Terlambat Jatuh Cinta

.

.

.

"Aku terlambat menyadarinya,sungguh sangat terlambat. Jika aku tahu akan berakhir seperti ini, mungkin aku tak akan menyia-nyiakannya dan aku akan menerima cintanya."

.

.

.

Bel tanda waktu istirahat berbunyi nyaring, para siswa SMAN Pulau Rintis berhamburan dan bergegas menuju kantin. Terlihat si kembar 3 yang identik yaitu Halilintar, Taufan, dan Gempa mereka hanya dapat dibedakan dari topi dan rompi yang mereka kenakan selama di sekolah dan juga sifat mereka yang sangat mencolok. Saat ini, mereka terlihat menuju kantin yang mulai penuh sesak.

"Hey, Kak Lintar tunggu!" ucap Taufan setengah teriak.

"Dasar lambat, dan jangan panggil aku Lintar jika di sekolah." Jawab Halilintar sarkastik.

"Suka-suka dong, habis dipanggil Kak Hali kau tak mendengarnya." Timpal Taufan dengan santainya.

"BBHHUUGGHH!" sebuah jitakan dari Halilintar tepat mengenai kepala Taufan. Taufan yang tidak sempat menghindar hanya dapat memegangi kepalanya yang memakai topi putih bercorak biru yang dimiringkan.

"Ish, sakitlah Kak Hali!" dengus Taufan sambil mengusap kepalanya.

"Salahmu sendiri memanggilku seperti itu di sekolah." Jawab Halilintar dengan datar.

"Sudah-sudah, kalian ini, cepat pesan makanan kalian sebelum waktu istirahat berakhir." Kata Gempa menengahi kedua kakaknya.

Tak lama setelah itu, melintas seorang gadis berhijab merah jambu dengan corak bunga melintas di hadapan mereka, dia adalah Yaya, teman satu kelas Taufan sekaligus sahabat mereka dari kecil.

"Hai, Yaya!" sapa Taufan sambil mengusap kepalanya.

"Oh, hai Hali, Taufan. Eh, Taufan, kau kenapa?" selidik Yaya pada Taufan.

"Tanyakan saja pada Kak Hali, dia yang menyebabkan ini semua." Jawab Taufan dengan kesal.

"hheehh, enak saja, kau yang memulai semua ini." Dengus Halilintar sambil menatap menu yang ada di depannya.

"Kalian ini memang tidak pernah berubah ya dari dulu." Yaya menggeleng-geleng kecil.

Tepat di belakang mereka, Gempa sudah duduk di meja yang panjang tempat si kembar tiga dan teman-temannya duduk di kantin.

"Hei kalian, kemari!" seru Gempa sambil melambaikan tangannya.

"Oke, tunggu kita akan kesana." Balas Taufan.

Akhirnya mereka duduk untuk menghabiskan makanan mereka, Yaya yang duduk tepat dihadapan Gempa tak menyadari bahwa Gempa memperhatikan dirinya dari tadi. Taufan yang menyadari akan hal itu menendang kaki Gempa yang ada di bawah meja, Gempa menatap Taufan yang duduk di sebelah Yaya, kemudian Taufan memberi isyarat dengan melirik ke arah Yaya sambil tersenyum kecil dan Gempa pun menatap tajam pada Taufan. Taufan sepertinya mengetahui bahwa Gempa memiliki rasa pada Yaya. Setelah mereka menghabiskan makanannya, mereka pun kembali ke kelas. Selama menuju kelas, Taufan bertanya kepada Gempa.

"Hei, kau menyukai Yaya ya?" Tanya Taufan to the point.

"Ti..ti..tidaklah, dia kan sahabat kita dari kecil, kakak kan tau sendiri." Gempa berusaha mengelak

"Terus kenapa tadi di kantin kau menatap dia sambil tersenyum?"

"Ah sudahlah kak Taufan, aku tidak ada apa-apa dengan Yaya."

