When I Lonely
.
..
.
Naruto milik MK-sensei
Story : Shanazawa.
.
.
.
Hinata x Naruto
.
.
OOC, Typo, alur gaje, kenapa author harus menuliskannya? Aneh sekali? Ada yang bisa jelaskan kenapa aku harus menulis ini? Padahal kalian suka protes di review :D
.
.
.
Kebahagiaan itu semu, terkadang kita menerimanya sebagai hal yang luar biasa. Padahal jika kau berfikir lebih baik lagi, kebahagiaan itu seimbang dengan kesedihan. Dan aku sudah mendapatkan cukup kebahagiaan selama 16 tahun hidupku.
Sekarang dia mengambilnya, dan membumbui hidupku dengan kesedihan yang akan menjadi jalan hidupku yang panjang.
When I Lonely...
Hinata membuka matanya hanya untuk melihat kaki Hyuuga Hiashi, ayahnya sendiri. Jelas sekali bibirnya sedang mengucapkan banyak seklai kata, tapi itu tak lanta mambuat Hinata sadar dan mendengarkan kemarahan yang ayah.
Dia sendiripun kaget, bahkan tidak pernah menyangka kebahagiaan yang dia terima dirumah ini akhirnya lenyap hari ini. Dua garis merah itu menandakan positif bukan? Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa yang harus dia la-ku-kan?
Hinata kembali tertunduk, harusnya dia menangis histeris. Dia tidak mau ini terjadi padanya tapi kenapa dia malah mematung seperti ini? Menatap kosong kaki ayahnya sendiri. Apa yang dia rasakan sekarang? Entahlah dia seperti tak lagi bernyawa.
Hiashi pergi meninggalkan Hinata yang masih diam, tak memperdulikan apapun yang dikatakannya, sungguh untuk apa dia membesarkan anak yang akhirnya merusak moral dan kehormatannya?
"Hanabi kemasi barang-barang Hinata!" teriak Hiashi.
Hanabi terperanjat dari kursi belajarnya, "Ada apa dengan Kakak?"
"Dia bukan lagi kakakmu, kemasi semua barangnya."
"Tapi ayah-"
"Sekarang"
"Ha-i"
Hanabi bergegas mengambil tas Hinata dan memasukan barang-barang kakaknya yang Hanabi rasa akan berguna. Kakak akan pergi kemana? Kenapa ayah terlihat sangat marah?
"Diam di kamarmu dan segera tidur" perintah Hiashi.
"Tapi ayah, Kemana Kakak akan pergi? Kenapa aku tidak boleh menyebutnya kakak lagi?" tanya Hanabi menuntut.
Suara pintu ditutup merupakan jawaban yang diberikan Hiashi pada Hanabi, itu tandanya Hanabi tidak dapat tahu apa yang terjadi pada kakaknya.
"Pergi dari rumah ini, dan jangan pernah kembali. Kau bukan lagi anakku" ucap Hiashi melempar tas Hinata keluar rumah disusul Hinata yang masih diam tak mengatakan apapun.
Hinata meraih tasnya, kemudian menunduk pada Hiashi dan berjalan melewati pintu gerbang rumah. Kebahagiaannya baru saja digantikan oleh kesedihan mulai dari sekarang.
Hinata hanya seorang gadis biasa yang hidup sederhana bersama keluarganya. Kebahagiaannya sempurna, dia fikir akan hidup seperti ini setidaknya sampai dia bekerja dan menikah.
Udara diluar masih terasa hangat, tapi Hinata tak peduli pada udara lagi, tak peduli pada dirinya lagi, tak peduli pada semuanya. Dia akhirnya sendirian, dia diusir dan dia menjadi gelandangan.
Rasanya sakit, tapi kenapa Hinata tidak menangis? Kenapa dia tidak... "Hiks" ah akhirnya dia menangis juga. Sepanjang perjalanannya dia menumpahkan airmata yang begitu banyak sampai dia berfikir airmatanya akan surut dan habis. Dia hanya seorang remaja. Apa yang bisa dia lakukan diluar sini? Pandangan matanya menyusuri jalanan ramai yang tak ramah.
