.

.

.

.

Character:

Exo Member

Red Velvet Member

BTS Member

(dapat bertambah seiring cerita)

.

.

.

Summary: Jongdae awalnya hanya seorang siswa biasa, namun setelah secara tidak sengaja terlibat sebuah pertarungan antara sekelompok orang aneh yang memiliki kekuatan super melawan makhluk yang sama anehnya, dia terpaksa membantu mereka menemukan "The Eve". Hidupnya jadi jungkir balik dan kekacauan mulai mengisi harinya.

.

.

.

Genre: Supranatural, SuperPower!AU, MamaEra!AU, Romance, Comedy (semoga)

.

.

.

.

.

"Jongdae."

"..."

"Jongdae."

"..."

"Bangun."

"..."

"Kim Jongdae, bangun."

"..."

Tarik nafas... buang... Tarik nafas... Dan-

"Oh my god! Taeyeon sunbae!"

"Mana! Mana?!" Jongdae melempar buku yang menutupi wajahnya. Kepalanya menoleh ke sana kemari. Namun dia malah mendapati wajah guru Matematika tepat di hadapannya. Tersenyum *coretmengerikancoret* lembut dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Mimpi indah, tuan Kim?" Tanya seongsaenim dengan nada yang lembut namun penuh penekanan.

"Maaf, Saem." Jongdae mengutuk Baekhyun, teman sebangkunya yang tengah menahan tawanya, pasti dia yang tadi membangunkannya dengan iming-iming Taeyeon sunbae, idola sekolah yang sangat dia kagumi.

"Sepertinya kau mendapat tidur yang cukup selama pelajaranku berlangsung, jadi pasti kau tidak keberatan untuk membantuku, kan?" Sungguh, melihat senyuman yang terlihat manis itu membuatnya ingin bunuh diri. Karena senyuman itu bukan pertanda bagus.

"Ba-baik, Seongsaenim."

Maka disinilah dia. Menatap lemas tumpukan kertas yang menjadi tugasnya.

"Urutkan semua kertas yang tidak sengaja tercampur itu sebelum pukul 4 sore."

"Eh? Semua ini? Memangnya ada berapa halaman?"

"3.258 halaman."

Rahangnya sukses jatuh ke lantai. "Ti-tiga ribu halaman?"

"Sekarang pukul satu, jadi sebaiknya kau mulai sekarang." Pria tampan itu tidak memperdulikan Jongdae yang nyawanya sudah keluar dari raganya. "Aku akan datang pukul empat nanti, jangan coba-coba kabur."

Jongdae ditinggal sendiri di ruang dokumen, bersama tiga ribu lembar kertas yang seolah mengejeknya.

"Kejam sekali, memangnya aku ini robot..." Gumamnya, Jongdae menatap tumpukan kertas itu, kemudian mengambil nafas panjang.

"Baiklah! Ayo mulai bekerja!" Jongdae menyemangati dirinya sendiri. Dia mulai mencari halaman pertama, yang ternyata sama sulitnya seperti mencari jarum di tengah tumpukan jerami. Jongdae hanya bisa merutuki nasibnya yang sial.

.

.

.

.

.

Disebuah gang sempit, seorang pemuda tengah berlari melompati tong sampah dan balok kayu dengan lincahnya. Hingga akhirnya dia terdesak di jalan buntu.

"Sial!" Umpatnya kesal. Hingga sebuah peluru berhasil menembus pundaknya. Dia menggeram menahan sakit, menatap tajam seseorang yang sudah menembakkan peluru itu.

"Jangan harap kau bisa kabur." Seorang pemuda berambut putih mengarahkan pistol ke arahnya dengan wajah tanpa ekspresi. Berikutnya muncul seorang pemuda lainnya yang memakai sweater baby blue di sebelahnya. Rambut hitamnya menutupi mata kanannya.

"Menyerahlah, kau sudah terkepung." Ucap si rambut hitam.

