Disclaimer : Masashi Kishimoto

Genre : Family, Friendship, Romance

Rated : M

Summary : Baginya, melihat ayah dan ibunya bercerai saat menginjak kelas dua SD jauh lebih baik dibandingkan melihat ayahnya bergumul di atas ranjang dengan seseorang yang sangat dihormatinya. Sensei-nya sendiri.

.

.

CHAPTER 1

.

.

Minato memandang Naruto yang duduk di hadapannya dengan tatapan kesal –yang dibalas oleh tatapan menantang dari anaknya tersebut. Alhasil dahi Minato berkedut. Kemarahannya pun semakin memuncak. Perlahan, aura hitam keluar dan menyelimuti dirinya, membuat para pelayan yang ada di sekitar ruang tamu itu segera menjauh. Mereka tak tahan dengan aura kelam Minato. Namun sepertinya Naruto tak ambil pusing dengan hal itu, buktinya ia tak merasa ketakutan dan bersikap biasa saja –seolah tak terjadi apa-pun. Dan tak ada seorangpun di hadapannya.

"Kau tahu apa yang sudah kalu lakukan Naruto?"

Naruto menghela nafas kemudian bersandar pada badan kursi, "aku hanya berkelahi."

"Dan kau tahu apa akibatnya?"

"Dikeluarkan dari sekolah."

Minato menaikan sebelah alisnya, "dan kau masih bisa bersikap santai seperti ini?" dia menggelengkan kepalanya. "Apa kau tidak sadar, Naruto? Kau ini sudah membuat tiga orang masuk UGD. Dan ini sudah kelima kalinya kau dikeluarkan dari sekolah dalam semester ini!" Minato menatap tajam Naruto. "Apa kau tidak merasa bersalah sedikitpun?" tanyanya dengan nada sedikit membentak.

"Tidak."

Jawaban yang dilontarkan Naruto sontak membuat urat-urat kekesalan Minato terlihat jelas di wajahnya. Kemarahan sudah sampai pada puncaknya. Apa yang dilakukan Naruto ini bukan lagi sebuah kenakalan remaja biasa. Berkelahi dengan dua puluh siswa di sekolahnya –dan mengakibatkan tiga di antaranya masuk UGD. Sering membolos serta selalu membangkang semua nasehat serta perkataan gurunya. Dan dikeluarkan lagi dari sekolahnya, padahal baru dua minggu yang lalu ia pindah sekolah. Entah apa yang terjadi pada pemuda itu masih menjadi misteri sampai sekarang. Dibujuk dengan cara super halus sampai kasarpun Naruto tetap bungkam.

Padahal sejak sekolah dasar hingga SMA tahun pertama dia tak pernah melakukan hal semacam ini.

Minato menghela nafas panjang. "Sebenarnya ada masalah apa kau ini?" tanya Minato dingin, "dulu kau tak pernah melakukan hal bodoh seperti ini."

Naruto menggeleng pelan kemudian bangkit dari kursinya, "kurasa tak ada yang terjadi." Jawabnya ringan. "Aku mau kembali ke kamar." Kata Naruto singkat kemudian meninggalkan Minato yang masih duduk di kursinya.

Saat ini ia malas berdebat panjang dengan ayahnya. Tubuhnya terlalu lelah setelah berkelahi dengan dua puluh orang. Badannya yang penuh lebam dan lecet belum tersentuh alkohol serta kapas. Lagipula ia belum sempat mandi dan makan. Jadi, ia pikir jika terus meladeni ayahnya, itu hanya akan memperburuk keadaannya saja.

Sementara itu, Minato memandang kepergian Naruto dengan tatapan kesal. Anak itu sekarang susah di atur. Dan semakin dikekang, dia justu semakin memberontak. Berbeda sekali dengan Naruto yang dulu –yang akan selalu patuh pada perkataan ayahnya. Ah, sekarang Minato jadi merindukan sosok Naruto yang dulu. Sosok yang ceria dan tak pembangkang seperti sekarang.