Semuanya terlihat menyeramkan dibandingkan dengan siang hari, Hinata berlari masuk kedalam sebuah gang gelap dan bersembunyi dibalik tumpukan kayu. Dia tidak bisa keluar dimalam hari, dia tidak pernah melanggar jam malamnya. Dia anak baik!
"Hiks" Hinata bukan anak baik, dua garis itu menandakan kalau dia bukan anak baik. Hinata malah semakin tenggelam dalam airmata yang sempat tak keluar dari matanya.
Biarkan semua keluar, walaupun Hinata tahu besok dan seterusnya dia akan menangis sendiri seperti ini, tapi Dia ingin menciptakan keseimbangan agar hatinya lebih baik besok pagi. Besok saat pergi ke sekolah dan bertemu dengannya.
When I Lonely
Suara kucing membuat Hinata terbangun, walaupun sebenarnya dia tak dapat tidur nyenyak karena posisi duduk membuat pantatnya panas dan pegal.
"Aku haus dan lapar" ucap Hinata membuka tasnya, isinya pakaian dan beberapa barang. Kalau saja dia tak menaruh buku tabungannya dalam tas yang dia pakai saat sekolah mungkin dia tak akan punya uang sepeserpun hari ini.
Tabungan yang tak banyak ini, tidak akan bisa mencukupi untuk hidup selamanya. Diliriknya arloji yang menempel di tangan baru pukul 08.00 tapi dia akan pergi sekolah sekarang.
Sedikit peregangan sampai rasa mual membuat mulutnya asam. 'Jangan sekarang. Kau tahu makan malamku berharga' batin Hinata bersusah payah menelan ludahnya sendiri. Dia tidak akan menyerah sedikitpun padanya, dia akan melawan semuanya walaupun Tuhan sekalipun, bukan Tuhan yang melakukan ini tapi dia tidak akan menyerah dan akan melawan pada semua iblis yang telah melakukan ini padanya.
Konoha High School.
Tempat ini seperti biasanya tak pernah membuat Hinata nyaman, tapi dia harus datang dan masuk ke dalamnya untuk bisa meraih pendidikan yang tinggi kelak. Tunggu itu cita-citanya sebelum semua tragedi ini terjadi, sekarang tujuannya adalah menikmati sebanyak mungkin waktu yang bisa dia habiskan untuk belajar dan merasakan yang namanya waktu sekolah.
"Dia masih si cupu yang penyendiri" bisik-bisik itu selalu terdengar jelas dan keras di telinga Hinata.
"Ah aku harap dia tidak mati kesepian"
"Hihihi kau jahat sekali"
"Tidak apa-apa dia masih hidupkan?"
Tidak ada yang bisa Hinata lakukan selain mendengar dan melupakannya dalam waktu yang bersamaan. Mejanyapun tak pernah bagus. Dia ditempatkan dikursi paling belakang dan peringkat kelas yang mentok ditengah. Tidak bodoh tapi tidak juga pintar.
Satu-satunya pelajaran yang dia kuasai hanyalah pelajaran sejarah, tapi dia tidak pernah menggunakannya sebagai pedoman hidup, kalau saja dia lebih sadar hal ini mungkin tidak akan terjadi.
"Hei Hinata. Apa kau tidak bosan hidup sendirian?"
'Abaikan saja mereka. Abaikan saja mereka.'
"Dasar, diajak ngobrol malah diam. Hahaha"
"Kau jangan menggodanya, nanti dia adukan pada ayahnya loh."
'Aku tidak punya ayah lagi. Sekarang aku yatim piatu'
"Iih takutnya, hahaha mereka memang suka memasang wajah serius. Aku ingat ketika sekolah dasar ayahnya datang untuk festival olahraga. Seram deh"
"Seriusan kau satu sekolah dengannya dulu"
"Aku serius"
'Mati saja kalian!'
"Tenanglah! Kalian sudah selesai dengan bercandanya? Persiapkan diri kalian untuk ulangan" ucap Shino sensei masuk ke kelas.
