I Would Walked a Thousand miles

by. D

.

.

.

Suasana dingin serta turunnya hujan salju bukan alasan untuk menghambat aktifitas warga di kota ini. Kota Beijng kini terhiasi oleh ornamen-ornamen merah dan hijau, ucapan natal serta pohon natal menghiasi pertokoan di sepanjang jalan menandai natal akan segera tiba. Hal yang sama pun terasa di dalam Beijing Capital International Airport. Tampaknya natal memang telah menyulap susana hati setiap orang menjadi suka cita.

Hiruk pikuk di Beijing Capital International Airport semakin terasa menjelang natal. Diantara kesibukan tampak laki-laki berwajah manis yang tubuh kurusnya terbungkus mantel tebal sedang berdiri terdiam, raut gelisahnya terlihat jelas diwajahnya dan gerak badannya seakan-akan ia sedang mempertimbangkan sesuatu, dia lalu berjalan tanpa arah di dalam Airport, sesekali ia menghentikan langkahnya lalu kembali berjalan lagi, Di tangannya ada sebuah telepon seluler hitam yang digenggam erat dan sesekali ditempelkan ke mulutnya ketika ia berfikir. Seperti telah menemukan solusi ia pun kini melangkah pasti menuju Airport Lounge. Segera ia menjatuhkan diri di sebuah sofa empuk pertama yang ia lihat di Airport Lounge, lalu membuka telepon selulernya dan mencari sebuah nama dalam kontaknya.

" Hello, it's Luhan. ...I need your help."

.

.

Laki-laki di hadapan Luhan tersenyum jahil ketika melihatnya. Seraya mendekat ia melebarkan tangannya lalu memeluk Luhan ketika sudah dapat menjangkaunya.

" Aku tahu kau akan datang padaku, hyung." Ucap laki-laki itu belum mau melepas pelukannya.

" Kau yang datang padaku, bukan aku yang datang padamu." Segera Luhan melepas pelukan laki-laki itu kemudian menuju ke sebuah mobil caravan yang terlihat sangat mencolok karena ukurannya yang sangat besar dibanding deretan mobil lain. Mereka pun pergi meninggalkan bandara.

Di perjalanan kedua lelaki itu tidak saling bicara, dinginnya udara musim dingin bulan Desember terasa hingga di dalam mobil. Sebuah lagu mengalun untuk mencairkan suasana. (The First Snow-EXO)

" Can't you just turn the music off?" keluh Luhan.

" Kenapa? Kau tidak suka lagunya?"

" No, I'm just not in the mood for music." Laki-laki itu tersenyum melihat wajah Luhan yang rupanya masih tampan walau sedang kesal. Ia pun malah menaikkan volume musiknya.

" Hei! Apa yang kau lakukan?" Luhan geram merasa permintaannya tidak didengar.

" Aku tidak bisa menyetir dalam keadaan sepi, nanti malah mengantuk. Kecuali kau mau mengajakku bicara sepanjang perjalanan."

" Baiklah, tapi tolong matikan musiknya." Laki-laki itu senang usahanya berhasil untuk membuat Luhan bicara padanya.

" Nah, itu lebih baik." Laki-laki itu kembali memberikan senyum jahilnya, lagi.

" Aku benci melihat wajahmu seperti itu, Sehun."

Sehun adalah mahasiswa dua tingkat dibawah Luhan di Peking University School of Arts yang terletak di kota Beijing, China. Mereka berdua berasal dari kota yang sama yaitu Guangzhou, Guangdong, China. Sehun dan keluarganya adalah orang Korea yang baru saja pindah dari Seoul ke Guangzhou setahun sebelum ia melanjutkan pendidikannya di Beijing.

Selama hampir dua tahun Luhan mengenal Sehun, Luhan tidak pernah sekalipun pulang bersama Sehun ke kampung halamanya. Alasannya, karena memang mereka tidak begitu dekat. Paling tidak seperti itu menurut Luhan. Kedekatan mereka hanya sebatas antara senior dan junior dalam keseharian mereka.

Tapi bagi Sehun tidak seperti itu, Luhan adalah senior yang pertama kali dia kenal di sekolah itu. Sehun sangat mengaggumi ketampanan Luhan. Tak jarang Sehun meminta pertolongan dalam hal sekolah pada Luhan agar ia punya kesempatan untuk dekat dengannya. Keramahan Luhan untuk membantunya disalah artikan oleh Sehun, ia pun merasa memiliki harapan besar untuk dekat dengan Luhan. Terlebih ketika Sehun tahu bahwa ternyata mereka berasal dari kota yang sama. Sehun sering mengajak Luhan untuk pulang bersama ke Guangzhou tapi selalu ditolak. Sekalipun ia memohon kepada hyungnya ini agar mau ikut pulang bersamanya, tetap Luhan tidak mau dan selalu punya alasan untuk menolaknya. Alasannya, Luhan sama sekali tidak berminat untuk berkendara menuju Guangzhou karena akan memakan waktu yang lama dan itu bukanlah hal yang disukai Luhan, dia akan lebih memilih menggunakan pesawat terbang. Sedangkan Sehun, ia lebih suka mengendarai mobil karavannya yang ia dapatkan ketika ia berhasil memenangkan sebuah lotre.

