*Hai, saya kembali dengan multichap KiKuro abal buat Nanowrimo. Doakan supaya bisa tembus 50k dalam bulan ini, ya! Di fanfic ini, jujur, saya jadi banci riset, googling kiri-kanan-atas-bawah-depan-belakang tentang berbagai macam hal; mulai dari teori basket sampai periode penanggalan Heisei #dor. Trivia lain: sebenernya mau pasang banyak emoji selayaknya keitai shosetsu beneran, tapi banyak simbol yang kebredel ffn u_u;;. Jadi semoga berkenan ya, karyanya~. Oh iya, ngomong-ngomong, 'Hey, Why don't You Just Get Up and Dance, Man?' disuspend dulu, belum ada musenya, hehehe #dibuang. As usual, Kuroko no Basuke itu punya Fujimaki Tadatoshi, lagu di setiap chapternya punya setiap pemiliknya - di chapter ini, saya pake Smile-nya SID -, dan ceritanya punya saya. RnR please, minna? ;)*

Tokyo, Juli 2022.

Jika kita menjadi peragu, kapan kita akan maju?

Kapan kita mulai? Saat ini!

Benak ini boleh dipenuhi cemas dan ragu,

Namun, kali ini, sudah tak menakutkan untuk berjalan sendiri...

Jika seorang Kuroko Tetsuya bisa membenci satu hal, ia akan membenci liburan musim panas dan memusnahkannya sampai tak bersisa dari peradaban.

Alasannya sederhana, karena tak seperti guru sekolah menengah atau bahkan guru sekolah dasar yang tetap bekerja (entah mengurus klub atau menilai ujian tengah semester, atau kombinasi keduanya), guru taman kanak-kanak mendapat sebuah kado (yang merupakan impian pekerja sektor lainnya di Jepang, ngomong-ngomong): liburan satu musim penuh.

Logis juga sebenarnya alasan dibalik liburan tersebut, anak-anak TK kan tidak kuat panas, mereka juga tidak harus ikut segala macam klub atau terlibat macam-macam ujian seperti kakak-kakak mereka. Jadi, daripada menggaji guru untuk tidur-tiduran di sekolah, mengapa mereka tidak diliburkan saja? Begitu mungkin pemikiran sang kepala sekolah.

Pada tahun pertama, Kuroko cukup berbahagia menerima liburnya tersebut. Namun setelah tiga hari, rasa bahagianya berubah menjadi derita tak berkesudahan selama tiga bulan. Penyebabnya satu hal saja.

Kebosanan!

Kalau saja ia masih berada di sekolah menengah, hal tersebut mustahil terjadi. Musim panasnya dulu dipenuhi latihan-latihan basket yang keras demi memenangi pertandingan di musim dingin kelak. Tak berhenti di SMP, ia melanjutkan karir basketnya hingga SMA. Sebuah kejadian menghentikan langkahnya - berikut kontaknya pada seluruh teman-temannya semasa SMA - selepas pertandingan musim dingin SMA terakhirnya, namun toh di kampus ia bisa tetap menyibukkan diri selama liburan.

Karena tak lagi bisa bermain basket - setidaknya secara kompetitif -, ia pun beralih pada hobi keduanya, bergelut dengan karya sastra. Klub literatur kemudian menjadi tujuan utamanya saat liburan panjang tiba, baik musim panas maupun musim dingin. Persetan dengan lembabnya udara perpustakaan, dan rumor tentang "hantu perpustakaan" yang datang hanya saat liburan kemudian bersarang di rak khusus sastra klasikal. Haiku-haiku dari Issa dan penulis-penulis abad pertengahan itu terlalu sayang untuk diabaikan, dan Kuroko mencintainya. Awalnya semata hanya karena tak lagi ada pilihan kegiatan untuknya, namun perlahan cinta pun tumbuh pada dirinya. Kegiatan mengunjungi perpustakaan kampus setiap liburan itu berlanjut hingga ia lulus, karena setelahnya entah mengapa ia tak merasa berhak lagi masuk ke gedung sunyi itu.

Lalu tibalah liburan pertama Kuroko dalam pekerjaannya sebagai guru taman kanak-kanak. Hari pertama, dipakainya beristirahat sebagaimana para pekerja umumnya yang diberi liburan. Hari kedua, stasiun televisi dan sambungan internet cukup memberinya hiburan. Hari ketiga, rasa bosan itu harus ditahannya hingga tiga bulan penuh. Hei, gaji seorang guru TK tak mungkin membiayai liburan luar kota sepanjang itu, tentu saja.