Pemuda yang terpojok itu berkeringat dingin, dia sudah terluka cukup parah, hingga perlahan wujud aslinya terlihat. Pemuda itu memiliki sepasang tanduk dan gigi yang tajam, matanya hitam kelam tanpa pupil.

"Ini peringatan terakhir untukmu, kau adalah monster yang masih muda dan belum pernah menyakiti manusia. Kami hanya akan membawamu kembali ke tempat asalmu." Ucap si rambut hitam berusaha membujuknya.

"Tidak! Aku tidak mau kembali, aku sudah betah di sini! Aku tidak mau kembali, tidak akan pernah!" Namun pemuda itu menolak keras. Dari dalam tanah, tiba-tiba saja keluar puluhan laba-laba berukuran bola sepak menyerbu dua orang yang mengepungnya. Si rambut putih langsung menembaki laba-laba yang langsung hancur begitu peluru mengenainya. Sementara yang satu lagi melemparkan bola api berwarna biru yang dia munculkan dari telapak tangannya.

Melihat hal ini sebagai kesempatan bagus, pemuda monster itu mengeluarkan sayap dari balik punggungnya dan langsung terbang menjauh. Tapi belum jauh dia pergi, pemuda berambut putih sempat menembak sayap kirinya hingga membuatnya oleng. Dia tidak bisa terbang terlalu jauh sebelum akhirnya terjatuh di sebuah halaman sekolah, dia mengembalikan wujudnya menjadi seperti manusia sebelum memasuki gedung sekolah untuk berlindung.

Tampak seorang gadis berambut panjang mengawasi gedung sekolah tempat monster itu terjatuh. Earphone di telinganya berdengung mengeluarkan suara statis sebelum seseorang berbicara padanya.

'Wendy, dimana posisinya?'

"Dia memasuki gedung SMA Yeong Do."

'Kami segera ke sana'

Mata gadis itu menyipit saat melihat dua orang siswi yang sedang mengelap jendela di lantai dua. "Masih ada siswa di sana."

'Kabari Suho, dia mengajar di sekolah itu.'

"Baik."

Gadis itu mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Suho, yang untungnya langsung diangkat olehnya.

'Ya? Tumben kau menghubungiku.'

"Suho Oppa, bisakah kau kosongkan sekolah Yeong Do di daerahmu? Ada Demon tingkat menengah yang bersembunyi di dalam."

'A-apa? Tapi aku sedang berada di minimarket.'

"Benarkah?! Sial!" Gadis itu secepat kilat berlari ke dalam gedung sekolah.

'Adiknya Minseok ada di dalam, di ruang dokumen!'

.

.

.

.

.

"Akhirnya selesai..." Jongdae merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Dia tidak menyangka berhasil menyusun tiga lembar kertas seorang diri. Ada belasan folder yang berjejer rapi, dia sudah mengurutkan semua kertas dari halaman satu hingga yang ke tiga ribu berapalah itu. Entah kenapa dia merasa bangga saat berhasil menyelesaikan tugas yang terlihat mustahil itu.

"Ya ampun, sudah sore. Kenapa Saem belum datang?" Jongdae mengambil tasnya dan mencari ponselnya, namun ponselnya mati karena dia lupa mengisi ulang baterainya.

"Ditinggal mungkin tidak masalah." Jongdae berencana untuk pulang, mungkin dia akan berpapasan dengan guru killer itu di jalan. Dia belum jalan terlalu jauh dari ruang dokumen saat berpapasan dengan dua orang siswi yang terlihat kebingungan di depan sebuah lorong.

"Ada apa ini?" Tanya Jongdae saat sudah mencapai posisi mereka. Dua orang siswi itu terlihat terkejut mendengar suara Jongdae, sepertinya mereka adalah adik kelasnya.

"I-itu... Ada orang asing di depan lemari alat kebersihan, kami tidak berani mendekatinya."

