Vocaloid © Crypton Future Media, Internet, Yamaha.
Fanloid & Utauloid © their respective owner. No commercial profit taken.
Warning kurang riset. Kesamaan ide harap dimaklumi.
a/n cerita ini disubmit untuk memenuhi rikues CityOfReverence di grup WA—yang awalnya cuma iseng saling rikues fic, tapi entah kenapa ujungnya malah jadi lempar-lemparan challenge dengan label #KeluarZonaAman. Nama challenge dipilihkarena semua tema yang dirikues sangatlah kampret karena belum pernah dicoba (bahkan dihindari) oleh masing-masing author di grup WA tsb.
(rant pribadi: harusnya nama challenge-nya bukan #KeluarZonaAman, tapi #YukKitaMaso /plok)
Karakter di sini saya pilih dan gunakan bukan karena faktor bias dan OTP (seperti yang sering saya lakukan dalam cerita-cerita saya), akan tetapi memang dipilih dengan pertimbangan matang. Saya sudah coba ganti dengan karakter lain seperti Meiko, Kaito, Avanna, Kiyoteru, dll. Tapi ternyata ceritanya nggak bisa berjalan seperti yang saya harapkan.
Apakah saya sudah keluar dari zona aman? Well. Saya jarang nulis cerita dengan setting di luar Jepang (jadi-jadian). Saya selalu menghindar menulis dengan sudut pandang orang pertama. So, yeah, kayaknya saya udah lumayan coretmasocoret keluar dari Zona Nyaman.
Apakah saya berhasil? Masalah ini, Anda yang tentukan.
Np: Epik High – One.
Tipuan yang Salah
Oleh devsky
Penampilan bisa menipu.
Orang bilang, jadi aktris itu enak. Hanya berbekal piawai bersandiwara di depan kamera, punya paras jelita, serta bentuk tubuh yang mampu mengalihkan mata, dan voila! Kau pun bisa mendapatkan semua. Mulai dari rumah megah dengan sudut esklusif di kawasan perumahan elit, jejeran tas tangan Gucci, hingga jam tangan bertahtakan Swarovski. Belum ditambah dengan ulasan rutin di koran pagi, tumpukan buket bunga dan surat dari penggemar di seluruh negeri, undangan pesta sebagai tamu kehormatan dari para relasi baru yang, anehnya, berasal dari para konglomerat terpandang. Oh, betapa menyenangkannya jadi orang terkenal. Mirip seperti mimpi.
Aku setuju bagian mirip mimpinya. Karena semua mimpi hanya dapat kau temukan ketika tidur. Saat terbangun, semua itu menghilang dan hanya akan menjadi omong kosong. Sama seperti omongan orang-orang mengenai aktris tadi. Omong kosong. Sampah.
Menjadi aktris berarti kau harus siap dituntut menjadi sempurna. Tak peduli kapan pun atau dimana pun. Tidak boleh ada kesalahan fashion. Tidak boleh ada kantung mata. Tidak boleh ada sisa makanan yang menyelip di gigi. Tidak boleh begini dan tidak boleh begitu. Sekali saja kau melakukan kesalahan, maka bersiaplah merelakan sebagian—atau seluruhnya, jika keadaan semakin buruk— privasimu menjadi konsumsi orang satu negeri. Dan kau tidak akan tahu seberapa buruk rasanya ketika kejelekanmu sampai ke permukaan, kemudian jadi bahan gunjing orang.
Publik selalu menuntut, dan sebagian jurnalis picik memanfaatkan ini sebagai pembenaran untuk menguntit, mengambil foto-foto kami untuk kemudian mereka pasang seenaknya di halaman depan tabloid. Motifnya sepele; reputasi dan pundi-pundi materi.
Mendapat reputasi dengan mencoreng reputasi milik orang lain. Yah, begitulah dunia bekerja. Tidak adil. Tapi hidup memang tidak pernah adil.
Aku tidak bilang jika aku benci menjadi seorang aktris. Sebaliknya, aku sangat mencintai profesi ini. Lebih dari itu, ini adalah impianku sejak remaja.
