(1)
Growing Pains!
(c) WonAhHwang407
Naruto (c) Masasi Kishimoto
.
.
...
.
.
Bagiku dia adalah sosok yang sempurna. Aku sudah mengaguminya sejak sekolah dasar. Tak pernah aku berencana untuk selalu satu sekolah dengannya tapi nyatanya kami selalu satu sekolah hingga sekolah menengah atas. Akan aku katakan kembali bahwa aku tak pernah berencana untuk bekerja di perusahaan milik keluarganya tapi takdir malah memperkerjakanku di sana.
Semula aku terus bersyukur kepada Tuhan. Ia menyayangiku, salah satu caranya ia tunjukkan dengan memberikan jalan untukku selalu bersama sosok yang kukagumi itu.
Lelaki itu bernama Uchiha Sasuke. Jika aku sudah menyebutkan kata sempurna untuknya, tentu kalian akan bertanya, "Bagaimana dengan wajahnya?" maka aku akan menjawab, "Ia sangat tampan." Aku tidak berlebihan, kau bisa bertanya kepada karyawan di perusahaan ini atau siapapun orang yang pernah melihatnya, aku jamin semua akan menjawab sama sepertiku.
Ia juga pintar. Buktinya saat sekolah dulu ia selalu menjadi peringkat satu yang tak terkalahkan. Ia juga jenius, diumurnya yang muda ini ia sudah memimpin perusahaan besar ini. Dan juga ia sangat kaya raya. Betapa bahagianya malaikat saat ia terlahir ke dunia ini.
Tapi Tuhan memang adil. Tak ada manusia sempurna. Uchiha Sasuke memang tampan, pintar, jenius, dan kaya raya tapi ia memiliki sifat yang begitu dingin. Meskipun kukatakan itu adalah kekurangannya, banyak juga yang mengatakan sifat itu adalah benteng yang cocok untuk dirinya apalagi dengan tatapan tajam dari mata onyx-nya itu.
Sampai saat itu aku menyimpulkan bahwa diriku belum bisa menemukan kekurangannya.
Bagiku ia masih sosok sempurna.
.
.
.
Hari itu masih musim dingin. Uchiha Sasuke tiba-tiba mengirimiku sebuah pesan singkat. Ia menyuruhku datang ke cafe dekat kantor. Aku terlalu bahagia hingga melupakan mantel yang masih tersampir di sandaran kursi kerjaku. Malangnya nasibku, ternyata orang yang mengirimiku pesan belum datang. Akhirnya kuputuskan untuk menunggu tanpa mengiriminya pesan.
Uchiha Sasuke muncul 30 menit kemudian. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku mantelnya.
"Maaf, aku terlambat." Ujarnya lalu duduk di kursi yang ada di depanku.
"Tak apa," aku mencoba tersenyum semanis mungkin, "Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba menyuruhku datang ke sini?"
Ia melihatku dengan mata onyx-nya itu. Oh Tuhan, rasanya aku akan meleleh dengan tatapannya.
"Jadilah kekasihku."
Saat itu juga sosoknya menjadi lebih sempurna lagi di mataku.
.
.
.
Sejak sekolah dasar aku sudah memimpikan hal ini akan terjadi, namun aku tahu diri, bagiku itu hanya mimpi dan aku tak berharap banyak hal itu akan menjadi kenyataan. Terima kasih Tuhan, kau sudah membuat mimpiku menjadi kenyataan. Hari ini aku resmi menjadi kekasih Uchiha Sasuke.
.
.
.
Uchiha Sasuke tak sedingin yang aku bayangkan. Ia kadang tersenyum kepadaku—meski hanya menarik sedikit ujung bibirnya—ia juga begitu perhatian kepadaku seperti dengan cara menjemputku ke kantor dan mengantarku pulang, menemaniku berbelanja dan ia juga mengerti diriku yang suka menghabiskan waktu di rumah dengan cara tak memintaku untuk pergi jalan-jalan hingga larut malam atau menghabiskan waktu seharian di luar.
Aku semakin mencintainya.
.
.
.
Hubungan kami berjalan lancar. Sangat lancar—maksudku kami tidak pernah bertengkar atau pun berselisih paham. Uchiha Sasuke selalu mengiyakan apa yang kuminta dan kukatakan. Kadang aku berpikir ini terlalu datar tetapi jika aku berpikir lebih lagi ini saja sudah cukup. Harusnya aku bersyukur saja, banyak orang di luar sana yang lelah dengan pertengkaran mereka, kenapa aku harus menginginkannya?
.
.
.
Cobaan pertama datang. Uchiha Sasuke tak menghubungiku 3 hari terakhir ini. Tak ada telepon, sms atau pun e-mail. Ia menghilang seperti ditelan bumi. Bukankah yang aku inginkan dulu adalah perselisihan bukan pendiaman seperti ini. Tapi kenapa malah ini yang aku dapatkan.
.
.
.
Hari keempat aku melihat Sasuke di kantor. Ia berjalan beriringan bersama pemuda berambut kuning jabrik. Aku kenal lelaki itu. Dia adalah Naruto. Temanku saat sekolah menengah atas dulu. Setauku, ia juga teman Sasuke sejak kecil.
