Cliffhanger

.

.

Naruto owned by Masashi Kishimoto

.

.

.

.

.

Hinata selalu menghabiskan waktu siang harinya di sini. Di dekat tebing, di belakang taman sekolah.

Pendidikan tingkat Taman Kanak-Kanak sudah selesai sekitar setengah jam yang lalu. Jam pulang sekolah dipercepat. Ibu guru yang sedang mengajari mereka harus segera pergi. Ada urusan keluarga katanya. Maka, semua murid dipersilakan pulang lebih cepat. Tidak ada makan siang bersama di sekolah. Orangtua siswa telah dihubungi oleh pihak sekolah, meminta untuk menjemput anak-anak mereka.

Beberapa anak sudah pulang. Kebanyakan anak-anak perempuan. Tingkat kekhawatiran orangtua sekarang ini semakin meningkat mengingat banyaknya kasus penculikan anak kecil. Sisanya berada di sekolah, mengulang pelajaran, menghafal huruf hiragana yang baru mereka pelajari tadi. Anak laki-laki memilih aktivitas lain, bermain bola di lapangan sekolah. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari aktivitas fisik untuk mereka.

Dan di sinilah gadis berambut indigo tersebut duduk, mengamati pemandangan di balik tebing curam, yang memisahkannya dengan dunia di balik tanah dan pepohonan tinggi di seberangnya. Biasanya ia berada di sini kalau sudah jam pulang sekolah, menggambar dan mewarnai buku mewarnainya. Namun, hari ini, sekolah pulang lebih awal, ia bisa merasakan makan siang dengan suasana baru.

Ayahnya akan datang menjemputnya sekitar setengah jam lagi, atau, bisa saja satu jam lagi. Jika sudah terlalu lama, ia akan segera kembali ke sekolah dan menunggu di ruang kelasnya. Sambil merapatkan jaket ungunya, mengingat sebentar lagi musim dingin akan datang membuat suhu di luar ruangan semakin dingin, Hinata tersenyum sedih. Andai saja ayahnya seantusias orangtua murid lainnya ketika menjemputnya sepulang sekolah.

Bukannya tersenyum, Ayahnya hanya akan memasang wajah datar, setelah membiarkannya menunggu selama satu jam atau lebih setelah jam pulang sekolah, mendatanginya lalu memanggilnya untuk segera masuk ke dalam mobil. Tidak ada tangan yang terulur membawa tangan mungilnya, menanyakan bagaimana sekolah hari ini dan lainnya. Andai Ibunya masih hidup. Semua tidak akan sesulit ini. Atau andai ia sekuat adiknya, Hanabi, yang selalu dibanggakan Ayahnya.

Yang ada ia hanya dituntut untuk menjadi seorang pemimpin. Padahal ia masih anak-anak. Usianya masih akan menginjak lima tahun desember ini, namun, beban hidupnya rasanya sudah melebihi anak kelas dua di tingkat sekolah dasar.

Mengenyahkan pikiran buruk itu, Hinata segera mengambil tas kecil di sampingnya, lalu menarik kotak bekal makan siangnya. Setelah mengatupkan kedua tangannya, mengucap syukur atas makanan yang masih bisa diperolehnya, ia mengambil sumpitnya lalu membuka kotak makanan. Mata peraknya melebar.

"Hmm.. aku harus berterimakasih pada Harume baa-san. Ia selalu tahu makanan kesukaanku," ujarnya sambil mengangkat kotak makanan itu, mendekatkannya ke hidung mungilnya, mencium aroma cinnamon roll yang sangat wangi.

Sambil menikmati angin yang berembus pelan, Hinata menyuapkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. Rasa hangat khas bumbu kayu manis, memenuhi indra pengecapnya berlanjut ke tenggorokannya, seolah-olah mengalahkan rasa dingin dari angin musim gugur. Sesekali ia bersenandung ria, menyanyikan lagu yang baru saja ia pelajari di kelas tadi.

Tersisa dua cinnamon roll lagi dan beberapa camilan sayuran di dalam kotak bekalnya. Baru saja ia hendak melanjutkan makan siangnya, sebuah suara tiba-tiba mengusik pendengarannya.

"Heh… monster."

"Apa yang dilakukan anak bermata aneh ini di sini?"

Seorang anak laki-laki muncul di depannya, tangannya bersidekap, wajahnya terangkat, menatap angkuh ke arah Hinata. Di belakangnya ada dua anak laki-laki lainnya, menatapnya remeh. Hinata menatap mereka takut lalu segera menunduk. Seharusnya ia memilih tinggal di sekolah saja tadi, pikirnya.

