Title: esperance
Disclaimer: Joker Game milik Yanagi Koji dan headcanon yang ditulis diambil dari headcanon Shirow Miwa mengenai D-Kikan pada 1960. Saya hanya memiliki OC saya di sini dan tidak ada keuntungan yang didapat penulis dari fanfiksi ini kecuali kepuasan batin
Warning: OC, setting canon, straight, OOC, typos, dan segala kekurangan lain yang tak terjabarkan
Fanfiksi ini sudah saya publikasi di blog saya sebelumnya, tetapi memiliki beberapa perbedaan dengan yang saya publikasi di blog
Selamat membaca!
.
.
chapter 1
alive
.
.
Apa yang tak pernah diduga Kaminaga setelah perang usai 15 tahun silam adalah telegram itu. Setelah membaca isinya, tubuhnya segera tegak berdiri dan kakinya sontak melangkah lebar-lebar keluar ruangan. Dadanya bergejolak, segudang pertanyaan menyesaki benak. Benarkah? Mungkinkah?
"Kaminaga,"
Suara Tazaki membuyarkan pikirannya. Kepalanya ditolehkan, pandangnya sontak bertemu dengan rekan sejawatnya yang kini telah ikut menua. Tazaki mengerut kening, matanya memicing. Tergesanya Kaminaga jarang tertangkap matanya, dan pastinya bukan tentang permasalahan remeh.
"Ada apa? Buru-buru sekali." Tazaki menyuarakan keganjilan itu pada akhirnya. Matanya tak terlepas dari Kaminaga yang masih bungkam. "Kau mau ke mana?"
"Ini urusan serius, Tazaki." Jawaban sembunyi-sembunyi Kaminaga menambah kerutan di dahi Tazaki. "Aku harus pergi sekarang. D-Kikan kutitipkan padamu."
"Berapa lama?" Tazaki mencegah pria itu melangkah dengan tanya. "Kau tahu sendiri menitipkan D-Kikan bukan persoalan sepele."
"Dan ini juga bukan permasalahan remeh." Gelagat Kaminaga kian gelisah, seolah beban seluruh dunia tengah dihempaskan di pundaknya.
Tazaki menyimak raut rekannya itu saksama. Wajah yang telah menua sepertinya, keriput yang tumbuh di mukanya, juga rambut yang tak lagi secoklat dulu. Kaminaga memang berubah, mulai dari fisik hingga ke dalamnya. Wibawanya tampak lebih matang, karenanya pula Yuuki-san memercayakan D-Kikan padanya. Pastilah keputusan pria itu untuk pergi bukan hanya didasarkan pada emosi semata, Kaminaga telah memperhitungkannya masak-masak hingga sampai pada pilihan tersebut.
"Persoalan apa?" Tazaki akhirnya bertanya dengan nada yang lebih halus. "Aku mesti tahu. Yang lain bisa bertanya padaku."
Kaminaga menimbang sejenak sebelum berucap lirih seolah tak ingin terdengar orang lain, "Jitsui dan Yuuki-san menemukan taring."
Tazaki ganti terperengah.
.
.
"Paman Tazaki, lihat Paman Kaminaga tidak?"
Tazaki hanya mengulas senyum ramahnya seperti biasa. "Tidak, aku belum melihatnya. Sepertinya dia pergi lagi," dustanya.
"Oh ... begitu ...," Emma menunduk, agak kecewa.
Tazaki memperhatikan dara itu sesaat. Emma sudah bukan lagi gadis cilik yang baru dibawa Amari dari misi, ia telah menjelma menjadi dara berambut merah sedada yang anggun nan jelita. Namun, rautnya yang selalu terang-terangan tak pernah berubah.
"Oh ya, Emma, memang ada perlu apa kau mencari Kaminaga?" Berusaha mengalihkan topik, Tazaki kembali bertanya.
"Ah, itu ... Papa bilang mau bertemu lagi. Tapi, Papa tidak bilang mau bicara apa."
.
.
.
Amari sudah tak bisa menjejaki tanah lagi. Misi terakhir membuat kakinya kehilangan fungsi. Kegiatannya kini hanya mengajar para calon agen mata-mata baru sembari duduk di kursi roda, kadang Emma membantu mendorongnya. Usia mengikis kemudaannya, janggut pun perlahan tumbuh di dagunya. Namun, setidaknya, hal itu tak mengurangi ketampanan maupun kemampuannya.
Namun, meski perang telah lewat lima belas tahun, pria itu tak jua bisa menyingkirkan seseorang dari pikirannya. Sosoknya menghantui, lebih-lebih daripada kengerian akan perang.
"Yo." Sapaan ringan disertai tepukan singkat di bahu menyadarkan Amari dari masa lalu. Pria itu menolehkan kepala ke belakang, menemukan Tazaki tengah mengangkat sebelah tangannya sebagai gestur menyapa.
"Kukira yang kupanggil bukan partner Kaminaga," kekeh Amari jenaka sembari menggerakkan kursi rodanya agar berhadapan dengan rekan sejawatnya.
