Zhyagaem06
Present
SasuSaku FanFiction
2014
.
.
.
I Love U without Any Reason
.
.
.
Uchiha Sasuke & Haruno Sakura
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
.
[Bagian I]
...
Dia...gadis yang menyebalkan. Pertemuan pertamaku dengannya menjadi awal malapetaka bagiku. Bagaimana tidak? Gadis berambut 'aneh' itu dengan seenak jidat—lebar—nya menabrakku dan membuat I-pad berhargaku rusak tak tertolong. Dari situ kekesalanku pada gadis itu muncul, apalagi saat tahu jika kami berada dikelas yang sama untuk kelas bimbingan seni—khusus alat musik piano.
Rasanya seperti kesialan datang berturut-turut dalam hidupku.
Tapi, ada satu hal yang menarik. Ternyata dia adalah siswi tingkat satu yang baru saja pindah ke sekolahku. Sehingga secara otomatis dia menjadi juniorku, meskipun kami dikelas yang sama. Sementara aku sudah tingkat tiga—senior. Sepertinya ini bisa kumanfaatkan untuk membuat hari-harinya menjadi lebih buruk. Huh! Siapa suruh sudah merusak I-pad kesayanganku. Dasar pinky menyebalkan!
.
.
.
.
.
.
Tokyo Art School. Begitulah orang-orang menyebutnya. Sekolah seni paling elit dan bergengsi di Tokyo. Bangunan gedung yang didesain dengan begitu megah dan terkesan mewah, tak ayal membuat orang-orang berdecak kagum melihatnya. Lokasinya yang terletak dipusat kota, menambah kesan berkelas pada sekolah itu. Fasilitas yang ditawarkan oleh sekolah tersebut juga tak main-main, bahkan bisa membuat betah orang yang mendiaminya. Kualitas merupakan hal yang paling diutamakan disekolah ini. Seleksi ketat untuk para guru maupun siswa/i diterapkan dengan bijak agar nantinya bisa menghasilkan prestasi yang membanggakan.
Berbeda dengan sekolah umum. Sesuai namanya, Tokyo Art School lebih mengkhususkan pembelajaran seni kepada siswa-siswinya sesuai dengan kelas yang mereka ambil.
Kelas seni terbagi atas empat kelas. Yaitu, kelas musik, kelas tari, kelas seni rupa, dan kelas teater. Tiga kelas seni diatas—kecuali kelas teater, dibagi lagi menjadi beberapa kelas. Kelas musik dibagi dua; kelas vocal dan kelas alat musik; piano dan biola. Kelas tari; tari klasik dan modern. Sementara untuk kelas seni rupa, pembagiannya agak lebih banyak dibandingkan dua lainnya yaitu; kelas melukis, desain mode, desain grafis, dan arsitek. Selain keempat kelas itu ada juga kelas modelling, kelas acting, kelas film, bahkan juga disediakan kelas memasak dan olahraga. Benar-benar sekolah seni tak bercela. Pelajaran yang diajarkan pun hanya berkisaran dengan kelas yang telah dipilih. Tak heran, jika banyak lulusan Tokyo Art School mampu mengukir nama hingga ke mancanegara. Semua itu berkat bimbingan khusus dari para tenaga kerja ahli disekolah elit tersebut.
.
.
.
Music Class — Piano Room — Tokyo Art School
Alunan melodi indah yang dihasilkan dari alat musik tekan—piano terdengar memenuhi ruangan besar berukuran 6x6 m dan didominasi dengan warna vintage tersebut. Tepat di bagian tengah ruangan, duduk dengan gagahnya seorang pemuda tampan berambut dark blue didepan sebuah grand piano hitam. Jemari panjang pemuda itu menari-nari dengan lincah diatas tuts-tuts piano tersebut. Disebelahnya berdiri sosok seorang lelaki paruh baya berjas abu-abu, tengah memejamkan kedua kelopak matanya—nampak menikmati permainan piano pemuda itu.