Kemudian bagaimana Kuroko bisa bertahan? Sebuah misteri, tentu saja, bagaimana tuan berambut biru muda ini sanggup bertahan dengan kumpulan buku-buku tua, dan kunjungan sesekali pada toko serba ada, untuk menghentikan kebosanannya itu, setiap tahun.

Hari itu pun tak berbeda.

Layaknya sudah terprogram, pagi itu Kuroko bangun, mandi, memasak sarapan, kemudian memeriksa ponsel pintarnya. Karena tak ada pesan-pesan penting, ia pun kemudian masuk pada sebuah portal berita, sekadar memuaskan keingintahuannya akan "apa yang terjadi di luar saat ini".

Setelah menggeser sana sini, headline yang ada pada situs tersebut pun tak ada yang menarik perhatiannya. Berita kriminal tentang pemerkosaan, bunuh diri dengan deterjen, dan pejabat eselon yang minta maaf karena terbukti menilep uang rakyat memenuhi layarnya. Kuroko nyaris saja menutup peramban ponselnya dan mengerjakan rutinitas lainnya hari itu (mungkin tenggelam dalam kumpulan buku-buku tua koleksinya, atau hanya mendengar tayangan TV sementara ia duduk di halaman belakang rumahnya, tidak melakukan apa-apa) jika ia tak memperhatikan teks kecil-kecil yang berada di bagian bawah halaman. Berita kebudayaan hari ini, nampaknya.

Satu hal lagi yang membuatnya heran, mengapa pemberitaan budaya selalu menjadi catatan kecil di media massa?

"Keitai Shosetsu sebagai Literatur Baru?," begitu judul berita yang berhasil menarik perhatian Kuroko itu. Keitai shosetsu? Sebenarnya bukan barang baru baginya, dulu para gadis di kelasnya (dan seorang temannya di klub basket, herannya) banyak yang membacanya.

Ia pernah mengintip layar ponsel temannya (tentu saja tanpa diketahui yang bersangkutan) untuk ikut membaca hal yang katanya "sedang heboh" tersebut. Karya yang disebut "menghebohkan" itu adalah cerita tentang seorang gadis dan pacarnya yang drop out dari SMP dan harus menghadapi kerasnya kehidupan sosial Jepang; pengguguran, obat-obatan, dan kehidupan malam. Topiknya sih memang pas diangkat sebagai literatur, namun bentuk penulisannya membuat mata Kuroko hampir keluar dari soketnya.

"Malam ini gelap T_T

Sho-kun belum pulang. -_-

Padahal janjinya mau makan di rumah u_u"

Satu bagian dari karya tersebut hanya terdiri dari tiga baris, itu pun lebih mirip sebuah email dari seorang gadis pada teman wanitanya. Singkat serta penuh emoji. Sejak itu, Kuroko tidak pernah lagi tertarik pada karya sejenis itu. "Buang-buang waktu dan jatah paket saja," pikirnya.

Kemudian sekarang, karya seperti itu bisa dianggap sebagai literatur?

Karena penasaran, Kuroko pun mengklik berita tersebut, kemudian membacanya.

"Keitai shosetsu, atau novel pendek yang diterbitkan di ponsel, sudah menjadi budaya literat anak-anak muda Jepang sejak belasan tahun lalu. Novel ini biasanya diterbitkan secara online melalui berbagai macam situs, salah satunya Mahou Island. Akses pada novel-novel ini gratis bagi anggota situs, dan para anggota, selain bisa membaca, juga bisa menulis komentar atas cerita serta memulai menulis novel mereka juga secara gratis. Telah banyak penulis-penulis yang memulai karyanya pada situs ini yang karyanya diterbitkan oleh penerbit ternama dan bukunya terjual paling sedikit puluhan ribu eksemplar. Contoh paling ikonik, misalnya, adalah "Akai Ito" milik Mei, yang telah diadaptasi dalam bentuk drama TV juga anime karena novelnya terjual jutaan kopi.

Karakteristik utama yang menyebabkan keitai shosetsu begitu diterima di Jepang adalah selain karena akses pada situs-situs penyedia tulisan tersebut kebanyakan gratis, tema serta panjang tulisan juga memuaskan bagi para pembaca yang kebanyakan adalah para remaja dan dewasa muda. Mereka yang menghabiskan waktu di kereta, bisa menulis dan membaca novel singkat yang biasanya bertema khas remaja. Tema yang umum dibahas adalah romansa dan kehidupan remaja.

