Hei, pernahkah kau merasakan sebuah pertemuan yang seperti takdir?

Terdengar klise memang― tapi aku pernah merasakannya. Dimana saat itu darah terasa berdesir cepat di dalam tubuhmu, nafasmu tercekat seolah kehabisan pasokan oksigen. Setiap lurik tubuhmu serasa terpancang ke tanah menentang logika nalarmu.

Aku tidak tahu apakah pertemuan itu harus kusebut sebagai awal petaka― atau justru sebuah keberuntungan. Namun satu yang pasti adalah..

Aku tidak pernah menyesali pertemuanku dengan 'dia'.

(Kuroko Tetsuya)


.

Ayame

.

Presented by: Winter Cocoa

Warning: Boys Love , Alternate Universe, Alternate Timeline

Pair: Akashi Seijuuro x Kuroko Tetsuya

Genre: Romance & Hurt/Comfort

Disclaimer: I don't own anything. Kuroko no Basuke belongs to Fujimaki Tadatoshi, and I don't make any profit by this Fanfiction. All the similarities are coincidence.

.

Note:

Anglo-Japanese setting ( between 1851 to 1900 ) (1)

.

First Flower : The Fated Meeting

.


4 November 1855 ― Kyoto, Japan

Hari itu adalah hari yang cerah.

Dimana banyak orang tersenyum, berbincang ringan dengan nada ramah akan hari bahagia. Para pria mengenakan hakama mewah mereka, memulai obrolan tinggi tentang politik dan juga bisnis mereka dengan orang-orang dari negara Albion. Para wanita juga tak ingin kalah, jalinan halus sutra menjadi bahan pilihan terbaik untuk kimono mereka. Tren masa kini seperti gaya rambut, warna obi kimono dan sebagainya menjadi topic pilihan mereka.

Hiruk pikuk itu seakan mendatangkan kebahagiaan bagi setiap insan yang hinggap di hingar-bingar rumah itu. Namun tidak bagi seorang pemuda yang menjadi tokoh utama dalam acara itu.

Senyum secara konstan terpari di bibir tipisnya, namun hatinya berkelana. Kesadarannya mencari apa yang tidak bisa ia gapai. Dan iapun menengok pada jendela kecil disampingnya. Jendela yang selama ini menjadi pusat dunianya, sebelum ia bertemu dengan ia yang kini menjadi poros hidupnya.

Hari ini..

Tepat setelah setahun pertemuaannya dengan Akashi Seijuuro adalah hari pernikahannya.


.

-あやめ-

.


4 November 1854 ― Kyoto, Japan

Bunga krisan merah yang berjajar di sisi kiri, dengan sebuah kolam yang berisi 5 ekor ikan koi di sebelahnya.

Rerumputan yang terpangkas rapi di sebelah kanan depan .

Dan juga tembok tinggi abu-abu yang menjadi background dari semuanya.

Pemandangan yang sama hari ini. Seperti juga kemarin hari, dan kemarinnya lagi dan pasti besok akan begitu lagi.

Lagi

Dan lagi.

Manik mata sewarna batu safir itu berputar jengah diiringi oleh desah nafas empunya. Telapak yang menopang dagu kecil itu berpindah menuju tumpukan kertas buku dan perkamen yang ada di pangkuan pemuda itu.

Kuroko Tetsuya melirik malas pada deretan huruf sekecil kutu terbelah dua di tumpukan kertas setebal bata di pangkuannya. Oh ayolahsiapa sih yang tahan melihat kumpulan kanji dan hiragana membosankan itu? Bukan seorang Kuroko Tetsuya tentunya.

Terlahir sebagai anak bungsu dari keluarga bangsawan ternama― keluarga Kuroko yang bergelimang harta, rupanya tidak mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya. Apalagi dengan kondisi fisik yang lemah semakin menambah beban dirinya. Dilarang keluar kediaman dan hanya mengabiskan waktu seorang diri di sebuah bangunan terpisah dari rumah utama ― untuk ketenangan penyembuhan katanya, tentu membuat hari-hari Tetsuya terasa membosankan.