"Kaminaga pergi entah ke mana, jadi aku yang menggantikan," Tazaki mengulas senyum ramahnya seperti biasa, kemudian duduk di sebuah kursi kayu. "Kenapa tiba-tiba memanggil? Mau bernostalgia sambil minum-minum?"
"Pass." Kekeh Amari kembali meluncur. "Kali terakhir Jitsui datang dan memeriksaku, aku kena omel panjang perihal bahaya minum-minum di usia segini."
Tazaki tak menahan tawanya. "Terdengar seperti Jitsui sekali."
"Nah."
Keduanya kembali menguntai tawa, mengingat masa-masa lampau yang menggelitik perut mereka. Tawa Tazaki yang pertama reda, senyumnya tetap bertahan meski tawanya telah usai. Matanya memandangi sejenak Amari yang tengah menghentikan tawa sebelum akhirnya melayangkan tanya.
"Jadi, kenapa?"
Amari tak segera menjawab, bibirnya hanya memberi Tazaki sebuah senyum sendu. Jemarinya mengetuk pegangan tangan pada kursi rodanya, berpikir sejenak. Tazaki tak tahu apa yang dipikirkan rekan sejawatnya itu, tetapi dari matanya saja, Tazaki tahu Amari telah meninggalkannya dan menyeberangi lintas waktu.
"Biasanya aku hanya akan cerita ini pada Kaminaga. Kau tahulah, karena umur kami kurang lebih sama," Amari kembali terkekeh singkat sejenak. "Aku tak bisa cerita pada yang lain soal ini, bahkan pada Emma sekalipun."
"Kemarin, aku bermimpi lagi tentang Miyo."
.
.
.
"Selama kau hidup, hatiku akan terus bersamamu, kah?"
"Kenapa?" Amari tertawa renyah seraya mengelus puncak kepala seorang gadis di dekatnya. "Kau kedengaran tak puas."
"Mh-hm. Habisnya terdengar pasrah sekali," cetus gadis itu sembari menepis tangan sang pria.
"Nah, sudah kuduga kau akan bilang begitu."
"Tapi, setidaknya lebih bagus daripada 'aku akan mencintaimu sampai mati', sih."
"Begitu, kah?"
"Mh-hm." Gadis itu mengangguk, lalu mengulas senyum tulus pada Amari. "Makanya, hiduplah, Amari-san. Agar hatiku tetap bersamamu sampai kapanpun. Dan aku akan tetap hidup agar hatimu selalu bersamaku."
.
.
.
"Silakan iris-nya, Tuan!"
"Ah. Terima kasih." Pria berkacamata hitam itu menjawab dengan kaku. Tangannya merogoh sakunya, lalu mengeluarkan sejumlah uang seharga bunga yang dibelinya sebelum mengambil buket yang diulurkan gadis penjaga kasir padanya. Namun, entah kenapa kakinya tak jua beranjak dari sana.
"Maaf? Apa ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya gadis itu.
"Ah! Maafkan saya. Saya ... saya pikir Anda mirip sekali dengan kenalan saya," jawab pria itu kikuk. Tangannya memetik sebatang bunga dari buket yang dibelinya, kemudian menyerahkannya pada gadis itu. "Sebagai tanda maaf, ambil saja ini, Nona."
"Ah, bukan masalah. Sungguh, tak perlu dipikirkan," tolak gadis itu agak malu.
"Hanya sebuah bunga tak akan merugikanku kok," kekeh pria itu tenang, lalu menyematkan sebatang bunga tadi di tangan sang gadis. "Ambillah ini. Siapa tahu kau tak akan mendapat hal seperti ini lagi, Nona ..."
Tersadar bahwa ia tak memberitahu namanya, gadis itu sontak terkesiap dan buru-buru menjawab, "Miyu. Nama saya Miyu, Tuan. Terima kasih untuk bunganya kalau begitu."
"Nah, begitu lebih baik." Pria itu tersenyum, lalu pergi usai mengucapkan terima kasih untuk kali kedua.
"Wah? Dapat bunga lagi, Miyu?" tanya salah satu karyawan yang sedari tadi memperhatikan.
"Yaah," Miyu mengendikkan bahunya, lalu memainkan bunga yang dipegangnya. "Biasa deh."
"Kau itu beruntung sekali, ya? Pasti ada saja laki-laki yang kemari untuk melihatmu," desah iri sang rekan.
"Orang tadi tidak datang untuk menemuiku kok!" bela Miyu dengan wajah menekuk. "Tapi ... rasanya memang agak familiar sih."
"Apanya?"
"Aku seperti dikunjungi masa lalu."
"... aku gagal paham."
Tawa Miyu teruntai manis di udara. "Lupakan, teruskan saja kerjamu. Nanti dimarahi Bos, lho."
Rekannya segera pergi, takut dipergoki. Miyu kembali memainkan bunga di tangannya, menghidu aromanya. Manis, sekaligus terasa hangat. Seperti katanya barusan: familiar. Mengingatkannya pada masa lalu yang berusaha ia buang meski tak pernah sekalipun ia lupakan.
.
.
.
"Nah, lihat siapa yang baru kembali setelah hilang sebulan lebih," cetus Tazaki seraya memamerkan senyum.
