Aku melihatnya, seorang gadis bersurai panjang yang tengah keluar dari kelas bersama kedua temannya.

Kumasukkan kedua tanganku ke kedua saku celana ripped jeans ku, menghampirinya, tepat didepan hadapannya. Tanganku terangkat menyapanya, sekedar berbasa-basi. "Hai." Sapaku dengan senyuman yang kuharap tidak terlihat mencurigakan.

Dia memandangku heran bercampur bingung bersama dengan kedua temannya, respon yang sudah kuduga sejak awal ketika merencanakan hal ini. "Hai." Jawabnya mencoba bersikap sopan, mengesampingkan diriku yang bertingkah sok akrab.

"Na Jaemin?"

"Ya?"

Aku tahu dia masih bingung, tapi aku tidak ingin lebih lama lagi berbasa-basi. "Kau ada waktu?"

Dia mengerutkan dahinya, heran bukan main dengan pertanyaanku. "Ada apa?"

"Ada yang ingin kubicarakan." Kedua temannya meliriknya, heran juga. "Hanya kita berdua. Aku dan kau."

Mereka kembali berpandangan, mungkin sedikit khawatir dengan ajakanku. Namun beberapa detik kemudian, gadis itu menganggukan kepalanya, menyetujuinya.

"Kita bicara di luar."

Kedai kopi dekat kampus menjadi tujuanku. Tidak terlalu jauh untuk mengajaknya bicara empat mata.

Ia menatapku bimbang, masih berdiri di depan meja dengan balutan dress navi selutut berlengan panjang chiffon, kontras sekali dengan diriku yang hanya memakai kaos hitam dengan cardigan kemeja dan celana ripped jeans . Aku tersenyum simpul melihat perbedaan kami yang begitu jauh, walaupun kami sama-sama perempuan. Aku tahu, ini terkesan mendadak dan mencurigakan. Tapi aku tak bisa menahannya.

"Aku jamin aku orang baik. Jadi, tidak keberatankah jika kau duduk? Aku akan membelikanmu minuman."

Walaupun ia masih bimbang, namun pada akhirnya ia duduk juga. Masih menatapku bingung bercampur heran. Wajahnya tercetak jelas kalau banyak pertanyaan yang ia tujukan padaku sekarang, membuatku sedikit ingin tertawa akan rencanaku yang terlampau gila ini.

"Maafkan aku, jika aku bertingkah sok akrab denganmu. Aku tahu kau tidak mengenalku, tapi aku tahu siapa kau." Ia semakin membuat ekspresi bingung mendengarku berkata begitu. Mungkin perkataanku terdengar seperti omong kosong baginya. Tentu, aku tidak menyalahkannya. Ini sepenuhnya kesalahanku. Namun, ia masih diam sabar mendengarkanku.

"Aku yakin kau pernah melihatku disekitarmu. Dan aku juga yakin kau juga pernah mendengar namaku. Walaupun kita belum pernah berkenalan."

Ia memandangku sangsi, tidak bisa menyembunyikan rasa bingung yang ada dalam kepalanya. "Sebenarnya, apa yang ingin kau bicarakan?"

Sudut bibirku tertarik mendengar kejujurannya. Ah, benar. Dia tidak akan bisa mengerti begitu saja.

Aku memandangnya, memberikan tatapan sebiasa mungkin. Seolah kami sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya. "Aku tahu ini akan kedengaran gila. Tapi tadi malam dalam tidurnya, aku mendengar dia menyebutkan namamu."

"Apa yang kau bicarakan?" tanyanya lagi, mendesakku. Masih belum mengerti betul kemana percakapan ini akan berlabuh.

"Itu bukan pertama kalinya ia melakukannya. Untuk kesekian kali, ia memanggil namamu dalam tidurnya." Senyumku berubah menjadi masam. Kenapa juga aku harus memberitahunya?

"Maaf. Tapi jika kau terus mengatakan sesuatu yang tidak berarti. Aku akan pergi." Ia bahkan sudah berdiri, dan setelah ini aku tidak berniat menahannya lebih lama lagi jika ia tidak ingin meneruskan percakapan ini.

"Mark Lee."