'Toh, keluarga Kuroko sudah punya kak Chihiro sebagai pewaris..'

Iris mata senada langit musim panas itu kembali bergulir ke pemandangan di depan jendelanya. Hingga tiba-tiba sesuatu terpental dari balik tembok itu dan bergulir mendekati jendela tempat Tetsuya berada.

Tetsuya mengerjap sekali, lalu dua kali. Mencoba mengkomperhensi benda misterius yang tergeletak di depan jendela kamarnya.

Sesuatu menyerupai― apa itu? Bola?

Tapi kenapa bentuknya aneh sekali…

Dan ketika benda itu mulai mengeluarkan asap barulah Tetsuya mulai sadar dari keterkejutannya. Ia beringsut panik dari posisi duduknya dan mundur kebelakang. Asapnya tidak begitu tebal sih― hanya seperti ketika kau membakar ubi dengan daun-daun kecil. Tapi tetap sempat usai keterkejutan Tetsuya, samar –samar manik matanya menangkap pergerakan di balik asap.

Yang pertama terlintas di benak Tetsuya saat melihat warna merah itu adalah Guren―bunga teratai merah yang mekar sempurna. Dimana setiap kelopak bunganya seperti jilatan kobaran api― begitu berbahaya namun indah dan menawan hingga kau tidak bisa melepaskan pandanganmu. Hingga tubuh yang lentur itu meloncat turun dan kembali menapak bumi dengan begitu ringan.

Manik beda warna― Merah dan emas itu berubrukan dengan biru lembut Tetsuya selama beberapa sekon― sebelum ia mengarahkan fokusnya pada bola misterius yang masih mengeluarkan asap kecil di depannya. Dengan santai pemuda itu melirik Tetsuya dari ekor matanya.

"Hei― kau yang menonton dengan wajah bodoh disana."

Suara itu terdengar penuh otoritas dan tekanan, membuat Tetsuya meneguk ludahnya takut-takut. Ditunjuknya dirinya sendiri dengan telunjuk― seakan tak yakin kalau pemuda bersurai merah itu berbicara padanya.

"Iya kau ― memangnya siapa lagi?" dengus suara itu kesal sambil menghela nafas jengah.

"Apa kau tidak punya air atau apa?"

Seakan tersadar dari trans yang entah sejak kapan membelengunya, Tetsuya dengan panik mengedarkan pandangnya di seluruh ruangan. Hingga ekor matanya menangkap sebuah teko berisi teh hijau di atas meja kecil. Dengan segera pemuda berpostur kecil itu mengambil teko itu dan menyodorkannya ke tamu tak diundangnya.

Pemuda bersurai crimson itupun mengguyurkan teh itu ke atas bola berasap hingga asap tak lagi keluar. Keduanya menghela nafas lega― yang entah sejak kapan mereka tahan, secara bersamaan. Merasa sadar dengan orang asing di depannya, Tetsuya menunjuk pemuda itu tepat di muka.

"Siapa kau? Pencuri ya?!" hardiknya tajam. Bola mata biru terang itu menyalang marah― dan sedikit takut kepada pemuda lain di depannya. Sebuah senyum miring meremehkan terpatri di wajah tampan pemuda itu.

"Lambat sekali responmu. Dan aku bukan pencuri― kalau aku pencuri aku sudah membunuhmu atau mengancammu untuk meminta harta. Bukannya memadamkan api yang berpotensi membakar rumahmu, bodoh." Ujar pemuda itu dengan nada meremehkan.

Ugh.

Tetsuya tertohok di tempat. Benar juga sih kata-katanya, tapi tetap saja― caranya bicara itu membuat sebal. Dan lagi, pakaian yang dikenakan pemuda bersurai merah itu sangat tidak biasa. Alih-alih mengenakan hakama seperti orang Jepang kebanyakan― pemuda itu mengenakan baju seperti orang-orang kulit putih dari 'Barat'.

Belum lagi sedari tadi ia merasa tersinggung dengan panggilan 'bodoh' yang dilontarkan pemuda itu padanya.

