Hey-hey, semua~

Ini fanfik debutku di FFN dan di Fandom KnB.. /bungkuk 90 derajat/

Awalnya nggak sengaja nemu FF KnB terus ketagiahan baca dan berakhir ikut nulis juga. Sebenernya aku udah biasa ada di dunia FF, tapi lebih ke Kpop dan melanglang buana di Wordpress. /cukup perkenalannya/

Semoga ini menghibur dan banyak yang suka ya~

KNB © FUJIMAKI TADATOSHI

Aku tidak mengambil keuntungan apapun kecuali kesenangan jiwa semata (?)

Friendship, Family, Chilhood, Humor, AU, Romance (maybe)

Kuroko Tetsuya, Momoi Satsuki, GoM, Aida Riko

(Cast mungkin bertambah di chapter selanjutnya)

Waning : FF orang labil. Nggak jelas. Typo. Humor gagal. Menjurus ke OOC.

"Dah, masuk sendiri ya?"

"Um!"

"Bagus, anak pintar."

"Nggak mau-ssu! Nggak mau-ssu!"

"Ih, malu dong, Ryouta. Lihat tuh yang lain aja berani."

"Nggak mau-ssu! Pokoknya nggak mau-ssu! Mama ikut baru Ryouta mau."

"Dasar manja."

"Jangan lari Daiki!"

"Sana Papa pulang, aku bisa sendiri."

"Jangan nakal ya?"

"Nggak janji. Satsuki cepet!"

"Dai-chan, tunggu!"

"Sana pergi. Nanti pulangnya jangan jemput, loh. Aku mau pulang sama temenku."

"Tapi nanti Tuan.."

"Kalau jemput aku aduin yang macem-macem sama Otou-san."

"Ba-baik."

"Nggak nangis?"

"Buat apa nangis?"

"Tapi Mama mau nangis lihat Shintarou mau jadi anak yang mandiri."

"Mama berlebihan-nanodayo."

"Hehe, iya-iya, maaf. Hati-hati ya?"

"Um!"

"Jadi anak pintar ya?"

"Tentu-nanodayo."

"Bagus."

"Mama sudah masukin banyak jajanan di tas. Nanti bagi-bagi sama temen ya?"

"Eeh? Nggak mau."

"Hah?"

"Nggak mau pokoknya."

"..ya sudah, sana masuk. Jangan nakal ya?"

"Pagi semua!" Aida Riko. Perempuan dengan rambut coklat yang selalu pendek itu menyapa murid-murid barunya.

"Pagi."

Hari pertama sekolah di TK Teiko masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Beberapa orang tua masih terlihat berdiri di samping putra-putrinya yang menahan tangis—yah, walau masih ada satu yang tidak berhenti menangis.

"Ayo pulang Mama. Ryouta mau pulang-ssu." Dia yang ada di bangku pojok paling jauh dari pintu itu adalah satu-satunya yang masih menangis. Tapi berkat anak itu teman-temannya yang lain terlihat lebih tenang. Mungkin malu kalau harus terus menangis. Malu karena harus disamakan dengan anak itu.

"Nama kamu siapa?"

"Tuh, ditanya sensei. Jawab."

Anak itu menghentikan tangisannya, rambut kuning yang bergerak cantik saat dia menoleh pada Riko. Wajahnya memerah, tangannya menggenggam kuat ujung baju Ibunya tapi tangisannya berhenti saat itu juga.

"Ryouta."

"Kenapa pulang? Kita baru mau mulai."

"Nggak mau-ssu!"

"Loh, Ryouta nggak mau main?"

"Ryouta mau pulang-ssu."

"Wah, sayang sekali. Padahal sensei sudah menyiapkan permainan seru yang bisa Ryouta mainkan sama temen-temen."

"Permainan apa?"

"Kalau Ryouta mau ditinggal Mama, sensei janji habis kenalan sama temen-temen kita langsung main. Gimana?"

Bocah bersurai kuning cerah itu menatap Ibunya seolah bertanya meminta pendapat sang Ibu. Jelas Ibunya mengangguk walau tahu si bocah masih tidak mau di tinggal.

"Mama jangan pulang."

"Nggak, Mama Ryouta nggak pulang, kok. Cuma nunggu di luar kelas aja. Gimana?"