"Mmmm….baiklah, kita lihat saja nanti apa yang aku ucapkan itu benar." Taufan melirik adiknya itu sambil menyikut kecil.

.

.

.

.

.

.

Sore hari saat di rumah, terlihat Gempa sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya tadi di ruang keluarga sambil ditemani dengan segelas teh dan biscuit coklat kesukaannya.

"Ting..tong..ting..tong" bel rumah pun berbunyi, dengan segera Gempa menuju pintu rumah dan membukanya.

"Assalamualaikum." Ucap Yaya.

"Waalaikumussalam, eh Yaya, ada apa?" sahut Gempa.

"Ini Gempa, aku hanya ingin mengembalikan buku Taufan yang tertinggal di kelas tadi."

"Oh begitu, mmm…Yaya tugas dari Bu Zila sudah kamu kerjakan?" Tanya Gempa.

"Baru sebagian sih belum semua, kenapa emangnya?" sahut Yaya.

"Bagaimana kalau kita kerjakan bersama disini, di rumahku?"

"Mmmm…boleh juga, kapan?"

"Bagaimana kalau jam 7 malam ini? Sekalian kita makan malam, aku yang masak, mau ya?"

"Baiklah, aku akan kembali kesini jam 7 malam nanti. Aku pulang dulu ya Gempa, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam." Jawab Gempa sambil melambaikan tangan ke arah Yaya.

Tanpa Gempa sadari, Halilintar sudah memperhatikannya di tangga dari tadi dan mendengarkan semua percakapan mereka. Gempa terkejut saat berbalik sudah ada Halilintar duduk di salah satu anak tangga.

"Eh, Kak Hali, sedang apa kak?" dengan nada setengah terkejut.

"Tak, aku tadi hendak membuka pintu tadi." Jawabnya datar.

"Kak, bagaimana jika malam nanti…" omongan Gempa langsung dipotong oleh Halilintar.

"Makan malam dan belajar bersama dengan Yaya? Aku tak ikut, aku akan belajar sendiri di kamarku."

"Tapi kenapa Kak?" Tanya Gempa heran.

"Aku malas untuk belajar bersama kali ini." Jawabnya singkat sambil kembali ke kamarnya.

Pada malam harinya, Yaya sudah berada di rumah mereka, nampak Gempa sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam, sedangkan Yaya dan Taufan asyik mengobrol di ruang keluarga sambil menonton tv.

"Halilintar mana fan?" Tanya Yaya

"Entah, mungkin dia di kamarnya." Jawab Taufan santai.

"Oh iya, bukumu sudah kembali? Tadi aku titipkan ke Gempa."

"Buku yang mana? Gempa tidak memberiku buku apapun tadi."

Tak lama kemudian, Gempa memanggil Yaya dan Taufan untuk makan malam. Taufan bangkit dan menyuruh Yaya untuk ke dapur terlebih dulu, kemudian Taufan menuju lantai 2 rumahnya untuk memanggil Halilintar.

"Kak Hali, ayo turun, makan malam sudah siap." Panggil Taufan depan pintu kamar Halilintar.

CKLEK! Pintu terbuka dan munculah remaja pemilik kamar yang memakai rompi hitam dengan aksen merah menyala dibalik pintu.

"Aku nanti saja menyusul, beritahu aku jika Yaya sudah pulang." Sambil berbalik dan mencoba menutup pintunya.

"Kenapa harus menunggu Yaya pulang?" Tanya Taufan sambil menahan pintu.

"Sudalah, itu bukan urusanmu!" dengan nada sedikit tinggi sambil menutup pintu dan menguncinya.

Di dapur, Gempa dan Yaya sudah duduk di meja makan sambil menunggu Halilintar dan Taufan.

"Kenapa Kak Hali gak ikut turun? Apa dia tidak lapar?" Tanya Gempa saat melihat Taufan kembali.