"Heh… kau dengar kami tidak? Untuk apa kau ke sini?"

Hinata menelan ludah lalu berkata, "A-aku se-sedang ma-makan siang."

Suara lain mengusik pendengarannya. "Kau bilang apa? Suaramu pelan sekali."

Hinata mendongak lalu mengangkat kotak bekalnya, menunjukkan bukti ia sedang makan siang. "Aku se-sedang ma-makan si-siang."

Anak lelaki satunya berjalan maju mendorong bahu mungil Hinata. "Kau tak perlu menunjukkan kotak bekalmu. Pamer sekali. Kau pikir makananmu itu makanan mewah."

Hinata menunduk. Memilih diam.

"Kau lihat matanya tadi. Putih. Ishh… mengerikan sekali. Kau ini makhluk apa?"

"Rasanya seperti melihat hantu."

"Atau jangan-jangan kau buta, ya?"

"Tidaklah. Bukannya ia bisa melihat kita tadi?"

"Jadi, kenapa matanya seperti itu? Apa ia monster."

"…"

Hinata masih menunduk. Menahan dirinya untuk tidak menangis. Segala jenis ejekan masih keluar dari mulut ketiga anak laki-laki itu. Ia tidak akan melawan. Hal itu hanya akan membuat ayahnya berurusan dengan sekolah. Bisa-bisa ayahnya makin benci kepadanya.

"Kenapa kau diam saja?"

Hinata menunduk, menggeleng pelan. Ia menerima dirinya yang terbilang 'aneh' dengan mata seperti itu. Teman-teman sekolah tidak menjauhinya. Mereka masih mau berbicara dengannya, tapi, tidak menjadi teman dekat. Terlalu takut untuk berbincang dengannya, mengingat mata peraknya yang berbeda dan sifatnya yang pemalu itu.

"Kau tidak menjawab pertanyaan temanku?"

Hinata menunduk lagi. Memilih diam.

Dan selanjutnya semua terjadi begitu cepat. Sebuah tangan tiba-tiba mendorong kotak bekalnya dengan keras sehingga terlempar menjauhinya. Isinya terjatuh sembarangan, menyebar menyedihkan. Baru saja ia hendak berdiri untuk mengambil kotak bekalnya, badannya didorong sehingga terjatuh, menghantam tanah. Tas ungunya dibuka, buku-bukunya dijatuhkan ke tanah. Kaki-kaki mungil itu bergerak menginjak-injak makanan yang tersebar di sekitar Hinata lalu menendang buku-bukunya menjauh.

"Ini hukuman untuk anak sok penyendiri sepertimu."

Hinata segera mendudukkan dirinya. Masih diam.

"Ah. Membosankan sekali. Naoki, Tatsuki, ayo pergi."

"Eh. Sudah? Itu saja."

"Tidak seperti kau yang biasanya, Akuru."

Selanjutnya hanya terdengar langkah kaki yang menjauh.

Hinata tersenyum. Setidaknya mereka tidak menyiksanya secara fisik. Ia berdiri lalu menoleh ke belakang. Ketiga anak laki-laki itu sudah menjauh. Pelan, ia melangkah mengambil kotak bekalnya, lalu mulai memungut makanan yang tersebar di sekitar pohon tempatnya bersandar tadi. Tangan mungilnya bergetar.

Setelah memungut semua makanan yang sudah terinjak-injak itu, Hinata segera kembali ke tempatnya berteduh tadi. Ia mengambil tas ungunya lalu memungut buku-bukunya yang tersebar sembarangan. Gadis Hyuuga itu kembali duduk lalu bersandar ke ophon di belakangnya. Hinata mengambil kotak bekalnya dan menatap makanan kesukaannya yang sudah berubah menjadi benda menyedihkan.

Ia ingat perkataan tajam dari ayahnya.

Kau tahu kau tidak mampu melawan apapun. Karena itu lebih baik, ketika kau menghadapi pengganggu sebaiknya diam saja. Jangan menambah urusanku lagi.

Ia tahu. Ia tidak kuat. Daripada melawan, memang diam lebih baik. Hanya saja, keputusan itu hanya baik bagi orang di sekitarnya, tidak untuknya. Tidak untuk yang mengalaminya. Diam terkadang membantu, tapi tidak selamanya akan menolong.