Jongdae menatap orang asing yang terlihat kesakitan, dia menyender di depan lemari dan mengambil nafas dalam-dalam. Tubuhnya terlihat gemetar, Jongdae tidak bisa melihat wajahnya, poni rambut hitamnya menghalangi matanya.

"Hei, tuan. Kau tidak apa-apa?" Jongdae mencoba melangkah nendekat.

"Menjauhlah!"

Jongdae terkejut mendengar bentakan pria itu, tiba-tiba saja dia merasakan firasat buruk.

"Men...ja...uh... Ukkhh..." Pria itu menggertakkan giginya, "Tidak... Jangan sekarang..."

Jongdae semakin terkejut saat melihat tanduk muncul dari kepala pria asing itu. Detik berikutnya taring dan sayap hitam muncul dari balik punggungnya. Pria itu perlahan berdiri, dia menatap Jongdae dengan mata hitam kelam tanpa pupil.

'Dia-dia bukan manusia!'

"Kalian berdua, lari." Perintah Jongdae kepada dua orang siswi yang masih mematung di belakangnya.

"Huh?"

"Lari!" Jongdae menarik tangan mereka, mengabaikan benda yang mereka pegang ke lantai begitu saja. Jongdae berlari secepat kilat sambil menarik dua siswi yang menjerit ketakutan saat orang asing itu menerjang tempat mereka berdiri sebelumnya.

Jongdae menoleh ke belakang, orang (makhluk?) aneh itu menatapnya dengan tatapan lapar, seolah olah dia adalah daging hanwoo yang hanya bisa di cicipnya saat hyungnya cukup baik untuk membelikannya.

"Kyaa!" Genggaman tangan kirinya terlepas, siswi berambut pendek terjatuh di dekat tangga.

"Hyeri!" Siswi berambut panjang yang masih dia genggam tangannya memekik saat melihat temannya terjatuh. Siswi berambut pendek menjerit saat melihat sosok itu berlari mendekatinya, lidahnya yang panjang terjulur keluar, kukunya yang tajam terangkat, ingin merobek kulit putih siswi itu dan menikmati darahnya.

Namun Jongdae secara refleks menahan sosok itu dengan melempar dirinya sendiri dan memeluk sosok itu. Mereka bergulingan di lantai, Jongdae menendangnya sekuat tenaga hingga terguling cukup jauh.

Jongdae kembali berdiri dan membantu siswi itu untuk kembali berlari. Mereka berlari menjauh, namun sosok itu sangat cepat memulihkan diri, dia kembali mengejar mereka.

Mereka mencapai aula besar yang mengarah ke pintu keluar. Namun saat mereka hampir mencapai pintu keluar, sosok itu terbang menghalangi satu-satunya pintu. Jongdae melindungi dua orang siswi yang menangis ketakutan melihat sosoknya.

"Kau...terlihat nikmat..." Sosok itu menatapnya, Jongdae menyadari bahwa pundaknya mengeluarkan darah, sayapnya juga terlihat sedikit rusak.

"Oppa!" Salah seorang siswi memekik, dia menunjuk pinggang kanan Jongdae mengeluarkan darah. Jongdae yang terkejut menutup lukanya, pasti luka ini dia dapatkan saat menolong siswi itu. Hebatnya dia tidak merasakan sakit, setidaknya belum.

Sosok itu menjilat bibirnya saat melihat darah yang merembes ke seragam sekolah Jongdae. Tanpa aba-aba dia terbang melesat cepat ke arah Jongdae. Jongdae tidak sempat menghindar, dia terpental hingga beberapa meter dengan sosok aneh itu mencekiknya dan menduduki perutnya.

"Kyaaa! Oppa!" Dua orang siswi itu menjerit histeris.

"Pergilah! Cepat!" Perintah Jongdae, meski keadaannya sendiri dalam bahaya, tapi ada yang lebih tidak berdaya dari dirinya. Dua orang siswi itu terlihat ragu, namun mereka tetap berlari keluar mencari bantuan.