Selain itu, memulai penulisan novel juga tidak terlalu sulit, karena setiap akun pengguna sudah bisa digunakan untuk memasukkan tulisan. Soal panjang, satu chapter atau bagian novel biasanya terdiri dari 50 hingga 70 kata saja, atau panjangnya sama dengan sebuah email panjang antar teman. Fitur komentar yang mengizinkan para pengguna situs saling memberi komentar pada novel masing-masing juga terbukti membantu, karena komentar yang diberikan kebanyakan berupa kritik dan saran atas kelebihan dan kekurangan cerita; plot, karakterisasi, dan latar adalah bahasan yang mudah dijumpai pada kotak komentar setiap novel. Berdasarkan komentar ini, penulis bisa dengan mudah memperbaiki karyanya, atau bahkan menyiapkan karyanya untuk naik cetak.

Walaupun jenis tulisan baru ini menarik, masih terjadi perdebatan atas posisi karya ini dalam dunia sastra Jepang. Banyak profesor di Universitas, misalnya, yang tidak menganggap karya sejenis ini sebagai sastra, namun profesor-profesor muda yang kebanyakan lulus di tahun-tahun belakangan ini mengklasifikasikan keitai shosetsu sebagai karya sastra yang normal, dengan ciri-ciri khasnya sendiri. Keitai shosetsu memiliki ciri-ciri yang tidak dapat direplikasi oleh jenis karya lainnya, seperti penggunaan spasi dan emoji, juga penggunaan karakter setengah lebar dan penuh sebagai cara menunjukkan emosi.

Tertarik untuk membaca? Silakan kunjungi..."

Berita tersebut akhirnya selesai dibacanya, dan secara tak sadar, jemarinya refleks menyentuh sebuah tautan yang tersedia di bagian akhir berita. Tautan tersebut membawanya pada Mahou Island, situs penyedia novel ponsel yang disebut-sebut "cukup terkenal" pada berita itu. Sebuah halaman berwarna merah muda pun terbuka.

Iris biru Kuroko mulai mencari karya-karya yang dianggapnya menarik. Sebuah karya berjudul "Rikkaboshi" menarik perhatiannya. Ia pun memulai membaca karya tersebut.

"Musim panas, Heisei '16.

'Kita akan selalu bersama, kan?'

Kami saling bertatapan. Dai-kun mengangguk dalam diam.

Bintang-bintang di langit yang cerah pun menyaksikan. Tidak ada orang lain, tentu saja.

Dai-kun kan pemalu berat di balik layar. ^_^;;"

Namun entah mengapa, tak seperti beberapa tahun lalu saat ia menumpang membaca "novel ponsel" ini di ponsel temannya, ia tak merasa "aneh" lagi. Ia malah mulai merasa penasaran akan kelanjutan karya yang tengah dibacanya ini. Ia pun kemudian mengklik tautan untuk masuk ke chapter selanjutnya.

"Banyak tetangga yang bertanya-tanya,

'Mengapa Dai-kun dan Sora-kun tidak pernah terpisahkan?'

Jawaban mereka pun macam-macam, ada yang lucu sampai membuat Dai-kun tertawa, ada juga yang membuat kami ketakutan.

Yang paling sering kami dengar,

'Mereka kan sahabat sejak masih bocah. Wajar saja kalau sampai sekarang pun masih sering bersama'

Tapi jawaban ayah tiri Dai-kun yang paling mengerikan,

'Selama mereka tidak jadi suami-istri sih, kenapa tidak?'

Dai-kun cuma diam saat ayahnya bilang seperti demikian."

Tak perlu membaca keseluruhan cerita, Kuroko pun paham apa yang tengah dibacanya. Cerita ini mengisahkan dua orang remaja pria yang tengah jatuh cinta satu sama lainnya sembari menghadapi kejamnya lingkungan mereka. Namun sekali lagi, terkutuklah kebosanan yang melandanya saat ini, ia pun mengklik chapter selanjutnya.

"Suatu hari sepulang sekolah,

Aku, yang tidak ikut klub apa-apa, menunggu Dai-kun di lapangan.

Dai-kun ikut klub basket, jam pulang kami tidak bersamaan.

Tapi sejak SD kami pulang bersama, jadi aku sudah biasa menunggunya.