Hei, kau kemanakan Naruto-ku yang dulu?

.

.

Naruto melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terasa lebih baik setelah guyuran air membasuh tubuhnya yang penuh keringat dan lebam. Namun hanya sebatas tubuh. Batin dan jiwanya tak menjadi lebih baik, masih buruk seperti sebelumnya –atau mungkin tambah buruk jika kau mau jawaban yang sesungguhnya.

Naruto mulai berjalan ke arah kemeja sekolahnya yang tergeletak begitu saja di tempat tidur. Ia merogoh kantongnya dan mengambil dua benda dari dalam sana. Sebuah rokok dan korek api. Ia menyelipkan rokok itu di bibirnya kemudian menyulutnya dan duduk di pinggir ranjang. Mata birunya memandang kosong dinding kamarnya yang berwarna biru pucat.

Merokok adalah hal pertama yang dilakukan Naruto ketika hatinya sedang kesal –atau ketika ingatan tak menyenangkan itu kembali memenuhi kepalanya. Dulu, merokok, berkelahi, atau minuman keras adalah hal yang tabu baginya. Sebelumnya ia tak akan pernah berpikir akan mencoba semua hal itu. Dulu ia adalah anak polos yang selalu mengenal hal-hal yang positif. Tapi itu dulu, dan Naruto yang polos sudah mati –sudah lama. Dia mati ketika merasakan sebuah penghianatan yang dilakukan oleh orang terdekatnya.

Kejadian itu memang sudah lama, namun ingatan tentang hal itu masih tetap hangat dalam benaknya.

Baginya, melihat ayah dan ibunya bercerai saat menginjak kelas dua SD jauh lebih baik dibandingkan melihat ayahnya bergumul di atas ranjang dengan seseorang yang sangat dihormatinya. Sensei-nya sendiri.

"Aku mencintaimu Kakashi,"

"Aku juga mencintaimu, Minato-san,"

"Ahhh~ kau milikku Kakashi,"

"Fa-faster Mi –ah Minato~"

Naruto melemparkan puntung rokok yang masih menyala ke sembarang tempat ketika ingatan tentang ayahnya dengan orang itu muncul kembali ke dalam pikirannya. Ia benci Minato. Ia benci orang itu. Ia benci kenyataan. Ia benci kehidupannya yang sekarang. Sayangnya, ia terlalu pengecut untuk kematian. Ia terlalu takut mengakhiri lembaran hidupnya. Ia payah. Pengecut.

Kringgg Kriinggg!

Dering ponsel membangunkan Naruto dari lamunannya. Ia segera mengalihkan pandangan ke arah ponsel yang tergeletak di meja. Dengan malas Naruto mengambilnya kemudian tersenyum kecil begitu mengetahui siapa yang menghubunginya malam-malam seperti ini. Tak biasanya.

"Kaa-san?"

"Naruto! Kaa-san dengar kau dikeluarkan dari sekolah, apa itu benar?"

Naruto menghela nafas panjang, "ya,"

"Naruto, sebenarnya a–"

"Aku rindu kaa-san. Apa Kaa-san bisa mengambil cuti dan berlibur sejenak denganku?"

"Maafkan Kaa-san sayang, Ka–"

"Ya sudah tak apa, selamat malam. Aku menyangimu. Selalu."

Naruto memutus sambungan telepon. Dipenganggnya ponsel hitam itu dengan erat kemudian ia lemparkan dengan keras ke lantai hingga ponsel mewah miliknya hancur berkeping-keping. Tapi ia sama sekali tak peduli. Pikirannya terlalu kacau untuk memikirkan hal sepele seperti itu.

"Brengsek," gumannya pelan, 'padahal aku hanya ingin bertemu dengannya sebentar, tapi kenapa selalu seperti ini? Apa aku sudah tak penting lagi di matanya?' batin Naruto kemudian mengambil jaket tebal dan segera bergegas keluar dari kamarnya. Ia sama sekali tak mempedulikan teriakan ayahnya ketika ia berjalan menuju pintu keluar.