Suara keluhan dari murid-murid dikelas tidak merubah pendirian sensei yang sekaligus wali kelas itu. Setidaknya dia tidak pernah peduli pada masalah murid-muridnya dikelas. Tidak ada yang pernah bicara saat dipanggil untuk masalah siswa, Shino sensei selalu menekankan masalah pribadi memiliki privasinya sendiri.
"Hyuuga Hinata?" absen Shino-sensei
Hinata mengangkat tangannya untuk kehadirannya.
"Hyuuga Hinata?"
"Ha-dir" ucap Hinata pelan.
"Makanya kalau punya suara itu dipakai bukannya disimpan" ucap seorang murid dihadapan Hinata.
"Susah sih kalau hidupnya sendiri, mau bicara sama siapa?"
"Nanami Kurama" absen Shino-sensei, dia bahkan tidak peduli pada sindiran yang membuat kelasnya ribut. Mereka akan berhenti ketika Shino selesai mengabsen dan mulai membagikan kertas ulangannya.
Kenapa? Kenapa Hinata harus tahan dengan semua ini? Kenapa Hinata baru sadar kalau selama ini dia tidak punya seorang kawanpun? Bahwasannya dia hanya datang dan pergi melewati gerbang sekolah tanpa satu kejadian menarikpun? Dulu, karena dia yakin hubungan keluarga tak akan pernah terputus. Kenyataannya kemarin, adalah bukti kekeliruannya.
Hari ini, dia pun berharap tinggi tapi dia belajar dari sejarah kemarin. Katakan atau tidak katakan yang menanggung semuanya adalah dirinya. Kemungkinan apa yang akan dia katakan adalah kata yang tidak ingin didengarnya seumur hidup.
Suara bell berbunyi membuat kelas kembali gaduh, Hinata akan menerima hari yang akan menjadi sejarah hidupnya hari ini. Baik ataupun buruk, kemarin dia sudah menangis sebanyak yang dia mampu. Maka hari ini dia tidak akan menangis.
"Bukankah itu Naruto senpai?" ucap seorang siswi melihat surai yang hanya satu-satunya membuat seluruh sekolah memandang ke arahnya.
Dia tidak populer karena nilainya, prestasinya, apalagi kekayaannya. Dia populer karena dia tukang buat ulah. Rumornya dia mengencani banyak wanita dan menghancurkan fasilitas sekolah saat dia kesal.
Uzumaki Naruto, tahun kedua yang harus Hinata temui hari ini. Tapi bagaimana memanggilnya, dia bahkan tak mempunyai nomor ponselnya. Bukan karena dia tidak mau, tapi dia memang tidak punya ponsel.
"Naruto senpai" teriakan Hinata bergema dilorong sekolah.
Tidak akan ada yang menyangka Hinata yang tidak banyak bicara dan bersuara pelan itu, berteriak memanggil nama Naruto. Naruto sendiripun kaget, dan tidak menyangka gadis kecil yang polos itu ternyata dapat memanggil namanya. Dia ingin lupa, dan akan memulai hidup barunya dalam lembaran yang baru.
"Naruto senpai, bisakah kita bicara?" ucap Hinata lagi.
"Ten-tu, dimana kau ingin bicara?" tanya Naruto sembari berbalik dan menampakan senyumnya.
Tekad Hinata sudah bulat bagaimana pun hari ini dia akan mengatakannya, tak peduli jawabannya baik ataupun buruk. Hinata melangkah menapaki jalan berduri dengan hati berdebar.
"Aku sudah jatuh kenapa tidak sekalian tertimpa juga. Sejak awal sudah menyakitkan" ucap Hinata pada dirinya sendiri.
Naruto mengikuti langkah Hinata sampai keluar sekolah, ini pembicaraan yang tidak ingin didengar siapapun rupanya. Sebenarnya Naruto enggan bicara pada Hinata lagi, sangat enggan karena akhir kesalahannya adalah Hinata.
"Kita sudah jauh dari sekolah, apa yang mau kau katakan? Sudah kukatakan setelah kita putus sebaiknya kita menghindari kontak seperti tadi" ucap Naruto berhenti berjalan. Kontak apa yang Naruto maksud? mereka bahkan pacaran secara diam-diam.