Dai-kun keren sekali kalau sedang di lapangan.

Pasti fans wanitanya banyak.

Seperti teman-teman wanitaku di kelas.

'Hei, pendek. Titip salam buat Suzuki, dong. Kau kan paling dekat dengannya'"

Ah, kisah ini nampaknya ia kenal. Ada sebuah rasa di hatinya yang memaksanya untuk berhenti membaca, kalau tak ingin lukanya yang (setelah sepuluh tahun) belum kering ditaburi garam. Namun entah mengapa, ia merasa harus melanjutkan. Klik. Sambungan internet ponselnya yang melambat pun perlahan memuat halaman selanjutnya dari cerita yang tengah dibaca Kuroko, kana demi kana.

"Salam itu akan kusampaikan sepulang sekolah, saat kami berboncengan di sepeda.

Biasanya Dai-kun akan tertawa sekaligus membanggakan dirinya.

'Shoot-ku selalu kena, sih, jadi wajar saja',

atau,

'Maklum saja, aku kan tampan'.

Kemudian akan kuhantam perutnya biar narsisnya tidak kelewatan.

Pelan-pelan saja, sih.

Kalau kita jatuh dari sepeda dan masuk sungai kan bahaya."

Kemudian ia pun mengerti, mengapa banyak orang yang menyukai cerita-cerita semacam ini. Gaya penceritaannya sederhana, namun mengena. Penggunaan macam-macam emoji serta pilihan kanji pun mendukung suasana cerita. Rasa penasarannya sudah terpuaskan, bukan?

Sialnya, bukan saja rasa penasarannya yang terpuaskan. Ia pun menjadi ketagihan. Untung saja novel yang ia pilih itu terbilang pendek, dan baru saja selesai.

"Tapi sore itu ada yang berbeda.

Dai-kun tetap berboncengan denganku dan pulang bersama, dan saat kusampaikan salam dari Ricchan, percakapan kami berubah.

'Tuh, ada salam dari Ricchan'

Dai-kun tertawa, tetap renyah seperti biasa. Aku pun menyadari satu hal,

'Kalau tawanya seorang Suzuki Daichi ini dimiliki orang lain, bagaimana, ya?'.

Tidak, hal itu tentu saja tidak kukatakan padanya.

'Kau ini seperti mak comblangku saja. Soracchi juga belum punya pacar, kan?', tanya Dai-kun.

Aku tertawa.

'Tapi kan kita sudah seperti pacaran,' jawabku seadanya, seulas senyum sedih hadir di bibir ini entah mengapa.

Ups, kelepasan.

Dai-kun terdiam.

Kami tak bertukar kata lagi hingga musim panas.

Komunikasi kami sejak itu, lewat email saja."

Halaman demi halaman novel tersebut pun dinikmati oleh Kuroko. Ia pun tenggelam dalam cerita. Ia bisa bersimpati pada sosok maya Kyosuke Sora, seorang siswa biasa yang keberadaannya dipertanyakan, namun jatuh cinta pada Suzuki Daichi, teman masa kecilnya yang tampan, terkenal, anggota klub basket SMA, dan "memiliki segalanya", juga menjadi target para gadis yang tengah dirundung pubertas. Tema yang diangkat memang sekilas mirip sekali shojo manga, namun begitu tiba di pertengahan novel, Kuroko pun paham mengapa keitai shosetsu ini layak disebut jenis karya literatur sejati.

"Musim panas, Heisei '19

Dua tahun sejak tangan kami bersentuhan, disaksikan oleh bintang dan para dewa.

Di bawah bintang yang sama, tahun ini, aku terdiam tanpa gerak.

Terlalu sakit rasanya untuk berpindah, satu milimeter saja tidak bisa.

Barusan yang terjadi, apa, ya?

Terlihat bekas-bekas warna biru pada tanganku, yang tadi tidak ada.

Dan aku yakin dengan sangat, bekas ini, di tubuhku lebih banyak.

Berlembar-lembar kertas berserakan di dekatku, aku memungutnya dengan susah payah.

'Mati saja, homo bedebah'

'Hidupmu merusak masa depan orang'

Entah mengapa, sakit pada tubuhku tak lagi terasa.

Semuanya berpindah pada satu pusat.

Dada."

"Pagi itu aku baru menyadari ponselku hilang, begitupun uang dan barang berharga lainnya.

Untung saja KTP-ku masih ada dalam tas, dan aku bersyukur karena menurut nasihat bapak.