Mereka melangkah memasuki lift. Semula aku berniat satu lift bersama mereka. Sekalian menyapa teman lama. Lantas langkahku pun siap untuk kuayunkan. Namun, entah bagaimana niatku yang begitu besar menguap begitu saja. Menguap bersama senyum dari bibir Sasuke. Aku tak tahu Naruto bercerita apa kepadanya tapi aku bisa membaca satu kata dari gerak bibir itu. Satu kata yang mungkin saja membuat bungsu Uchiha itu menarik bibir untuk tersenyum. Satu kata yaitu Hinata.
Aku bukan tak suka Sasuke tersenyum. Aku menyukai senyumnya yang tampak menggemaskan di wajahnya. Hanya saja. Aku tak bisa mendeskripsikan rasa kecewaku. Karena senyum jenis itu tak pernah ia tunjukkan padaku. Meskipun senyum itu untuk adikku. Iya. Hinata adalah adikku.
Hari itu adalah pertama kali aku merasa kecewa kepadanya.
.
.
.
Aku memberanikan diri untuk meminta makan siang bersama Sasuke. Awalnya Sasuke tak bisa. Ia berkata sedang sibuk namun aku memaksa dengan mengatakan ini takkan lama. Maka ia pun menyetujuinya.
Kami memutuskan untuk makan siang di restoran dekat kantor. Benar saja. Kami menyantap makanan dengan sedikit basa basi. Lalu setelah itu kami segera kembali ke kantor. Sebelum keluar dari mobil aku menarik ujung jas Sasuke. Ia melihat dengan tatapan tajamnya. Meski merasa sedikit terintimidasi aku tetap memberanikan diri menatap matanya.
"Ada yang ingin kau katakan?" ujar Sasuke lalu kembali duduk di posisinya semula.
Aku mengangguk. "Bolehkah aku menyiapkan makan siang untukmu?" Sasuke masih melihatku dengan tatapan tajamnya, "Maksudku, aku menyiapkannya di apartemenkun sebelum aku berangkat kerja lalu siangnya aku bisa mengantarkannya ke ruanganmu."
"Hn. Silahkan."
Aku melihat tatapannya mulai melembut dan segaris senyum terukir di bibirnya.
.
.
.
Bangun pagi menjadi kebiasaanku. Aku juga tidak terlalu buruk dalam memasak. Jadi, saat aku berkata akan menyiapkan bekal untuk Sasuke aku sudah mempersiapkan waktu pagiku untuk memasak ekstra. Sasuke tidak suka manis dan ia maniak tomat. Oleh karena itu aku menambahkan banyak tomat di makanannya.
Setelah memasak aku bersiap-siap menuju ke kantor lalu mengirimkan satu pesan ke Sasuke berisi ucapan selamat pagi dan semangat menjalani aktifitas.
Tanpa sadar aku telah melupakan rasa kecewaku kepadanya.
.
.
.
Hubunganku dengan Sasuke semakin membaik. Apalagi setiap siang kami akan bertemu dan Sasuke akan memakan makan siang buatanku. Sasuke tidak mengatakan masakanku enak tapi ia selalu menghabiskan makanan yang aku buatkan untuknya. Ia tak suka mengumbar kata-kata. Aku tahu. Aku mengerti.
Suatu siang mengubah alur pikirku. Mengacak logikaku dan membangun sisi egois di hatiku. Saat adikku berdiri di depanku bersama dengan kekasihku. Aku mendengar Hinata memanggilku dengan ceria. Memelukku dengan erat karena kami sudah tak bertemu selama satu tahun. Hinata bergumam tentang betapa ia merindukan diriku. Suaranya jelas terdengar di telingaku tapi kata-kata Sasuke sebelum ia dan Hinata melihatku berdiri tak jauh dari mereka bergema di telingaku, "Hinata, kau terlihat semakin cantik." Dan aku tetap memandangnya dari balik punggung Hinata. Kekasihku mengatakan gadis lain cantik tetapi tak pernah mengatakan diriku cantik.
Aku merasa cemburu.
.
.
.
Aku masih menyiapkan bekal untuk Sasuke. Mengantarkannya ke ruangannya. Sasuke tetap menghabiskan makanan itu. Ia bersikap seperti biasa. Ia tak mengerti arti tatapanku saat bertemu Hinata. aku merasa terobati saat ia memintaku untuk makan malam bersama namun ia menghancurkan tembok obat yang baru saja kubangun. Ia memintaku untuk mengajak Hinata juga.
Aku pun mulai bertanya, ada apa dengan Sasuke dan Hinata?
.
.
.
Makan malam saat itu adalah yang pertama, lalu menghabiskan weekend bersamaku dan Hinata yang kedua, menonton adalah yang ketiga lalu rentetan permintaan Sasuke untuk bersama selalu dilakukan bersamaan dengan Hinata bersama kami.
Hinata sakit ia tanpa diminta datang ke apartemenku. Katanya untuk melihat calon adik ipar yang sakit tapi saat aku sakit ia datang pada hari ketiga.
Aku merasa Sasuke menginginkan sesuatu di balik semua ini. Aku tak tahu apa itu. Aku hanya tahu bahwa saat ini aku telah menekan satu tombol dalam pilihan hidup, yaitu growing pains.
.
.
.
To Be Continued..
.
.
Aduhh idenya pasaran banget ya wkwk..
Maaf banyak kekurangan dalam ff ini hehe..
Kalau berkenan kasi review ya hehe..