Jongdae berjengit kaget saat merasakan tangan dingin sosok itu menyeka darah di pinggangnya dengan tangan kirinya. Perlahan dia menjilat darah Jongdae.

DEG

Sosok itu tiba-tiba saja membelalakkan matanya, dia melepaskan dirinya dari Jongdae. Jongdae kebingungan, dia duduk dan beringsut menjauh dari sosok itu.

Jongdae memperhatikan dengan mulut yang menganga lebar bagaimana tubuh sosok itu bergetar, luka dipundaknya mulai menutup, begitu juga dengan sayapnya yang melakukan regenerasi.

"Hahaha! Belum pernah aku merasa sekuat ini!" Sosok itu tertawa mengerikan, aura gelap menguar dari tubuhnya.

"Lagi! Berikan aku darahmu!" Sosok itu kembali menyerang Jongdae.

'Inilah dia, mati di tangan makhluk aneh dengan tidak elitnya. Amazing.' Jongdae menutup matanya, menunggu rasa sakit datang. Saat dia tidak merasakan apapun, Jongdae membuka matanya perlahan. Dia terkejut saat melihat punggung seorang gadis yang melindunginya.

Sosok aneh yang terkejut karena ada seseorang yang menahan gerakannya segera terbang menjauh. Jongdae melihat gadis itu mengayunkan pedangnya, membuat sekelebat cahaya hijau yang melukai sayap makhluk aneh yang menyerangnya.

Gadis itu berbalik dan Jongdae terkesima melihat penampilan gadis itu yang memakai seragam sekolah dan memegang pedang yang memiliki ukiran yang rumit di gagangnya, rambutnya yang hitam di cat berwarna biru laut di beberapa bagian, terlihat cocok dengan wajah cantiknya yang seperti seorang idol. 'Woaahh... Seperti karakter di anime...' Pikir Jongdae ngawur.

"Kau tidak apa-apa? Apa kau terluka?" Tanya gadis itu.

"E-eh...sepertinya..." Jongdae menyentuh pinggangnya yang mengeluarkan darah.

Gadis itu menyipitkan matanya, "Berlindunglah di belakangku, aku akan berusaha menahannya sampai bantuan tiba." Gadis itu kembali fokus kepada makhluk aneh di hadapannya.

"Dasar pengganggu! Akan aku bunuh kau!" Suara makhluk itu berubah, menjadi lebih mengerikan dan terdengar jelas bahwa dia sedang marah. Makhluk itu menyerang, namun gadis itu menangkisnya.

Jongdae hanya bisa menganga melihat pertarungan yang terlihat absurd di hadapannya, namun semua ini nyata. Bagaimana gadis itu dengan lihainya menghindar dan menangkis semua serangan yang di terimanya. Jongdae baru menyadari bahwa gadis itu tidak berniat menyerangnya, hanya menghindarinya.

'Sepertinya dia tidak ingin membunuhnya.' Pikir Jongdae.

Jongdae tersadar dari pikirannya saat mendengar suara dentuman keras, ada seorang pemuda membanting pintu cukup keras dan langsung menerjang makhluk aneh itu hingga tertelungkup di lantai. Dia menindih tubuhnya dan mengunci pergerakannya. Pemuda yang memakai sweater dengan warna yang sama seperti yang digunakan si gadis mengeluarkan api berwarna biru dari telapak tangannya dan menghantamkannya ke punggung makhluk itu.

Makhluk itu menjerit kesakitan dan seluruh tubuhnya terbakar api biru. Jongdae bahkan harus menutupi kedua matanya kerena cahayanya menyilaukan. Beberapa detik berikutnya api itu padam dan makhluk itu kembali ke wujud manusia sambil merintih kesakitan. Pemuda itu mengambil sesuatu dari saku celananya- sebuah bola kaca bening berukuran genggaman tangan.

