A Blessing in Disguise
Cast : Kim Namjoon; Kim Seokjin; Kim Hayoung, and any others
Length : Parts
Rate : T
Genre : Romance, FamilyLife.
A Blessing in Diguise
Kim Seokjin menyukai anak-anak, dan disukai pula oleh mereka. Mungkin karena sejak kecil Seokjin tinggal di panti asuhan, membuatnya bisa cepat akrab dengan anak-anak di sana. Ya, Seokjin tinggal di panti asuhan sampai umurnya 18, hingga Ia masuk dan diterima sebagai mahasiswa di SNU. Saat kecil Ia sering bermain dengan teman sebayanya yang bernasib sama, di umur lima belas lebih Ia menjadi asisten Ibu Panti ketika tak ada orang yang mengadopsinya–setahun kemudian Seokjin tahu jika memang Ibu Panti sengaja tak memperbolehkan siapapun mengadopsinya karena Ibu Panti yang terlalu sayang padanya.
Mengingat kesukaannya pada anak-anak dan kebutuhannya untuk terus hidup, Ia memilih menjadi tutor selain menjaga minimarket di pagi hari dan mengambil tugas sebagai asisten laboratorium. Gaji menjadi tutor anak sekolahan cukup besar, dibanding dengan usaha yang Seokjin keluarkan yang terbilang sangat mudah dibanding menjaga minimarket atau asisten laboratorium.
Dan di sinilah Seokjin, menunggu pintu rumah mewah ini dibuka setelah lima menit menunggu di depan pintu.
"Seokjin, kau sudah datang."
Itu asisten rumah tangga rumah ini, Lee ahjumma. Seokjin akrab bukan main dengannya karena hanya Ia yang ditemui Seokjin di rumah besar ini selain anak tutornya, Kim Hayoung.
Seokjin mengangguk dan tersenyum lebar menyapa wanita itu. "Hayoung sudah menunggu?"
Mereka berjalan masuk, Seokjin memilih memberi jarak dua langkah di belakang wanita itu, membiarkannya memimpin sekalipun Seokjin sudah hafal–secara garis besar–denah rumah ini. Well, ini bulan ketiga Seokjin menjadi tutor anak ini.
"Seonsaengniiiim!" Itu Kim Hayoung, gadis yang dimaksud Seokjin. Gadis cantik dengan gigi ompong di bawah, yang pintar dan menggemaskan.
Seokjin tersenyum senang mendengar sapaan ramah Hayoung padanya. Ia bersimpuh di lututnya, menerima pelukan–tubrukan–Hayoung. "Kau menunggu lama?"
Hayoung mengangguk, lalu cemberut. "Seonsaengnim terlambat sepuluh menit."
Alisnya terangkat terkejut mendengarnya, lalu Seokjin tersenyum makin lebar. "Hayoung menunggu sepuluh menit?"
Si gadis kecil mengangguk, masih cemberut dengan imutnya. "Kata Papa sepuluh menit sangat berharga, seonsaengnim."
Seokjin mengangguk sambil tertawa. Gadis ini benar-benar pintar, mungkin menurun dari Papanya, atau Ibunya. Tapi kemungkinan dari Papanya, karena selama tiga bulan Seokjin mengajar di rumah ini, Hayoung selalu menyebutkan Papanya tanpa menyebut Mama ataupun Ibu sama sekali.
"Nona, Tuan Kim baru saja menelpon."
"Oh ya?" Suaranya melengking, terlalu senang. Matanya juga melebar dan tanpa sadar Hayoung menjauh dari pelukan Seokjin.
Bibi Lee mengangguk, ikut tersenyum lebar. "Tuan bertanya apakah Nona ingin dibawakan sesuatu?"
Hayoung menempelkan telunjuknya di pelipis, kebiasaannya sebulan belakangan yang meniru Seokjin. "Aku ingin cheesecake dengan kacang almond. Seonsaengnim mau apa?"