A small measure of peace. Itulah judul dari instrumen yang tengah dimainkan oleh pemuda tersebut. Meski hanya diiringi dengan alat musik piano, namun rangkaian nada yang membentuk suatu melodi itu benar-benar memanjakan telinga siapapun yang mendengarnya. Bagaikan dihipnotis, semua orang yang berada diruangan bernuansa klasik itu memejamkan mata mereka. Meresapi setiap alunan nada yang dimainkan dengan begitu sempurna.
Namun, meskipun banyak orang yang menyukai permainan pianonya. Pemuda tampan dengan potongan rambut mencuat itu, nampak biasa-biasa saja. Mata hitamnya terlampau fokus pada partitur nada yang terletak tepat diatas grand piano yang sedang dimainkannya.
Prok...prok...prok
Pria paruh baya yang sedari tadi berdiri disebelah sipemuda tampan itu, membuka kedua kelopak matanya saat instrumen itu berakhir. Begitu pula semua orang yang berada disana. Pria itu bertepuk tangan bangga dan tersenyum takjub memandang si pemuda.
"Menakjubkan seperti biasanya, Uchiha-san. Itu tadi, coda yang sangat sempurna" pujinya, terus mengembangkan senyum kepuasaan diwajah penuh wibawanya.
"Hn" respon pemuda itu seadanya. Entah apalah artinya. Hanya ia yang tahu.
"Baiklah. Sampai disini bimbingan untukmu hari ini. Minggu depan kita akan bertemu lagi untuk mempelajari materi selanjutnya" jelas pria tersebut. Pemuda itu tak merespon apa-apa. Ia hanya mengedikkan bahu, kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan santai melewati pria berumur sekitar 50-an itu menuju kepintu keluar ruangan. Pria itu hanya tersenyum melihat sikap—yang bisa dibilang tidak sopan dari anak didiknya itu. Tapi, baginya yang sudah hampir setahun lebih mengajar anak itu, membuatnya menganggap jika itu hal yang biasa. Pria itu menggelengkan kepala sembari tersenyum tipis, ia kemudian memanggil nama seorang muridnya dan kembali melakukan tugasnya sebagai seorang guru.
"Sasuke-kun, permainan pianomu keren sekali~ ajari aku ya?"
"Benar, Sasuke-kun, rasanya seperti sedang berada di acara orchestra sungguhan"
"Ne, Sasuke-kun ajari kami ya?"
Pemuda yang dipanggil 'Sasuke-kun' oleh para anak perempuan yang tengah mengerubunginya itu mendengus kecil. Niatnya yang ingin segera meninggalkan ruangan mewah itu harus tertunda karena desakan dan celotehan tak penting gadis-gadis didepannya itu. Ia menghembuskan nafas berat dan menatap dingin wajah-wajah sok manis dihadapannya.
"Bisakah, kalian memberiku jalan untuk keluar?" Dan hanya dengan satu kalimat yang disusun oleh enam kata tersebut, membuat gadis-gadis itu menyingkir dari hadapan pemuda dingin itu. Pemuda itu tanpa banyak bicara lagi, segera berjalan cepat menuju pintu berwarna coklat tanah itu dan membukanya, kemudian ditutup kembali begitu ia sudah berada diluar.
"Yo! Sasuke" sebuah tepukan ringan dibahu kirinya, disusul dengan suara bass seorang yang sangat ia kenali membuatnya menoleh kearah sumber suara. Onyxnya menangkap sosok pemuda yang jika dilihat sekilas mirip dengan dirinya, tengah tersenyum kearahnya.
"Hn?"
"Kau terlambat tiga menit, Sasuke. Padahal aku sudah berbaik hati menunggumu. Kau dicegat lagi ya oleh para fansmu itu?"
"Tidak ada yang menyuruhmu untuk menungguku"
"Memang. Tapi itu keinginanku, setidaknya hargailah sedikit"
"Hn"
Kedua pemuda tampan itupun mulai berjalan beriringan menyusuri lorong-lorong koridor Japan Art School. Membuat para siswi yang kebetulan ada disana, menahan nafas karena bisa melihat dua pangeran sekolah sekaligus. Apalagi saat mereka diberikan senyum cuma-cuma dari salah satu pemuda tampan itu.