Aku tumbuh di lingkungan keluarga yang cukup konservatif. Jangan diragukan betapa keras kepalanya mereka dalam menjauhkan anak-anaknya dari gemerlap dunia hiburan. Mereka selalu mengarahkan aku dan saudara kembarku ke sekolah-sekolah formal berisi murid unggulan dan catatan akreditasi A. Ekonomi dan Kedokteran, adalah beberapa bidang yang selalu mereka paksakan kepada kami. Tapi, di sinilah aku berada kini; menjadi bagian dari dunia perfilman.
Tentu saja kalian bisa bayangkan berapa banyak pertentangan dan pertengkaran yang terjadi antara aku dan keluargaku. Terutama dengan ayahku. Kalian tahu, dia adalah kepala keluarga dan dialah yang paling sulit dibujuk. Kolot, jika aku boleh bilang. Dan itu sedikit menyebalkan.
Bicara tentang ayahku … pria itu pernah memutuskan berhenti bicara padaku. Terlalu banyak pertengkaran di antara kami. Aku ingat waktu itu umurku masih duapuluh dua; setahun setelah aku resmi mundur dari kegiatan teater kampus; beberapa bulan setelah aku menggenggam gelar strata satu di bidang Psikologi; sehari setelah seorang sutradara datang menyodorkan sebuah peran dalam film yang akan ia garap—dan langsung kuterima tanpa pikir panjang. Hei, aku gadis yang ambisius! Tidak mungkin kutolak tiket emas ke wonderland yang disodorkan langsung oleh kelinci putih!
Aku menerima tawaran sutradara. Dan…. Begitulah pertengkaran kami bermula.
Ayah terus memaksaku berhenti menjadi aktris. Aku terus menolak. Darah ayah yang mengalir di dalam tubuhku memang tidak diragukan lagi. Karena kami berdua sama-sama keras kepala. Sama-sama tidak mau kalah. Sama-sama batu.
Nyaris setahun dan segalanya pun menjadi semakin buruk. Kemudian, di suatu pagi yang mendung, tiba-tiba saja dia sudah kehilangan minat untuk bicara denganku. Mungkin dia sudah lelah beradu argumen. Aku juga sama. Maka pada akhirnya, kami saling mengabaikan.
Ibu dan Luki, saudara kembarku, telah berkali-kali berusaha mendamaikan kami. Mereka pernah memaksa ayah menonton filmku di bioskop. Pernah juga merancang sebuah piknik dan makan malam bersama. Tidak satu pun dari mereka pernah berhasil.
Kabar baiknya, hubungan kami perlahan-lahan mulai membaik sejak setahun lalu. Lebih tepatnya, ketika aku menyetujui sebuah pertunangan yang telah orangtuaku atur sejak lama. Aku tidak menyangka sebuah pertunangan bisa membuat hubunganku dengan ayah jadi setingkat lebih baik, tapi juga merasa lega dalam waktu bersamaan.
Begitu banyak yang kulalui untuk bisa sampai di titik ini menjadikan profesi ini begitu berharga buatku. Aku sangat mencintai pekerjaanku.
Akan tetapi, ada kalanya aku lelah. Maksudku, aku tidak bisa selalu jadi orang sempurna, kalian tahu. Ada waktunya ketika aku merasa terlalu lelah bahkan untuk tersenyum. Karena itu, saat aku tidak sedang berada dalam jangkauan manager atau kru film atau jurnalis, maka biasanya aku akan mengabaikan sekitarku dengan memasang headset dan membaca buku—atau apa pun yang dapat kutemukan. Saat itulah, aku mendapatkan ketenanganku.
Aku sudah lama percaya jika memasang headset di telinga adalah sebuah tanda halus yang menyiratkan pesan: 'Jangan Ganggu Aku'. Luki yang memberitahu tentang itu. Semua orang di belahan dunia paham tanda itu, begitu katanya. Dan aku percaya begitu saja. Ia memang selalu mengetahui lebih banyak hal dariku, asal kalian tahu.
