Be With You

A fanfiction by mashedpootato

.

.

Character(s) : Park Chanyeol, Byun Baekhyun, Kim Jongdae, Kim Minseok, Doh Kyungsoo, Kim Jongin, Hwang Hojun (oc)

Pairing(s) : Park Chanyeol/Byun Baekhyun, Kim Jongin/Doh Kyungsoo, mention of Kim Jongdae/Kim Minseok

Genre(s) : Romance, enemy to lover, slow burn, mutual-pining

Additional tag(s) : mention of MPREG, typos

Rating : M

Disclaimer : Tulisan ini hanya sebuah karya fanfiksi, penggunaan nama dan karakterisasi dalam tulisan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tokoh di dunia nyata.

.

.

.

Chapter 1 : Snowman

.

.

.

"Park Chanyeol. Apa maksud semua ini?"

Pagi itu masih terlalu pagi ketika sosok Byun Baekhyun seketika membuka pintu kantor Chanyeol dengan ekspresi kesal dan marah yang nampak jelas di wajahnya.

"What?" Chanyeol menoleh kaget pada sumber suara, dan mendapati Baekhyun telah berdiri di sisi mejanya, membanting map file ke atas meja dengan cukup keras. "Apa ini?"

"Apa ini, katamu? Itu adalah data keuangan yang anak buahmu berikan padaku, Park. Aku baru saja menyerahkannya ke Mr. Lee untuk ia periksa dan kau tahu, apa? Teammu melakukan kesalahan pada beberapa data di dalamnya."

"Oh, really?" Ujar Chanyeol, yang mana terdengar seperti tanggapan yang terlalu santai bagi Baekhyun. "Aku akan memeriksa dan segera merevisinya kalau begitu."

Baekhyun berdecih kesal. "Hanya itu? Dengar Park, apa kau pikir ini adalah lelucon bagimu? Data itu akan digunakan untuk presentasi kita minggu depan!" Ia mengangkat kedua tangannya kesal, memberi tekanan pada setiap kata-katanya.

"Tenang, Byun. Ini bukan masalah besar. Dan jika kau ingat, ini tidak akan terjadi jika kau tidak salah memberikan informasi tanggal deadline kepadaku. Kau mengambil data ini bahkan sebelum aku selesai memeriksanya, jadi kesalahan bukan sepenuhnya milikku. Ok?"

Baekhyun mengigit bibir bawahnya, berusaha menahan amarah yang masih meletup di dadanya. "Kau ingat ini adalah sebuah proyek presentasi besar kan?"

"Aku tahu."

"Dan kita adalah penanggung jawab utama proyek ini."

"Yup." Jawab Chanyeol singkat, dan Baekhyun seketika kembali kehilangan kesabarannya.

"Don't you feel nervous at all, Park? Bagaimana kau bisa sesantai ini?!"

Chanyeol menghela nafas, mengalihkan pandangan dari file di tangannya dan memandang Baekhyun untuk pertama kalinya sejak lelaki mungil itu menghentakkan kakinya ke dalam ruangan. Dan seketika Chanyeol tidak bisa menahan senyuman yang muncul di bibirnya.

"Astaga, Byun. Kau manis sekali ketika marah dan panik seperti ini."

"Park Chanyeol!" Baekhyun dengan sigap menepis tangan Chanyeol yang terulur berusaha menyentuh pipinya. "Don't dare you touch me, asshole."

Chanyeol menghela nafas untuk yang kesekian kali dan mengangkat kedua tangan sebagai simbul menyerah. "Oke, oke, aku mengerti. Dan dengar, tentu saja aku merasa nervous dengan semua tanggung jawab ini, Byun. Aku merasa sama lelahnya dengan dirimu saat ini. Tapi itu bukan berarti kau perlu bersikap panik. Kita masih punya waktu satu minggu penuh sebelum presentasi, dan kesalahan-kesalahan semacam ini sangat biasa terjadi. Kita masih punya waktu untuk memeriksa dan memperbaikinya." Chanyeol memandangnya dengan tatapan memohon dan berusaha menawarkan sebuah senyuman kecil.

Baekhyun menarik nafas dalam, berharap dengan begitu ia tidah harus membuang tenaganya untuk lebih lama berdebat dengan rekan kerjanya itu. "Segera lakukan dan serahkan data revisinya pada Lee Sajang, Park."

"Everything for you, babe." Jawab Chanyeol dengan senyuman.

.

.

.

"Aku bersumpah jika ini bukan perintah Lee Sajang aku sudah akan menolak mentah-mentah untuk dipasangkan dengan orang itu sebagai tim penanggung jawab proyek ini!" Ujar Baekhyun dengan kesal, menghentakkan tiap langkahnya seraya memasuki ruang kerja Jongdae tanpa sapaan apapun.

"Hai, Baek. Terimakasih sudah mengetuk pintu." Ujar Jongdae sarkastis yang mana tidak Baekhyun pedulikan sama sekali.

Sahabatnya dari devisi Human Resource itu tidak perlu bertanya masalah apa yang membuat Baekhyun kesal kali ini. Tidak ketika Baekhyun mengeluhkan hal (atau lebih tepatnya orang) yang sama hampir setiap harinya sejak duo Park-Byun dipasangkan dalam satu proyek yang sama.

"Kau tahu, Byun Baekhyun, untuk seseorang yang mengklaim dirinya sebagai pembenci Park Chanyeol kau jelas-jelas berbicara 'cukup banyak' tentangnya." Komentar Jongdae, memberi isyarat tanda kutip pada 'cukup banyak' dengan jari telunjuk dan tengahnya. "Kali ini apa lagi?"

"Ia mengacaukan data keuangan yang ia serahkan padaku untuk diperiksa Lee Sajang, Dae! Bisakah kau bayangkan itu?! Dan kau harus melihat wajahnya saat aku memberikan peringatan padanya tadi! Berani-beraninya ia bercanda di saat seperti ini!" Ujar Baekhyun mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi dramatis.

"Apakah kesalahan datanya fatal?" Jongdae mengangkat satu alisnya penasaran.

"Tidak… tapi tetap saja…"

"Kalau begitu, kau tidak perlu membesar-besarkan masalah ini. Hal seperti itu biasa terjadi, Baek."

"What?! Apa kau sedang membelanya? Kesalahan tetap saja kesalahan. Ia tidak bisa semudah itu diberi pengecualian hanya karena ini bukan sebuah kesalahan besar."