"Ck. Senyum palsu"
"Apa kau mengatakan sesuatu, Sasuke"
"Hn"
Uchiha Sasuke dan Uchiha Sai. Dua siswa tampan Japan Art School yang sama-sama memasuki kelas seni walau berbeda jalur. Dari marganya, sudah diketahui jika mereka adalah saudara, kembar tepatnya. Memang, jika dilihat sekilas keduanya nampak mirip. Dengan garis wajah tegas yang terlihat tampan, kulit putih—pucat, mata onyx yang bisa membius siapa saja yang melihatnya serta bentuk tubuh ideal, membuat mereka selalu menjadi pusat perhatian dimanapun mereka berada. Walau begitu, jika diperhatikan baik-baik, kalian akan menemukan beberapa perbedaan diantara keduanya. Sasuke mempunyai warna rambut yang mengikuti sang ibu—Uchiha Mikoto. Dark blue dengan model mencuat kebelakang, yang hampir terlihat seperti err...bokong ayam. Sementara Sai, warna rambutnya sama persis dengan sang ayah—Uchiha Fugaku dan kakaknya—Uchiha Itachi. Hitam. Berbeda dengan Sasuke, potongan rambut Sai terlihat lebih rapi. Dari segi sifat keduanya juga jauh berbeda. Sasuke mewarisi sifat ayahnya dengan sempurna. Dingin, tegas, angkuh, tak suka dibantah dan egois. Sifat sang ibu, ternyata lebih mendominasi Sai. Ramah dan suka tersenyum. Walau senyum yang sering diperlihatkan Sai, terkesan tak bermakna dan tanpa emosi. Sasuke suka menyebutnya senyum palsu.
Mereka berbeda kelas, meskipun pada dasarnya keduanya berada dikelas seni. Sasuke memilih masuk kelas musik dengan sub-class, alat musik piano sementara Sai, lebih tertarik dengan seni rupa dan masuk dalam sub-class melukis. Keduanya merupakan bintang dikelasnya masing-masing. Sasuke selalu membuat orang-orang terbuai dengan nada-nada indah hasil permainan jarinya pada tuts-tuts piano. Dan Sai, keahliannya dalam menorehkan kuas warna-warni pada kanvas putihnya, menghasilkan sebuah karya dua dimensi bernilai estetika tinggi dan mengundang orang-orang yang melihatnya mengeluarkan pujian ataupun decakkan kagum.
Karena itulah nama mereka selalu diperbincangkan bukan hanya dikalangan siswa/i saja, tetapi juga para guru. Walaupun Sasuke dan Sai terlihat sangat menguasai seni yang mereka tekuni, namun tak ada satupun dari keluarga mereka yang mewarisi darah seni. Nama Uchiha lebih dikenal dikalangan pebisnis internasional sebagai saingan nomor satu perusahaan-perusahaan lawan. Apalagi sekarang, beberapa cabang inti Uchiha Corp. dipimpin oleh sang anak sulung yang sangat pintar memainkan perannya didunia bisnis.
Entah hal apa yang melatarbelakangi dua saudara kembar ini untuk menggeluti dunia seni. Padahal awalnya, keinginan mereka ini ditentang keras oleh sang ayah yang menginginkan semua putranya menjadi seorang pengusaha hebat seperti dirinya. Namun, apa mau dikata kedua putra Uchiha Fugaku itu sama-sama keras kepala sehingga akhirnya, kepala keluarga Uchiha itu menuruti apa yang ingin dilakukan putra-putranya—tentu dengan sedikit bujukan sang istri yang ternyata sangat mendukung hobby kedua putranya itu.
.
.
.