Setelah bimbang dengan dirinya sendiri akhirnya si bocah bersurai kuning itu mengangguk. "Iya, deh." Pasrahnya.

"Tapi Mama jangan pulang."

"Nggak. Mama cuma di luar kelas."

Perlahan jari-jari kecil yang menggenggam ujung baju Sang Ibu terlepas. Bocah itu duduk diam seperti teman-temannya yang lain walau masih tampak gelisah.

Dalam satu menit mungkin ada lima kali bocah itu menoleh ke arah pintu untuk memastikan bahwa Ibunya masih ada di sana. Tapi ya sudahlah, tantangan pertama hari ini berhasil Riko lewati.

"Siapa yang mau jadi ketua kelas?"

Biasanya—setidaknya seingat Riko— hanya akan ada satu atau dua anak yang mengangkat tangan saat pertanyaan itu terlontar darinya. Biasanya— Riko sendiri yakin tentang itu— mereka yang mengangkat tangan juga belum tentu paham apa arti 'Ketua Kelas'.

Yah, sekedar angkat tangan dan kemudian bertanya apa artinya Ketua Kelas. Tapi kali ini,

"AKU! AKU!"

"Aku, sensei!"

"Aku juga!"

"Aku-aku-aku-aku-"

"Aku tidak tahu, tapi aku mau."

"Aku mau-ssu!" Dan hebatnya anak semanja Ryouta ikut mengangkat tangannya, lengkap dengan semangat ceria.

"Wah, banyak yang mau sensei jadi bingung harus pilih siapa."

"Aku saja, Sensei. Aku sudah biasa mengatur Dai-chan. Aku pasti bisa mengatur kelas juga."

"Oi Satsuki!" Bocah yang dimaksud ternyata duduk di sampingnya. Bocah yang tergolong berkulit gelap—jika dibandingkan dengan yang lain— itu tadi juga mengangkat tangannya. Mencalonkan diri sebagai ketua kelas seperti anak perempuan bersurai merah muda di sampingnya. "Aku saja Sensei. Aku terbiasa menjaga Satsuki. Aku pasti bisa menjaga kelas."

"Aku saja-ssu. Aku saja-ssu." Ryouta masih bersemangat mencalonkan diri.

"Anak cengeng bisa apa-nanodayo?" Dia yang duduk di samping Ryouta memprotes. "Sensei, aku memilih Seijuurou. Dia pintar dan bisa diandalkan."

"Oi Shintarou jangan asal tunjuk." Seijuurou yang dimaksud duduk tidak jauh dari Shintarou. "Atsushi saja, Sensei."

"Aku? Aku tidak mau. Merepotkan."

Dan seketika keributan terjadi di kelas bercorak biru muda itu. Perdebatan antara mereka yang mencalonkan diri, mereka yang mencalonkan teman, dan mereka yang dicalonkan.

"Sudah-sudah. Coba sini Ryouta, Daiki, Satsuki maju. Seijuurou, Shintarou dan Atsushi juga maju. Kita buat pemilihan dengan teman-teman yang lain."

Yang tiga maju dengan senang sedangkan tiga lainnya maju dengan ekspresi jengah.

"Atsushi, jajanannya disimpan dulu ya?"

"Eeh?"

"Di kelas tidak boleh makan. Tunggu sampai istirahat, oke?"

Enggan, tapi bocah bongsor berpucuk ungu itu menurut. Kembali ke tempatnya dan menyimpan bungkus chiki besar di tasnya. Dia bahkan sempat berpesan pada teman di dekatnya juga. "Jangan ambil jajananku, loh." Dan kembali ke depan.

"Sensei, aku tidak mau jadi ketua kelas. Merepotkan."

"Hah? Tapi Seijuurou menunjukmu."

"Sei-chin cuma asal tunjuk karena Shinta-chin menunjuknya. Iyakan, Sei-Chin?"

"Tidak." Seijuurou menoleh pada teman berambut hijau lumut di sampingnya. Menatap tidak suka karena tadi jadi korban asal tunjuk si hijau lumut. "Atsushi 'kan tinggi, besar dan kuat. Pasti bisa diandalkan."