Tapi kurasa, kali ini dia salah. Karena saat ini, bahkan setelah sepasang headset jelas-jelas menyumbat lubang telinga, seorang wanita masih punya nyali untuk merecokiku.
"Halo, Nona Megurine."
Aku mencoba mengabaikan mereka. Berharap wanita itu mengira aku memasang musik terlalu kencang di telinga kemudian menyerah dan meninggalkanku sendiri. Tidakkah dia mengerti, aku sedang tidak ingin diganggu?
Sambil terus berpura-pura tidak menyadari kehadiran mereka, mataku tertuju pada halaman sebuah tabloid yang tadi kuambil dari kursi tunggu di depanku. Sepertinya seseorang kehilangan minat untuk membaca hingga meninggalkannya begitu saja sebelum pergi. Dan aku, yang terlalu bosan menunggu kedatangan pesawat, akhirnya mengambil tabloid yang tergeletak kesepian itu. Kurang tigapuluh menit dari jadwal keberangkatan, tidak ada salahnya membuang waktu dengan membaca.
"Halo? Nona Megurine?"
Bukannya meninggalkanku sendiri, yang kudapat malah tepukan di lengan.
Aku mengerang daam hati. Jika seseorang sudah menepuk, itu artinya aku tidak bisa lagi berpura-pura tidak menyadari kehadiran mereka lagi.
Sial.
Aku pun melepas headset dan menoleh, hanya untuk mendapati seorang wanita dan anak laki-lakinya. Wanita itu masih muda, kira-kira masih pertengahan tigapuluh. Rambutnya pirang panjang dan dijepit setengah ke belakang.
Dilihat dari bagaimana cara berpakaiannya secara sekilas, sepertinya berasal dari ekonomi menengah—aku berani bertaruh mantel dan bots kulit yang ia kenakan seratus persen imitasi! Dia pasti membelinya di toko pinggir jalan yang menggelar obral akhir musim— namun pembawaannya terkesan sopan dan beradab.
Tujuh tahun menyandang predikat sebagai aktris, membuatku hapal apa yang seseorang inginkan jika mata mereka menangkap sosok bintang layar lebar berkeliaran di tempat umum. Tanda tangan. Foto. Atau keduanya. Kadang juga ditambah dengan jabat tangan. Kali ini pun, sepertinya juga sama. Karena itu, aku segera mengembangkan seulas senyum.
Sebuah peraturan tak tertulis yang berlaku untuk semua aktris; selalu bersikap ramah dan tersenyum di depan publik adalah keharusan. Tidak peduli seberapa jelek mood-mu atau seberapa pegal rahangmu. "Tugasmu adalah tersenyum," begitu yang selalu manajerku katakan. "Kau tidak akan mau imej baik yang susah payah kau bangun sejak lama runtuh hanya karena opini masyarakat."
"Ah, halo," sapaku pada wanita tersebut, ramah. Pencitraan adalah segalanya. Memang.
Kulihat mata wanita itu berbinar-binar, pertanda ada luapan rasa gembira. Seharusnya aku merasa senang juga melihatnya. Tapi aku sudah terlalu sering melihat ekspresi itu di wajah para fans. Kini, aku mulai bosan dan malah bertanya-tanya, kenapa mereka bisa kelihatan sesenang itu hanya dengan melihat idola mereka? Apakah mereka tidak sadar bahwa mungkin—mungkin— idola yang mereka temui sedang tidak ingin berurusan dengan mereka semua? Pernahkah pemikiran seperti itu menggelayut di kepala mereka?
"Nona Megurine! Senang sekali bisa bertemu Anda di tempat ini. Ah, ini pasti hari keberuntunganku!"
Aku kembali tersenyum.
Bagian paling awal yang akan kau temui saat berhadapan dengan fans adalah tumpukan sanjungan. Mereka akan mengelu-elukan betapa beruntungnya hari mereka bisa bertemu dengan kami. Sanjungan yang menyenangkan karena terasa begitu nyata. Apalagi binar mata dan gestur tubuh yang mereka tampilkan begitu polos.
