[Disclaimer: containing BTS – 'Never Mind' English translation lyrics. All the copyright was on BTS and BigHit Entertainment. Reproduce not on commercial purpose.]
ME AND THE FAMILY NEXT DOOR
Chapter 1: The Meeting.
.
.
.
.
"Nah, Suga, ini bagianmu."
Aku menerima amplop putih itu dengan sumringah. Setelah berpamitan dengan karyawan yang lain, yang rata-rata lebih tua dariku, aku berjalan pulang ke rumah. Langkahku yang terseret itu mengusik keheningan malam. Imajinasiku yang liar kemudian membayangkan ada perampok, orang jahat, atau bahkan begal yang bersembunyi dalam semak dan bersiap menyerangku saat ini. Hingga aku tiba di depan rumahku, untungnya tidak ada yang terjadi.
Rumahku adalah satu-satunya yang memakai kegelapan sebagai cat temboknya. Ketika rumah lain sudah terisi kehangatan keluarga, ayah dan ibu bersama anak-anak yang lucu, hanya rumahku yang berisi aku dan pribadiku yang lain. Dan mungkin ratusan serangga yang bersarang karena aku jarang bersih-bersih.
Aku masuk ke rumah dan menghempaskan diri ke sofa. Ku tengok sekeliling, yang ada hanya semburat cahaya tembus dari jendela yang gordennya lupa ditutup. Sudah sejak pagi aku tidak di rumah dan baru pulang selarut ini. Aku menutup mataku, melepaskan lenguhan lelah, membiarkan kegelapan memerangkapku dalam diam.
Ah, aku teringat hari ini aku hancur lebur dimarahi seniorku. Senior kampus memarahiku bolak-balik hanya karena masalah sepele. Ya, apalagi kalo bukan tentang orientasi mahasiswa? Aku tahu mereka senior, tapi apa harus senior membentakku di depan muka seperti itu? Sialan.
Ah, aku juga ingat. Selesai dari kampus, aku giliran jadi samsak kemarahan senior-seniorku di pekerjaan. Perlahan, aku menyentuh luka-lukaku hari ini. Cukup perih, walaupun tadi sudah kuobati saat mereka akhirnya pergi bekerja. Aku memang pernah dengar kalau karyawan tetap suka melakukan perbuatan kasar pada karyawan part-time yang masih kecil-kecil ini. Tapi tak kusangka, perbuatan kasar mereka termasuk melempar asbak, menyulutkan rokok, dan kontak fisik lainnya. Kalau bukan karena uang yang lebih besar dari pekerjaan lainnya, aku jelas-jelas tidak akan mengambil pekerjaan ini. Ini semua demi uang. Demi mimpiku sebagai produser yang merekam lagunya sendiri.
Aku menenggelamkan kepalaku ke sofa. Aku penat, aku lelah. Seminggu ini berat sekali, batinku. Seminggu terasa setahun. Ini semua gara-gara orientasi acakadul di kampus. Juga senior-senior brengsek di pekerjaan. Seandainya aku dulu tak bermimpi aneh-aneh, aku tak akan terdampar di sofa ini, di rumah ini sendirian. Seandainya aku dulu tak iseng mendengarkan lagu jedag-jedug itu. Seandainya aku menurut saja untuk jadi orang biasa, dan kerja jadi orang kantoran biasa. Aku tak akan menerima luka-luka seperti ini. Aku tak akan kesepian seperti ini.
"Eomma, aku yang pencet belnya ya!"
Perlahan, aku mengumpulkan kesadaranku. Pribadiku yang lain sudah bersungut-sungut karena merasa istirahatnya diganggu. Aku diam, menunggu apa selanjutnya yang akan terjadi.
"Memangnya Tae bisa sampai ke tombol itu?"
Suara yang berbeda. Sepertinya pemilik suara ini yang dipanggil Eomma tadi.
"Bisa dong Eomma. Nanti kalo gak sampai, nanti chim-chim gendong aku. Ya kan, chim?"
"Uuuuuuhhhhhh…"
Sudah ada tiga suara yang membuncah di malamku hari ini. Dua suara anak kecil, dan suara wanita dewasa. Semuanya tidak ada yang kukenal.
TING-TONG.
Bel benar-benar ditekan oleh mereka. Ah, sial. Aku menggerakkan badanku yang remuk redam karena dua part-time yang kukerjakan hari ini. Belum lagi urusan kampus yang menghabiskan tenaga dan emosiku. Aku tau penampilanku sangat tidak layak saat ini untuk menerima tamu, tapi kurasa akan sangat tidak sopan membiarkan anak-anak kecil itu kelamaan berdiri diluar.