"Ada yang ingin aku sampaikan padamu" ucap Hinata.
Suara siapa itu? Naruto tidak mengenalinya sama sekali. Itu bukan Hinata yang biasanya. Hinata yang pemalu dan tidak banyak bicara. "Apa kau salah minum obat? Kau jadi banyak bicara?"
"Aku- "
Menit berganti dan Hinata hanya diam sembari membuka mulutnya, Naruto berusaha sabar mendengar apa yang akan Hinata sampaikan. Tolong, Naruto ingin ini segera berakhir.
"Ya kau kenapa?"
Hinata memandang shappire itu, kenapa begitu sulit mengatakannya sendiri pada Naruto? Mereka pernah pacaran secara diam-diam. Dia tahu kenapa Naruto menutupinya, karena Hinata tak memiliki reputasi baik selain itu Naruto bilang tidak ingin Hinata mendapat masalah karena reputasinya juga.
"Kau tahu kejadian sebelum kita putus?" ucap Hinata.
'Aku sangat ingat itu.' Batin Naruto. Hari itu. Ayah Hinata menampar Naruto karena Hinata ketahuan pacaran. Demi apapun, dia tidak akan berhubungan lagi dengan Hinata mulai hari itu. "Ya, ayahmu menamparku. Kenangan yang akan aku ingat seumur hidupku" ucap Naruto sedikit sinis.
Hinata menggeleng. "Bukan itu. Aku- aku sedang- sedang-" ucap Hinata tidak bisa menyelasaikan kalimatnya sendiri.
"Hinata, jika kau ingin mempermainkanku. Lupakan. Aku tidak akan meladenimu atau menerima ajakanmu untuk pacaran kembali." Ucap Naruto.
Dari ucapan tak sabaran Naruto, dia tau jawaban Naruto sekarang. "Aku sedang mengandung anakmu" ucap Hinata.
"... apa maksudmu?" tanya Naruto. Bagaimana bisa?
"Yang ku tanyakan kejadian sebelum ayahku menamparmu. Kau dan aku melakukannya" ucap Hinata.
"Kita melakukannya berkali-kali Hinata. Bagaimana bisa? Apa kau tidak minum obatnya?" tanya Naruto frustasi. Dia sudah memutuskan jalan hidupnya, tapi kenapa kamisama menghalangi jalannya.
"Aku meminumnya. Aku juga tidak tahu aku akan ha- aku bahkan tidak bisa mengatakannya dengan benar" ucap Hinata tak kalah frustasi.
Mereka sama-sama diam, tak ada yang berkata-kata. Hinata menelan kembali cerita hidupnya selain sedang hamil dia juga diusir dari rumahnya sendiri. Diputuskan hubungannya dan hidup sebatang kara.
"Maaf" ucap Naruto. Wajahnya berpaling dari Hinata. "Aku tidak bisa melakukannya. Maksudmu jika kau mau minta pertanggung jawaban aku tidak bisa melakukannya."
Hinata tahu rasa sakit ini akan lebih sakit daripada ayahnya yang mengusirnya dari rumah tapi tetap saja dia amat kesakitan di dadanya.
"Hinata. Jika kau tak menginginkannya hidup, kau bisa melakukan itu, kau tahu maksudku dan melanjutkan hidupmu. Aku sungguh tak bisa melakukannya. Aku sudah cukup bersenang-senang selama ini, ibu mengancam akan membuatku hidup sesuai kemauannya jika aku tidak berhenti bertingkah kekanak-kanakan. Aku akan menjadi murid yang rajin dan meningkatkan nilaiku, masuk universitas dan melanjutkan usaha keluargaku" Naruto berkata panjang lebar. Dia sudah bertekad untuk menjalani hidupnya sebagai murid SMA biasa.
"Aku mengerti" ucap Hinata tak hendak menangis, tak hendak bersedih. Siapapun tak akan mau menerima tanggung jawab sebesar ini secara tiba-tiba. "Aku sangat mengerti. Aku juga ingin melanjutkan sekolahku sampai universitas dan mendapat pekerjaan yang aku inginkan"
"Kau mengerti? Kau juga sama kan? Nah masalahnya selesai. Ayo kita berjuang keras mulai dari sekarang" ucap Naruto membuat wajahnya tersenyum 5 jari.