Caffetaria — Tokyo Art School
Dua pemuda tampan keturunan Uchiha itu memasuki kawasan caffetaria sekolah—yang lebih mirip dengan restoran berbintang—dengan ekspressi wajah berbeda. Sasuke datar dan Sai penuh dengan senyuman. Sasuke mendengus kecil saat semua siswi yang ada disana melirik kearahnya—dan juga kearah Sai dengan senyum genit mereka. Bahkan ada yang nekat mengedipkan sebelah matanya, nyaris membuat Sasuke maupun Sai kejang-kejang karena yang melakukan itu adalah seorang pria. Ya, pria. Pria berbando ungu dengan polesan make-up menor diwajahnya.
"Ck" Sasuke merobek secarik kertas yang disodorkan sebuah mesin sebesar lemari pendingin yang terletak disebelahnya. Kemudian diserahkannya kertas putih itu kepada Sai.
"Pesankan aku nasi goreng ekstra tomat dan jus tomat" ucapnya datar dan langsung melenggang masuk kedalam caffetaria. Sai menerima kertas itu dengan miris. Ia diperlakukan seperti pembantu saja. Menghembuskan nafas berat, pemuda pemilik senyum palsu itu mengambil bolpoin yang tergantung didekat mesin penghasil kertas dan menuliskan pesanannya dan juga pesanan Sasuke. Setelah selesai, ia memasukannya pada kotak kecil yang terletak di sisi kiri mesin itu.
Baru saja Sai akan menghampiri Sasuke yang sudah duduk bosan di salah satu kursi caffetaria—
"Uchiha-senpai ini untukmu"
—sebuah suara menghentikan langkahnya. Ia menoleh. Manik hitamnya mendapati seorang gadis berambut coklat sebahu, tengah menundukkan wajahnya dan menyodorkan sebuah kotak berwarna hitam yang dililiti dengan pita merah.
"Untukku?"
Gadis itu menganguk, ia mengangkat wajahnya. Merah dan juga gugup. Itulah yang ditangkap oleh iris jelaga Sai. Pemuda itu kemudian tersenyum, dan mengambil kotak itu dari tangan gadis bermanik coklat itu.
"Ah...Arigatō, engh—"
"Matsuri. Shimada Matsuri"
"...Matsuri-chan" Wajah gadis itu semakin memerah saat Sai menyebut namanya dilengkapi dengan suffix-chan. Sebuah senyum tercipta diwajah manisnya. Setelah sedikit membungkukkan tubuhnya, gadis berponi itu langsung berlari menjauhi Sai dengan semburat merah muda menghiasi wajahnya.
Sai terkekeh. Ia kemudian menatap kotak ditangannya dengan senyum yang tak dapat diartikan. Kakinya kembali dilangkahkan menuju kearah meja caffetaria yang terletak dipojok ruangan. Tempat Sasuke duduk. Dilihatnya saudara kembar berambut ravennya itu tengah serius mengamati layar I-pad hitamnya.
Sedikit memiringkan tubuhnya, Sai mencoba mengintip apa yang tengah diamati oleh saudara kembarnya itu. Siapa tahu saja, Sasuke sedang menonton video yang 'tidak-tidak'. Namun, apa yang ditangkap iris hitam Sai tidaklah sama dengan pikirannya—walau sebenarnya 99% tidaklah demikian.
"Hm..." Sai menggumam tak jelas, tangannya mulai sibuk membuka bingkisan yang diberikan oleh salah seorang siswi—bisa dibilang juga sih, fans-nya. Matanya menatap kecewa isi yang ada didalamnya. Sebuah coklat, tepatnya milk-chocolate. Ia sama dengan Sasuke, tak suka makanan manis. Namun, biar bagaimanapun ia harus menghargainya, gadis itu pasti sudah bersusah payah membuatkannya coklat ini. Apalagi saat niat awalnya yang ingin memberikan coklat itu pada Chouji—siswa kelas memasak, harus diurungkan saat Matsuri menatapnya dengan mata berbinar. Ia jadi serba salah. Mau tak mau, ya dengan sangat terpaksa plus gemetaran ia mengambil sepotong coklat dan memakannya.