Ketika pintu dibuka, terjangan cahaya menyingkap mataku yang lengket karena sempat tertidur tadi. Sekarang, dihadapanku ada dua makhluk kecil, mungkin usianya 5 tahun, sedang sumringah sambil membawa dua piring warna-warni.
"Selamat malam, Paman!" sapa mereka berdua kompak. Dengan tergopoh-gopoh mereka membungkukkan badan sambil menjaga agar mangkok yang mereka bawa tidak jatuh.
Senyuman kecil merekah di sudut bibirku.
"Aaaah, iya, selamat malam." jawabku kaku.
"Selamat malam. Maaf ya kami baru datang sekarang, padahal kamu sudah pindah kesini sejak seminggu lalu. Aku Kim Seokjin, tetangga nomor 55. Ini dua anakku, yang ini Kim Taehyung dan ini Kim Jimin. Salam kenal."
Aku terkejut setengah tidak percaya. Masih ada yang benar-benar mengenalkan dirinya sebagai tetangga di jaman modern ini. Padahal aku pikir saat aku dikenalkan oleh Pak RT Bang Sihyuk di pertemuan rutin kemarin, semua akan langsung berjalan seperti biasa. Tanpa ada tetek-bengek seperti ini lagi.
"Ah, iya, Nyonya Kim. Tidak perlu minta maaf, saya justru yang tidak sopan karena belum sempat memperkenalkan diri. Senang berkenalan dengan anda. Nama saya Min Suga. Mohon bantuannya." kataku sambil membungkuk sopan.
"Mohon bantuannya juga ya, Suga-ssi. Terutama jika nanti anak-anak saya tiba-tiba berbuat aneh-aneh, saya mohon pengertiannya. Maklum, anak laki-laki ini kebetulan sedang aktif sekali." ucap Nyonya Kim canggung.
Aku melirik dua bola beludru dihadapanku. Aku bukan tipikal orang yang sangat penyayang dengan anak kecil. Aku lebih suka diam dan memerhatikan mereka dari jauh. Tapi entah kenapa melihat dua anak laki-laki bermata bulat bundar ini, tanganku tidak sabar untuk kelak mengusak rambut mereka.
"Paman Suga tidak usah takut sama Tae. Tae tidak nakal kok, sungguh! Ah, ini paman, ada masakan kesukaan appa untuk paman. Kata eomma, ini untuk paman juga. Biar paman bisa merasakan masakan eomma yang enaaaaaak cekali." ucap Kim Taehyung lancar. Ia menyerahkan mangkuknya kepadaku. Mangkuk warna-warni khas kepunyaan anak-anak.
"Ah, tidak usah repot-repot…" kataku malu. Kimchi-jjigae yang hangat meresap di indra penciumanku. Rencanaku untuk langsung membuat lagu setelah ini berantakan.
"Chim-chim, kau tidak memberikan itu pada paman?" suara Nyonya Kim yang lembut menggelitik telingaku.
"Paman… Ini..."
Kim Jimin menyodorkan mangkuk berisi nasi panas kehadapanku. Dia menunduk malu, sesekali mencuri pandang kearahku canggung. Ah, dia pemalu ternyata. Kebalikan sekali dengan saudaranya.
Aku mempersilahkan Nyonya Kim dan anak-anaknya masuk. Lampu-lampu kunyalakan, dan beberapa barang-barangku kusisihkan. Untungnya ruang tamuku masih layak menerima mereka di malam ini. Aku bergegas ke dapur untuk membuatkan mereka minum. Walaupun aku sadar aku tidak punya apa-apa, bahkan teh celup saja tak ada, paling tidak aku bisa menyajikan air putih. Aku tahu ini memalukan, tapi sungguh, aku tidak punya waktu sejak pindahan kemarin untuk belanja dan tetek-bengek lainnya.
"Nyonya Kim, maafkan aku, tapi aku hanya bisa menyajikan ini." kataku dengan canggung.
Aku menyajikan tiga gelas air putih, dua gelas melamin untuk bocah-bocah yang kini sudah menyebar melihat sekeliling ruang tamu, dan gelas paling bagus untuk Nyonya Kim. Nyonya Kim tersenyum dan memanggil anak-anaknya untuk minum. Mereka menurut dan langsung menghabiskan minum tanpa sisa. Ada perasaan menggelitik di dadaku melihat dua bocah itu habis meminum suguhanku, yang hanya air putih biasa.
"Ayo anak-anak, kita pulang. Paman harus beristirahat, ini sudah malam."