'Jangan simpan semuanya pada satu keranjang. Kalau hilang, sulit hidupmu kelak'

Sayangnya aku lupa tidak menyimpan uang di dalam tas.

Aku ingin pulang.

Tapi ke mana?

Aku ingin berjumpa pula dengan Dai-kun, tapi tidak bisa.

Ia sudah berangkat kuliah ke luar benua."

"Ngomong-ngomong soal pulang, aku belum punya tempat tinggal.

Baru saja aku meninggalkan rumah, ditendang, tepatnya.

Dan kuharap uang dari pekerjaan sampinganku bisa membuatku bertahan barang sebulan.

Malam kemarin, aku masih bisa tidur di taman, di bangkunya. Tapi sudah ketahuan polisi, jadi tidak bisa lagi.

Karenanya aku harus bekerja mulai dari sekarang, tapi kerja apa?

Yang bisa diterima langsung dan gajinya harian, tentu saja. Kalau ke toko-toko sih, biasanya harus menunggu sehari baru diterima.

Dengan pemikiran seperti itu, aku berkeliling kota.

Kemudian aku melewati distrik Ni-chome, sebuah distrik yang...

Sudahlah.

Dai-kun kan tidak ada.

Lagipula ini darurat".

Kuroko menahan nafasnya. Ia tak menyangka bagian pertengahan novel saja sudah membuatnya lelah, secara emosional tentunya. Saking asyiknya membaca, ia tak menyadari bahwa perutnya - selayaknya otaknya - pun, perlu diberi asupan. Ia benci melakukan sesuatu setengah-setengah, jadi ia pun kemudian makan siang (secepat mungkin) dan melanjutkan bacaannya dengan perasaan segar. Biasanya musim panasnya sejak ia bekerja dilalui dengan kebosanan, dan kali ini, setelah bertahun-tahun merana, ada juga yang mengobatinya.

"Musim panas, Heisei '23.

Lagi-lagi, bintang-bintang menyaksikan kami berdua.

Insan manusia, yang karena kebodohannya, terpisah.

Dalam diam, kami bertukar kata. Tatapan kami yang bekerja.

Kesunyian itu harus pecah saat waktu mengejar, sayangnya.

"Dai-kun?"

Suaraku terpatah.

Dai-kun tak menjawab, ia menarikku dalam peluknya.

Wangi parfum orang kaya.

Sudah biasa memang kucium baunya, namun kali ini berbeda.

Biasanya bau tersebut membuatku ketakutan, namun kali ini aku merasa sangat aman.

Apa karena aku tengah dipeluknya?

Aku tidak pernah dipeluk klien sebelumnya.

Tapi karena ini Dai-kun, aku mengizinkannya."

Matahari mulai berwarna merah, pertanda senja mulai menyapa penghuni distrik kecil tempatnya tinggal. Tidak terasa, seratusan lebih halaman novel itu berhasil dibacanya. Saat ia akan menutup peramban ponselnya, ia tak sengaja mengklik kolom "review" atas cerita tersebut. Tautan pada kolom itu kecil, sih, jadi sangat mudah untuk tidak sengaja mengkliknya. Karena sudah diklik, Kuroko pun membacanya.

"Terima kasih atas ceritanya, Kei-san. Walaupun panjang dan topiknya menantang, aku jadi puas membacanya.", tulis seorang tamu.

"Kei-san, selamat ya, sudah selesai! Katanya mau diterbitkan juga, ya? Semoga lulus sensor, deh!", tamu lainnya menimpali. Kalimat itu sekilas berasa aneh, namun sejenak tema homoseksual dan sebutan akan distrik Ni-chome pun membuatnya memaklumi kalimat tersebut. Yah, mau bagaimanapun, Jepang kan belum seterbuka negara di benua tetangga.

"Kei-san,

Situasi saya mirip dengan novel anda.

Saya tahu novel anda adalah karya fiksi belaka, dan situasi saya pun tidak separah keadaan pada novel anda, namun novel anda memberikan saya semangat untuk melanjutkan hidup, seperti Sora.

Salam."

Sebuah review yang ditulis oleh tamu yang tak bernama itu menarik perhatian Kuroko, dan membuatnya berpikir sejenak. Ia pun punya kisah yang tak jauh berbeda dengan kisah pada novel ini, semuanya ia alami sendiri, dan ia kubur dalam-dalam sebagai bagian dari memori. Namun jika ternyata hal itu bisa menyelamatkan hidup seseorang... Mengapa tidak?