Tapi diatas semua itu, ada alasan yang menjadi penyebab utamanya. Luhan tidak menyukai Sehun. Bukan, bukan karena karavannya. Tapi karena Sehun sangatlah mengganggu bagi Luhan. Setiap hari Sehun akan lakukan apapun untuk mendekati Luhan. Jadwal mereka yang bentrok tidak menghalangi usaha Sehun untuk bertemu dengan Luhan atau hanya sekedar untuk menyapanya dan memberinya lelucon garing. Bahkan terkadang privasi Luhan terganggu. Luhan geram dengan tingkah Sehun yang seperti itu. Ia pun sering diolok-olok oleh teman-temannya karena perlakuan Sehun yang selalu menyambanginya setiap hari. Karena itu sikapnya akhir-akhir ini menjadi begitu dingin pada Sehun. Tapi sepertinya Sehun tidak menyadarinya atau mungkin tidak mempermasalahkannya. Yang terpenting baginya adalah bisa bersama Luhan. Sebisa mungkin Luhan ingin menjauh dari Sehun, karena itu berkendara menuju Guangzhou bersama Sehun adalah hal terakhir yang ingin ia lakukan.

Tapi lain halnya kali ini.

" Kau beruntung hyung aku belum meninggalkan Beijing saat kau menelepon." Ujar Sehun.

" Aku berharap sebaliknya." Balas Luhan malas.

" HAHAHAHAHAH kau lucu sekali, hyung." Sehun menanggapi seolah Luhan sedang bergurau. " Kalau bukan bersamaku kau mau pulang naik apa?" lanjut Sehun namun tidak ditanggapi oleh Luhan.

" Sepertinya Natal kali ini adalah yang terburuk." Ujar Luhan dengan nada menyesal.

" Sudahlah hyung, bukankah sudah biasa penerbangan dibatalkan karena cuaca yang tidak bagus?" Sehun mencoba menghibur. " Lagi pula, lihat sisi baiknya. Kau jadi bisa pulang bersamaku kan, hyung?"

Luhan hanya menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar, lalu menenggelamkan wajahnya di balik scarf tebal yang melilit lehernya.

Disinilah mereka, di dalam mobil karavan Sehun siap untuk perjalanan panjang menuju Guangzhou yang akan sangat menyenangkan, paling tidak bagi salah satu dari mereka.

.

.

Perjalanan menggunakan mobil dari Beijing ke Guangzhou akan memakan waktu hampir dua hari. Beruntung yang mereka kendarai adalah mobil karavan jadi mereka memiliki tempat untuk istirahat. Perjalanan mereka baru saja dimulai, tapi hari sudah larut malam dan cuaca memburuk. Sehun tidak ingin mengambil resiko, ia pun menepikan kendaraan di sebuah rest area.

" Kita sudah sampai dimana?" Luhan yang tadi tertidur tiba-tiba terbangun karena merasakan mobilnya berhenti.

" Let's see." Sehun melihat pada GPS-nya. " Kita di...Tianjin."

" APA? Kita baru sampai Tianjin?" ucap Luhan dengan nada tinggi di depan Sehun "Kenapa kau mengendarainya lambat sekali Sehun?!" Sehun hanya menaikkan bahu dan tersenyum, "Kalau seperti ini bisa-bisa kita akan melewatkan Natal diperjalanan." Luhan kesal karena rasanya dia sudah lama berada di dalam karavan itu, tapi rupanya baru sejengkal ia meninggalkan Beijing.

" Santai sedikit hyung, bisa berbahaya berkendara di tengah badai salju seperti ini." Jawab Sehun santai sambil menyalakan rokoknya, Luhan hanya mengendus kesal mendengar ucapan sehun. "apa kau mau sesuatu hyung? Aku mau membeli makanan sebentar, aku lapar." Sehun melepaskan seat belt-nya dan membuka pintu mobil hendak keluar "atau kau mau rokok?" Sehun menyodorkan kotak rokoknya pada Luhan. Luhan mengambil sebatang dan Sehun membantu menyalakannya. " Buka sedikit jendelamu hyung." Pinta Sehun lalu pergi meninggalkan lelaki kesayangannya itu sendirian di dalam karavannya.

' God, this is gonna take forever.'

.

.

.

To be continued.