"Tidak, bukan begitu maksudku. Jelas itu bukan hal yang bisa dibenarkan. Ia berhak belajar dari kesalahannya. Namun di sisi lain, apa yang ia lakukan adalah sebuah ketidaksengajaan. Semua orang bisa mengalami hal itu. Dan aku tahu reaksi panikmu ini bukan karena kesalahan data itu, tapi lebih disebabkan karena kau merasa gugup dengan presentasi kalian, iya kan?"

Baekhyun memandang sahabatnya itu dan menghela nafas pasrah. Percuma saja ia menutup-nutupi. Jongdae sudah terlalu lama menjadi sahabatnya untuk bisa dengan mudah membaca perasaan satu sama lain.

"See? Kau mungkin keras kepala, tapi hati kecilmu pasti mengakuinya." Jongdae menjentikkan jarinya puas. "Tenanglah, dude. Presentasi kalian masih satu minggu lagi, jadi kalian masih punya cukup banyak waktu untuk memantapkan materi-materi yang kalian punya. Rebut hati para calon investor itu, Byun."

Baekhyun menggelengkan kepalanya dengan pesimis, menjatuhkan tubuhnya ke sofa di sisi ruangan dengan helaan nafas panjang. "Bagaimana jika aku mengacaukan presentasiku? Bagaimana jika aku lupa dengan apa yang harus aku ucapkan? Bagaimana jika si brengsek Park itu mengacaukan datanya lagi?" Ia mulai menceracau.

Jongdae memutar bola matanya. "Park Chanyeol akan melakukan tugasnya dengan baik. Ia tidak mungkin menerima predikat ketua devisi terbaik tahun lalu tanpa suatu alasan. Mengenal karakter Chanyeol, kurasa ia berkata begitu untuk menenangkanmu, Baek. Kita semua tahu bagaimana mudah paniknya dirimu setiap kali terjadi kesalahan rencana, dan kurasa ia melakukan hal yang benar dengan meyakinkanmu bahwa itu bukanlah kesalahan besar."

Baekhyun tidak menjawab, mengernyitkan dahi dengan bibir mencebik kesal. Persetan. Agaknya Chanyeol telah berhasil mengambil hati Jongdae untuk lebih berpihak padanya.

Jongdae menghela nafas. "Kau tahu, ada baiknya kau segera memperbaiki hubungan kalian sebagai rekan kerja. Aku mulai bosan dengan kelakuanmu. Satu waktu kau datang mengeluh panjang lebar tentang Park Chanyeol, tapi di waktu yang lain, aku bisa melihatmu memandanginya dari kejauhan seakan-akan kau ingin memakannya."

"Apa maksudmu?" Baekhyun mengernyitkan dahi tidak mengerti.

"Maksudku, aku tidak buta untuk bisa melihat kau tertarik padanya, Byun. Terlepas dari segala upayamu untuk menutupinya. Dan jika aku tidak salah, bukankah Chanyeol juga tertarik padamu? Aku pernah melihatnya menggodamu ketika awal-awal kalian bertemu dulu." Jongdae mengernyitkan dahi mengingat-ingat.

"Ugh, stop it. Kau membuatku mual, Kim Jongdae." Baekhyun mengalihkan mukanya, menyembunyikan wajahnya yang seketika menghangat mendengar pernyataan sahabatnya itu. "Dan tidak, ia tidak menggodaku karena ia tertarik padaku. Ia melakukannya karena pada dasarnya ia adalah seorang playboy. Ia melakukan hal itu ke semua orang yang bisa ia jadikan sasaran."

Jongdae mengangkat alisnya sangsi. "Sungguh? Sebut saja aku delusional, namun aku yakin ada sesuatu yang lebih dengan caranya memperlakukanmu, Baek."

"Jongdae." Baekhyun menghentikan Jongdae dengan nada memperingatkan. "Kau tahu aku masih belum menyelesaikan hubunganku dengan Hojun."

Jongdae memutar bola matanya. "Kalian sudah putus, Byun Baek."

"Nope. Aku dan Hojun hanya sedang dalam masa 'break'. Hubungan kami belum berakhir, Kim Chen." Baekhyun bersikukuh.

Menyadari dirinya tidak akan menang dalam perdebatan itu, Jongdae mengangkat bahu tak acuh. "Whatever. Tapi aku serius. Paling tidak berdamailah dengan Chanyeol selama beberapa waktu ini, Baek. Kalian punya proyek presentasi besar beberapa hari lagi, dan setelah semuanya beres, kalian akan kembali ke tugas devisi masing-masing. Jangan sia-siakan kesempatan untuk menjalin pertemanan di antara kalian, Byun Baekhyun."

.

.

.

Jika boleh jujur, Baekhyun sama sekali tidak memiliki kebencian apapun pada Chanyeol ketika ia pertama kali bertemu dengannya satu bulan lalu. Jika ada, Baekhyun justru merasa bersemangat dan penasaran dengan sosok yang mendapat predikat kepala devisi terbaik tahun lalu itu. Bekerja sebagai ketua devisi produksi yang masih cukup baru, Baekhyun tidak benar-benar pernah bertemu langsung dengan Chanyeol yang merupakan kepala devisi pemasaran. Karena itulah ia merasa bersemangat dengan prospek kerjasama kali ini.

Hingga sesuatu yang tidak ia duga terjadi.

Harus Baekhyun akui, Park Chanyeol adalah salah satu pria tertampan yang pernah ia temui selama hidupnya. Bukan berarti ia telah banyak melihat pria tampan selama ini. Namun tetap saja. Sosoknya yang tinggi seakan memancarkan aura kewibawaan yang bahkan bisa Baekhyun rasakan ketika keduanya pertama bertemu. Ia nampak seperti seseorang yang gentleman dan penuh tata krama.

Tapi sepertinya Baekhyun telah salah duga.

"Hai, Mr. Park. Saya Byun Baekhyun, kita memang belum membicarakan ini langsung satu sama lain. Namun anda tentu sudah dengar tentang rencana proyek presentasi besar yang akan kita pegang bersama, bukan?" Tanya Baekhyun hari itu, sopan dan ramah, sebagaimana dua orang professional yang baru pertama bertemu.