"Entahlah Gempa, aku pun tak tahu kenapa, mungkin dia sibuk mengerjakan tugas biologi dari Bu Zila."

"Bukannya kita akan mengerjakannya bersama?" Tanya Yaya.

"Kamu ini kenapa Yaya, kita sudah bersahabat sejak lama, masa kamu gak tahu sifat kakak tertuaku itu." Gempa menjawab pertanyaan Yaya.

"Sudah, ayo makan, sudah lapar nih." Celetuk Taufan sambil duduk di sebelah Gempa.

Gempa mulai memperhatikan Yaya yang berada di hadapannya. Taufan pun menyikutnya dengan agak keras sehingga Gempa sedikit mengaduh sakit karena sikutan Taufan.

"ADUH! Kenapa kau ini kak?" ketus Gempa pada Taufan.

"Maaf Gempa, aku tak sengaja, aku ingin mengambil ayam goreng yang di ujung sana." Jawabnya sambil tersenyum kecil.

"Kau mengganggu saja, aku kan sedang- ah lupakan saja." Gempa hampir keceplosan kalau dia sedang memperhatikan Yaya.

"Cepatlah kalian ini makan, tak di sekolah, tak di rumah, kalian selalu ribut karena hal sepele." Ucap Yaya menghentikan keributan kecil di antara mereka.

"Hehehehe, iya Yaya, maafkan kami." Jawab Gempa sambil tersenyum.

"EKHEEMM!" Taufan membuat suara batuk untuk mengintimidasi Gempa.

Gempa yang sadar akan hal itu menendang kaki Taufan sambil menatapnya sinis.

Setelah meraka selesai makan malam, mereka pun mulai belajar bersama. Taufan sengaja menempati tempat yang tepat menghadap Yaya agar Gempa duduk disebelah Yaya dan ternyata berhasil.

"Oh iya, bukuku yang Yaya titipkan padamu itu mana?" Tanya Taufan pada Gempa.

"Ini, lain kali jangan suka ceroboh meninggalkan barangmu di sekolah." Ucap Gempa sambil memberikan buku bersampul biru muda.

"Oke kita mau mulai darimana?" Tanya Yaya pada mereka berdua.

"Bagaimana kalau mulai dari latihan 2? Ini agak sedikit sulit." Usul Taufan.

"Baiklah, ayo kita kerjakan." Jawab Gempa semangat.

Waktu menunjukan pukul 10 malam, semua tugas mereka sudah selesai, Yaya sedikit takut jika harus pulang sendirian selarut ini dan meminta untuk diantarkan pulang.

"APA! SUDAH JAM 10?" teriak Yaya.

"Kenapa Yaya? Jangan berteriak seperti itu!" sentak Taufan.

"Maaf Taufan, aku hanya kaget karena sudah malam seperti ini, bisa antar aku pulang?" pinta Yaya.

"Ayo aku antarkanmu pulang." Jawab Gempa sembari menuju pintu.

Sebenarnya, rumah mereka tidak terlalu jauh hanya berjarak sekitar 1KM, tapi tetap saja Yaya tak berani untuk pulang sendiri selarut ini. Selama perjalanan, mereka tidak banyak bicara, hingga akhirnya Gempa memulai pembicaraan sambil memberikan jaket hitam dengan corak emas kepada Yaya yang kedinginan.

"Nih pakai jaketku, kamu pasti kedinginan." Gempa memberikannya sambil tersenyum.

"Tak usah, kau pakai saja, aku tak kedinginan kok." Jawab Yaya sambil memeluk buku.

"Sudahlah, kamu pakai saja, aku tak tega melihatmu kedinginan seperti itu." Gempa memakaikan jaketnya kepada Yaya.

"Baiklah jika kau memaksa, terima kasih." Jawab Yaya datar. Kemudian, saat sampai di depan rumah Yaya.

"Nih, terima kasih jaket nya." Ucap Yaya sembari menyodorkan jaket Gempa.