Kaminaga hanya memamerkan senyum lalu melangkah tak bersalah mendekati rekannya. "Thanks. Menggantikanku bukan hal yang mudah."
"Asal kau bawa kabar baik, bayarannya cukup," jawab Tazaki tanpa melunturkan kurva di bibirnya.
"Nah, kalau begitu, kau tak perlu khawatir." Kaminaga memamerkan sebatang bunga iris pada pria itu. "Kita, terutama dia, bakal mendengar kabar bagus."
.
.
.
Amari baru selesai mengajar kala Kaminaga masuk ke kelasnya dengan langkah yang terkesan santai.
"Yo!" Sebelah tangan Kaminaga terangkat, memberi gestur menyapa. "Gimana pelatihannya?"
"Anggota baru kita lumayan juga," sahut Amari sembari menggerakkan kursi rodanya agar berhadapan dengan pria itu. "Ke mana saja kau? Tazaki kewalahan mengurus D-Kikan selama kau tak ada."
"Yeah. Aku sudah dengar itu dari empunya sendiri," kekeh Kaminaga sembari duduk di atas meja. "Dia bilang akan menendangku kalau tak bawa berita bagus."
"Oh? Berita apa yang kau bawa kalau begitu? Kau pasti tak mau didepak olehnya seperti Yoru, kan?" kekeh Amari penasaran.
Kaminaga tak segera menjawab. Tangannya meletakkan sebatang bunga iris di sebelahnya, lalu menyerahkannya pada rekan sejawatnya itu. "Ambil sana."
"Ouch. Sejak kapan kau mengucapkan kata dengan bunga? Aku jadi merinding ini diberikan laki-laki." ledek Amari sembari mengambil bunga tersebut.
"Dasar kau." Kaminaga meninju pelan bahu sang rekan. "Sayangnya, itu bukan asli dari tangan orangnya sih. Yang diberikan orang itu keburu layu."
Amari menepis kecurigaannya mengenai orang yang disebut-sebut Kaminaga. Barangkali rekannya itu memang sengaja untuk mempermainkannya. "Memang apa yang istimewa dari bunga ini, hm?" pancingnya.
"Pesan di dalamnya ...," Kaminaga sengaja menggantung kalimatnya, "... karena berasal dari orang itu."
"Dalam hanakotoba, iris berarti berita baik," Amari dengan tenang memaparkannya dalam sekejap. "Lalu orangnya? Siapa? Teman kencan barumu?"
"Taring."
Satu kata itu, yang terdengar sama sekali tak berhubungan dengan nama, berhasil membuat Amari mendadak bungkam. Matanya memandangi rekan sejawatnya, menuntut penjelasan. Kaminaga tahu, sudah saatnya rekannya punya akhir bahagia.
"Aku bertemu Miyo. Taring D-Kikan masih hidup."
.
.
.
to be continued
.
.
.
a/n: Halo, kembali lagi dengan saya yang hobi nyampah fandom tercinta ini dengan OC anak gadis saya /o/ /dihajar massa. Btw, buat yang belum ngeh, iris itu nama bunga. Silakan dicari gambarnya gimana :")) /dor.
Buat yang nanya-nanya, dari mana tau headcanon Shirow Miwa. Saya tau dari tumblr. Karena susah taruh link, saya sarankan cari di tumblr dengan tag jokergame, postingannya tanggal 3 Januari kemarin. Lalu, mari kita menangisi mata-mata tampan kita yang telah menua :"""""""")) /banjir air mata/ /HEH. Dan, yang mau liat versi yang saya taruh di blog, linknya ada di profil tapi suka aneh kalo diklik :")) Bacanya yang di kategori 'threeshot esperance' dari alive, morriña, dan terakhir eternity ya :) Masing-masing ada sedikit modifikasi dengan yang saya publikasi di FFn dan AO3 ehe /dor. Eiya, yang di FFn sama AO3 sama kok ehehe :"))
Terakhir, untuk yang bertanya-tanya mengenai OC saya, saya akan memperkenalkannya sedikit di sini. Namanya Miyō (yeah, saya males pake o-nya yang simbol gitu, jadi pake o biasa kalau nulis. Toh kalo dibaca mirip /ditabok) dengan kanji (美葉). Tbh saya menjadikannya sebagai adik Miyoshi, tapi yeah lol, barangkali akan banyak orang yang tidak setuju dengan kehadiran OC ini. Tapi, saya sudah membuatnya dengan sepenuh hati dan keburu kelewat sayang sama doi :") /lemah emang. Dan yeah, code name-nya 'taring'. Saya sempet dilema buat milih antara 'taring' atau 'Salome', tapi 'taring' kedengeran lebih anu(?) jadi ... kenapa nggak, ya kan? ;)
Terima kasih bagi yang sudah berkunjung! Silakan tinggalkan jejak berupa review, komentar, fangirlingan, atau apapun jika berkenan ;) saya akan sangat senang menerimanya /o/ sekali lagi, terima kasih dan sampai jumpa di karya saya berikutnya! /o/
.
-Salam-
Profe Fest