Keluarga itu pun pamit dari rumahku. Taehyung melambaikan salamnya kepadaku, dan dengan canggung aku membalas salamnya. Jimin berjalan mengekor ibunya, dan baru berani melihatku ketika pintu rumahku hampir tertutup.
Rumahku kembali sepi. Lebih sepi dari sebelumnya, karena hari juga sudah semakin larut. Aku duduk di sofa, membiarkan keheningan menghampiriku lagi setelah keributan yang muncul tiba-tiba. Gelas yang tadi digunakan bocah itu untuk minum dengan semangatnya menyapa pandanganku. Teringat wajah mereka yang bahagia karena mendapat segelas air, setelah berlarian mengitari ruangan di rumahku yang pasti tak lebih besar dari rumah mereka. Padahal hanya segelas air, aku tak memberi mereka banyak. Tapi mengapa mereka begitu bahagia menenggaknya?
Aku memutuskan untuk bersih-bersih diri lalu merapikan rumahku lagi. Bocah tetaplah bocah, beberapa koleksi action figure-ku berantakan dimainkan mereka. Setelah itu, aku teringat kimchi-jjigae dan seporsi nasi panas yang kuanggurkan di ruang makan. Aku harus makan ini agar besok mangkuknya bisa kukembalikan, batinku.
Dengan kaos kutang dan celana boxer kesukaanku, aku makan malam. Satu suapan, dua suapan, tak terasa aku makan dengan cepat. Secepat bayangan nostalgia yang terlintas di benakku. Terlintas kepingan kenangan ketika aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dan pindah kesini. Terlintas kepingan raut wajah orang-orang yang mendukungku, memberiku semangat untuk kuliah musik disini demi mimpiku. Terlintas juga kata-kata kasar mereka yang merendahkanku, membuangku, bahkan mendorongku untuk mengakhiri hidupku saja. Satu air mata lolos di pojok mataku.
*Never mind.
Aku berusaha sekuat tenaga menahan emosiku. Kimchi-jjigae sialan, rapalku. Kenapa rasanya harus mirip sekali dengan buatan rumahku? Kenapa makanan ini harus mengaduk perasaanku menjadi kacau balau seperti ini?
*No matter how thorny the road is, run.
Satu air mata lagi lolos dan mengalir dipipiku. Padahal aku sudah berjanji untuk tidak menangis lagi. Seorang laki-laki tidak boleh menangis. Itu yang selalu mereka katakan bukan? Tapi nyatanya janji sungguh tidak mudah ditepati.
*If you feel like you're going to crash then accelerate more, you idiot.
Aku menyelesaikan makan malamku. Dengan mata yang masih sembab, aku merapikan makananku. Aku menyeret langkahku ke kamar tidur. Sepintas kulirik beberapa kertas yang berserakan di atas meja kerjaku. Tapi tubuhku malah terhempas ke kasur. Harusnya aku melanjutkan beberapa lirik yang sudah kukerjakan kemarin, batinku. Harusnya aku melanjutkan menyusun melodi yang sudah kubuat sejak dua hari lalu.
"Argh…!"
Aku berteriak, lalu menegakkan badanku. Dengan tenaga yang tersisa, aku menyeret diriku sendiri ke meja kerja. Memasang lagi headphone, menyalakan perangkat aransemen lagu, dan kembali melanjutkan apa yang sudah kutulis kemarin malam. Mereka bisa meremukkan badanku, tapi aku tak akan meremukkan mimpiku. Mimpi yang sudah kurajut sejak sekolah, dan membawa langkah kecilku ke kota besar seperti ini. Aku harus melanjutkan mimpiku. Aku harus berjuang untuk mimpiku.
.
.
To be continued.
.
.
.
.
Writer's Note:
HOLA. Nice to meet you, people. Pertama saya ucapkan terima kasih banyak yang udah baca dan review cerita pertama saya. Ternyata ini ya rasanya bikin cerita dan dapet feedback langsung dari pembaca. Bahagia banget! Saya udah nulis sejak SD, dan baru ini tulisannya di-publish, biasanya mah berakhir dibaca sendiri di laptop wgwgwg. Terima kasih juga untuk masukannya. Pokoknya terima kasih sekali lagi untuk semuanya! /kasih kiss-bye khas Jin satu-satu/
Kedua, saya mau curhat dikit. Saya tuh niatnya pingin bikin yang manis-manis dulu, baru beranjak ke cerita yang rada berat. Namun apa daya, yang keluar idenya malah kayak gini. Bahkan akhirnya memutuskan untuk bikin chapter. Semua member BTS bakalan jadi pemain di cerita ini. So, stay tuned for more stories! ^^v
