu. Bagaimana bisa seorang gadis berumur dua puluh tiga tahun masih saja polos seperti dia? Bahkan jika dibandingkan dengan anak berumur lima tahun, bisa saja ia lebih polos dari anak-anak itu.
"Baiklah, Luhan. Akan aku antar kau pulang. Gandeng tanganku. Aku takut kau hilang dan tidak sampai dirumah dengan selamat." Kris tertawa kemudian mendapat pukulan kecil di lengan besarnya.
"Siapa bilang aku akan hilang? Aku bahkan bisa pulang sendiri tanpamu."
Kris terkekeh, lalu merangkul Luhan berjalan bersamanya. Menuju rumah Luhan yang tak begitu jauh dari tempat mereka berjalan-jalan tadi.
.
.
.
Sehun berulang kali menghela nafas sambil tetap memfokuskan pandangannya pada jalanan yang sudah mulai padat malam ini. Pikirannya yang sudah sesak, ditambah dengan kepadatan jalan raya saat ini menambah tingkat kadar kelelahannya. Seharian ini dia merasa kalau dunia ini begitu sempit. Pikirannya terasa penuh, tubuhnya seolah-olah tak mampu lagi diajak untuk berkegiatan dengan keras.
Sehun menoleh ke jok mobil di samping kanannya. Ponselnya yang berwarna putih ia letakkan disitu. Ponsel itu seperti temannya saat ini. Duduk tanpa menunjukkan tanda-tanda akan bergetar atau setidaknya berkedip-kedip. Ia menghela nafas untuk kesekian kalinya. Luhan sama sekali tak menghubunginya. Cih, mengirim pesan singkat saja tidak, apalagi menelpon. Luhan seperti tak peduli pada Sehun lagi. Biasanya, gadis itu akan berulang kali menghubungi Sehun. Tidak peduli sang kekasih masih sibuk atau tidak, ia akan tetap menelpon Sehun.
Sehun mengerem mobilnya perlahan. Traffic light sudah berganti merah. Dan segerombol orang sedang berduyun-duyun untuk menyeberang. Sehun memandang dengan tidak berselera. Dipikirannya sekarang hanya ada tidur dan juga Luhan. Ia berulang kali berpikir keras, kenapa Luhan tak kunjung menghubunginya?
Sehun langsung menancap gas dalam ketika lampu menyala hijau. Jarak rumahnya tinggal sedikit lagi. Semakin cepat ia menjalankan mobilnya, semakin cepat pula ia akan menemui tempat tidurnya.
.
.
"Selamat datang, Tuan Muda Sehun. Anda pulang sangat larut hari ini." Ucap seorang pria memakai setelan jas berwarna abu-abu itu menyambut Sehun.
Sementara sang Tuan Muda hanya tersenyum tampan membalas perkataan pengasuhnya dari kecil. Lelaki yang kira-kira berumur lima puluh dua tahun itu setia menunggunya hingga pulang.
"Kamsahamnida, Lee Ahjussi. Hari ini aku sangat sibuk, jadi mau tak mau harus pulang larut." Jawab Sehun ramah.
"Baik, Tuan. Sebaiknya Anda istirahat. Tidak baik untuk berlama-lama mengobrol sementara Tuan Muda harus berangkat pagi besok." Lee Ahjussi mempersilakan sang majikan untuk naik lantai dua, tempat dimana kamar Sehun berada. Sementara para maid membungkukkan badan dengan hormat, Sehun yang empunya majikan hanya tersenyum kemudian berjalan meninggalkan sekawanan maid itu menuju ke kamarnya.
Kini, Sehun berada disini. Di kamarnya yang bernuansa hitam dan putih. Ia sedang berbaring sebentar untuk menghilangkan kepenatannya seharian ini. Hal ini sangat berharga untuk Oh Sehun. Ia jarang sekali pulang. Kalaupun pulang, ia pasti akan kembali lagi setelah membersihkan diri atau mungkin hanya makan malam saja.
Sehun memejamkan matanya sejenak. Menghela napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Sedikit demi sedikit beban dibenaknya perlahan hilang. Ya, bebannya hilang. Namun tak semuanya.
Ia meraih ponsel miliknya di atas meja nakas. Menekan tombol power yang ada di sisi ponselnya, dan kemudian layar itu menyala menampilkan screen lock dengan gambar dirinya dan juga Luhan. Sehun tersenyum tipis sambil memandang foto itu. Ia merindukan Luhan. Sehun mengusap layarnya. Kunci pada ponselnya terbuka. Kali ini lagi. Tak ada pesan, ataupun telepon dari Luhan.
Sehun tak habis pikir. Sebenarnya apa yang Luhan lakukan seharian ini? Oh, katakan saja kalau Sehun terlalu over protective hari ini. Tapi, bukankah ia sedang khawatir pada kekasihnya yang seharian ini tak kunjung memberinya kabar? Sehun bukan berpikir negatif sekarang, mungkin saja Luhan diculik oleh lelaki tak dikenal? Atau mungkin diperkosa? Ah, tidak. Sehun jelas-jelas membuang jauh-jauh alasan yang terakhir.