Seokjin terkejut mendengar penawaran Hayoung untuknya. Ia tak berharap, lebih berharap bertemu dengan sopan pemilik rumah ini, itu sudah cukup. "Tidak perlu, Hayoung-ah, seonsaengnim sudah cukup."
Hayoung cemberut tak suka, lalu Bibi Lee ikut terkekeh dan menawarinya. "Kau minum kopi? Tuan Kim suka ditemani minum kopi buatan coffeeshop."
Si mahasiswa menggigit bibir dalamnya, tak yakin. Baru saja Ia mau menolak sekali lagi, namun Bibi Lee sudah menyimpulkan. "Aku akan bilang pada Tuan Kim, kau bekerjalah yang baik, Seokjin."
Ya sudah, mau bagaimana lagi. Bibir Lee memang baik hatinya, dan makin baik setelah mereka bercerita tentang latar belakang yang dilalui Seokjin selama ini di bulan pertama Seokjin datang ke rumah ini. Ia sering membawakan Seokjin makanan yang Ia masak dan sengaja Ia sisihkan untuknya.
"Tidak apa, Tuan Kim menyetujuinya, Ia akan senang mengetahuinya." Dan itu menjadi kalimat final bagi Seokjin.
"Seonsaengnim?"
Suara cempreng Hayoung menyadarkan Seokjin. Ia tersenyum lembut, mengusap kepala Hayoung untuk berterimakasih atas kebaikan orang di rumah ini.
"Aku ada tugas sains, bagaimana aku mengerjakannya?"
.
.
.
Seokjin memiliki jadwal mengajar Hayoung setiap hari Selasa dan Kamis setiap pukul tujuh hingga sembilan malam. Atas perintah Tuan Kim, Seokjin hanya boleh mengajarkan materi selama satu jam dan sisanya dipakai bermain bersama Hayoung, atau sekedar bercerita. Apapun agar Hayoung tak lelah belajar dan merasa tertekan.
Begitu baiknya Papa Hayoung hingga memikirkan semuanya dengan matang, karena memang menyewa jasa tutor untuk anak umur sepuluh terlalu berlebihan jika harus dipakai untuk belajar terus.
"Kau seorang mahasiswa SNU?"
Seokjin mengangguk, menggenggam cup kopi yang benar-benar dibelikan oleh Tuan Kim, Papa Hayoung.
Lelaki itu melirik anaknya yang duduk memeluknya di pangkuan. "Hayoung suka denganmu, apakah dia sudah bilang padamu?" ucapnya sambil tersenyum jenaka.
Ia menggoda anaknya.
Dan berhasil karena Hayoung buru-buru mengangkat wajahnya dari dada Papanya, lalu menggeram mirip anak anjing. "Pa, aku kan bilang kalau itu rahasia?"
Tuan Kim tertawa, begitu dewasa dan mengayomi. Ia melotot menutup bibirnya dengan main-main, "apakah aku membocorkan rahasia kita berdua?"
Hayoung cemberut, mengangguk dengan pandangan sebal pada Papanya. Ia tak berucap apapun hingga Papanya terkekeh geli lalu mencium dahinya dan menariknya ke pelukannya, agar terjatuh lagi di dadanya.
"Baiklah, baiklah, aku telah membocorkan rahasia kita berdua."
"Tidak boleh membocorkan rahasia yang lainnya lagi."
"Siap."
"Janji?"
Tuan Kim mengangguk. "Aku berjanji pada Bibi Lee. Jika aku berbohong dan membocorkan rahasia kita berdua lagi, Bibi Lee tidak perlu memasakkan sarapan untukku seminggu penuh."
Hayoung mengangkat kepalanya lagi, cemberut lagi pada Papanya. "Jangan begitu. Bagaimana jika Papa sakit?"
Dua pria dewasa di sekitarnya terkejut bukan main. Seokjin melebarkan mata dan melipat dua belah bibirnya ke dalam, terkejut bukan main atas pemikiran Hayoung.
"Hayoung takut Papa sakit?"
Kedua bapak anak itu menoleh menatap Seokjin, yang ditoleh terkejut karena ditatap bersamaan. Seokjin salah bicara?