"Kau mau, Sasuke?" Sai dengan mulut yang bergerak kaku menyodorkan kotak itu kearah Sasuke yang masih serius dengan I-padnya. Sasuke melirik, tapi hanya sebentar, tak sampai lima detik malah.
"Kau mau membunuhku?" Sai tersenyum pahit mendapatkan penolakan dingin dari saudaranya itu. Apa ia harus memakan semua coklat ini sendirian? Oh itu, pilihan yang sulit. Sai hanya bisa berdoa semoga pesanannya cepat datang dan ia akan terbebas dari makanan paling dihindari dari hidupnya itu.
Sasuke mendengus setengah kesal terhadap saudaranya itu. Apa si senyum palsu itu baru saja terbentur sesuatu sehingga dengan santainya menyodorkan makanan 'mengerikan' padanya? Sudah tahu ia benci coklat. Sasuke tetap tak peduli, meski disebelahnya Sai sudah terbatuk-batuk tak jelas—membuat beberapa fansgirlnya khawatir— karena berusaha menghabiskan coklat itu seorang diri.
Ck. Selain punya senyum palsu, hidupmu juga palsu ya, Sai
Sasuke kemudian kembali memfokuskan matanya pada layar I-pad canggih berwarna hitam metalik miliknya. Onyxnya tak bergeming sedikitpun dari objek yang terekam jelas di layar I-padnya. Saat jari-jari panjang itu bergerak lincah menyusuri not-not balok hitam putih, dengan mata terpejam membuat Sasuke memincingkan mata. Lampu putih yang menyorot sosok berambut merah itu membuat tampilannya semakin menawan, tapi bagi Sasuke itu biasa saja. Telinga Sasuke menangkap sesuatu yang asing dari dentingan piano yang dimainkan sosok itu. Instrumen apa ini? Kenapa ia tak pernah mendengarnya? Milik Hanz Zimmer kah? Chopin? Toshiro Masuda atau Yiruma? Sebagai seorang yang menggeluti dunia musik, Sasuke tentunya tahu semua instrumen hasil cipta para maestro diluar sana. Dari yang lokal sampai mancanegara. Tapi untuk yang satu ini Sasuke benar-benar tak tahu.
Apa ini ciptaannya sendiri?
Sasuke mengepalkan telapak tangan kirinya yang terletak diatas meja. Demi apapun, ia membenci pemikirannya sendiri. Amarahnya membuncah dalam dada, kenapa sosok ini bisa begitu sempurna dalam segala hal—terlebih piano. Meski Sasuke sering mendengar pujian dari para guru, teman-temannya, dan banyak orang yang mengakui kehebatannya dalam bermain piano, tapi entah kenapa ia merasa itu masih kurang. Ia merasa masih tertinggal jauh dari sosok dibalik layar tersebut. Dan ia benci itu, sangat membencinya.
Uchiha selalu sempurna, bukan begitu? Maka dari itu ia ingin suatu saat nanti bisa melampaui sosok yang menurutnya adalah saingan nomor satunya tersebut.
Sosok seorang pemuda berambut merah darah yang sangat hebat dalam bermain piano. Sosok yang selama ini memacu ego-nya untuk bisa menjadi seorang pianis kenamaan. Sosok yang pernah menjatuhkan harga dirinya dengan begitu telak. Sosok yang dirasanya, pernah menghinanya jauh sebelum ini. Sosok itu, Akasuna Sasori.
.
.
.