Namun, tahukah kalian, emas paling murni pun sesungguhnya punya kandungan campurannya juga. Sanjungan dari fans mungkin terdengar manis di telinga, tapi tidak ada yang dapat menjamin apakah mereka akan terus menyanjung atau justru menghina saat kita telah membalikkan badan.
Mereka adalah pemberi madu sekaligus penebar racun paling ulung. Ular.
"Namaku Kagamine Lenka," wanita itu mulai memperkenalkan diri. "Aku adalah salah satu penggemar Anda. Saya melihat Anda di iklan-iklan dan mengagumi betapa cantiknya Anda. Oh! Dan penampilan Anda di pernikahan Sakine Meiko belum lama ini juga luar biasa!"
Sakine Meiko adalah salah satu rekanku. Kami pernah bekerja sama di beberapa judul film layar lebar. Usianya lebih tua lima tahun dariku, tapi penampilannya berkata lain. Belum lama ini, dia baru saja menikah dengan Shion Kaito, seorang aktor yang juga kerap bermain di film yang sama dengannya. Benar-benar manis, dua orang itu.
Resepsi pernikahan Meiko dan Kaito digelar di sebuah hotel mewah. Sebetulnya itu bukan acara yang megah tapi, karena yang menikah adalah dua orang yang wajahnya sering muncul di layar kaca, beberapa stasiun tv datang meliput.
Aku tak menyangka ada orang yang suka penampilanku di pesta itu. Kalau boleh jujur, aku benci penampilanku ketika itu. Gaun yang kukenakan terlalu ketat hingga membuatku susah bergerak. Dan aku harus puluhan kali nyaris jatuh karena stiletto yang kugunakan benar-benar tak nyaman. Payah.
"Ah, terima kasih banyak."
"Oh, ya! Dan ini," Lenka menarik seorang anak laki-laki yang daritadi mengintip malu-malu dari balik punggungnya, "adalah anakku. Kagamine Len."
Aku membetulkan posisi duduk. Memiringkan kepala dan menyapa, "Halo, Len. Apa kabar?"
"U-uh. Halo." Len membalas dengan suara pelan, kemudian membuang tatapan ke lantai.
"Hei, hei. Bukan begitu caranya menyapa orang, Len." Lenka menegur anaknya. Tidak serius, tentu saja. "Maafkan saya, Nona Megurine. Dia agak sedikit … pemalu dengan orang baru."
Aku tertawa sopan. "Aku bisa melihatnya."
Len adalah seorang anak laki-laki dengan tubuh kurus dan tidak terlalu tinggi. Dari potongan bentuk wajah, warna rambut serta mata, dia terlihat seperti Lenka versi laki-laki. Benar-benar ibu dan anak kandung. Tidak perlu diragukan lagi, Lenka pasti benar-benar memberi segenap cintanya saat membuat Len.
"Tapi," Lenka memegang pundak putranya, "Len adalah penggemarmu yang nomor satu."
Penggemar nomor satu. Aku sudah sering mendengarnya. Semua fans selalu berkata seperti itu. Tapi aku tetap menjawab sambil tersenyum. "Benarkah?"
"Ya. Dia mengumpulkan postermu di rumah. Dia hapal tanggal kau lahir. Dia membeli mini album-mu. Dia juga sudah menonton semua film yang kau bintangi!"
Alisku naik satu. "Oh, begitukah Len?"
Anak itu mengangguk.
"Boleh kutahu, berapa umurmu?"
"Empatbelas tahun."
Semua film yang pernah kubintangi mengangkat tema dan rating dewasa. Saat kau ingin menonton filmku, biasanya petugas tiket di bioskop akan menanyakan kartu identitas terlebih dahulu. Jika filmku tayang di televisi, pihak stasiun televisi akan menayangkannya setelah jam tidur anak-anak lewat.