"Sudah, kamu simpan saja dulu, besok kau pakai ini ke sekolah ya." Jawab Gempa.

"Untuk apa kau pinta aku pakai jaketmu?" Tanya Yaya dengan nada bingung.

"Sudahlah, kamu lakukan saja dulu, besok aku akan beritahu. Sampai jumpa besok dan selamat malam Yaya." Gempa meninggalkan rumah Yaya tanpa menatap kembali kepada Yaya.

Saat di kamar, Yaya tak berhenti memperhatikan jaket Gempa dan berpikir kenapa dia dipinta untuk memakai jaketnya. Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.

"Gempa kenapa sih minta aku pakai jaket dia besok? Apa sih maksudnya? Atau dia? Ah sudahlah aku tak mau memikirkannya." Gumam Yaya dalam hatinya.

.

.

.

.

.

Keesokan harinya Yaya menggunakan jaket yang Taufan berikan kemarin, banyak yang memperhatikan Yaya dengan penampilan yang berbeda, dengan sedikit menunduk Yaya menuju kelasnnya, disana sudah terlihat Taufan yang sedang duduk santai di bangku panjang depan kelas XI IPA dimana itu merupakan kelas Taufan dan Yaya.

"Yaya? Benarkah itu kau Yaya? Apa aku tak salah lihat?" Tanya Taufan terkejut melihat Yaya memakai jaket Gempa.

"Iya benar aku Yaya, kau tak salah melihat Taufan." Jawab Yaya sesantai mungkin.

"Lalu kenapa jaket gempa bisa ada padamu?" Tanya Taufan sedikit berteriak.

"Aku yang berikan padanya kemarin kak, kenapa?" Jawab Gempa yang sudah berada depan pintu kelas.

"Ah sudah, nih aku kembalikan jaketmu." Yaya segera melepas jaket Gempa.

"Sudah simpan saja dulu. Lagipula kau terlihat lebih cantik dengan jaket itu." Jawab Gempa sambil menahan jaket itu ditangan Yaya.

Sebenarnya Yaya mulai tidak nyaman dengan sikap Gempa padanya, ia bingung apa yang sebenaranya Gempa inginkan? Apakah dia menyimpan rasa padanya? Pertanyaan itu terus berputar di pikiran Yaya hingga dia tidak terlalu fokus pada pelajaran.

"Hai Yaya, kau kenapa? Kau sedang sakit?" Tanya Ying, teman sebangku Yaya.

"Ti…tidak apa-apa Ying, aku hanya sedikit aneh dengan sikap Gempa beberapa hari ini terhadapku." Jawab Yaya.

"Mungkin dia suka padamu Yaya." Jawab Ying dengan santainya.

"Tidak mungkin Ying, bahkan aku tak ada perasaan suka padanya, aku lebih menyukai Halilintar dibandingkan dia." Gadis berkerudung merah jambu itu tak sadar sudah mengungkapkan semuanya kepada sahabatnya itu.

"Oooohhh…jadi selama ini kau menimpan rasa pada Halilintar?" Tanya Ying dengan nada sedikit terkejut.

"Bu…bukan begitu Ying, aku hanya mengaguminya saja." Yaya nampak salah tingkah dan pipinya mulai memerah.

"Sudah, jujur saja padaku Yaya, rahasiamu aman di tanganku." Jawab Ying sambil menyikut Yaya.

"Mmmmm…baiklah Ying, aku memang suka pada Hali, tapi mengapa Gempa bersikap begitu perhatian padaku, mengapa tidak Hali saja yang begitu?" Yaya mulai mengungkapkan isi hatinya kepada Ying.

"Aduh Yaya, kau ini seperti yang tak mengenal kaka tertua dari si kembar itu saja." Sahut Ying sedikit tertawa.

.

.

.

.