Ia membayangkan usaha Harume baa-san menyediakan bekalnya. Ia tidak peduli dirinya dicerca atau didorong seperti tadi. Tapi, melihat hasil usaha orang lain untuknya dihancurkan begitu, ia merasa bersalah. Bahu kecilnya bergetar.

Hinata menangis dalam diam.

Ia merasa sendirian. Selalu.

Ia hanya tidak tahu, sepasang mata biru, mengamatinya dari jauh.

Naruto tahu bahwa Sasuke adalah orang yang menyebalkan.

Ia terlalu cuek, sensitif, dan dingin. Bahkan, Shikamaru yang dikenal sebagai seorang pemalas di kelasnya, sudah bergerak, mengajak Sasuke untuk bermain dengan mereka. Namun, yang dilakukan bocah Uchiha itu hanya duduk, bersidekap, lalu memasang wajah marah. Alasannya selalu sama.

"Aku tidak mau kalau si kitsune-dobe itu ada di sana."

Naruto mengacak rambut pirangnya gemas. Ia tahu itu salahnya. Yah, tidak sepenuhnya juga, sih. Sasuke yang meletakkan jus tomatnya dengan tutup terbuka di atas meja. Dan memang dari sananya, Naruto adalah bocah yang hiperaktif, ia suka berlari-lari di dalam kelas sambil bermain lempar bola dengan Kiba, dan tidak sengaja menabrak jus kesukaan teman Uchihanya itu. Dan beginilah mereka dengan segala keegoisan khas anak kecil. Naruto yang terlalu gengsi untuk meminta maaf dan mengajak bungsu Uchiha itu bermain dengan mereka serta Sasuke yang tidak mau mengakui kesalahannya karena memang ia juga yang ceroboh meletakkan jus itu sembarnagan dengan kondisi terbuka begitu.

"Naruto pergilah. Minta maaf."

Kiba mendengus lalu mendorong bahu Naruto.

"Apa?" ujar Naruto kesal sambil menepis tangan Kiba. Sifat impulsifnya muncul lagi. "Kan salahnya juga sembarangan meletakkan barang begitu. Lagipula untuk apa juga kita mengajaknya. Pemainnya sudah cukup, kan?"

Gaara, anak laki-laki yang jarang bicara itu menunjuk sebuah mobil hitam yang bergerak menjauhi sekolah. "Sasori sudah pulang. Kaa-sannya sudah menjemputnya."

Sai berjalan dengan senyum palsunya ke arah Naruto. Ia menepuk punggung Naruto, membuat bocah pirang itu memekik kesakitan. "Pergilah. Cepat. Matahari sudah semakin tertutupi awan. Kita perlu berolahraga untuk memanaskan tubuh di cuaca dingin seperti ini."

Naruto memberenggut lalu mendorong Sai. Ia menatap sinis teman-temannya lalu berjalan menuju ruang kelas. Sasuke masih duduk dalam diam, membaca buku hurufnya.

"Sasuke-teme."

"Bahkan meminta maaf pun kau tidak punya tata karma, dobe."

Urat-urat muncul di dahi Naruto. "KAN KAU JUGA YANG SALAH."

"SALAHKAN SIFAT HIPERAKTIFMU ITU."

"JANGAN CUMA MENYALAHKANKU. LIHAT DIRIMU SENDIRI. MEMANGNYA SEKOLAH INI CUMA MILIKMU."

"KAU JUGA! MEMANGNYA TEMPAT INI CUMA PUNYAMU MAKANYA KAU BISA LARI-LARI SEPERTI ITU DI DALAM KELAS."

Shikamaru menatap ruang kelas datar. "Berisik sekali."

Lee mengacungkan tangannya bersemangat. "Itu namanya semangat masa muda."

Shikamaru menoleh, menatapnya datar.

"URUSAI!" ujar si rambut nanas yang kesabarannya sudah mencapai angka nol.

Yang namanya sahabat memang tetap akan kokoh separah apapun masalahnya.

Setelah teriakan-teriakan tersebut selesai. Naruto menatap Sasuke dengan wajah memerah. Sifat impulsifnya sering muncul di waktu yang tidak diduga-duga. Ingin ia mencekik Sasuke, namun apa daya. Bocah dengan mulut pedas itu adalah teman dekatnya.

"Kuganti dengan jus tomat baru."

Dan Sasuke berjalan ke luar kelas.

"Oper, Rubah!"

"Urusai! Aku bisa menyelesaikannya sendiri."

Kankuro menabrak bahu Naruto, merebut bola.

"Sial!"