Pertanyaannya sekarang, kenapa ada seorang bocah berumur empatbelas tahun bisa mengaku sudah menonton semua filmku? Apakah ibunya yang berbohong? Atau memang dasar otak anak ini yang picik?
"Hei, hei, Len. Ayo, katakan pada Nona Megurine film apa saja yang sudah kau tonton!"
"Oh. Ehm…." Len berpikir sejenak. "Aku sudah menonton semua filmmu yang diputar di bioskop. The Cynical, Emotions, Underground Poppies—semuanya! Aku menonton film terbarumu, Thorn Apart, bersama Piko, teman sebangkuku. Dia bilang, kau bermain dengan sangat brilian di sana. Tapi favoritku tetap peranmu sebagai Isobel di film Tricky Lady Rose."
Mulutku nyaris ternganga. Takjub, tapi bukan dalam artian yang baik. Semua judul film yang Len sebutkan tadi memang film-film yang pernah kubintangi. Dan, seperti yang kubilang tadi, semua rating-nya berlabel dewasa. Apalagi film terbaruku. Materi yang ada di dalamnya sama sekali bukan konsumsi untuk anak kecil!
Bagaimana dia bisa menonton semua film-film itu—maksudku, dia bahkan mengaku menonton salah satu filmku dengan teman sebangkunya!
Mungkin setelah ini aku akan melayangkan surat komplain kepada bioskop-bioskop yang memutar filmku agar tidak sembarangan memberi tiket pada anak yang masih di bawah umur.
"Oh?" Aku kehilangan kata-kata. Berhadapan dengan anak kecil bukan masalah untukku. Aku pernah menjadi duta dalam acara amal sebuah bank. Di mana, dalam acara itu, aku harus berinteraksi dengan anak-anak dari sebuah panti asuhan. Tapi berhadapan dengan seorang bocah di bawah umur yang, secara terang-terangan, mengaku hobi mengonsumsi film ber-rating dewasa sama sekali belum pernah kulakukan. Dan, kalau boleh aku jujur, aku sama sekali tidak mengharapkan pengalaman ini.
"Baiklah, eng, Len." Setelah beberapa detik memerah kosa kata di dalam otak, akhirnya aku kembali berbicara. "Terima kasih banyak atas dukunganmu. Aku sangat tersanjung kau tahu semua filmku." Tapi kuharap kau tidak lancang menontonnya lagi, ingin sekali aku menambahkan. Tunggulah tiga tahun lagi dan kau baru boleh melihatnya!
"Dan aku juga sangat tersanjung bisa bertemu dengan Megurine Luka di sini. Boleh aku minta tanda tangan?" Len menyodorkan buku serta pena, yang dengan segera kuraih.
"Tentu," jawabku ramah. Aku sudah punya prediksi jika percakapan basa-basi ini hanya akan berakhir pada minta tanda tangan. Jadi, aku tidak terlalu terkejut.
"Boleh aku minta tiga tanda tangan?" Len bertanya lagi.
"Untuk temanmu?"
"Dan kakak perempuanku. Namanya Rin. Uhm, kami kembar, sebenarnya. Hanya beda lima menit. Dia juga sangat menyukaimu! Aku akan merasa tidak enak jika punya tanda tanganmu sementara dia tidak."
Aku mengangguk, menyanggupi. Percaya atau tidak, meski Len tidak punya kesan pertama yang kurang baik di mataku, tapi setidaknya aku bisa melihat sedikit sisi baik dari anak itu: bahwa dia peduli dengan saudaranya. Dan itu hal yang bagus.
Terlebih lagi, saudara kembar. Entah kenapa, aku jadi teringat akan Luki.
Sementara aku menandatangani halaman demi halaman buku catatan Len, anak itu duduk di sampingku. Menunggu sambil memerhatikan. Lenka sedikit menjauh dari kami, menelpon. Dari bagaimana ekspresinya rekah, sepertinya ia sedang memamerkan hari terbaiknya pada seseorang. Sepertinya teman-temannya.