"Tentu. Dan wow. Aku tidak tahu Lee Sajang memasangkanku dengan seseorang semanis dan seseksi dirimu, Mr. Byun." Jawab Chanyeol saat itu, manatapnya terlalu intens, lebih dari yang Baekhyun ekspektasikan. Dan entah apa yang terjadi di antara mereka saat itu, sepersekian detik, dan Baekhyun bisa merasakan bibir lembut Park Chanyeol di pipinya. Satu-satunya hal yang paling Baekhyun ingat hanyalah senyuman mempesona yang pria itu berikan, diikuti dengan ucapan pelan. "Senang bertemu denganmu, Byun Baekhyun. By the way, are you single?"

Fuck. Baekhyun membenci Park Chanyeol.

Tampan.

Mempesona.

Penuh percaya diri.

Dan tidak kenal tata krama.

"What are you doing?" Desis Baekhyun setelah sembuh dari kekagetannya. Matanya melebar dan jantungnya berdegup cepat di balik tulang dadanya. Dan otaknya berjalan lebih lambat dibanding mulutnya ketika ia berujar spontan. "Brengsek."

Baekhyun bersumpah tangannya bergerak di luar kendali ketika dengan tiba-tiba ia menumpahkan segelas red wine tepat ke tubuh Park Chanyeol saat itu. Kemudian ia berlalu dengan rasa kaget, malu, dan sesuatu yang tidak ia pahami dalam dirinya.

Itulah pertemuan awal mereka. Dan Baekhyun membenci hari itu lebih dari hari-hari lain sepanjang hidupnya. Atau lebih tepatnya, ia membenci rasa bingung dan tidak berdaya yang dirasakannya kala itu.

Chanyeol tidak pernah mengungkit hal tersebut lagi setelahnya, dan Baekhyun tidak tahu apakah ia harus bersyukur atau kesal oleh kenyataan itu. Tapi paling tidak itu cukup untuk membuktikan ketidakseriusan seorang Park Chanyeol dalam melakukan sesuatu.

Baekhyun membenci Chanyeol. Dan ia merasa dirinya memiliki cukup banyak alasan untuk menyimpulkan hal tersebut.

Satu, ia membenci sikap Chanyeol yang suka menganggap enteng sesuatu.

Bukan sebuah rahasia lagi bahwa Baekhyun adalah seseorang yang cenderung mudah panik ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan rencana. Baekhyun menyukai jika pekerjaannya berjalan lancar, sementara Chanyeol menikmati tantangan-tantangan tak terduga selama menjalani tugasnya. Well, paling tidak, Chanyeol selalu berhasil menyelesaikan semuanya. Namun sikap Chanyeol yang cenderung menganggap enteng suatu permasalahan tak jarang membuat Byun Baekhyun naik darah.

Hal kedua yang tidak Baekhyun sukai dari Chanyeol adalah kebiasaannya dalam bercanda. Harus Baekhyun akui, Chanyeol memiliki kemampuan bersosialisasi yang sangat baik. Chanyeol senang menyapa orang lain dengan ramah dan meluangkan waktu untuk bergurau, sementara Baekhyun lebih memilih untuk meminimalisir komunikasi dengan orang di sekelilingnya dan fokus pada pekerjaan.

Lalu alasan yang ketiga, Baekhyun tidak suka kebiasaan Chanyeol menggoda rekan kerja mereka. Menebar pesona dengan memberikan kerlingan sekilas dan memberikan sapaan manis. Itu membuat Chanyeol nampak seperti tipe orang yang tidak setia. Bukan berarti itu adalah urusan Baekhyun. Namun ia membenci ketika Chanyeol dengan terang-terangan menggoda siapa saja yang ada di dekatnya. Itu nampak seperti sesuatu yang sangat tidak profesional di mata Baekhyun.

Ya, hanya itu. Bukan karena alasan lain. Bukan pula karena ciuman di pipi yang agaknya sudah Chanyeol lupakan itu.

Baekhyun membenci Chanyeol.

Namun entah mengapa, tepat di hari H presentasi mereka, tangan Chanyeol lah yang menjadi satu-satunya sumber ketenangan Baekhyun. Dengan rasa gugup, Baekhyun bisa merasakan serangan panik yang perlahan menjalari tubuhnya, memompa darahnya cepat dan membuat kedua tangannya bergetar kuat. Ia bersumpah dirinya sudah akan jatuh pingsan jika tidak ada tangan Chanyeol yang menggenggamnya saat itu.

"Hey, Byun Baekhyun. Listen." Ujar Chanyeol pelan, mengulurkan satu tangannya ke pipi Baekhyun untuk memaksa ia mengangkat wajahnya. "Dengar. Jangan gugup, ok? Kau melakukan semuanya dengan baik selama latihan, dan kau hanya perlu melakukannya kembali saat ini. Kita melakukan ini bersama. I promise everything will be fine."

Chanyeol benar, mereka memang sudah mempersiapkan segalanya dengan matang dan melakukan gladi bersih berkali-kali sebelum ini. Namun ini adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda, dengan ratusan audience memenuhi convenience hall, dengan calon-calon investor yang siap memberi penilaian buruk jika ia berani membuat kesalahan barang sedikitpun.

"Kau dipilih untuk melakukan ini bukan tanpa suatu alasan, Byun. Kau dipilih karena Lee Sajang percaya hanya kau yang mampu melakukannya. Hanya kita yang mampu melakukannya." Chanyeol tersenyum, merapikan kerah jas Baekhyun dan menepuk pipinya pelan. "You ok?"

Baekhyun menarik nafas dalam, dan mengangguk pelan.

"Good." Ujar Chanyeol, membiarkan tangan mereka tergenggam satu sama lain hingga keduanya tiba di area backstage.

Hari itu, tidak ada kesalahan berarti dalam presentasi mereka. Kalaupun ada, itu hanyalah sebuah kesalahan sangat kecil yang Baekhyun yakin tak banyak orang sadari.

Semuanya berjalan lancar. Sebagaimana yang Chanyeol janjikan pada Baekhyun sebelumnya.

.

.

.

Menyebut presentasi kali ini sebagai sebuah kesuksesan besar jelas bukan sesuatu yang berlebihan. Baik Baekhyun maupun Chanyeol menerima pujian tanpa henti dari pimpinan-pimpinan perusahaan yang hadir, kode positif dari para calon investor, dan tentu saja ucapan bangga dari pimpinan perusahan mereka, Lee Sajangnim.