"Dengan bantuan dari roh api suci, aku, Park Chanyeol sebagai pewaris ke sembilan dari penjaga gerbang selatan, memberikan perintah untuk mengunci kekuatan jahat."

'Huh? Aku sepertinya pernah mendengar kalimat itu.' Jongdae memperhatikan bagaimana bola kaca itu mengeluarkan cahaya biru, bagitu juga dengan tubuh makhluk itu.

"Tu-tunggu! Jangan lakukan ini padaku! Aku bisa jelaskan-Tidak! TIDAK!" Makhluk itu berubah menjadi serpihan cahaya biru dan masuk ke dalam bola kaca yang bersinar. Beberapa detik kemudian sinarnya meredup dan bola itu berubah menjadi putih.

"Putih?" Ucap pemuda itu, dia memperhatikan bola kaca itu dengan seksama. Dia sudah sering melakukan hal ini, namun jarang sekali ada yang berwarna putih.

"Sepertinya dia memang tidak berniat jahat." Ucap gadis itu, dia sudah menyarungkan pedangnya, namun tetap terlihat keren.

"Kita tidak pernah tahu kapan dia akan berubah haluan. Para Demon mulai aktif bergerak karena beredar rumor bahwa The Eve sudah mulai aktif."

"Apa? Aku pikir benda itu hanyalah mitos saja."

"Tidak semua hal di dunia ini yang dianggap mitos adalah sebuah kebohongan." Pria itu melirik Jongdae yang sedang berusaha berdiri dengan kakinya yang gemetar dari sudut matanya.

"Sebaiknya kau susul Suga dan berikan kepada dua siswi yang sedang menangis di luar. Biar aku urus yang disini." Ucap pria itu, dia memberikan dua bungkus permen.

"Baiklah, kuserahkan padamu, Oppa." Gadis itu berlari keluar melewati pintu yang engselnya rusak.

"Nah... Kau." Pria itu beralih menatap Jongdae yang terkejut saat dirinya ditatap oleh mata cokelat yang tajam, poni panjangnya menutupi mata kanannya hingga tidak terlihat. Membuatnya dua kali lipat lebih menyeramkan.

"Kenapa masih hidup?" Ucapnya dengan wajah kecewa.

"Apa maksud ucapanmu itu!?" Teriak Jongdae tidak terima. "Masih untung aku hanya tergores sedikit, aku hampir terkena serangan jantung, tahu." Jongdae mencibir kesal.

"Lagipula kalian itu siapa? Makhluk yang menyerangku tadi itu apa? Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian bisa-oh!" Celotehan Jongdae berhenti saat ada sebuah benda mendarat di kepalanya. Jongdae mengambilnya dan membuka lipatannya. "Sapu tangan?"

"Lukamu mengalir terus, tuh." Ucap pemuda itu cuek, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Jongdae menatap luka di pinggangnya, dia menatap wajah pemuda yang seumuran dengannya sebentar sebelum menekan sapu tangan itu di lukanya untuk menekan pendarahan dengan tangan kirinya. Dia sedikit meringis saat terasa perih.

'Orang ini aneh sekali, dan lagi...' Pikir Jongdae. Dia menatap pemuda itu, tiba-tiba saja merasa kesal 'Kenapa dia bisa setinggi itu? Makan tiang bendera atau tiang listrik?'

"Untuk pertanyaanmu tadi, sebaiknya kau tidak perlu tahu jawabannya."

"Eh? Kenapa?"

"Itu demi keamananmu sendiri. Kau harus merahasiakan yang kau lihat hari ini dari orang lain termasuk keluargamu." Pemuda itu berjalan mendekat. Dia mengulurkan tangan kanannya di hadapan Jongdae. Ada sebuah permen dengan bungkus berwarna pink dengan gambar strawberry. Jongdae hanya menatap aneh permen tersebut.

"Untuk memperbaiki suasana hati."

"Memangnya aku anak-anak?"

"Memang."