"Apa kubilang?"

"Diamlah, Shikamaru."

Kankurou berlari membawa bola dengan lincah. Jaraknya tidak terlalu jauh dengan gawang lawan. Chouji berdiri dengan tangan terbuka. Menatap bola ganas seperti melihat daging sapi kesukaannya dalam wujud bulat dan ukuran besar.

Laki-laki dengan garis ungu di wajahnya tersebut menatap Chouji. Badannya tergolong besar untuk ukuran anak TK seperti mereka. Dan Kankurou tahu hanya ada dua masalah besar ketika seseorang seperti Chouji ditempatkan dalam posisi sebagai penjaga gawang.

Satu, badan besarnya ditambah kedua tangannya akan mempersempit area yang bisa dituju untuk menendang bola agar mencapai gawang. Dan dua. Badan besarnya hanya akan menghalangi kecepatan geraknya ketika mencoba menghalangi bola yang datang.

Dan untuk Chouji berlaku aturan kedua.

Bola memasuki gawang. Teriakan Kankurou menggema di udara.

Naruto berjalan lunglai menuju pinggir lapangan. Ia tidak hanya lelah secara fisik tapi juga batin. Ia sudah rela berlari-lari mengalahkan suhu dingin yang menusuk. Membiarkan tubuhnya semakin membeku, namun, hasilnya timnya juga kalah. Ia menutup mata lalu berbaring menghadap matahari.

Rasa dingin menyentuh pipinya. Naruto melirik ke samping. Gaara menyodorinya sebuah minuman.

"Arigatou, Gaara."

Gaara mengangguk lalu meminum minumannya sendiri. Shikamaru bergerak lalu duduk di samping Gaara. Dari kejauhan, Sasuke bergerak, berjalan menuju mereka.

"Kushina baa-san belum menjemputmu?"

Naruto menggeleng.

"Tumben."

Naruto mengedikkan bahu. "Kau juga Shikamaru, Gaara. Dimana ibu kalian? Bahkan aku heran kemana Mikoto baa-san. Bibi itukan sangat khawatiran dengan anak manjanya ini."

"Aku tidak manja, idiot."

Naruto menyeringai. "Seperti aku tidak tahu saja bagaimana perlakuan Mikoto baa-san padamu di rumah. Kaa-chan selalu menceritakannya setiap kali mereka selesai arisan. Mengharapkan aku semanja kau di rumah."

"Benarkah itu, Sasuke?"

Gaara menoleh menatap Sasuke. "Diam kau, Naruto," ujarnya lalu menoleh ke arah Gaara, "Tidak. Itu tidak benar, Gaara."

Naruto tiba-tiba berdiri. "Mau kemana Naruto?" tanya Sai yang baru saja sampai ke tempat mereka beristirahat.

"Toilet."

Bocah Namikaze itu mulai berjalan meninggalkan teman-temannya. Ia meneruskan langkahnya menuju sisi belakang gedung, tempat toilet berada. Setelah menemukan toilet, ia menyelesaikan kegiatannya lalu berjalan keluar. Takut-takut kalau teman-temannya sudah meninggalkannya. Baru saja ia hendak berbelok ke lapangan, suara bentakan tiba-tiba mengusiknya.

Ia menoleh, mendapati sumber suara berada di belakang taman kecil TK. Merasa penasaran, Naruto berjalan ke arah taman, terus hingga tembus ke jalan kecil di antara aliran air ke sisi lain taman. Ia mengamati pohon-pohon kecil dan taman bunga yang tersebar. Sejujurnya, Naruto sangat menyukai taman belakang sekolah. Hanya saja, ia tidak pernah punya waktu untuk menikmati keadaan di taman. Ia terlalu sibuk bermain dan mengikuti bmbingan belajar untuk persiapannya di pendidikan selanjutnya hingga lupa menyisakan waktu untuk dirinya sendiri.

Lain kali aku harus ke sini lagi, ujarnya dalam hati.

"Heh… monster."

Mendengar suara keras itu, Naruto melanjutkan langkahnya. Memangnya ada monster di tempat seperti ini. Ia mendengus. Setelah berjalan beberapa langkah, Naruto akhirnya melihat siapa orang yang berteriak-teriak tidak jelas itu. Ia bisa melihat tiga orang anak laki-laki sedang berdiri sambil bersidekap, memandang seseorang. Ia tebak, pasti ketiga laki-laki ini sedang mengintimidasi seseorang.