"You did such a great job, boys. I'm so proud of you. Kita mendapat banyak apresiasi dan tanggapan positif dari berbagai kolega perusahaan, jadi mari berharap kita akan banyak mendapat penawaran ikatan kerjasama kali ini." Ia tersenyum dan memberikan tepukan bangga kepada keduanya. Ekspresinya bagai seorang ayah yang senang akan kesuksesan putranya, namun Chanyeol dan Baekhyun cukup tahu bahwa sudah ada bayangan skenario-skenario bisnis menguntungkan yang berputar di dalam kepala pria tua itu saat ini.

Setelah lama berbasa-basi dengan para tamu undangan, Chanyeol dan Baekhyun kembali ke gedung hotel dalam keadaan perasaan lelah namun lega luar biasa. Setelah persiapan berbulan-bulan lamanya, semua waktu dan pikiran yang mereka korbankan terbayar sempurna.

"Aku tidak yakin ingin bergabung dengan dinner party nya. I'll skip." Ujar Baekhyun ketika keduanya berjalan beriringan di koridor hotel, tangan melonggarkan dasi yang masih tersimpul kencang di lehernya.

"Me too." Ujar Chanyeol.

"Hey, Park." Lirih Baekhyun, sesaat hanya menggigit bibirnya ragu sebelum berujar kembali, "Terimakasih."

Chanyeol tersenyum. "For what?"

"Untuk semuanya. Atas kerjasama yang kau lakukan selama ini dan... karena sudah menenangkanku sebelum presentasi kita tadi. Aku tahu aku nampak sangat berantakan, tapi aku bersumpah itu tidak biasa terjadi. Ok, aku memang mudah panik, namun yang seperti itu tadi jelas bukan diriku. Dan aku merasa perlu untuk-

"Hey, hey, hey. Byun. Relax." Chanyeol terkekeh pelan, membuat Baekhyun menghentikan rentetan kalimatnya. "Tidak perlu berterimakasih. Itulah fungsinya partner kerja. Iya kan?"

"Ya… tapi tetap saja. Thanks. Harus kuakui, bekerjasama denganmu tidaklah terlalu buruk, Park." Baekhyun tidak bisa menahan senyuman kecil yang muncul di bibirnya.

"Aku akan menganggap itu sebagai pujian, Byun Baekhyun."

Setelah beberapa saat, sebuah ide seketika muncul di benak Baekhyun. "Kau tahu, berhubung kita akan kembali sibuk bekerja di devisi yang berbeda setelah ini, bagaimana jika kita melakukan pesta perpisahan kecil-kecilan?"

Chayeol tertawa. "Kita masih bekerja di satu gedung perusahaan yang sama, babe. Jika kau memang merindukanku, kau bisa datang kapanpun ke lantai 21 dimana ruanganku berada." Ia mengerling jahil, membuat Baekhyun memutar bola matanya.

"Ok. Masuk akal. Bukan berarti aku akan merindukanmu. Tapi mungkin makan malam bersama tidaklah buruk, iya kan?"

"Apa kau sedang mengajakku pergi kencan makan malam, Byun?" Chanyeol terus menerus berusaha menggodanya, yang mana dihadiahi di dengan sebuah pukulan pelan di bahu oleh lelaki yang lebih mungil.

"Shut up, Park. Aku berusaha berdamai denganmu." Ujarnya dengan nada kesal yang dibuat-buat, membuat keduanya tertawa.

Entahlah, mungkin ini ada hubungannya dengan semua beban tugas proyek yang sudah diselesaikan. Seketika semuanya terasa sedikit lebih ringan di antara mereka.

"Apa kau tahu tempat yang bagus untuk makan di sekitar area ini? Sesuatu yang bukan makanan hotel?" Tanya Baekhyun ketika ia tiba di depan pintu kamarnya.

"Kau ingin berkendara sedikit lebih jauh? Aku tahu sebuah tempat yang sangat enak di tepi kota, beberapa kilometer dari area ini. Sekitar 30 menit dengan mobil. Namun percayalah, itu akan menjadi grill and barbeque restaurant terbaik yang pernah kau kunjungi."

Baekhyun melihat ekspresi Chanyeol yang nampak berusaha meyakinkannya, dan ia tidak bisa melakukan apapun kecuali tertawa pelan.

"Oke, oke. Lagipula aku tidak mungkin bisa menolak jika kau memberikan ekspresi semacam itu. Sebaiknya kau tidak berbohong tentang hal itu."

"Aku berjanji kau tidak akan menyesal, Byun." Chanyeol memberikan senyum separo ciri khasnya.

Damn. Ia sungguh tampan.

"Sampai bertemu di lobby lima belas menit lagi?" Chanyeol memastikan.

Baekhyun mengangguk singkat. "Ok."

.

.

.

Awalnya Baekhyun mengira Chanyeol hanya membual ketika mengatakan pemandangan selama perjalanan mereka tidak akan mengecewakannya. Namun kenyataannya, 'tidak mengecewakan' adalah sebutan yang tidak cukup layak untuk menggambarkan suasana sesungguhnya.

Bertahun-tahun hidup di ibukota, baru kali ini Baekhyun berkendara menyusuri area barat laut distrik tersebut, menjauh menuju tepi perbatasan. Dan selama bertahun-tahun itu pula Baekhyun belum pernah melihat pemandangan secantik ini. Sepanjang jalan, ia disuguhi pemandangan langit magenta gelap dan gradasi violet yang kontras dengan hamparan salju putih yang nampak berkerlip dari kejauhan. Sementara itu, silau lampu kota mulai memudar di kejauhan, menyisakan kilau kecil yang bertaburan layaknya bintang-bintang senja di musim panas.

"Wow, ini luar biasa." Desis Baekhyun, tanpa sadar mengucapkan apa yang terlintas di benaknya.

Chanyeol tersenyum, menoleh sesaat untuk memperhatikan ekspresi terpesona Baekhyun pada pemandangan yang ada. Dengan jemarinya yang melekat pada jendela mobil dan matanya yang melebar takjub, Baekhyun lebih mirip seorang anak yang kagum akan sebuah pertunjukan sulap dibanding seorang kepala devisi produksi yang terkenal tegas. Ia nampak jauh lebih muda dari usianya.

"Apa kau sering berkendara di area ini?" Tanya Baekhyun setelah beberapa selang waktu di antara mereka. Tatapan Baekhyun masih melekat pada pemandangan luar, mengagumi barisan tanaman cemara yang membentuk siluet gelap cantik berlatar langit nila.