"Ck. Kau merepotkan sekali" Uchiha Sasuke mendecih sinis. Sambil terus melangkahkan kaki menyusuri tangga sekolah yang berkelok-kelok untuk bisa sampai dilantai 7. Disebelahnya, Uchiha Sai hanya bisa tersenyum maklum, atau palsu?. Dilihatnya Sasuke masih memfokuskan iris kelamnya pada layar I-pad yang digenggam tangan kirinya. Sementara jari-jari tangan kanannya bergerak-gerak disana. Sai tak tahu apa yang sedang dilakukan Sasuke, sejak di kantin tadi sampai sekarang—waktunya pulang sekolah— saudaranya itu terus berkutat dengan I-padnya. Tapi, Sai tak mau ambil pusing ataupun berkomentar banyak. Ia sudah cukup bersyukur karena Sasuke mau menemaninya ke ruang praktik seni yang terletak dilantai tujuh untuk mengambil barangnya yang ketinggalan—dengan paksaan tentunya.
"Kau sedang apa, Sasuke?" Tanya Sai disela-sela perjalanan mereka menaiki anak-anak tangga menuju lantai tujuh. Sebenarnya bisa saja mereka memakai lift, tapi sayangnya lift sedang diperbaiki. Jadilah, mereka harus sedikit 'olahraga' sore itu.
"Bukan urusanmu" Jawab Sasuke cepat. Tak mengalihkan tatapannya dari titik fokusnya. Sai mendengus kesal, lama-lama ia jadi penasaran juga dengan apa yang dikerjakan Sasuke pada I-padnya itu. Sepertinya sesuatu yang sangat penting.
Sai tak bersuara lagi, apalagi Sasuke. Mereka menyusuri undakan tangga dalam diam. Lantai 6 telah terlewati. Hanya tinggal beberapa anak tangga lagi mereka akan sampai ketempat tujuan. Namun, sesuatu tak terduga terjadi. Semuanya terasa begitu cepat. Tak ada yang bisa memprediksi ataupun mencegah. Saat siluet merah muda itu jatuh ditarik gravitasi, melintasi tangga berundak dengan lesakkan cepat dan menghantam tubuh tegap Sasuke hingga jatuh terjerembab diatas lantai putih, dilanjutkan dengan suara Prannkk keras yang ternyata berasal dari I-pad milik Sasuke yang terlempar—karena sang pemilik terlalu kaget dan tak bisa menjaga keseimbangan— dan akhirnya membentur dinding keramik dengan begitu keras.
Sai mengerjap, begitu suasananya berubah menjadi hening. Sangat hening. Matanya memandangi Sasuke dan juga sosok yang tengah menindih kembarannya itu dengan sedikit terkejut. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal dengan canggung.
"Menyingkir dariku, pink" suara dingin itu menyentak kesadaran sosok yang dipanggil 'pink' itu. Gadis berambut merah muda sebahu dengan bola mata sewarna batu giok itu mengerjap. Sedetik kemudian ia segera bangkit dari tubuh Sasuke.
"Gomennasai, hontou ni gomennasai" ujarnya dengan nada yang menyiratkan rasa bersalah, diiringi dengan membungkukkan tubuhnya berulang kali, membuat helaian surai lembutnya bergerak seirama dengan gerakan si pemilik. Sasuke yang kini sudah berada dalam posisi berdiri itu menatap gadis didepannya dengan datar. Ck, untung saja dia perempuan, jika bukan pastilah Sasuke sudah dengan senang hati mengukir 'seni' dipipinya.
"Hn" gumamnya datar. Gadis itu menatapnya bingung, tak mengerti dengan gumaman ambigu Sasuke.
"Aa...maksud kembaranku adalah tidak apa-apa, lain kali lebih berhati-hatilah bila menuruni tangga" Sai menjelaskan dengan nada suara ramah dan senyuman tanpa emosinya. Membuat gadis itu semakin bingung. Sejak kapan ungkapan sepanjang itu disingkat dengan dua huruf konsonan yang menurutnya tidak nyambung sama sekali.
"Hn" Sasuke mendengus kemudian memalingkan pandangan kearah lain. Yang justru mengantarkannya pada titik keterkejutan luar biasa. Disana, disalah satu sudut dinding, barang berharganya tergeletak tak berdaya dengan keadaan tak karuan. I-pad hitam metalik itu kini sudah tak berbentuk sebagaimana mestinya. Casingnya rusak, terpisah satu sama lain, beberapa menjadi serpihan kecil, retakkan memanjang terlihat di layar hitam itu. Hancur sudah, semua kerja kerasnya yang hampir sebulan ini ia kerahkan dengan semaksimal mungkin hilang dalam sekejap berkat gadis pink sialan itu.