Namun jawaban Hayoung menenangkan Seokjin dari pikiran takutnya. Hayoung mengangguk mantab. "Aku hanya punya Papa dan Bibi Lee, jika Papa sakit, aku harus bagaimana, seonsaengnim?"
Dua pria dewasa itu lagi-lagi tertawa mendengar jawaban Hayoung.
Tangan Seokjin tanpa sadar terulur membelai puncak kepala Hayoung dengan lembut dan pelan. "Ya, benar. Hayoung -ie sangat pintar. Hayoung harus menjaga Papa dengan baik agar bisa bersama terus, ya?"
Si anak umur sepuluh tersenyum lebar, begitu cepat berganti ekspresi dan mood. Ia mengangguk, menampilkan senyuman indah hingga ke mata. "Terimakasih, seonsaengnim, aku menyukaimu."
Seokjin melebarkan mata dan tersenyum tak kalah lebar. Pengakuan dari anak umur sepuluh itu berhasil membuatnya senang bukan main. "Wow, terimakasih, Hayoung-ah."
"Papa juga suka seonsaengnim, kan?"
Tuan Kim memundurkan kepalanya, terkejut atas tembakan pertanyaan Hayoung padanya. Namun dengan cepat Ia mengatur air mukanya, tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, kalau Hayoung suka, Papa pasti suka."
Seokjin ikut tersenyum ketika dua anak bapak itu terseyum lebar. Ini pertama kalinya Seokjin bertemu dengan Papa Hayoung, yang menggajinya dan mempekerjakannya. Kesan pertama padanya sungguh hebat. Lelaki dengan postur tinggi dan tegap, potongan rambut yang rapih berwarna hitam, jabatan tangan yang tegas dan yakin–tipikal CEO, dan memang Ia adalah pemilik perusahaan.
Mereka, Seokjin dan Tuan Kim tak banyak bicara, karena ada Hayoung yang menjadi pusat perhatian mereka. Namun itu baik bagi Seokjin, dengan begitu Ia tak perlu merasa diwawancara oleh pemilik perusahaan.
Pukul sembilan Seokjin memekik dalam hati. Waktunya pulang. Ia berpamitan pada Tuan Kim dan membungkuk serta menjabat tangannya, mencium pipi Hayoung dan dibalas dengan ciuman Hayoung di pipinya, lalu diantar Bibi Lee hingga ke depan pintu.
"Terimakasih, Seokjin."
"Untuk?"
Bibi Lee tersenyum. "Tuan Kim pulang awal dan Hayoung sangat senang, dan Ia akhirnya bisa mengenalkan guru favoritnya pada Papanya."
Seokjin tertawa kecil. Ia tak tahu jika Hayoung benar-benar memfavoritkannya.
"Aku bisa melihatnya, bagaimana Tuan Kim benar-benar tertawa malam ini,"
Seokjin mengangguk. "Ya, Hayoung memang sangat ceria, Ia membuat siapapun merasa senang."
Seokjin akhirnya membungkuk berpamitan pada Bibi Lee, berjalan hingga ke halte bus sekitar sepuluh menit, lalu naik bus tujuan apartemennya. Sambil memikirkan scene indah Bapak-Anak yang baru dilihatnya.
Ia lahir yatim piatu, dibesarkan oleh Ibu Panti untuk menjadi pribadi mandiri yang bisa mengurus diri sendiri. Ia tak mendapat bayangan tentang hubungan orang tua kepada anak selama ini, hanya hubungan antar teman yang Ia tahu. Maka setiap melihat hubungan demikian, Seokjin selalu menikmatinya. Tidak membayangkan jika Ia yang berada di situasi demikian, cukup melihat dan merasakan kebahagiaan mereka. Dan itu membesarkan hati Seokjin.
-TBC-
HAI!
Belum selesai proyek H.O.U.N.D tapi gimana dong, tiba-tiba kepikiran ide gila ini.
RnR, readersku sayangku?
ILY!