"Eeh~ tapi aku tidak mau. Jadi ketua kelas itu merepotkan."

"Kalau begitu Atsushi kembali ke bangku saja." Riko baru kali ini merasa kepalanya pening saat pemilihan ketua kelas. Biasanya bagian yang satu ini adalah bagian termudah dari kelasnya. Tapi kali ini, itu tidak berlaku.

"Oh ya, Sensei."

"Apa lagi, Atsushi?"

"Aku pilih Sei-chin yang jadi ketua kelas. Tetsu-chin juga pilih Sei-chin, kok."

Satu nama lagi.

"Tetsu-chin?"

"Aku, sensei."

"Hah?" Riko tidak ingat kalau ada anak seperti itu di kelasnya. Rambut biru langit, kulit putih cerah, dan mata bulat yang menggemaskan sewarna dengan rambutnya. Ajaib.

Riko rasa bukan hanya dia yang kaget dengan keberadaan si biru langit itu. Bahkan enam anak beda warna yang sedang berdiri juga ikut terpesona melihat si biru langit tertimpa cahaya keemasan matahari pagi itu.

Cantik. Menggemaskan. Ajaib.

"Oh, Tetsuya toh. Sensei kira siapa." Kalau boleh jujur Riko hanya tahu namanya dan tidak sadar seperti apa Tetsuya itu. Bahkan dia tidak ingat saat anak itu memperkenalkan diri tadi. "Jadi Tetsuya pilih Seijuurou juga?"

"Iya."

"Sensei, aku pilih Seijuurou-cchi saja." Ryouta mengangkat dan membuat dirinya jadi pusat perhatiaan lagi.

"Oi jangan asal tunjuk." Seijuurou menatap marah pada si kuning. Tapi tampaknya baik kuning, hijau lumut, ungun atau biru langit tidak ada satupun yang ingin menarik kata-katanya. "Sensei, aku-"

"Aku dan Dai-chan mengundurkan diri, sensei."

"Oi Satsuki!" Satsuki menarik tangan Daiki untuk kembali ke meja mereka kemudian disusul Ryouta dan Shintarou. "Tapi.. ya sudahlah, aku pilih Sei juga, Sensei."

Setelah semua calon kecuali Seijuurou mundur si bocah merah yang masih bingung itu tetap berdiri di depan kelas. Menatap mereka-mereka yang tadi memilihnya dengan pandangan -err menyeramkan? Mungkin.

"Kalian sem-"

"Baiklah, jadi mulai sekarang Seijuurou ketua kelasnya. Setuju semua?"

"SETUJU!"

"Oi Ryouta!"

"Apa-ssu?"

"Ini temani Satsuki main rumah-rumahan. Aku mau main yang lain."

"Kenapa harus aku-ssu?"

"Karena kamu yang terlihat paling santai."

"Itu Atsushi-cchi juga lagi santai."

"Dia sibuk."

"Apa-"

"Kalau kamu berani mengganggunya sana coba. Tapi jangan salahkan aku kalau dia marah."

Tetsuya menutup buku bergambarnya. Berisik perdebatan Daiki dan Ryouta benar-benar mengganggu. Masalahnya, Tetsuya duduk di dekat mereka dan lagi Satsuki masih belum menyerah memaksanya ikut main rumah-rumahan.

"Tetsu-kun sudah selesai bacanya?" Ada binar-binar cerah di belakang gadis itu saat kembali mendekati Tetsuya.

Kalau mau jujur, Tetsuya tidak begitu tertarik untuk main dengan Satsuki, tapi dari pada kelas jadi berisik karena omelan Daiki dan protes Ryouta, Tetsuya lebih pilih jadi tumbal.

Baikan dia? Iya, dari lahir juga Tetsuya memang anak baik.

"Sebentar saja ya? Soalnya aku mau baca buku bergambar yang lain." Kini tumbuh bunga-bunga pink cantik di belakang gadis itu. Mata penuh harapnya membuat Tetsuya merasa salah kasih jawaban.

"Iya, nggak apa-apa. Asal Tetsu-kun jadi suamiku."

Setelahnya Tetsuya membiarkan Satsuki menariknya duduk di tempat lain. Menghidangkan kopi dan makanan tak kasat mata padanya.