Lalu, begitu sampai di depan gerbang, ia melihat Kakashi yang sudah berdiri di sana. Bertemu dengannya sekarang memang bukanlah hal yang menyenangkan –apalagi setelah hal panjang yang dialaminya hari ini. Dan saat memandang wajahnya, ia ingin memukul dan meremukan seluruh tulang yang pria bermasker ini miliki ketika melihat sebuah senyuman tergambar di balik maskernya.

"Naruto," panggil Kakashi. Naruto hanya diam dan memandang pria itu dengan tatapan tak senang.

Aku membencinya –sangat membencinya.

"Aku dengar kau dikeluarkan lagi dari sekolahmu?" tanya Kakashi.

Dasar pria homoseks!

Untuk apa kau bertanya seperti itu! Apa urusanmu!

"Sebenarnya apa yang tejadi?"

Hah! Pertanyaan macam apa itu!

Kau mau tau apa yang terjadi heh?

–dulu kau tak seperti ini,"

Tentu saja! Dan ini semua berkat kau!

"Naruto?"

Naruto segera sadar dari lamunannya ketika tangan Kakashi menyentuh pundaknya. "Permisi!" ujar Naruto datar kemudian menjauhkan tangan Kakashi dari pundaknya dengan kasar dan segera meninggalkan pria bermasker itu. Sementara itu Kakashi hanya bisa memandang punggung Naruto yang semakin lama semakin menjauh.

Apa yang sebenarnya terjadi?

.

.

Naruto melirik ke arah jam tangannya, pukul 12 malam. Waktu yang sangat cocok untuk menarik selimut, memejamkan mata, dan menyelam ke alam mimpi. Namun, itu sama sekali tak berlaku bagi Naruto. Sudah lama ia mengalami insomia dan selalu mendapatkan mimpi buruk ketika terlelap. Dan sekarang, ia tengah menikmati suasana tengah malam dengan berjalan kaki di trotoar jalan raya Uzugakure yang terlihat ramai. Kota ini memang tak pernah tidur. Selalu saja ramai.

Dan berjalan sendirian di tengah malam begini memang suatu hal yang menyenagkan bagi Naruto. Setidaknya ia bisa melupakan sejenak kekesalannya yang tadi sempat memuncak. Tak lama berjalan, ia sedikit tersentak ketika sebuah mobil limosin mewah berhenti di sampingnya yang tengah berjalan di trotoar. Dan dari warnanya, Naruto sudah tahu siapa pemilik mobil itu. Deidara. Karena ia yakin hanya Deidara yang mau mengecat mobil limosin dengan warna kuning menyala dengan beberapa garis biru tua seperti ini.

Pengemudi mobil itu membuka kaca jendelanya dan memandang Naruto yang diam di trotoar. "Hei kepala durian! Cepat masuk!"

Dahi Naruto berkerut mendengar perkataan itu. Ia segera menoleh ke arah Deidara yang langsung disambut dengan cengiran khas pemuda berambut kuning panjang itu. "Berhenti menyebutku kepala durian, teroris!" ujar Naruto kesal.

"Sudahlah, ayo cepat masuk. Kita bertengkar di dalam saja,"

Naruto mendengus kemudian segera masuk ke dalam mobil Deidara. Dan setelah Naruto masuk, Deidara segera melajukan mobilnya.

"Hei, ini 'kan hari Selasa, seharusnya kau masih ada di asrama. Kau kabur?" tanya Naruto sembari memasang sabuk pengaman. Ia tak mau ambil resiko karena ia tahu jika Deidara sangat menyeramkan ketika mengendarai mobil.

"Enak saja, memangnya aku ini kau yang selalu bolos," Deidara terkekeh kecil ketika melihat wajah Naruto yang sedikit cemberut. "Aku izin untuk pulang. Oh ya Naruto, aku dengar kau dikeluarkan lagi dari sekolah ya?" tanya Deidara sembari melirik ke arah Naruto sekilas sebelum mempercepat laju mobilnya.