"Nona Megurine," kata Len, "aku ikut sedih atas ditundanya pernikahanmu. Juga atas, meninggalnya saudaramu, Luki."
Pulpen yang kugenggam bergetar salam sepersekian sekon yang singkat. Tak menyangka Len akan mengangkat topik ini. Tapi aku segera berdeham dan kembali menarik garis-garis di kertas. Tindakan defensif. "Ah, terima kasih, Len. Aku sangat menghargainya."
"Aku tidak menyangka kecelakaan itu menimpa saudaramu."
"Aku juga." Yang sebenarnya adalah, aku sangat tidak menyangka. Siapa juga yang bisa memperkirakan bahwa saudara kembarmu akan terjatuh dari lantai empatbelas tepat tiga hari sebelum hari pernikahan saudaranya digelar?
"Padahal persiapan pernikahannya sudah sangat matang, ya."
Aku tersenyum. Kecut. Oh, seandainya ada yang tahu betapa sedih dan kecewanya aku saat harus membatalkan resepsi pernikahan akibat insiden itu. Seandainya ada yang tahu, betapa aku memimpikan berjalan di altar mengenakan gaun pengantin. Seandainya ada yang tahu, betapa aku ingin segera mengganti statusku. Bukan lagi sebagai tunangan seorang pria bernama Yukio Yuuma, tapi sebagai istrinya.
Kami terdiam selama aku menyelesaikan tanda tangan kedua.
"Nona Megurine," Len kembali memulai topik saat aku membalik halaman, hendak memberi tanda tangan ketiga.
"Ya, Len?"
"Kau tahu, aku dan temanku, Piko semacam berpikir jika kecelakaan Luki tidak wajar. Maksudku, jangan-jangan itu bukan kecelakaan. Bagaimana kalau itu bunuh diri?"
Aku tertawa kecil. "Oh, lihat ini? Apa kau bercita-cita menjadi detektif saat besar nanti, Len?"
"Bukankah itu mungkin saja?" Len telak mengabaikanku. "Luki pernah muncul beberapa kali di depan media. Dan dia … kelihatan sangat akrab denganmu. Terlalu akrab bahkan. Yah, aku tahu sih kalian saudara kembar. Tapi bahkan aku dan Rin tidak pernah sampai seperti itu."
Aku menoleh. "Maksudmu?"
Anak laki-laki di hadapanku mengangkat wajahnya. Matanya biru, beradu dengan milikku. "Maksudku, tidakkah kau berpikir jika Luki sengaja menjatuhkan dirinya untuk membuat pernikahanmu batal? Mungkin saja dia tidak suka dengan rencana pernikahanmu, 'kan?"
Oke, aku tidak tahu kemana pembicaraan ini mengarah.
"Mungkin saja Luki sebenarnya menyukaimu. Mungkin saja kalian—" Inses.
Aku merasakan kemarahan menyeruak dari dalam diriku, berturbulen dan membuat dadaku sesak. Hubunganku dengan Luki memang sudah sangat baik sejak awal. Aku tidak suka jika ada orang luar yang berani melabel kami macam-macam. Aku tidak suka jika hubungan kamu dikait-kaitkan dengan penyebab kematian Luki. Terlebih itu Len—yang notabenenya masih belum mengerti apa-apa dan tidak tahu apa-apa.
Karena itu, setelah menyelesaikan tugasku, aku segera menutup buku catatan Len, mengembalikannya, lalu pergi dari tempat itu. Tanpa mengucapkan apa pun.
Penampilan bisa penipu.
Dari luar, aku kelihatan senang dengan kehadiran para fans. Di dalam, aku bisa saja murka dengan kehadiran mereka. Seperti sekarang.
To be Continued
Pengakuan dosa: fic ini seharusnya OS. Tapi karena jumlah katanya membludak, jadi saya jadiin two atau three shots aja wwww
Oh, terima kasih untuk semua orang yang telah menominasikan karya saya di IFA tahun ini. (:
Review is love.
Sign,
devsky