Sehun menyerah. Perasaan rindunya sudah mencapai ubun-ubun. Ia tak punya pilihan lain selain menghubungi Luhan sendiri. Jika Luhan tak menghubunginya, maka ia yang harus menghubungi Luhan. Bukan begitu?
Sehun mendekatkan ponsel di dekat telinganya. Panggilannya sudah terhubung. Namun, Luhan tak kunjung mengangkatnya. Sehun mengerutkan dahinya. Ini sudah yang kelima kalinya ia mencoba menghubungi Luhan. Hasilnya masih sama. Nihil. Hanya ada nada sambung yang tetap setia menyapa pendengarannya, bukan suara manja milik Luhan.
Baik. Sehun menyerah. Ia menekan tombol merahpada layar, kemudian melempar ponselnya ke tengah ranjang. Mungkin Luhan menyimpan ponselnya di tas, sehingga tak mendengar kalau ponselnya bordering saat Sehun menghubunginya tadi. Atau mungkin saja Luhan sudah tidur, mengingat hari sudah semakin larut.
Sehun memandang datar ponselnya lagi. Ponselnya tidak berkedip, juga tidak bergetar. Biasanya, Luhan akan balik menghubunginya jika ia tidak sempat mengangkat panggilan dari Sehun. Tapi kali ini layar ponselnya tidak berkedip, sekedar menyala sedetikpun tidak. Tak ada balasan, tak ada respon. Sehun frustasi. Ia bangkit dari tidurnya. Melepas pakaian atasnya, kemudian menyambar handuk putih nan lembut miliknya. Ada baiknya jika penutup hari melelahkan ini adalah mandi.
.
.
.
Sementara di tempat lain, Luhan sedang sibuk membuat dua cangkir coklat panas di dapur minimalis miliknya. Hari ini suhu begitu dingin. Bersantai dengan beberapa makanan ringan dan juga coklat panas bukankah ide yang bagus?
Sambil sesekali bersenandung, Luhan mengaduk dua cangkir coklat panas di hadapannya. Asapnya yang masih mengepul menerpa wajah cantik Luhan. Minuman berwarna coklat itu seperti pemandangan yang bagus bagi Luhan. Ia sendiri tak sabar untuk segera menikmati minuman di cangkir berwarna merah maroon itu. Membayangkan saja sudah membuat Luhan tersenyum, apalagi menikmatinya.
Seorang lelaki tinggi berambut pirang sedang terlihat berjalan mengendap-endap menghampiri si gadis. Si gadis hanya fokus pada dua gelas coklat panas miliknya. Sama sekali tak terlihat menggubris keberadaan si lelaki tinggi. Mungkin ia berpikir, kalau coklat panas lebih menarik daripada lingkungan disekitarnya.
GREB
Si lelaki dengan cepat memeluk si gadis dari belakang. Membuat si gadis yang dipeluk itu terperanjat kaget karena perlakuan si lelaki.
"Kris, kau membuatku terkejut." Ucap si gadis pada si lelaki. Itu Kris, kekasihnya.
Kris terkekeh tanpa dosa. Sama sekali tak merasa bersalah atas perbuatan jahilnya itu. Hanya saja, tidakkah ia takut jika saja Luhan tiba-tiba terkena serangan jantung karena ulahnya?
Kris tidak membalas perkataan Luhan. Sebagai gantinya, ia malah makin mempererat pelukannya pada perut rata Luhan. Meletakkan dagunya di pundak gadis itu, dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Luhan. Sesekali Kris kembali menjahili Luhan. Meniup leher Luhan seduktif, hingga membuat si empunya pemilik leher menggeliat kegelian.
"Kris, kumohon hentikan," ucap Luhan sedikit mengerang. Ia berusaha menyingkirkan kepala Kris dari lehernya. Itu sangat mengganggu, dan―ehm, tidak sesuai tempat.
Kris memilih menjauhkan kepalanya dari leher Luhan. Sebenarnya, Kris sangat enggan untuk menuruti Luhan. Ia sangat gemas pada gadis cantik itu, Luhan sendiri sampai heran padanya. Tingkahnya sama sekali tidak sama dengan image-nya yang cool dan juga sangar itu. Terlalu kekanakkan dan juga manja. Eh?
"Kau mengabaikanku. Bahkan ketika aku berjalan kemari kau sama sekali tak bergerak," ucap Kris lesu. Ia mengubah posisinya menjadi berdiri di samping Luhan. Menatap tangan gadis itu yang sejak tadi masih saja mengaduk coklat panas.
"Aku menunggumu. Tapi kau tak kunjung datang. Apa yang kau lakukan?" Kris bersuara lagi. Ia melipat tangannya, merasa jengkel karena Luhan sama sekali tidak membalas ucapannya barusan.