Jongdae semakin kesal dengan pemuda itu. Tapi dia tetap memperhatikan permen yang nampak menggiurkan.

"Aku kurang suka rasa strawberry..." Bisik Jongdae. Sepertinya pemuda yang satunya mendengar bisikan Jongdae, dia mengeluarkan berbagai macam rasa permen dari dalam saku celananya. Jongdae semakin ngiler.

"Kau tidak mau?" Pemuda itu mengangkat satu alisnya, ternyata cukup asyik juga menggoda Jongdae.

"Hanya kali ini saja." Jongdae mengambil permen rasa jeruk dan membuka bungkusnya. Jongdae memasukkan permen yang beraroma manis itu ke dalam mulutnya. Tanpa sadar menggumam senang karena rasanya enak seperti penampilannya.

"Enak?" Tanya pemuda itu, Jongdae mengangguk.

"Sapu tanganmu penuh darahku. Mungkin aku akan mencucinya dulu sebelum mengembalikannya padamu. Namamu siapa?"

"Park Chanyeol."

"Namaku Kim Jongdae, kupanggil Chanyeol tidak apa-apa, kan? Sepertinya kita seumuran." Jongdae memeriksa lukanya, darahnya berhenti mengalir, lukanya juga tidak terlalu dalam, tapi pasti akan perih saat dia mandi nanti.

"Kau...tidak merasa aneh?"

Jongdae menatap pemuda itu dengan aneh. "Maksudmu?"

"Merasa... Pusing, mungkin, atau mual?" Ucap Chanyeol ambigu.

"Kau pikir aku hamil?" Jongdae mengunyah permen yang sebenarnya masih cukup besar, tidak mempedulikan tatapan Chanyeol yang aneh.

"Kau kenapa mengunyah permen itu- lupakan. Ini aneh sekali." Chanyeol terlihat berpikir keras.

"Kau ini kenapa? Yang aneh itu kau, gadis itu juga, makhluk itu juga, mantera itu juga, aah! Bahkan semua ini terlihat aneh, mungkin aku juga menjadi aneh." Kebiasaan buruk Jongdae muncul, dia mengoceh tidak jelas saat kebingungan.

"Permennya enak, bisa aku minta satu lagi? Yang rasa apel." Jongdae mengadahkan tangan kanannya kepada Chanyeol. Chanyeol menatap Jongdae dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

"Ikut aku." Chanyeol menarik tangan kanan Jongdae, Jongdae hampir kehilangan keseimbangan karena Chanyeol menariknya secara tiba-tiba. Jongdae refleks memegang baju belakang Chanyeol dengan tangan kirinya yang masih memegang sapu tangan penuh darah, membuat sweaternya kotor dengan darahnya.

"Hei! Tunggu dulu! Kau mau membawaku kemana? Hei-" Jongdae terdiam saat melihat pakaian Chanyeol yang ternoda darahnya, entah kenapa dia seperti mengalami flashblack saat melihat darah dan baju berwarna biru muda.

Chanyeol membawanya keluar dari gedung sekolah, di dekat gerbang mereka bertemu dengan gadis yang tadi dan seorang pemuda berambut mencolok.

"Wendy, Suga, bagaimana dengan dua orang itu?" Tanya Chanyeol saat mereka sudah mencapai gerbang, Jongdae berusaha melepaskan pegangan tangan Chanyeol, namun tangannya keras sekali seperti batu.

"Sudah beres, mereka tertidur di taman, saat bangun pasti mereka tidak akan mengingat kejadian tadi." Jawab gadis itu. Dia menatap Jongdae yang sibuk mencubiti tangan Chanyeol.

"Oppa sudah memberikan permen itu padanya?"

"Sudah, tapi tidak terjadi apapun. Aku akan membawanya ke tempat Yixing hyung, kau kabari Suho tentang hal ini, setelah itu pulanglah ke markas duluan."