Masalah ini tidak semudah itu diselesaikan Naruto, semuanya sudah terjadi dan Hinata tidak mau bersujud hanya agar ayahnya menarik kata-katanya kembali.
"Aku tidak mau berteman denganmu. Aku akan ingat hari ini seumur hidupku" ucap Hinata tak hendak berdekatan apalagi mengenal Naruto. Sudah cukup hal ini terjadi, dia akan berjuang sendirian dan tidak akan bergantung pada siapapun lagi.
"Ah kau benar. Tidak akan ada yang sudi untuk berteman dengan orang yang sudah menyakitimu" ucap Naruto mengaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Selamat tinggal." Ucap Hinata kembali berjalan ke sekolah.
Mata Hinata membuat hati Naruto menciut, ada yang berubah darinya. Pandangan polosnya berubah menjadi pandangan kosong seolah dia sedang menerawang masa depannya sendiri.
"Hinata, apa ada yang tahu soal ini?" tanya Naruto. Kalau sampai ibunya tahu soal ini semua, dia bisa digantung olehnya.
"Tidak, aku juga baru tahu. Aku terlalu takut untuk mengatakan pada siapapun." Jawab Hinata. Dia bahkan menganti kata hamil dengan ini.
"Semoga kita bisa berteman baik saat kita sudah punya pekerjaan nanti atau mungkin saat kita sudah punya keluarga masing-masing dan melupakan semua ini selamanya"
Hinata tak menjawab perkataan Naruto, dia tak bisa menjanjikan hal itu. Entah yang ada diperutnya akan bertahan atau tidak, tapi yang jelas dia tidak bisa melanjutkan sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang dia inginkan.
Hinata berharap, perutnya yang sedang dia sentuh sekarang tidak akan mampu bertahan karena mulai hari ini, kehidupan keras Hinata akan dimulai.
Seperti biasanya gossip mudah sekali tersebar disekolah, Hinata mengabaikan semua yang dia dengar. Semua gossipnya menyudutakan Hinata kalau saja Hinata menyatakan perasaannya dan dia pasti ditolak. Baik ataupun buruk pria yang Hinata suka mereka pasti akan menyudutkan Hinata.
"Lihat dia akhirnya punya keberanian untuk ditolak"
BRAK!
Kembali semuanya terkejut karena kali ini Hinata tak segan menjungkir balikan mejanya sendiri, dia entah marah atau sedih. Perasaannya sangat buruk hari ini. Ditatapnya seluruh penghuni kelas yang balas memandangnya takut, 'kalian pernah melihatku marah? Belumkan? Akan jadi neraka jika kalian terus bercicit padahal telingaku sudah sakit hanya dengan mendengarnya saja' batin Hinata mengambil tas dari kursinya dan pergi.
Buruk sekali. Dia akhirnya punya keberanian untuk menggertak mereka hari ini, tidak apa-apa Hinata, tak akan ada yang peduli seburuk apapun dirimu. Dia sekarang bebas melakukan apapun. Iya bebas.
Sekarang fikirkan apa yang harus dia lakukan? Oh dia butuh sebuah rumah kecil untuk bernaung malam ini dan ke salon tentunya, dia akan merubah Hinata yang dulu menjadi Hinata yang baru.
oOo
Hinata memandangi papan nama tempat agen perumahan yang dia temukan saat dia ingin mencari rumah. Keraguaannya sangat banyak sampai dia ingin mati saja. Kalau dia pergi, dia akan seperti semalam tidur diluar dengan pantat pegal. Bisa saja malam ini dia kurang beruntung.
"Apa ada yang bisa nenek bantu untukmu, nak?" tanya nenek yang membuka pintu agen perumahan dari dalam.
"Ti-dak bukan ada, itu... maaf menganggu" ucap Hinata terbata, kenapa dia jadi setakut ini, ingat dia butuh kamar untuk tidur. "Sebenarnya saya ingin mencari rumah kecil bukan rumah maksudku sebuah kamar atau apartemen yang biayanya murah"
"Masuklah, kau sedang belajar mandiri? Itu hal biasa bagiku" ucapnya ramah sembari membuka pintu lebar-lebar.