Luhan mengangkat sendok teh itu kemudian meletakkan benda kecil itu di samping cangkir. Luhan kemudian menghela nafas, lalu segera membalikkan tubuhnya menghadap Kris yang bersedekap dengan wajah yang ditekuk.
Luhan menangkupkan kedua telapak tangannya pada pipi Kris. Sesekali mengelus pipi lelaki tinggi itu. Ia bisa merasakan rahang Kris yang begitu tegas, juga merasakan betapa halusnya kulit Kris. Luhan berpikir, bagaimana bisa kulit seorang lelaki bisa sehalus ini, sehalus kulit miliknya. Ah, Kris 'kan rajin perawatan, jadi wajar saja jika kulitnya bisa sehalus ini.
"Maafkan aku. Aku sedang membuat coklat panas untuk kita berdua." Ujar Luhan dengan suara lembut. Ia berusaha untuk membuat Kris luluh. Luhan hapal betul, jika Kris sudah merajuk seperti ini, Kris tidak akan memaafkannya jika ia tidak merayu lelaki itu. Luhan merasa memiliki bayi besar sekarang! Oh, tidak!
Kris menggenggam kedua tangan Luhan yang masih berada di wajahnya. Ia memejamkan matanya sejenak, sentuhan tangan lembut Luhan sedikit membuat hatinya menjadi sedikit dingin. Sebenarnya, Kris juga tidak tega untuk marah berkepanjangan pada Luhan. Gadis itu terlalu sempurna untuk dimarahi. /?
"Untuk apa kau tetap saja memaksa? Setidaknya, biarkan aku membantumu. Aku juga bisa membuat coklat panas. Katakan padaku, apa kau terluka?" Kris melepas tangan Luhan. Kemudian memeriksa setiap inci tangan Luhan. Barangkali ada goresan atau luka lecet pada gadis itu. Oh astaga! Kau sungguh overprotective Kris!
Luhan yang melihat kelakuan Kris hanya tertawa geli. Ia hanya membuat coklat panas, bukan berkebun kan?
"Kris, hentikan. Tak ada luka apapun, mengerti? Aku hanya membuat coklat panas, tak ada luka sama sekali di tangan atau di tubuhku. Tidak usah terlalu khawatir." Ucap Luhan. Gadis itu tersenyum setelah menyudahi kalimatnya. Sementara Kris, lelaki itu hanya menghembuskan nafas perlahan sebagai respon dari ucapan Luhan.
"Baik-baik, aku mengerti. Tidak ada luka, bukan? Kau tidak sedang menipuku?"
"Oh, demi Tuhan Kris, aku sama sekali tidak menipu. Hentikan tingkah berlebihanmu ini, oke?" Luhan tersenyum hangat pada Kris.
"Sekarang, ayo minum ini. Cuaca sedang dingin dan coklat panas sepertinya cocok untuk saat ini," Luhan menyerahkan satu cangkir coklat panas pada Kris. Lelaki itu menerima pemberian Luhan dengan wajah tidak berselera, sedikit demi sedikit ia menyeruput cairan berwarna coklat itu. Enak, batinnya.
"Bagaimana? Apakah coklat buatanku tidak enak?"
Kris diam sebentar. Lidahnya masih sibuk mengecap rasa coklat buatan Luhan. Ia mengernyit, rasanya bercampur antara manis dan juga pahit. Paduan rasa yang pas.
"Ini enak." Dan jawaban Kris tersebut membuat si empunya pembuat coklat tersenyum lebar. Ia senang sekali.
.
Luhan dan Kris sedang duduk berdua di depan televisi. Setelah beberapa waktu dihabiskan untuk menikmati coklat panas, kedua manusia itu akhirnya memilih untuk bersantai sejenak. Menonton siaran berita yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. Keduanya hanya berdiam diri, membiarkan si televisi berbicara sendiri seakan tak mau berhenti.
Luhan terlihat menyandarkan kepalanya di pundak Kris. Ia hanya memandang jenuh layar televisi di hadapannya. Berita-berita itu kurang menarik, hanya membuat bosan saja, pikir Luhan.
"Kau lelah?" ucap Kris membuat Luhan mendongak menatapnya. Gadis itu tersenyum sejenak, kemudian mengangguk-angguk sebagai jawaban.
Kris mengelus lembut pucuk kepala Luhan. Ia bisa merasakan kalau tangan Luhan semakin erat memeluk tubuh kekarnya. Mungkin Luhan merasa lelah, dari tadi ia hanya menyandar pada Kris dan sama sekali tidak bergerak.
"Luhan, aku ingin mengatakan suatu hal padamu."
Luhan yang langsung merasakan aura serius dari Kris, segera menegakkan tubuhnya dan menatap Kris sama seriusnya.
"Ada apa?"
Kris menghela nafas. Haruskah ia mengatakan hal ini pada Luhan?
::TBC::
Annyeonghaseyo~
Maaf malah publish cerita baru, soalnya yang muncul malah ini. Tapi tenang aja, Sequel'nya 'A Little Kid' pasti aku buatin.
Please give me your review~ ;)