Chanyeol melanjutkan perjalanannya entah kemana. Pemuda berambut putih yang kalau Jongdae tidak salah ingat namanya Suga mengikuti Chanyeol di belakang. Chanyeol belok kiri, belok kanan, lurus, belok lagi, Jongdae sudah mengeluarkan sumpah serapah karena kaki dan tangannya sakit bukan main di tarik ke sana kemari.

"Kita mau kemana? Tidak bisakah kita berhenti dulu? Kakiku sakit. Masih jauh ya? Setidaknya belikan aku minum. Ini sudah malam, nanti hyungku khawatir, aku bahkan meninggalkan tas dan ponselku di sekolah, kau dengar aku? Chanyeol? Hei, Chan-"

"Bicara sekali lagi aku bakar kau." Ucap Chanyeol geram.

"Bakar saja, aku tidak takut."

"Bibirmu cerewet sekali, minta di cium?"

"...jangan..."

"Makanya diam saja."

Jongdae mengerucutkan bibirnya, "Aku kan cuma bertanya."

"Hm?" Chanyeol menatap mata Jongdae dengan kesal, Jongdae langsung menutup bibirnya. Chanyeol mendengus pelan, dengan cepat dia menatap ke depan, menyembunyikan senyuman kecil yang terbentuk di sudut bibirnya. Sementara Suga hanya memperhatikan mereka dari belakang. Dia bisa merasakan aura Chanyeol yang terasa sejuk.

Mereka memasuki sebuah klinik 24 jam yang terletak di sudut jalan. Di dalamnya sangat bersih dan rapi, aroma khas obat-obatan menyapa mereka. Sepertinya Jongdae pernah melewati klinik ini beberapa kali.

"Yixing hyung. Kau disini?" Panggil Chanyeol, sepertinya Chanyeol mengenal pemilik klinik ini.

"Chanyeol! Selamat malam, Suga juga." Seorang pria muda keluar dari sebuah pintu, ditangannya terdapat beberapa botol obat-obatan. Dia terdiam saat melihat Jongdae, lebih tepatnya pinggangnya yang mengeluarkan darah.

"Ya ampun, kau terluka!" Pria yang terlihat seumuran dengan hyungnya menarik tangannya dari genggaman Chanyeol dan membawanya ke sebuah kasur pasien.

"E-eh? Tapi-"

"Tidak ada tapi tapian, aku akan merawat lukamu atau kau tidak akan ku biarkan keluar dari klinik ku."

Jongdae hanya bisa menganga mendengar ucapan pria itu, sementara Chanyeol hanya menghela nafasnya, seharusnya dia bisa menduga hal ini akan terjadi. Pria Cina bernama Yixing itu adalah seorang dokter yang membuka kliniknya sendiri, dia juga tahu tentang 'pekerjaan' Chanyeol dan teman-temannya, karena itulah dia cukup di percaya.

"Lukanya tidak terlalu dalam, kau mau aku menjahitnya?" Tanya Yixing pada Jongdae.

"Err, perban saja cukup."

Jongdae meringis saat Yixing mulai membersihkan luka di pinggangnya, dengan telaten dia membalut perban di atas lukanya. Jongdae menarik nafas lega saat Yixing selesai menempel plester terakhir.

"Usahakan jangan melakukan sesuatu yang dapat membuka lukanya, tunggu sampai benar-benar menutup." Nasihat Yixing.

"Kalau olahraga? Besok aku ada ujian praktek."

"Minta izin pada gurumu."

"Kalau mandi bagaimana?"

"Lepas perbannya dan ganti yang baru. Jangan langsung terkena sabun."

"Kalau tidak sengaja tersenggol?"

"Usahakan jangan terjadi pendarahan berlebihan."

"Aku banyak bergerak saat tidur, tidak apa-apa?"

Perempatan muncul di dahi Yixing. Dia menatap Chanyeol dengan sudut bibir yang berkedut.

"Chanyeol... Dimana kau temukan makhluk ini? Boleh ku jahit mulutnya?"