"Suamiku,"

"Apa istriku?"

"Kita sudah menikah lama."

"Iya, lalu?"

Satsuki bergerak gelisah di depan Tetsuya. Duduk menunduk dan mengulang kata 'ano' lebih dari lima kali.

"Ano, itu.."

"Ada apa?"

Gadis itu menatap Tetsuya malu-malu. "Suamiku tidak mau punya anak?"

JRENG!

Ryouta dan Daiki langsung diam. Atsushi menjatuhkan bungkus chiki di tangannya. Seijuurou tidak sengaja menggunting karya origaminya yang sudah jadi. Shintarou membiarkan kaca matanya melorot turun.

Mereka terlalu kaget mendengar pertanyaan tadi.

"Nggak boleh-ssu!" Ryouta berlari meninggalkan Daiki dan langsung memeluk Tetsuya. "Tetsuya-cchi jangan mau-ssu. Tetsuya-cchi masih terlalu muda untuk itu."

"Apa sih Ryou-kun?! Kan ini cuma main rumah-rumahan."

"Tetap nggak boleh-ssu. Tetsuya-cchi itu punyaku, kalau harus punya anak ya itu nanti sama aku. Iyakan, Tetsuya-cchi?"

Tetsuya tidak menjawabnya. Dia justru sedang berusaha keras untuk lepas dari pelukan Ryouta yang membuatnya sesak.

Daiki yang ditinggal lari tadi langsung menarik Ryouta untuk melepaskan Tetsuya. "Kau mau punya anak dari siapa?"

"Tetsuya-cchi."

"Mana bisa. Kamu pikir Tetsu mau sama orang cengeng?"

"Eeh? Aku nggak cengeng kok!"

"Ryou-chin cuma suka nangis nggak jelas aja. Iyakan?" Atsushi ikut bersuara dan mendekat setelah memungut bungkus chiki-nya.

"Nggak-ssu!"

"Mana ada orang cengeng ngaku-nanodayo. Lihat kaca sana, sekarang aja mukamu sudah merah. Pengen nangis lagi, kan?"

Kini giliran Shintarou si hijau lumut yang mendekat. Mereka mengintimidasi Ryouta setelah dengan seenaknya bocah berpucuk kuning itu memeluk Tetsuya.

"Nggak-ssu! Jangan asal tuduh ya!"

Tetsuya yang jadi bahan perdebatan memilih untuk memisahkan diri dari lima bocah beda warna itu. Mengambil buku bergambar lain di rak terdekat dan memilih ke tempat lain untuk baca.

"Tetsuya."

"Apa, Sei-kun?"

"Baca apa?"

"Ini." Tidak mau ribet-ribet baca judulnya, Tetsuya menunjukan judul pada halaman sampul buku bergambar itu.

"Oh, ikut baca boleh?"

Walau merasa sedikit aneh karena ketua kelasnya tiba-tiba sok akrab Tetsuya tetep membolehkan Seijuurou ikut membaca dengannya.

Berdua membaca kisah Red Riding Hood di pojok lain ruang kelas dan membiarkan kawan-kawan beda warna mereka berdebat tentang masa depan Tetsuya.

"Tetsuya."

"Apa, Sei-kun?"

"Nanti kalau sudah besar kamu mau menikah sama orang yang kaya gimana?"

Berkat pertanyaan itu kini eksistensi Seijuurou di mata Tetsuya bertambah besar. Bocah biru langit itu mengangkat kepalanya menatap langit-langit sesaat sebelum kembali menatap Seijuurou.

"Yang pintar buat Vanilla Shake kaya Ibuku." Itu katanya.

"Shintarou-kun."

"Apa?"

"Itu dipanggil Kazunari-kun."

"Biarkan saja."

Tetsuya yang merasa sudah melakukan tugasnya melenggang pergi ke sisi lain meja setelah dapat jatah jajanannya. Setelah istirahat memang ini waktu paling tepat untuk makan jajanan. Semua berkumpul ria dan makan kue kering bentuk hewan yang di dapat mereka dari guru.

Bocah-bocah pelangi—minus Satsuki— itu juga berkumpul pada satu meja. Berbincang tentang kartun kesukaan atau acara main bareng sore nanti.

"Tetsuya-cchi, nanti sore main bareng ya?"