"A-ano, i-itu milikmu ya? A-aku minta maaf...ka-karena—"
Gadis itu terdiam dengan bibir terkatup rapat saat kolam hijaunya bersirobok dengan mata kelam yang memandangnya tajam. Seketika tubuhnya menjadi kaku, ia merasa sangat terintimidasi dengan tatapan itu.
"Kau..." Desisan dingin itu semakin membuatnya gelisah, dengan perlahan ia memundurkan tubuhnya.
"...SIALAN" Sasuke mengangkat kepalan tangannya, bersiap menghantamkannya kewajah manis gadis didepannya. Untung, Sai bergerak cepat sehingga hal itu tak terjadi.
"Hentikan, Sasuke! Apa yang kau lakukan?! Dia itu perempuan!" Sai menatap saudaranya tak mengerti. Baru kali ini ia melihat Sasuke semarah ini. Padahal ini hanya masalah sepele, bukan? Dan bukankah gadis itu sudah minta maaf?
"E-eto...a-aku pasti akan mengganti—" Lagi-lagi ia harus terdiam saat onyx itu kembali menatapnya tajam. Sasuke menyentak tangan Sai yang menahan tangannya dan tanpa berkata apapun segera berlalu meninggalkan tempat itu dengan aura hitam yang mengelilinginya. Saat melewati si gadis, pemuda itu membisikkan sebuah kalimat yang membuat gadis itu merasakan ketegangan luar biasa.
"Oi, Sasuke tunggu" Sai pun harus merelakan barangnya menginap selama satu malam di ruang praktik seni, ia tak ingin mengambil resiko dengan membiarkan Sasuke menyetir dengan keadaan buruk seperti saat ini. Ia pun memutuskan mengejar Sasuke, tak mempedulikan sosok merah muda yang masih memandang punggung tegap Sasuke dari belakang. Ia tahu, kesalahan yang ia buat sangat fatal. Tapi itu kan tak disengaja, ia tak menginginkannya, dan itu hanya sebuah kecelakaan. Mata beningnya bergulir memandangi serpihan yang awalnya adalah sebuah benda canggih milik pemuda yang ia tabrak tadi.
Tubuhnya kembali menegang saat mengingat ucapan pemuda itu. Hanya tiga kata. Diucapkan dengan sangat dingin dan rendah namun, ia yakin itu sarat dengan kebencian.
.
.
.
Tunggu pembalasanku, pink
.
.
.
Oh bagus! Bahkan sebelum ia resmi mengenakan seragam kebesaran Tokyo Art School, ia sudah mendapatkan musuh.
Berikan applause untuk nona Haruno kita ini.
.
.
.
To Be Continue!
.
.
.
Words [3.024]
Ini ff MC pertama saya untuk SasuSaku. Langsung, bukan replace dari ff saya yang pakai cast artis korea. Xixixi, gimana? Baguskah? Jelekkah? Gajekah? Saya sebenernya rada gak pede publishnya, ya karena menurut saya ini gak banget.
Untuk bagian accidentnya SasuSaku, kalian ngerasa familiar gak? Kalau ada yang ngeh, saya kasih tahu ya, bagian itu terinspirasi dari novelnya Ilana Tan » Sunshine Become You. Rada mirip dikit sih, tapi kalau konsep ceritanya gak bakal sama kok sama novel itu, hanya bagian tabrakkan itu aja.
Mohon kritik, saran, atau pujian#ngarep xD, dari senpai semua ya. Semoga ff saya bisa makin bagus lagi. Kritiknya yang membangun ya, jangan yang flame, kan saya masih baru#pundung.
Review Pliss!
Salam Hangat
—zhyagaem06