"Ya, cukup sering. Aku lahir dan tumbuh tak jauh dari tempat ini."

"Wow, sungguh? Aku kira kau lahir dan besar di ibukota selama ini."

"Tidak, aku tinggal di dekat area ini hingga pertengahan sekolah menengah pertama. Kami dulu memiliki rumah tetap di sini, namun orangtuaku memutuskan untuk menjualnya setelah ayahku dipindahtugaskan ke kota. Kami sempat tinggal berpindah-pindah ke luar negeri selama masa SMA dan kuliahku, hingga ayahku mendapatkan penempatan posisi tetap di Seoul pada beberapa tahun masa akhir jabatannya."

Baekhyun sempat mendengar dari teman-teman kerjanya mengenai latar belakang keluarga Chanyeol, namun ini pertama kalinya ia mendengar itu langsung dari orang yang bersangkutan. "Ayahmu terdengar hebat." Ujar Baekhyun, dan Chanyeol sempat menoleh ke arahnya karena ia merasa ada sesuatu yang lain selain kekaguman di balik kalimat itu.

"Ya, begitulah. Aku beruntung bisa merasakan pengalaman tumbuh di berbagai tempat berkat pekerjaan ayahku. Namun jika ada yang lebih hebat lagi, itu adalah ibuku, bagaimanapun juga ia adalah orang di balik diriku saat ini."

Ekspresi Baekhyun melembut mendengar ujaran itu. "Maksudmu dirimu yang playboy dan tidak bisa serius?"

"Hey, sebagai seseorang yang banyak bercanda dan playboy, aku cukup hebat dalam pekerjaanku, kau tahu sendiri itu." Keluh Chanyeol meski dengan tawa renyah di bibirnya.

Lelaki yang lebih mungil hanya memutar bola matanya, namun tetap tersenyum lembut setelahnya. "Berhenti menyombongkan diri, Park." Ujarnya, dengan nada yang tidak sepenuhnya kasar.

Tawa puas Chanyeol semakin terdengar keras setelahnya.

.

.

.

"Oh my God, this is so good." Gumam Baekhyun yang kesekian kalinya sejak ia menyuapkan potongan pertama beef bbq ke mulutnya. "Apa yang mereka lakukan dengan daging ini hingga rasanya bisa selembut ini. Dan seasoning saus yang mereka sediakan-oh my God. This is heaven."

Chanyeol tertawa melihat reaksi Baekhyun, "Hey, makanlah dengan pelan. Daging itu tidak akan kabur kemana-mana. Apa kau sebegitu laparnya, hah?"

"Tidak. Bukan hanya karena aku sangat lapar, tapi aku bersumpah ini adalah daging terbaik dalam hidupku. Aku berhutang padamu, Park."

Chanyeol memberikan seringai puas, "Tentu saja kau berhutang padaku." Ujarnya, yang seketika membuat Baekhyun menyesal telah mengucapkan kalimatnya. "Keluarga kami biasa makan di sini sejak aku masih kecil. Setiap hari besar seperti libur dan perayaan tertentu kami akan kemari untuk merayakannya. Orangtuaku juga sering datang kemari tiap tahunnya untuk merayakan ulangtahun pernikahan mereka. Mereka bilang tempat ini punya pilihan alkohol yang lengkap untuk sebuah daerah di tepi kota."

"Apa tempat tinggalmu dulu jauh dari sini?" Tanya Baekhyun di antara kunyahannya.

"Tidak juga. Hanya sekitar lima belas hingga dua puluh menit dengan mobil." Jawab Chanyeol di antara senyuman tipis yang penuh nostalgia.

Dalam hati, Baekhyun bertanya-tanya tempat seperti apa rumah dimana seorang Park Chanyeol tumbuh. Chanyeol mungkin nampak penuh gurau dan canda, namun Baekhyun tahu ia adalah sosok pekerja keras di balik semua itu. Ia banyak mendengar cerita tentang prestasi yang Chanyeol raih di perusahaan, sesuatu yang membuat Baekhyun sejak awal merasa penasaran sosok seperti apa ia sebenarnya. Beberapa orang mungkin mengira Baekhyun membenci Chanyeol melihat bagaimana mudahnya terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Namun kenyataannya tidaklah tepat seperti itu. Bahkan jika boleh jujur, ada bagian dalam diri Baekhyun yang sangat ingin mengenal Park Chanyeol dengan lebih jauh lagi.

"Kau baik-baik saja?" Pertanyaan Chanyeol membangunkan Baekhyun dari pikirannya, tersadar bahwa ia berhenti memasukkan potongan daging panggang ke mulutnya sedari tadi.

"Um, ya. I'm completely fine." Jawab Baekhyun, menyumpalkan sepotong besar daging ke mulutnya dengan salah tingkah.

Chanyeol nampak tidak terlalu percaya dengan jawaban itu, menelengkan kepalanya dengan tatapan puas yang menyelidik. Sisi bibirnya terangkat membentuk cengiran nakal seraya ia meraih kertas tisu di meja dan mengulurkan tangan.

"Untuk seorang ketua devisi yang keras kepala, kau makan seperti seorang anak TK, Mr. Byun."

Baekhyun terhenyak kaget dan reflek menyeka mulutnya sendiri sebelum Chanyeol berhasil menjangkaunya.

"Park Chanyeol." Ujarnya memperingatkan dengan memicingkan mata. "Jauhkan tanganmu dariku."

Chanyeol menghela nafas, "Oke, oke. Seharusnya aku sadar metode ini tidak akan pernah berhasil untukmu." Gerutunya pelan.

Baekhyun berdecih, berusaha kembali fokus dengan makanannya. Jantungnya berdegup cepat, a namun ia tahu Chanyeol tidak perlu mengetahuinya atau hal tersebut hanya akan memompa kepercayaan dirinya yang sudah terlampau tinggi.

.

.

.

Setelah satu setengah jam lebih menghabiskan waktu di restaurant tersebut, keduanya pun memutuskan untuk pulang. Hari sudah semakin gelap, dan meski besok adalah akhir pekan yang berarti keduanya tidak perlu bangun pagi untuk berangkat kerja, mereka tetap harus tiba di rumah malam ini juga untuk beristirahat.

"Kau yakin kuat menyetir hingga Seoul malam ini juga? Ingin aku gantikan?" Tanya Baekhyun ketika keduanya menuju lapangan parkir dimana mobil Chanyeol berada.