Chanyeol facepalm, "Itu tidak penting, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Berdua."

Yixing langsung berubah serius, dia menunjuk pintu tempatnya keluar tadi, mungkin itu ruang kerjanya. Setelah Chanyeol dan Yixing menghilang di balik pintu yang tertutup, Jongdae hanya saling tatap dengan Suga.

"Umm... Namamu Suga, kan? Kau temannya Chanyeol?" Jongdae memulai pembicaraan.

"Bukan." Jawab Suga.

"Lalu siapanya?" Jongdae mengerutkan keningnya bingung.

"Pengikutnya."

"Hah?" Jongdae semakin bingung. "Maksudmu?"

"Kau tidak akan mengerti."

Jongdae langsung terdiam, memang bukan urusannya menanyakan hal itu, tapi tetap saja menyebut seseorang sebagai pengikut itu agak...

Jongdae menatap pemuda di hadapannya, sepertinya mereka seumuran atau mungkin lebih muda darinya. Rambutnya di cat putih, memakai eyeliner, memakai anting, pakaiannya seperti anak sekolahan umumnya, memakai jas berwarna hitam dan sweater biru. Mungkin dia satu sekolah dengan Chanyeol. Tatapannya juga sangat tajam dan mengintimidasi. Jujur, Jongdae tidak nyaman di tatap seperti itu.

"Maaf, bisakah kau tidak menatapku?" Ucap Jongdae. Suga berkedip sekali, lalu mengalihkan pandangannya tanpa suara. Jongdae hanya menatap sapu tangan yang masih berada di tangan kirinya, suasana menjadi sangat canggung.

Setelah beberapa menit di tengah kecanggungan berat, pintu ruang kerja Yixing terbuka.

"Mungkin kau bisa memberikannya sekali lagi."

"Mungkin, akan aku coba."

Chanyeol mendekati Jongdae, dia mengeluarkan permen rasa apel dari saku celananya. "Mungkin ini bisa mengurangi kekesalanmu."

Jongdae hanya menatap permen itu, kemudian mengambilnya dan membuka bungkusnya. "Terimakasih." Ucapnya sebelum memasukkan permen itu ke mulutnya. Ternyata rasa apel tidak terlalu manis. "Yang ini kurang manis." Bisiknya.

"Oh iya, Jongdae." Panggil Yixing, Jongdae hanya menggumam. "Apapun yang kau lihat hari ini, jangan pernah mengatakannya kepada orang lain, meski itu orang terdekatmu sekalipun." Wajah Yixing terlihat sangat serius saat mengatakannya. Jongdae mengangguk pelan dan berjanji dalam hati.

"Aku meninggalkan ponselku di sekolah." Celetuk Jongdae tiba-tiba. "Juga tasku."

"Nanti kita akan mengambilnya di perjalanan pulang." Balas Chanyeol.

"Kalian mau mengantarku?"

"Hm." Chanyeol bergumam, dia memperhatikan reaksi Jongdae, begitupun Yixing yang menatapi Jongdae dengan intens, Suga... Ya begitulah, datar seperti biasa.

Jongdae mengunyah permen di mulutnya. Dia bingung kenapa mereka menatapnya dengan aneh. "Kenapa menatapku terus? Aku tahu aku tampan."

"Kenapa tidak bereaksi?" Tanya Yixing ambigu.

"Sudah aku bilang kan? Ada yang aneh."

Yixing berfikir keras, ini pertama kalinya terjadi. "Kenapa hal ini bisa terjadi? Mungkinkah..." Yixing dan Chanyeol saling pandang dengan wajah serius, ini adalah sebuah masalah besar bagi mereka.

Chanyeol merasa seseorang menarik sweaternya, dilihatnya Jongdae dengan wajah melas menatapnya.

"Bisa kau antarkan aku pulang sekarang? Aku lapar."

"Kau ini cuma minta di pukul, ya?"

.

.

.

.

.

To Be Continue