"Tapi aku tak punya uang untuk membayarmu." Ucap Hinata menunduk kemudian berlari pergi.
Hinata malu sekali, bagaimana dia mencari rumah sekarang? Logikanya sekarang Hinata dapat menemukan ruamh murah dipedalaman kota atau dipinggir kota. Rumah yang tidak memerlukan biaya untuk sampai ke sekolah namun tidak ada murid sekolah yang tahu keberadaannya. Sedikit sulit tapi Hinata mengambil map dari kotak city information yang ada dihalte.
Target pertamanya adalah apartemen di wilayah barat "Apa anda punya kamar kosong?" tanya Hinata.
"Ada banyak kamar kosong"
"Aku ingin menyewa"
"Nak jika kau ingin menyewa, kau bisa datang ke agen perumahan dan membuat kontraknya disana."
"Tapi bukankah harus bayar kalau di agen,"
"Itu kebijakan baru nak. Kalau tidak, kau tidak dapat kamar kosong satupun di wilayah ini"
Benar. Setelah berganti beberapa rumah apartemen, Tak satupun Hinata mendapatkan sebuah kamar, adapun dia harus membayar cukup mahal.
"Ini yang terakhir, dari kondisinya tak mungkin dipersulit" ucap Hinata bersemangat. Apartemen yang jauh dari kata layak itu akan mendatangkan surga bagi Hinata.
"Kau bisa menempati kamar atas." Ucap Si pemilik. "Ini apatemen paling jelek disini. Aku tidak menolak penyewa karena mereka akan pindah dalam seminggu setelah mereka menyewa" ucap si pemilik bahkan tak hendak mengatakan kata-kata manisnya karena melihat saja sudah jelas apartemen ini jelek tak terbantahkan.
"Aku akan ambil"
"Nak kau tidak mendengarkan aku?"
"Bagiku tak ada pilihan lain. Kau lihat uangku? Aku tidak bisa mengambil banyak pilihan" ucap Hinata memperlihatkan isi dompetnya.
"Aku sudah memperingatkanmu, tidak ada uang kembali jika kau berubah fikiran"
"Aku mengerti."
Pemilik bersurai nanas itu tak seseram penampilannya yang memiliki bekas jahitan. Apa dia mafia? Mata-mata? Dia jadi takut tapi dia butuh kamar murah dan langsung masuk ke rumahnya.
Sura gemerincing kunci membuat Hinata senang, Pemiliknya hanya tersenyum tipis, gadis ini cukup nekat. "Ambil beberapa brosur ini, pelayanan air dan gas sedikit terganggu, pulang larut malam akan sangat berbahaya di daerah sekitar sini. Katakan saja kau tinggal diapartemen Nara jika kau diganggu."
"Terima kasih" ucap Hinata, itu benar-benar dari hatinya yang paling dalam. Hinata menaiki anak tangga dan berjalan ke nomor yang tertera digantungan kunci miliknya. Kamar paling ujung.
Suasana gelap menghampiri Hinata. Baunya sedikit apek tapi tidak masalah. Hinata menaruh tasnya diatas lantai dan menyalakan lampu. Perutnya terasa sedikit sakit karena berjalan seharian dan belum makan apapun.
Hinata melihat ada kulkas kecil dan meja yang disandarkan didinding. Sebuah sekat untuk memisahkan kamar dengan ruang dapur kecil. Dan pintu yang menghubungkan seluruh ruangan dengan kamar mandi.
Malam ini, dia tidak mau berbuat apapun. Dia akan tidur dilantai dan memejamkan mata lelahnya, diambilnya tas dan mengambil isinya. Sebotol air mineral dan sisa roti makan siangnya. "Jika kau membuatku mual, aku akan berpuasa selama tiga hari agar kau merasakan bagaimana rasanya kelaparan." Omel Hinata merasakan cairan asam menaiki kerongkongannya.