"Tidak perlu, aku bisa mengatasinya. Lagipula kau baru saja minum beer, jadi sebaiknya aku yang memegang kendali selama berkendara. Lebih baik berhati-hati dibandingkan harus menyesal di akhir."

Baekhyun memutar bola matanya. "Well, sekarang aku tahu mengapa kau menolak minum sementara kau sendiri yang menyarankan diriku untuk mencicipi beer mereka."

Chanyeol tertawa. "Kau tidak nampak mengeluh beberapa saat lalu, Baek. Malahan aku bisa lihat kau begitu menikmatinya."

Sejujurnya Baekhyun sedikit kaget oleh nama panggilan yang terucap spontan oleh Chanyeol, namun ia buru-buru menutupinya dengan dehaman pelan. "Well, ya. Harus aku akui semua makanan yang kau rekomendasikan tadi sangatlah enak."

"Aku masih punya daftar rekomendasi yang lain, Byun. Mungkin kau akan berkesempatan mencicipinya jika kita bisa keluar makan malam lagi di lain waktu."

Apa itu sebuah ajakan berkencan? Dalam hati, Baekhyun bertanya-tanya. Namun ia memilih untuk tidak berpikir terlalu jauh, mengangkat bahunya dengan acuh atak acuh. "Biar aku pikirkan. Sementara itu sebaiknya kau jangan terlalu berharap, Park."

Tawa Chanyeol terdengar ringan dan tanpa beban. "Baiklah, baiklah. Tapi untuk sekarang, kita harus buru-buru pulang, aku tidak terlalu yakin dengan ramalan cuaca malam ini."

"Apa ada yang salah?"

"Tidak. Ramalannya bilang akan turun salju tipis malam ini, namun melihat kencangnya angin dan rendahnya suhu udara saat ini, aku mulai tidak yakin hal itu sepenuhnya benar. Aku tidak tahu salju semacam apa yang mereka kategorikan sebagai 'tipis'."

Baekhyun mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil dan menyadari serpih salju yang mulai turun dari langit. Dalam hati ia hanya berharap tidak akan terjadi badai sebelum mereka tiba di kota malam ini.

.

.

.

"Fuck."

Serapah Chanyeol seketika mengagetkan Baekhyun dari tidurnya. Entah sejak kapan dirinya jatuh tertidur, namun ia menemukan dirinya terduduk kaget dari kursi dan menoleh pada pria tinggi di sebelahnya.

"What's happening?" Tanya Baekhyun kaget sekaligus bingung, berusaha mencari tahu apa yang terjadi dan dimana mereka saat ini. Namun sebelum ia mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu, ia menemukan ada hal yang ganjal dengan kondisi mobil mereka yang terhenti.

Chanyeol berusaha menghidupkan mesin berkali-kali, namun percuma, tidak ada respon yang terjadi. Lelaki tinggi itu merutuk dengan sebuah helaan nafas kesal.

"Apa yang terjadi?" Tanya Baekhyun hati-hati sekali lagi, berharap dugaan yang terlintas di benaknya tidak benar-benar terjadi.

"Mesinnya macet." Ujar Chanyeol dengan mata terpejam, menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.

"What?! Apa maksudmu dengan macet?! Dan kenapa kau diam saja, Park? Lakukan sesuatu!" Ujar Baekhyun, seketika merasa panik.

"Bisakah kau diam? Aku sudah berusaha melakukan segala cara ketika kau tidur sedari tadi! Paling tidak biarkan aku mengistirahatkan diri!"

"Oh my, God. Kau tidak bercanda kan?! Katakan padaku kau hanya bercanda."

"Ugh. Apa aku nampak sedang bercanda, Byun? Gantikan aku memegang kemudi, aku akan berusaha mendorong mobil ini untuk menepikannya."

Melihat ekspresi Chanyeol yang sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia bercanda, Baekhyun seakan baru tersadar bahwa mereka berada di kondisi yang sangat serius saat ini.

Setelah berhasil menepikan mobilnya, Chanyeol tidak segera kembali ke dalam mobil. Dari dalam, Baekhyun melihat partner kerjanya itu menelepon di ponselnya, berjalan hilir mudik dengan ekspresi serius seperti sedang menjelaskan sesuatu yang sangat darurat. Segera setelah pria itu kembali masuk, Baekhyun memborbardirnya dengan rentetan pertanyaan penuh harap.

"Apa kau berhasil mendapatkan bantuan? Siapa yang kau telepon?"

"Pihak asuransi mobil. Aku berusaha menghubungi mereka, namun jaringan layanannya terlalu sibuk dan mereka berjanji akan meneleponku balik beberapa saat lagi." Jawab Chanyeol pasrah.

"Jadi mereka akan datang menyelamatkan kita, kan? Kita tidak akan terjebak di sini?"

"Kita belum tahu, Byun. Bahkan jika mereka telah menelepon sekalipun, mereka masih harus mengecek wilayah posisi kita berada dan apakah mereka bisa kemari saat ini juga. Bisa saja kita harus bermalam di sini untuk malam ini."

"Berhenti bercanda, Park Chanyeol! Apa kau pikir keadaan ini bisa dijadikan lelucon?!"

"Hey, aku tidak bercanda. Aku hanya berbicara tentang kemungkinan yang bisa terjadi. Berhentilah bersikap seperti seorang pria tua yang mudah khawatir oleh hal-hal kecil, Byun. Kita akan baik-baik saja."

Lagi-lagi. Park Chanyeol yang gampang sekali memudahkan keadaan.

"Ini semua salahmu." Ujar Baekhyun dengan kesal.

"What?"

"Aku bilang ini semua salahmu, Park. Jika saja kau tidak menyarankan kita untuk makan malam hingga jauh di tepi kota, kita tidak akan berakhir di tempat seperti ini!" Keluh Baekhyun kesal, melipat tangannya dan mengalihkan muka ke luar jendela pada salju yang semakin deras turun.

"Apa maksudmu ini semua salahku? Aku tidak mendengar kau mengeluhkan apapun sejak sebelum ini semua terjadi, Byun! Dan terakhir kali kuingat, kau juga ikut andil menyetujui saranku untuk makan di tempat itu. Hell, kau bahkan sangat menikmati makan malammu. Dan ketika semua kecelakaan ini terjadi, semuanya menjadi kesalahanku?!"