Sudah cukup ia melihat kasus bunuh diri dengan hidrogen sulfida, juga kehilangan beberapa anak-anak kesayangannya di kelas karena bunuh diri yang direncanakan untuk seorang itu ternyata membunuh seluruh keluarga. Tak jadi ia menutup peramban pada ponselnya, ia kemudian memilih untuk mendaftar di Mahou Island dan menuliskan kisahnya.

Toh nasi sudah menjadi bubur. Luka lama yang ia ingin lupakan, terkuak dengan mudahnya hanya karena sebuah novel ponsel sialan.

Nama pena, diisinya dengan Kuroi, karena nama itu mirip dengan nama aslinya (nama keluarga, sih, lebih tepatnya). Namun entah mengapa, sistem menolak nama tersebut. Terlalu banyak yang memakai, mungkin. Ia pun kemudian menambahkan dua kana di belakangnya. Kage, artinya bayangan. Isian lain pun lancar ia lakukan.

Kemudian ia memilih untuk langsung menulis. Pikirnya, toh, kegiatan menulis ini tak butuh waktu lama. Sejenak saja, sebelum tidur, cukup, karena memang novel ponsel ini memiliki chapter yang pendek-pendek, bukan?

Lagipula yang ia tulis adalah kisahnya sendiri, bukan karangan fiksi. Tidak perlu banyak berpikir, kan? Tulis saja apa yang terjadi sebenarnya, nama dan tempat disamarkan.

Namun niatnya untuk langsung menulis tak terlaksana semudah yang ia bayangkan, ia tetap harus mengisi formulir untuk mendaftarkan calon karyanya. Kuroko pun mengisinya dengan lancar.

Ia menjuduli calon karyanya "Tetsu no Shima". Dua makna berada pada judul ini, yaitu "Shima milik Tetsu", dan "Pulau sekeras besi". Karena ia tak ingin nama baik seseorang yang kini hilang dari kehidupannya rusak, ia menggunakan nama "Shima" untuk merujuk padanya.

Orang itu kan model terkenal, sampai hari ini masih saja bisa ditemukan fotonya di majalah. Selain itu, santer pula kabar bahwa ia bekerja di maskapai internasional. Kalau namanya sampai tersebar di Internet karena fiksi murahan begini saja, kan kasihan.

Sedangkan ia sendiri menggunakan nama aslinya. Sang mantan pebasket yang kini mengajar di taman kanak-kanak itu tak takut apapun resikonya; ia toh sudah memulai hidup baru, yang tak terdeteksi oleh siapa pun. Apalagi memang keberadaannya sendiri, layaknya Sora pada karya yang barusan dibacanya, sulit ditebak.

Klik, formulir untuk mendaftarkan karya baru selesai ia isi. Tak lama kemudian, ia mendapatkan sebuah alamat email khusus untuk mengirim dan memperbarui karyanya. Tak butuh waktu lama sebelum chapter pertama karyanya itu terkirim.

"'Kisah ini, hanya boleh tersebar disini, ya?

T-kun dan S-kun yang sama-sama di klub basket katanya berpacaran,

padahal mereka sama-sama pria.

Menjijikkan, bukan?'

Para gadis di kelas kami riuh bergosip,

padahal objek gosip mereka ada di depan mata, menguping.

Untung saja keberadaan saya bagai udara.

Bahkan Shima-kun saja kadang terkaget-kaget kalau saya datang.

Lagipula gosip mereka betul-betul murahan.

Shima-kun kan terkenal.

Saya?

Layaknya udara.

Jangan bercanda."

Sang mantan pebasket yang kini tengah belajar jadi sastrawan pun menarik nafas. Ingin sebenarnya ia menuliskan seluruh kisahnya dalam sebuah email saja, namun apa daya, jemarinya sudah mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Wajar, tentunya, sejak pagi hingga malam ponselnya terus menempel di tangannya, layaknya diberi lem anti lepas. Selain itu, menurut berita yang ia baca barusan, satu chapter keitai shosetsu panjangnya tidak lebih dari tujuh puluh kata, jadi kalau menulis semuanya pasti akan melanggar norma. Ah, sudahlah.

Sembari mematikan ponselnya, ia pun beranjak ke tempat tidur. Bunga tidur pun datang padanya tanpa diundang; ia bermimpi tentang pertandingan terakhirnya saat SMA.

Seirin melawan Kaijou.