Hinata tidak dapat pergi dan menghilangkan makhluk yang sedang tumbuh dalam perutnya ini, tentu saja karena biayanya yang tidak sedikit. Hinata menghela nafasnya pelan.
"Dengar, aku tak bermaksud mempertahankanmu. Aku hanya tidak punya uang untuk secepatnya mengeluarkanmu. Tapi, kau jangan senang dulu, mulai besok aku akan bekerja keras untuk menghidupi diriku sendiri. Jika kau sayang pada masa depanmu, lebih baik kau tidak bertahan sampai besar, kau pasti akan hidup sengsara." Ucap Hinata itu adalah gambaran perasaannya saat ini.
Akhirnya dengan sedikit dipaksa, semua roti dan air mineral dapat dia minum sampai habis. Sedikit bergerak sembari meluruskan kakinya yang pegal, Hinata perlahan merebahkan tubuhnya juga dan mulai menguap. "Hari ini aku hebat karena tidak menangis" pujinya pada diri sendiri.
Namun setetes airmata meluncur saat dia menutup matanya untuk tidur.
oOo
"Hei, bukankah itu tidak boleh?"
"Iya. Apa dia mau keluar dari zona penyendirinya?"
"Cih membuat sebal saja"
Langkah kaki Hinata ringan hari ini, nyanyian pagi hari ini tidak seburuk yang dia kira. Masih sama dan menyebalkan. Dia harus menunggu sampai pukul enam pagi untuk mendapatkan air dikamarnya. Selain itu gasnya juga sedikit ngadat karena pipa gas didepan apartemennya baru diperbaiki Nara-san namun tidak berjalan baik.
"Jangan lupa kau tinggal di apartemen keluarga Nara" ucap Nara-san mengingatkanku.
"Hyuuga-san" ucap seorang guru berdiri tepat dihadapan Hinata, matanya tentu saja memandang tidak suka. "Ini sekolah Hyuuga-san, kau tidak bisa berpenampilan seperti ini ke dalam sekolah" omelnya.
"Sensei, terima kasih nasihatnya karena apapun yang kau lakukan aku tidak bisa merubah penampilanku" ucap Hinata balas memandang guru tersebut dan sedikit tersenyum. "Gomen ne"
Hinata menyibakkan rambut yang telah dia cat menjadi sewarna tulang itu.
"5 poin untuk rambut dan 10 poin untuk sikapmu Hyuuga-san" ucap Guru tersebut.
"Lakukan sesukamu sensei" ucap Hinata berlalu setelah memberi hormat.
"Apa yang kalian lihat? Kembali ke kelas kalian atau aku akan memberi poin pada kalian semua!" teriak guru tersebut marah. Dia tak pernah melihat gadis yang tadinya pendiam berubah menjadi gadis berandalan dalam sehari.
"Apa benar dia Hinata?" tanya seorang siswa mulai bertanya dan pertanyaan siapa itu Hinata. Sekarang Hinata semakin dibenci namun juga dipuja.
Naruto sibuk memegang bukunya yang bahkan dia tak tahu harus mulai dari mana, ini membingungkan dan dia tidak suka ini.
"Naruto, apa benar Hinata itu yang menyatakan perasaannya padamu kemarin? Luar biasa setelah dia ditolak dia berubah menjadi berandalan sepertimu" ucap Kiba menepuk bahu Naruto.
"Siapa?" tanya Naruto melihat Kiba.
"Hinata, yang kemarin berteriak dilorong itu"
"Ah dia" ucap Naruto. " Dia itu-"
Namun Kiba memotong percakapannya dengan menujuk ke arah luar sekolah dengan antusias, "Lihat dalam sehari dia sudah dapat julukan Hime dan dikelilingi banyak pria" ucap Kiba.
Diluar, Hinata dengan nyamannya duduk sembari membaca buku disesi pelajaran olahraga. Para siswa mengelilinginya dengan mata tak percaya,
"Apa kau Hinata? Benarkah?"
"Kau cantik, Hinata"
"Apa yang terjadi padamu?"
Semua pertanyaan itu hanya dibalas dengan senyum misterius oleh Hinata, jadi inikah kekuatan penampilan dan rasa percaya diri? Mengerikan bukan.