Naruto mengernyit. Ia berusaha melihat siapa orang yang sedang mereka intimidasi. Namun, pohon besar menghalangi arah pandangnya.

Ia mengamati ketiga anak laki-laki itu.

"Kau tidak menjawab temanku?"

Naruto mengepalkan tangannya. Tidak suka dengan nada bicara yang sombong seperti itu. Namun, sebelum tahu apa masalahnya, rasanya tidak tepat untuknya bergerak lalu menghajar anak-anak itu. Ia belum tentu bisa menyatakan anak-anak itu yang salah. Siapa tahu yang sedang mereka intimidasi adalah orang yang salah. Misalnya, orang itu mencuri dan ketiga orang ini sedang memintanya untuk jujur. Entahlah.

Tapi, beberapa detik kemudian, ia tahu bahwa tiga orang itu adalah pihak yang salah.

Salah seorang anak laki-laki menunduk lalu mendorong sesuatu. Dari balik pohon itu, sebuah kotak bekal terlempar. Naruto menatap kotak tersebut dengan isinya yang tersebar sembarangan. Ia memandang tidak percaya ke arah makanan yang terbuang begitu saja. Belum selesai keterkejutannya, sebuah tas tiba-tiba terlempar. Buku-buku di dalamnya sudah terjatuh dan sedang disebar dengan kaki kemana-mana.

Naruto mengepalkan tangannya lalu mulai berjalan ke tempat tiga orang anak itu. Namun, terlambat, mereka sudah pergi terlebih dahulu. Ia berhenti lalu memandang pohon itu. Seorang anak perempuan berjalan ke arah kotak bekal yang tergeletak tidak jauh darinya. Naruto mengamati tubuh mungil anak perempuan berambut indigo itu bergetar. Jaket ungu yang menutupi tubuhnya ia gunakan untuk mengusap air matanya yang mulai jatuh.

Tunggu. Jaket ungu? Rambut indigo?

Hanya ada satu orang dengan warna rambut seperti itu di kelas.

Hyuuga Hinata.

Ia memang tidak terlalu akrab dengan anak itu. Tapi, bukan berarti ia tidak mengetahui namanya. Mereka sekelas di sekolah. Tiba-tiba, Naruto yang merasa kasihan hendak berjalan ke arahnya dan membantunya. Namun sebuah suara teriakan menghentikan gerakannya.

"NARUTO! KUSHINA BAA-SAN SUDAH DATANG!"

Mendecih sebal, Naruto berbalik kembali ke sekolah. Kaa-sannya tidak akan sabar menunggunya. Bisa-bisa ia dijewer karena membuatnya menunggu lama. Sebelum benar-benar meninggalkan taman sekolah, Naruto menoleh, menatap gadis Hyuuga itu sedih.

Meminta maaf dalam hati karena tidak bisa membantu.

Dan berjanji untuk melindunginya lain waktu.

Sebagai seorang teman sekelas yang baik.

"Ne, Sakura-chan. Duduk denganku saja, ya. Aku sudah bosan dengan si Teme itu."

Seorang gadis dengan rambut sewarna bunga sakura mendongak, menatap Naruto dengan raut wajah yang bosan.

"Aku tidak mau, Naruto. Berhentilah memaksaku. Klaupun harus bertukar tempat duduk, aku maunya dengan–"

Ucapan gadis musim semi itu terputus. Manik jade-nya bergerak melirik ke arah meja Naruto, tepatnya ke arah seorang anak laki-laki yang sedang menumpu wajahnya dengan kedua tangannya.

Naruto bersidekap, memasang wajah cemberut. Ia berjalan ke tempat duduknya. Dihempaskannya badan berbalut jaket oranye itu ke kursi, menatap datar ke arah depan. Sambil mengunyah keripik kentang, Chouji menatap Naruto. "Berhentilah mengejar Sakura, Naruto."

Sai menoleh ke belakang menampilkan senyum palsunya. "Kau menyukai Sakura? Bukannya dia suka dengan Sasuke, ya?"

Sasuke yang sedang berpikir, tiba-tiba tersentak. Naruto menatap Sai, lalu melemparkan sebuah buku ke kepalanya.

"Lain kali kau harus belajar tata krama berbicara denganku, Sai!"

Sai tersenyum. "Kenapa? Yang kudengar Kushina baa-san selalu memarahimu di rumah karena mengikuti kebiasaan kakekmu."

Shikamaru yang baru saja bangun menatap Sai penasaran. "Kushina baa-san bilang apa?"