Obrolan Yaya dan Ying berlanjut hingga mereka tak sadar bahwa Taufan menguping dari bangkunya yang tepat berada dua bangku di belakang mereka, saat pulang sekolah, Taufan yang merupakan kakak dari Gempa yang terkenal usil itu mulai menanyakan kepada Gempa soal yang dia dengar saat di kelas (kebetulan Gempa tidak sekelas dengan kedua kakaknya tersebut), tetapi Gempa tidak menanggapinya sama sekali selama perjalanan pulang, sesampainya di rumah Taufan mulai kembali dengan pertanyaan yang sama seperti saat perjalanan pulang hingga membuat Gempa sedikit kesal dengan pertanyaan yang itu-itu saja.

"Aduh kak Taufan, kenapa menanyakan tentang Yaya saja dari pulang sekolah tadi?" Tanya Gempa sambil melempar bantal ke arah Taufan yang ada di pintu kamarnya.

"Aku hanya penasaran saja, soalnya aku dengar sepertinya Yaya tidak suka padamu Gem." Sahut Taufan sambil melempar kembali bantal yang tergeletak di lantai.

"Maksud kakak apa berbicara seperti itu?" nada Gempa sedikit naik saat mendengar pernyataan Taufan tadi.

"Aku tadi mendengarkan kalau Yaya sedang curhat pada Ying tentang sikapmu yang aneh pada Yaya."

"Lalu apa yang Yaya katakan?" potong Gempa dengan cepat seperti yang penasaran.

"Tenang Gempa, aku belum selesai kau sudah potong saja!" seketika bantal melayang ke wajah Gempa yang tepat berada di samping Taufan.

"Ma-maaf Kak, lanjutkan."

"Yaya sebenarnya lebih suka pada Kak Hali daripada kau Gem." Jawab Taufan sambil meninggalkan kamar Gempa, meninggalkan Gempa yang terdiam seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan kakaknya tadi.

Setelah Gempa mendengar kabar itu, Gempa seperti yang kebingungan antara berhenti atau tetap mengejar Yaya yang lebih memilih kepada Halilintar, hingga suatu hari, Gempa tidak ada masuk sekolah yang terlihat hanya Halilintar dan Taufan. Yaya seperti tidak peduli awalnya, namun setelah hampir satu bulan ia tidak pernah melihat Gempa di sekolah dan kedua kakaknya itu pun selalu pulang cepat akhir-akhir ini, perasaan khawatir mulai muncul pada dirinya dan mulai mencoba mencari berita tentang Gempa tetapi selalu gagal saat ia mencoba menanyakannya pada saudara kembarnya Gempa. Yang dia ketahui awalnya bahwa Gempa izin selama satu minggu untuk pergi keluar negeri bertemu ayahnya yang sedang dinas di luar negeri. Setiap kali pulang sekolah, Yaya selalu berniat untuk mencoba menemui mereka untuk mengetahui apa yang terjadi pada mereka, tetapi ia selalu mengurungkan niatnya karena hatinya masih tidak bisa menerima Gempa, namun di sisi lain ia ingin mengetahui apa yang terjadi pada Gempa, hingga akhirnya ia mendapat kabar dari Gopal yang merupakan tetangga dari si kembar tiga ini bahwa Gempa sedang sakit sehingga ia tidak bisa sekolah dulu. Masih di hari yang sama, sepulang sekolah, Yaya mengajak Ying untuk menjenguk Gempa di rumahnya setelah mendapat kabar dari Gopal namun Ying tidak bisa ikut karena ada jadwal les tambahan yang tidak dapat ditinggalkan, akhirnya Yaya memberanikan diri untuk menjenguk ke rumah Gempa sendirian. Yaya merasa ada sesuatu yang berbeda saat mendekat ke rumah si kembar tiga tersebut, tidak seperti biasanya di rumah mereka sangat sunyi, tak ada kegaduhan yang biasa dibuat oleh si kembar tiga., hingga akhirnya Yaya membuka pintu pagar rumah mereka dan mengetuk pintu rumahnya sesaat kemudian muncul seseorang membuka pintu.