"Nggak ah. Aku mau nonton Ouran Koukou."

"Tetsu-chin juga suka nonton itu? Sama dong."

"Tontonan aneh tapi lucu-nanodayo."

"Aku sih lebih suka main basket di taman. Mau ikut lagi Sei?"

"Nggak ah. Aku mau nonton Ouran Koukou di rumah Tetsuya."

"Kenapa harus di rumah Tetsuya-cchi? Emang di rumah Seijuurou-cchi nggak ada tivi-ssu?"

Hening.

Seijuurou melempar tatapan kebencian pada Ryouta karena kepolosan bocah pirang itu. Yang lain, kecuali Tetsuya, hanya diam memperhatikan. Menebak-nebak apa yang akan Seijuurou lakukan pada Ryouta. Berharap-harap cemas semoga Ryouta tidak dibuat menangis oleh ketua kelas mereka itu.

Tapi keheningan itu kemudian pecah.

"Shintarou-kun, boleh tukar kue-nya?"

"Hah? Kenapa?"

"Aku nggak suka yang bentuk beruang, aku mau bentuk burung yang kaya punya Shintarou-kun."

Tetsuya dan Shintarou pelakunya. Mereka langsung menjadi pusat perhatian yang lain. Karena saling berhadapan ada kesan seolah mereka terpisah dari empat warna yang lain.

"Aku juga tidak suka beruang-nanodayo."

"Aku suka beruang kok, Tetsuya-cchi. Mau tukar sama punyaku?"

"Aku juga suka beruang, Tetsu-chin. Lebih besar dari yang lain, lebih puas."

"Aku ada yang burung juga, nih liat Tetsuya."

"Kalau gitu sama yang bebek. Gimana?"

"Sini tukar sama aku aja, Tetsuya-cchi."

"Tetsu, kalau cuma bentuk burung aku juga punya. Dua malah."

"Tetsuya, aku juga punya banyak."

"Tetsu-chin, aku mau beruangnya."

"Ya sudah sini. Aku cuma nggak mau kamu nangis karena nggak tukeran-nanodayo"

Tanpa memperdulikan empat warna lain Tetsuya dan Shintarou melakukan transaksi tukar-bentuk-kue-kering mereka.

"Tetsu, mau yang burung lagi? Nih, buatmu."

Daiki menyodorkan kue kering yang dimaksud ke Tetsuya di sampingnya. Tidak perduli dengan tatapan iri Ryouta dan dan lirikan cemburu si ketua kelas. Dia hanya ingin mendapat perhatian dari si bocah biru langit itu.

"Tidak usah Daiki-kun. Aku sudah tukar dengan Shintarou-kun."

"Ini aku berikan, bukan buat ditukar."

"Hah? Tapi aku sudah cukup dengan ini."

"Ambil saja."

Walau bingung dengan sikap bocah berkulit gelap di sampingnya itu, Tetsuya tetap menerima niat baik Daiki. Bolehlah, kue keringnya nanti bisa buat camilan saat nonton Ouran Koukou.

"Makasih."

"Um."

Ryouta dan Seijuurou juga ikut-ikutan membungkus kue kering mereka lagi dan memberikannya pada Tetsuya. Memaksa untuk diterima seperti halnya Daiki tadi. Memaksa untuk bertukar juga seperti Shintarou.

"Atsushi-kun, mau yang beruang?"

"Mau. Tetsu-chin mau memberikannya padaku?"

"Iya, ini." Tetsuya memberikan kue kering bentuk beruang miliknya juga yang ia dapat dari Ryouta dan Seijuurou. "Terlalu banyak, jadi aku bagi saja."

"Terima kasih, Tetsu-chin." Setelah menerima tiga kue beruang dari Tetsuya dia memeluk si biru langit yang hampir setengah lebih kecil darinya. "Kalau sudah besar nanti, aku ingin menikah dengan Tetsu-chin. Habis Tetsu-chin tidak pelit."

Sial, aku kalah dari mereka. Ryouta dan Seijuurou membatin.

Chapter selanjutnya, aku usahakan Update secepat mungkin. Barang kali ada yang berminat, tolong di review ya~ hehe

Aku pamin dulu—

Atma Venusia