Itu kata yang singkat yang kutahu dapat menahannya. Dan itu memang benar adanya. Nyatanya ia kini menatapku dengan pupil yang membesar, menatapku hampir tak percaya. Mungkin terlalu terkejut dengan apa yang kukatakan. Itu benar-benar kartu as.

"Sulit menghadapi kenyataan yang ada." Komentarku, lebih kutujukan pada diriku sendiri.

Ia kembali duduk. Tidak lama kemudian, pesanan kami datang. Dua buah Americano dingin tersuguhkan diantara kami, memisahkan kami berdua dengan banyak alasan. Aku menyesap minumanku sebentar, ingin memberikan kesan bahwa diriku baik-baik saja. Namun sayangnya gadis didepanku ini tidak menyentuh minumannya sama sekali. Terus memandangku, meminta penjelasan dengan tatapan yang biru. Padahal kupikir dia akan menyukainya. Orang Korea mana yang tidak suka dengan Americano?

"Aku berusaha keras untuk membuatnya bertahan. Tapi itu tidak mudah seperti yang kubayangkan, aku tak bisa berpegang pada angan-anganku. Ketika dia hanya berpegang pada masa lalu."

Perasaanku kembali menjadi biru. Sialan. Kalau begini aku hanya bisa menertawakan diriku sendiri keras-keras.

"Aku disini bukan untuk menjatuhkanmu. Tapi kau yang memegang hatinya di telapak tanganmu. Dan itu menghancurkan dirinya." Dan diriku tentunya.

"Maafkan aku."

Senyumku semakin masam. Bukan karena permintaan maafnya lebih tepatnya. "Dia sekarat. Dia membutuhkanmu."

Matanya mendesak keluar dan aku bisa melihat pendar-pendar sinar yang kabur setelah itu. Aku tersenyum. Setidaknya aku tahu bahwa gadis ini tidak akan meninggalkannya lagi.

"Dia koma, beberapa hari ini ia sudah mendapatkan kesadarannya, dan hanya namamu yang ada dipikirannya. Aku harap kau mau mendampinginya. Ini alamat rumah sakit dan kamarnya. Kau bisa datang kapan saja kau mau."

Kudorong secarik kertas yang sudah kutulis alamat rumah sakit beserta ruangan dan nomor kamar inap Mark. Dia menerimanya, dengan tatapan yang sendu. Dan lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Seharian ini aku tersenyum banyak. Entah itu patut disyukuri atau tidak.

"Terima kasih." Gumamnya sembari memegang secarik kertas itu layaknya barang yang sangat berharga.

"Tentu. Kalau begitu urusanku sudah selesai." Aku berdiri sembari mengambil minumanku, menyudahi pertemuanku dengannya. Tidak ada lagi alasan untuk menahannya lebih lama lagi.

"Sekali lagi, terima kasih." Dia membungkuk padaku, dan aku lagi-lagi hanya bisa tersenyum padanya, kemudian menganggukan kepalaku. "Tak masalah." Ujarku santai, kemudian mendorong pintu untuk keluar.

"Tunggu!"

Aku menatapnya ingin tahu.

"Siapa namamu?"

Sudut bibirku semakin tertarik mendengar pertanyaannya.

"Nama tidaklah penting." Kumasukkan tanganku yang tidak memegang minuman ke saku celanaku. Aku menatapnya, tersenyum padanya. "Panggil saja aku, si bodoh."

Dan aku meninggalkannya, mengabaikan dirinya yang mungkin akan protes dengan jawabanku. Itu bukan urusanku sama sekali.

Aku Lee Donghyuck. Si bodoh yang jatuh cinta dengan orang bodoh yang masih mencintainya.

.

.

.

Gue buat apa, anjay?! /ditabok/

Gue lagi pengen galau sik. Lagian juga ini galaunya gak berat-berat amat kan yak? /digampol/

Fanfic kali ini keinspirasi ama lagunya Lee Ann Womack – The Fool, tebak kapan ini lagu rilis? Taon 97 cuy xD padahal gue lahirnya 98. Maklumin ajah yak :V gue sukak banget lagu jaman 90an , /abaikan/

Buat kalian yang baca, semoga harinya menyenangkan ^^