"Permisi…" sapa Yaya depan pintu sambil menekan bel.

"Iya sebentar…" Jawab seseorang dari dalam rumah.

Ternyata yang membuka pintu adalah adik dari si kembar tiga, yaitu Api dan diikuti oleh kembarannya Air, Yaya terkejut karena dia hanya tahu bahwa mereka hanya bertiga tinggal disini, Yaya masih terpatung di depan pintu rumah, hingga akhirnya suara Halilintar menyadarkannya dari lamunannya.

"Siapa itu Air?" Tanya Halilintar pada adiknya dengan dingin.

"Ooohhh…aaahhh…ini aku Yaya" Jawab Yaya dengan sedikit kebingungan.

"Oh, kau Yaya, ada apa? Dan mengapa kau menatap adikku seperti itu?" Halilintar menghampiri kedua adiknya yang berbeda satu tahun dari mereka bertiga.

"Eeennngggg…ini…aku hanya ingin bertanya kenapa Gempa tidak masuk sekolah hampir satu bulan ini?" Tanya Yaya dengan nada lembut dan berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada Gempa

"Dia sedang kurang sehat, memangnya kenapa?" Jawab Halilintar dingin.

Tiba-tiba seseorang muncul dengan duduk di kursi roda mendekat ke pintu depan dan menyuruh mereka masuk ke dalam.

"Kau berbicara dengan siapa kak? Kenapa tidak diajak ngobrol didalam saja?" Tanya anak lelaki diatas kursi roda tersebut.

Halilintar segera berbalik dan menyuruh anak itu untuk pergi menunggu di dekat ruang keluarga, kemudian ia menuruti perintah anak itu untuk mengobrol di dalam.

"Ayo Yaya, kita ke dalam, tidak enak mengobrol disini." Ajak Halilintar dengan nada sedikit malas.

Halilintar dan keluarganya sebenarnya ingin menyembunyikan ini semua dari Yaya, tetapi anak di kursi roda itu memaksa dia agar mengajak Yaya kedalam. Kemudian mereka duduk di sofa ruang tamu yang cukup nyaman, hingga akhirnya Yaya kembali membuka suara.

"Tadi siapa yang meminta kita untuk kedalam?" Tanya Yaya penasaran.

"Bukan siapa-siapa, hanya si Air yang tadi memintaku untuk mengajakmu kedalam." Jawab Halilintar sekenanya.

"Tapi tadi seperti suara Gempa?" Yaya makin penasaran.

"Bukan, itu hanya perasaanmu saja Yaya, Gempa sedang keluar bersama ayah." Kembali Halilintar menjawab sekenanya.

Sesaat kemudian, anak lelaki di kursi roda itu keluar menuju ruang tamu, hal ini membuat Halilintar terkejut dan sedikit panic karena seharusnya Taufan menjaganya agar tidak menuju ke ruang tamu, secepat mungkin Halilintar beranjak dari tempat duduknya, Yaya pun terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Halilintar hingga Yaya pun menoleh kebelakang dan Yaya terkejut bukan main karena yang duduk di kursi roda itu adalah Gempa. Yaya terlihat sangat shock melihat Gempa duduk di atas kursi roda tersebut, dan segera menghampiri Gempa yang terlihat sedikit bingung menatap Yaya. Yaya tidak tahu mengapa Gempa bisa ada di kursi roda tersebut, dan mengapa Halilintar dan Taufan tidak memberitahu akan keadaan Gempa sekarang, disitu Yaya mulai menitikan air mata dan mulai menatap kepada Halilintar yang tepat berada di sebelahnya.

"Ke—kenapa dengan Gempa? Hali! Jawab sekarang!" Yaya menangis di bahu Hali.

"Hali, perempuan ini siapa?" Tanya Gempa polos.

Yaya makin tersentak setelah mendengar kata-kata bahwa Gempa tidak mengenalnya. Hal itu membuat Yaya makin mendesak Hali untuk menjawab pertanyaannya tadi, tapi Hali sendiri tak memberikan jawaban dari pertanyaan tersebut.