"Kau memang sudah cantik sejak awal, hanya saja aura penyendiri yang keluar darimu membuat orang enggan berdekatan denganmu"
Lagi Hinata tersenyum, bukankah kalian lebih kepada termakan hasutan para wanita itu. Hinata melirik para siswi yang menampakan wajah iri pada Hinata. Apa kalian merasakannya? Rasa iri ini? Kembali Hinata menatap para siswa dan tersenyum misterius.
Naruto tidak suka ini, Hinata bersikap aneh. Jelas saja dia menyuruh gadis itu melakukan itu pada makluk yang tumbuh karena perbuatannya. Dia juga yang memutuskan Hinata karena merasa terhina oleh ayahnya. Dia hanya ingin membalas perbuatan ayah Hinata dengan mencampakkan gadis itu. Tapi lihat dia sekarang, dia membalas sakit hatinya dengan tampil lebih menatang.
"Kh" umpat Naruto membuka bukunya lagi dan mulai membaca. Mengabaikan Kiba yang menatapnya heran.
"Kau menyesal menolaknya Naruto?" tanya Kiba berlari menyusul Naruto.
"Hyuuga-san. Kau dipanggil oleh sensei" ucap seorang siswa.
"Maaf, aku harus pergi" ucap Hinata berdiri dan membersihkan sedikit debu dicelananya.
"Kami akan mengantarmu, Hime"
"Tidak perlu berlebihan, bukankah sensei akan marah jika kalian semua mengikutiku" ucap Hinata melihat wajah menyebalkan guru olahraganya sendiri.
Hinata berjalan meninggalkan lapangan olahraga, ini seperti Hinata sedang membangun mimpi terakhirnya dalam semalam, dia akan bersenang-senang dan pergi dengan rasa puas.
"Sensei, apa kau memanggilku?" tanya Hinata pada seorang guru yang sedang mengetik. Dia adalah Kurenai-sensei. Guru sejarah sekaligus satu-satunya guru yang memperhatikan Hinata. Wali kelas Hinata sendiri yang meminta Kurenai agar dia menasehati Hinata. Masalah wanita seharusnya dibicarakan dengan wanita supaya lebih efektif.
"Hinata, semua guru menyuruhku menegurmu. Apa yang terjadi denganmu? Kau sedang ada masalah?"
"Aku baik-baik saja sensei"
Kurenai menghela nafas pelan. "Aku barusan menghubungi rumahmu. Ayahmu bilang kau kabur dari rumah?"
"Ya."
"Hinata, kau masih muda dan baru tingkat 1. Jalanmu masih panjang, Sensei sarankan kau minta maaflah pada ayahmu dan lupakan masalah yang pernah terjadi. Ini bukan dirimu, Hinata"
"Kalau aku bilang tidak mau, apa kau akan berhenti menceramahiku, sensei?"
Mata Kurenai melebar, "Hinata-"
"Masalah antara aku dan ayahku tidak semudah itu diselesaikan, sensei. Aku tidak mau kembali ke rumah itu dan bersujud minta maaf. Tidak akan"
"Hinata! Dengan memberontak seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah. Aku menasehatimu karena aku melihat lebih dari apa yang kau lihat diusiaku sekarang" ucap Kurenai sedikit marah.
"Lalu? Pilihan tetap ada ditanganku sensei, rasa sakit akan membekas selamanya jika kelurgamu sendiri yang menorehkan luka itu" ucap Hinata. "Aku harus kembali." Tambahnya membungkuk hormat dan meninggalkan Kurenai yang belum sadar dari syoknya.
Suara pintu tertutup dibelakang Hinata membuat Hinata kaget sendiri, dia baru saja mengatakan hal buruk pada senseinya sendiri. Tak masalah, dia juga tak perlu reputasi baik untuk masa depannya yang terjamin sengsara.
Langkah kaki bergema dikoridor kosong. Dari arah sebaliknya, Naruto berjalan. Tanpa mereka sadari, kehidupan yang sulit akan dimulai dari sekarang.
.
.
.
.
TBC...