"Bukan begitu! Hanya saja kita tidak bisa mengelak ini semua tidak akan terjadi jika-

"Ugh, berhentilah bicara, Byun. Kau membuat sakit kepalaku semakin parah." Ujar Chanyeol kesal, nampak muak dengan apapun itu yang Baekhyun ingin katakan. Melihatnya, Baekhyun seketika diliputi rasa berasalah di dadanya.

Keduanya tenggelam dalam kesunyian dan Baekhyun menghabiskan waktunya dengan memandang sekeliling. Semuanya nampak gelap, hanya bercahayakan lampu jalan yang berjarak jauh satu sama lain.

Syukurlah suasana canggung di antara mereka dipecahkan oleh ponsel Chanyeol yang berdering, dan sang pemilik mengambil kesempatan itu untuk kembali keluar dan mengangkat panggilannya.

Selama Chanyeol menghabiskan waktu lima menitnya berbicara di telepon, Baekhyun tak henti-hentinya berdoa semoga mereka bisa segera diselamatkan dari tempat ini. Karena jika ada hal yang paling tidak ia harapkan, itu adalah terjebak di tengah hujan salju bersama seorang Park Chanyeol.

"Bagaimana?" Tanya Baekhyun ketika Chanyeol kembali. Namun melihat wajah kesal dan kecewa di wajah pria tersebut, seketika Baekhyun menyesal menanyakan hal tersebut.

"Mereka tidak bisa memberi kepastian untuk tiba malam ini. Lokasi kita terlalu jauh dan cuaca semakin memburuk. Tapi mereka berjanji akan memberikan bantuan secepat yang mereka bisa."

Selama sesaat, otak Baekhyun seakan berhenti berfungsi hingga kemudian rasa panik mulai menggerayangi dirinya kembali. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" Ujarnya tak berdaya.

Chanyeol menarik nafas dalam dan memejamkan matanya lelah. "Yang pertama, kau harus tenang. Dan yang kedua, tidak ada. Kita hanya perlu menunggu dan berharap mukjizat akan terjadi."

Merasa bingung dan tak berdaya, Baekhyun hanya mengangguk pelan, lebih untuk meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Paling tidak, pemanas portable di dalam mobil masih bisa berfungsi, jadi mereka tidak perlu khawatir akan mati kedinginan di tempat ini untuk sementara waktu.

Atau mungkin tidak.

Kesunyian di antara keduanya seketika dihancurkan oleh bunyi alarm memekakkan telinga yang terdengar dari kedua ponsel mereka. Sebuah alarm peringatan darurat bencana alam.

"Oh, shit.Sepertinya kita harus membatalkan rencana awal kita." Desis Chanyeol, mengumpat di antara kalimatnya.

Apa yang mereka lihat di ponsel mereka adalah sebuah peringatan cuaca yang memperingatkan akan kemungkinan terjadinya badai di area tersebut. Dalam hati Baekhyun merutuk, bertanya-tanya dosa apa yang ia lakukan di kehidupannya yang sebelumnya hingga dewi Fortuna begitu membencinya saat ini.

"We have to go from here. Ambil tas dan beberapa barangmu, Byun. Kita harus bergegas untuk mencari tempat berlindung sesegera mungkin."

"W-what?!" Namun sebelum Baekhyun mendapatkan penjelasan apapun, Chanyeol sudah terlebih dulu keluar dari mobil dan membuka bagasi, diikuti Baekhyun yang mulai bergerak dengan kikuk.

Chanyeol dengan sigap menyuruh Baekhyun memasukkan pakaian ke ranselnya. Dan jika saja mereka tidak sedang berada dalam keadaan darurat, Baekhyun sudah akan membalas perintah Chanyeol itu dengan ujaran sarkastis. Namun tidak di kondisi saat ini.

"Masukkan beberapa pakaianmu. Kita harus mencari tempat berteduh sebelum badai datang. Shit, ponselku kehilangan sinyal. Yang terpenting kita harus pergi dari tempat ini terlebih dahulu."

Baekhyun panik, membuka koper mininya dan memasukkan pakaiannya ke dalam ransel kerja dengan asal-asalan.

"Kenakan sesuatu yang lebih tebal dari itu, Byun. Tidakkah kau lihat bagaimana salju turun semakin lebat?"

"Shut up, Park. Aku sudah akan memakai sesuatu yang lebih hangat jika aku memang membawanya. Aku tidak merencanakan diri untuk terjebak di badai salju seperti ini, kau tahu." Ujarnya sarkastis. Chanyeol mengabaikannya, berjalan terlebih dulu setelah memastikan mobilnya terkunci aman.

"Where are we going actually? Jangan bilang kau juga tidak tahu jalan dan membawa kita tak tentu arah." Baekhyun mengikuti langkah Chanyeol yang memasuki sebuah persimpangan jalan yang jauh lebih kecil, merasakan tubuhnya mulai menggigil oleh terpaan angin bersalju. Sepatu boots-nya melesak di antara salju yang menebal di jalan yang mereka lalui.

Chanyeol sudah sering melewati jalur utama area ini, dan jika ia tidak salah ingat ada sebuah kota pemukiman kecil tak jauh dari jalur utama. Dan dugaannya benar ketika ia melihat redup cahaya rumah-rumah dan pertokoan di kejauhan.

"Bisakah kau berjalan lebih cepat lagi?" Chanyeol sesaat menghentikan langkah, menoleh pada Baekhyun yang berjalan terseok-seok beberapa meter di belakangnya

"Fuck you. Tidak semua orang memiliki kaki sepanjang dirimu, kau tahu."

Chanyeol tidak bisa menahan dirinya untuk tidak terkekeh pelan. Mengulurkan tangan agar Baekhyun bisa sedikit bertumpu pada lengannya.

"Shit. Seharusnya aku memakai sepatu yang lebih cocok untuk berjalan di atas es dan bukannya boots kulit semacam ini. Kakiku terasa membeku." Keluh Baekhyun di antara bibirnya yang menggigil.

Bohong jika Chanyeol tidak merasa bersalah melihat kondisi lelaki mungil itu. Namun ia tahu prioritas mereka adalah mencari tempat berteduh sesegera mungkin saat itu juga. Jadi ia memilih untuk tidak banyak berkomentar dan memperlambat langkahnya untuk mempermudah Baekhyun berjalan.

.

.

.