"Ka—kau ini siapa? Kenapa kau menangis melihatku? Apa kita pernah bertemu?" dengan polosnya Gempa mengeluarkan pertanyaan yang membuat Yaya makin terisak-isak menangis.

"Kamu yakin tidak mengenaliku Gempa?" Tanya Yaya sembil tersedu-sedu.

"I—Iya, darimana kau tahu namaku?" Gempa langsung menatap Hali yang diam seribu bahasa di depannya sambil menunduk.

"Aku Yaya, teman sekolahmu dari kita masih di bangku SD." Yaya berusaha membuat Gempa mengenalinya.

"Yaya? Teman sekolahku sejak SD? AAARRRGGHHH!" Tiba-tiba Gempa berteriak dan memegangi kepalanya.

"YAYA! Apa yang kau lakukan? Kau ingin membuat kondisinya semakin parah apa?"

Bentak Halilintar kepada Yaya yang langsung termenung saat Hali membentaknya, baru kali ini Yaya dibentak oleh si kembar paling tua, ia tak menyangka bahwa pria yang disukainya ini berani membentak dirinya di hadapan pria yang menyukai dirinya.

"A—apa aku salah ji—jika aku ingin membuatnya mengingatku?" Yaya bertanya sambil mendorong Halilintar.

"Apa kau bodoh hah! Gempa mengalami amnesia setelah kecelakaan pesawat saat ia pergi untuk menemui Ayah, apa kau tak tahu itu hah!" Bentak Hali makin menjadi.

"Ja—jadi selama ini Gempa ti—tidak masuk karena kecelakaan? Mengapa kau tak memberi tahuku?" Jawab Yaya lirih.

"Lalu, jika aku memberitahu mu akan memperbaiki ini semua? Kau tidak peduli sedikitpun dengan Gempa!" Halilintar mulai mengeluarkan emosinya yang sudah lama ia pendam.

"Setidaknya aku tidak akan khawatir akan keadaan Gempa!" Yaya mulai membentak Halilintar.

"APA? KHAWATIR? Sejak kapan kau mulai khawatir terhadap Gempa hah! Kau tak pernah memmperdulikan segala yang telah dia lakukan kepadamu, Gempa sebenarnya suka padamu tapi apa yang kau lakukan padanya? Kau tak memperdulikannya sama sekali!" Hali mengeluarkan segalanya.

"Ta—tapi…" Yaya tak bisa bekata-kata lagi.

"Tapi apa? Kau lebih menyukaiku kan? Sayangnya aku tak ada perasaan padamu." Jawab Halilintar jujur.

"Me—mengapa kau tahu semuanya?" Tanya Yaya penasaran.

"Aku yang menceriakan semuanya pada Halilintar dan Gempa."

Tiba-tiba aja anak laki-laki bertopi biru dengan lambing angin itu muncul dari balik pintu ruang keluarga. Ternyata Taufan sengaja membiarkan Gempa keluar dari ruang keluarga karena Taufan merasa sudah saatnya Yaya mengetahui semua ini, tetapi tidak untuk Halilintar, dia merasa apa yang dilakukan oleh adik pertamanya itu tidak pada waktu yang tepat. Hingga akhirnya mereka pun berdebat hebat antara Yaya, Halilintar, dan Taufan membuat Gempa semakin tidak nyaman dan meninggalkan mereka ke taman belakang rumahnya. Yaya yang melihat perginya Gempa berusaha mengejarnya tetapi dia dihalangi oleh Halilintar karena ia tidak ingin melihat adik ketiganya makin menderita karena berusaha mengingat apa yang telah terjadi sebelum dia mengalami kecelakaan pesawat yang hampir merenggut semua penumpang dan awak pesawat tujuan Kuala Lumpur – Berlin tersebut. TO BE CONTINUED…..