Naruto menghela nafas panjang, "kenapa berita itu cepat sekali menyebar?" guman Naruto. Ia yakin ayahnya pasti telah menyebarkan kabar ini. Jika tidak, kenapa Kushina, Kakashi, sampai Deidara tahu hal ini?

Deidara memajukan bibirnya. "Kali ini ulah apa lagi Naruto?" Deidara menghentikan mobilnya begitu sampai di lampu merah –dan kebetulan lampu merah itu menyala. "Apa kau tidak bosan dikeluarkan terus dari sekolah?" dia menoleh ke arah Naruto yang masih tutup mulut. "Huh, kenapa tak menjawab pertanyaanku? Apa yang sebenarnya terjadi padamu hah? Kenapa kau jadi begini?" tanya Deidara lagi yang masih diabaikan oleh Naruto. Dan mau tak mau, itu membuat Deidara kesal. "Hei, kau ini Naruto bukan?"

Naruto menoleh ke arah Deidara, "tentu saja, kau pikir aku ini siapa lagi, baka!" ujar Naruto.

"Tapi kau tak seperti Naruto,"

Sebelah alis Naruto terangkat, "apa maksudmu?"

Deidara menjalankan kembali mobilnya, "Naruto yang kukenal sangat ramah dan ceria, tidak seperti kau ini," Deidara melirik tajam ke arah Naruto. "Jangan-jangan benar, kau ini hanyalah orang yang menyamar menjadi Naruto!" ujar Deidara sembari menyeringai kecil.

"Dasar baka, aku ini benar-benar Naruto!" Naruto menoleh ke arah Deidara dan memandangnya kesal. "Dan Naruto yang dulu sudah mati!"

"Kalau begitu kau harus bertanggung jawab, hidupkan dia lagi!" ledek Deidara, "aku rindu sikap manjanya tahu!" Naruto memutar matanya mendengar perkataan Deidara. "Hei! Kembalikan Naru-chanku~" rengak Deidara dan dahi Naruto berkedut mendengar hal itu, "Aku rindu pelukannya dan ciumannya tahu. Ayo kembalikan Naru-cankuuu~~~"

BLETAK!

Naruto sukses menjitak kepala Deidara ketika kesabarannya mulai menipis menghadapi tingkah Deidara yang konyol ini. Alhasil mobil yang ditumpangi mereka berdua sedikit bergoyang dan menimbulkan bunyi klakson yang begitu keras dari pengguna jalan yang lain. Untungnya Deidara berhasil dengan cepat menguasai mobil kembali dan mengemudikannya dengan lancar di jalan.

"Kau ini mau mati apa?" tanya Deidara sembari melirik tajam ke arah Naruto.

Sementara itu Naruto hanya menghela nafas panjang "Dei, kau mau mengajakku kemana?" tanya Naruto tanpa mempedulikan perkataan Deidara sebelumnya.

"Ke apartemenku saja ya, aku sedang malas pulang ke rumah," Naruto menoleh ke arah Deidara, " –dan aku sudah trauma ke klub malam hanya berdua denganmu!" jelas Deidara ketika Naruto hendak mengajukan protes.

.

.

Apartemen Deidara yang baru bagi Naruto tetap saja sama seperti apartemennya yang lama. Kuning! Mulai dari dinding hingga bantal semuanya warna kuning. Tak dapat dipungkiri jika dia juga seorang maniak kuning, tapi sepertinya tak separah Deidara! Namun dari sekian banyak peralatan, pernak-pernik berwarna kuning yang ada di apartemen Deidara, pandangan Naruto tertuju pada sebuah majalah yang tergeletak di sofa. Dahinya berkedut ketika melihat cover majalah tersebut. Dua orang laki-laki tengah berciuman. Dan judulnya membuat Naruto menaikan alisnya. Bingung.

Yaoi?