"Sai. Jangan sam-"

"Dia suka menonton hentai. Kaa-sanku yang bilang."

Kelas hening seketika. Semua anak menatap Naruto. Anak laki-laki itu gelagapan. Mata birunya bergerak gelisah.

"I-itu tidak be–"

"Tak kusangka kau ternyata begitu Naruto."

"Kita masih anak TK. Enam tahun. Beberapa bulan lagi baru masuk sekolah dasar. Dan kau sudah menonton hal seperti itu."

"Pantas Kushina baa-san se–"

"URUSAIII!"

Naruto bergerak, melompat ke arah Sai lalu memukulinya tanpa ampun. Kelas yang tadinya hening menjadi heboh seketika.

Hinata menatap Naruto yang sedang bertengkar dengan Sai dalam diam. Iris peraknya bergerak mengikuti gerak-gerik Naruto yang ternyata sangat lincah tersebut. Diam-diam ia tersenyum. Keributan Naruto membawa kesan tersendiri untuknya.

"Ne, Hinata, apa yang sedang kau lihat?"

Hinata menoleh, memandang teman sebangkunya yang baru. Seorang anak perempuan berambut pirang menatapnya penasaran.

"Ti-tidak a-ada, mmm, Yamana-"

"Ino. Panggil saja aku Ino atau Ino-chan. Jangan pakai margaku. Aku merasa kau sedang memanggil ayahku saja."

Hinata mengangguk. "Ti-tidak ada, Ino-chan."

"Hmm.. kau yakin?" ujar Ino, mendekatkan wajahnya ke arah Hinata.

Gadis berambut indigo itu mengangguk.

Ino menatapnya. Diam sebentar lalu berbicara lagi, "Kau memandangi Naruto."

"Eh?"

"Iya, kan? Ayo jujur."

Hinata masih diam. Bisa bahaya kalau ia ketahuan melihat Naruto. Ino tersenyum maklum, lalu menepuk-nepuk lengan Hinata. "Tidak apa-apa kalau kau suka Naruto. Hanya saja, kan, kau tahu Naruto itu sukanya dengan Sakura. Kau tidak apa-apa?"

Hinata menggeleng. Mengibas-ngibaskan tangannya, memberi tanda tidak setuju, mengabaikan kedua pipinya yang sedang memerah. "Bu-bukan be-begitu Ino-chan. A-aku hanya me-merasa Na-namikaze-san sangat ber-berbeda de-dengan kita."

"Maksudmu?"

"Di-dia sa-sangat ra-ramai,"ujar Hinata sambil memainkan kedua jari telunjuknya, bingung dengan pemilihan kata yang dia gunakan. Dapat dilihatnya wajah bingung Ino yang menatapnya penuh curiga.

"Su-sudahlah. La-lagipula aku me-melihatnya karena be-benar-benar berterimakasih a-atas ban-bantuannya dua hari yang lalu."

"Hooh… apa yang sudah dilakukannya padamu?"

Melihat wajah penuh ingin tahu Ino, Hinata semakin gelagapan saja. "I-ia me-menolongku da-dari anak-anak yang me-menggangguku."

Ino mengerjapkan matanya. Memahami alasan gadis iu sebegitu cermatnya memperhatikan Naruto. "Oh. Begitu. Yokatta. Soalnya kalau kau suka dengan Naruto, akan susah mendapatkannya. Bukannya bermaksud membandingkan. Tapi, kepribadianmu dan Sakura, kan, benar-benar berbeda. Singkatnya, aku cuma mau bilang, kalau mau menyukai laki-laki, jangan Naruto. Akan sulit mengalihkan perhatiannya dari Sakura."

Hinata tersenyum, mengangguk. Menerima alasan tersebut tanpa protes. Ia tahu jawaban Ino benar dan ia menerimanya di dalam pikirannya.

Namun tidak di hatinya.

Ia masih anak-anak. Paling muda di kelas. Ia akan merayakan ulang tahun kelimanya desember nanti. Ia anak yang cerdas dan rajin. Ia selalu menerima semua ucapan orang dengan alasan tidak mau balas menyakiti orang lain. Pesan Kaa-sannya.

Tapi, untuk yang satu ini, untuk ucapannya Ino tersebut, entah kenapa, ia tidak bisa menerimanya. Hatinya menolak, entah kenapa.

Dan ia hanya menyimpan hal itu sendiri.

Setidaknya, ia masih harus berterimakasih pada Kami-sama yang telah memberinya kesempatan berbincang dengan laki-laki ceria itu.

.