Butuh waktu lima belas menit bagi Chanyeol dan Baekhyun untuk tiba di kota kecil yang mereka datangi saat itu. Ketika mereka tiba, nafas Baekhyun sudah terengah-engah dengan tubuh menggigil kedinginan.

"Tunggu di sini. Aku akan mengetuk dan bertanya apa mereka bisa membiarkan kita untuk masuk." Ujar Chanyeol, membiarkan Baekhyun duduk beristirahat di undakan sebuah kedai rumah makan. Tanda di jendela kedai tersebut menandakan bahwa mereka sudah tutup, namun melihat cahaya yang masih menyala di dalam, keduanya tak bisa melakukan apapun kecuali berharap akan pertolongan.

Setelah beberapa saat Chanyeol berbicara dengan seseorang di dalam, pria itu kembali dan membantu Baekhyun berdiri dari duduknya. "Come on, Byun. We are lucky. Mereka memperbolehkan kita untuk masuk."

Baekhyun tidak tahu apakah kondisi mereka saat itu bisa dikategorikan sebagai beruntung, namun ia memutuskan untuk tidak banyak berkomentar, membiarkan Chanyeol membantunya berjalan.

Pemilik kedai itu adalah seorang lelaki muda yang ramah. Dengan wajah khawatir menanyakan apakah mereka ingin meminum sesuatu untuk menghangatkan diri. Dan tentu saja, keduanya tidak dalam posisi bisa menolak apapun itu yang pada dasarnya bisa menghangatkan tubuh mereka.

Setelah Chanyeol menyadari bahwa ia bisa mendapatkan sedikit sinyal di tempat itu, pria tersebut tak membuang waktu untuk mencari tahu apakah kakaknya ataupun salah satu dari temannya dapat memberi mereka bantuan.

Sementara itu, merasa tak memiliki banyak teman untuk dimintai bantuan, Baekhyun memutuskan untuk menelepon Jongdae. Namun tentu bukan Kim Jongdae namanya jika ia mengangkat telepon di sebuah malam akhir pekan.

"Hey, you okay?" Tanya lelaki muda pemilik kedai, meletakkan mug berisi teh citrus hangat di meja.

"Thank you. Dan ya, aku baik-baik saja." Baekhyun berusaha memberikan senyuman kecil.

"Perkenalkan, aku Kyungsoo. Kau?"

"Byun Baekhyun."

"Apa kalian berasal dari kota? Bagaimana kalian bisa tiba di tempat seperti ini?" Tanya Kyungsoo sementara membiarkan Baekhyun menyesap pelan teh hangatnya.

"Ceritanya cukup panjang. Singkatnya aku dan rekan kerjaku Chanyeol yang di sana baru saja menyelesaikan tugas di luar kota. Kami hanya bermaksud makan malam di dekat area ini, namun di perjalanan pulang kami berakhir mendapati mobil kami mogok dan salju mulai turun semakin lebat. Jadi di sinilah kami, berusaha mencari bantuan."

"Astaga, itu terdengar mengerikan."

Baekhyun hanya menyunggingkan senyuman getir. Ia sendiripun tidak menyangka dirinya bisa terjebak dalam kondisi semacam ini. "Ya, dan ada peringatan darurat yang memperingatkan akan terjadinya badai malam ini. Jadi kami semakin khawatir."

Tidak lama setelahnya Chanyeol kembali masuk ke dalam ruangan. Dan melihat ekspresinya yang kesal, Baekhyun seketika tahu berita apa yang dibawanya.

"Tidak ada yang bisa dilakukan. Aku menghubungi kakakku dan beberapa temanku, tapi mereka bilang mereka harus mengambil jalur panjang memutar jika harus kemari karena beberapa jalur tebing ditutup untuk sementara waktu. Sedangkan badai sudah turun terlalu lebat di kota untuk bisa berkendara dengan jarak yang jauh. Dan petugas asuransi pun berkata bahwa mereka belum bisa memprioritaskan kita. Banyak kasus kecelakaan terjadi dan mereka mengutamakan mobil yang areanya memungkinkan untuk dijangkau saat ini." Chanyeol menghela nafas dalam, menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi lelah.

Merasa bersalah melihatnya, Baekhyun menepuk pundaknya pelan. "Hey, it's okay. Pasti akan ada jalan keluar, Park."

"Hei, jika kalian tidak keberatan, kalian bisa menginap di kota ini untuk sementara?" Kyungsoo dengan hati-hati menyarankan.

"Apa ada suatu tempat di sini yang kemungkinan bisa memberikan kami tempat menginap? Hotel atau penginapan misalnya?" Tanya Chanyeol.

"Aku tidak yakin dengan hotel. Hotel terdekat dari sini berjarak terlalu jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki, dan tentu tidak memungkinkan dengan cuaca sedingin ini. Namun aku dan suamiku menyediakan beberapa pondok kecil untuk disewakan pada pendaki di musim panas. Aku tidak yakin apakah pondoknya siap digunakan untuk musim dingin, namun aku rasa tidak ada salahnya mencoba memeriksanya."

Mendengarnya, optimisme sedikit kembali di wajah Chanyeol. "Kurasa itu bukanlah ide yang buruk, bukankah begitu?"

"Ya, ini tidak seperti kita memiliki pilihan lain." Baekhyun menggigit bibirnya, sejujurnya merasa sedikit ragu.

"Kalau begitu aku akan menghubungi suamiku, karena sejujurnya aku tidak terlalu tahu tentang hal ini."

"Thanks, Kyungsoo-ssi." Chanyeol memberikan senyuman seadanya.

"It's okay. Dan jika pondoknya tidak bisa dipakai sekalipun, kalian bisa menginap di rumah kami. Kami tinggal tepat di bangunan belakang. Aku bisa menyiapkan futon di rumah kami untuk menginap. Aku yakin suamiku tidak akan keberatan dengan kehadiran tamu yang sedikit mendadak."

Tidak sekalipun dalam seumur hidupnya Baekhyun pernah membayangkan akan terjebak bersama Park Chanyeol, dan mencari sebuah tempat menginap untuk berlindung dari badai salju. Dan Baekhyun mempunyai firasat bahwa ini baru permulaan bagi sebuah badai yang lebih besar di hidupnya.

.

.

.

To be continued

.

.

.

Author's note:

It's a mess, I know, but pretty please leave me some comments if you don't mind. I'd like to know how's your opinion about this one

It's nice to be here again.

Much love from me,

A big bowl of mashedpootato