Karena terdorong rasa penasaran, Naruto duduk di sofa kemudian membuka-buka isi majalah tersebut. Dan ia tak dapat menahan keterkejutannya begitu membaca halaman pertama hingga halaman ke lima. 'Apa-apa-an ini?' batinnya sembari melempar majalah itu. Ia tak ingin meneruskannya lagi karena isinya hanya seputar Homoseks dan beberapa foto yang membuat perutnya serasa di aduk-aduk.

"Hei hei, kenapa melempar majalah sembarangan?" Deidara mengambil majalah yang tadi dilempar Naruto kemudian duduk di sampingnya.

"Kau ini yang kenapa?" Deidara menaikan alis matanya, "kenapa menyimpan majalah seperti itu?" tanya Naruto sembari menunjuk majalah yang ada di pangkuan Deidara.

Deidara mengangguk, "ini bukan milikku." Katanya santai sembari menyodorkan minuman kaleng ke arah Naruto. "Ini milik salah seorang temanku yang tertinggal di sini saat dia mampir minggu lalu." Jelas Deidara kemudian membuka kaleng minuman rasa jeruknya dan meneguk isinya hingga separuh. "Memangnya kenapa dengan majalah ini?" tanya Deidara penasaran. Sebelumnya ia tak pernah melihat ekspresi jijik Naruto hanya karena sebuah majalah.

"Bukannya apa-apa hanya saja tema yang diangkat majalah itu mengerikan." Jelas Naruto. "Gay. Homoseksual. Sangat menjijikan."

Deidara terkekeh kecil, "loh, bukannya itu bukan hal yang tabu lagi?" dia melirik sekilas ke arah Naruto yang tampak frustasi. "Lagipula pernikahan sejenis 'kan sudah dilegalkan," tambah Deidara kemudian menoleh ke arah Naruto.

"Tapi tetap saja mengerikan." Naruto bersandar pada sofa kemudian menoleh Deidara. "Memangnya kau tidak merasa aneh?" tanya Naruto kemudian membuka membuka minuman kaleng dan meminum isinya.

Deidara menggeleng, "tidak. Yah, mereka 'kan juga manusia, Naruto. Dan tak ada definisi serta larangan dalam cinta," Deidara menghela nafas panjang. "Oh ya Naruto, tadi siang aku dan ayahmu sudah membicarakan kepindahanmu. Dan dia sudah memutuskan untuk memindahkanmu ke asramaku." Jelas Deidara berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Naruto menaikan sebelah alisnya, "Konoha Gakuen?"

Deidara mengangguk. "Setidaknya aku masih bisa mengawasimu kalau kau sekolah di sana." Deidara tersenyum kecil. "Dan kali ini jangan menolak. Ini 'kan demi kebaikanmu juga. Lagipula Konoha Gakuen itu sekolah yang menyenangkan –yah walau tak menutup kemungkinan beberapa dari mereka itu menyebalkan.

"Terserah kau saja," ujarnya.

Sebenarnya Naruto sudah malas untuk sekolah. Ia benci peraturan yang membuatnya terasa seperti terkepung. Padahal ia ingin bebas. Namun kali ini ia tak bisa menolak karena Deidara sudah turun tangan. Walau bagaimanapun, ia tak ingin membuat Deidara marah atau menolak ajakannya. Ia tahu Deidara itu sedikit pyscho dan berani melakukan apapun untuk mendapatkan keinginannya. Luarnya saja terlihat lembut, dalamnya... –lupakan.

Walaupun Naruto juga memiliki sisi lain seperti itu, ia tak mau menunjukannya pada Deidara. Begini-begini Naruto menghormatinya. Karena hanya ada Deidara yang selalu ada di dekatnya ketika ia menangis pasca perceraian kedua orang tuanya.

"Lalu kapan kita akan berangkat?" tanya Naruto malas sembari menyalakan televise dan mencari saluran menurutnya menarik.

"Besok, jam sepuluh pagi. Lebih baik kau istirahat sekarang karena perjalannya memakan waktu sampai satu jam walau aku sudah menggunakan kecepatan penuh."

.

.

TBC

.

.