'Belum juga kenal, sudah mengolok-olokku! Orang mencurigakan kurang ajar!' batin Tetsuya geram.

"Namaku Kuroko Tetsuya, hei tuan 'bukan-pencuri-namun-bersikap-sangat-mencurigakan-dan-kurang-ajar' !" decis Tetsuya sambil melotot marah, yang malah terlihat lucu karena pipinya yang menggembung dan wajahnya yang memerah kesal.

Pemuda bersurai merah itu tertegun kemudian mulai terkikik geli. Terkekeh pelan pada awalnya, namun kemudian ia tertawa lepas melihat Tetsuya.

"A-Apa yang lucu?! Berhenti tertawa kataku!", yang malah membuat gelak tawa itu makin menjadi.

"Hahaha.. umph- maaf.. habis kau itu lucu sekali." Ucapnya sambil menahan tawa. Setelah sukses meredam tawanya, pemuda itu berjalan kearah Tetsuya yang memandangnya curiga kemudian mengulurkan tangannya.

"Namaku Akashi Seijuuro, salam kenal Tetsuya."

Agak kaget dengan― siapa tadi namanya, Akashi? Yang seenaknya memanggil nama kecilnya, Kuroko menyalami pemuda itu dengan kaku. Sebuah gestur tidak biasa sebagai tanda perkenalan bagi orang Jepang. (Tetsuya pernah membacanya di buku― kalau tidak salah itu cara orang 'Barat' sana untuk berkenalan. Sungguh aneh..)

Perhatian Tetsuya kembali teralih pada bola aneh yang tadi ia lihat. Ia menunjuk benda aneh itu.

"Hei.. itu apa?"

"Hmm? Oh itu kumparan, tapi sepertinya yang ini tidak berfungsi dengan baik. Dan yah, akhirnya hampir terbakar seperti yang tadi kau lihat…" , Akashi menghendikan bahunya sambil menghela nafas kecewa.

"Kum.. paran? Apa itu..?"

"Yep, ini salah satu komponen penting untuk alat komunikasi yang sedang kukerjakan. Suatu hari nanti aku akan membuat manusia yang terpisah jarak berkilo-kilo meter akan bisa berkomunikasi dengan suara!" (2), jawabnya dengan mata berkilat penuh determinasi.

"Itu pasti hebat sekali.. Pasti enak ya bisa memiliki mimpi sebesar itu..", lirih Tetsuya. Lautan biru cerah itupun berubah sendu dan surai biru lembut itu menutupi wajah sang empu― dan tentu saja pemandangan itu tidak lolos dari manik merah emas pemuda lainnya.

"Hei, selama ini kau selalu disini?"

Sebuah anggukan.

"Sendirian?"

Anggukan lain.

Akashi melihat pemuda di depannya dengan tatapan iba. Jangan salah sangka― ia bukan orang yang dengan mudahnya bersimpati pada orang lain. Tapi melihat pemuda di depannya itu tertunduk sayu ― ia seperti melihat sosok anak anjing kecil kesepian. Tidak mungkin kau mengabaikannya begitu saja kan?

Oke― cukup dengan topic yang mempertanyakan motif sang Akashi muda. Pokoknya ia ingin membantu Tetsuya. Titik.

"Kalau begitu, kau ikut aku sekarang."

Kalimat itu bukan permintaan, namun pernyataan bernada perintah. Manik sapphire itu membulat kaget.

"Eh..? Ap-Apa maksudmu? Hei, t-tunggu dulu..!"

Seruan sang pemuda biru muda dianggap angin lalu oleh pemuda yang lebih tinggi. Telapak tangan yang lebih besar menangkup diatas telapak tangan pucat Tetsuya. Mengajaknya bercumbu mesra dengan angin musim gugur dan kemudian menarik yang lebih kecil untuk naik memanjat pohon yang daunnya berubah kecoklatan.

Setelah mendaki pohon― dengan lincah di bagian Seijuuro dan dengan bergidik ngeri di bagian Tetsuya, mereka menapakkan kaki di atas dinding abu-abu yang kokoh. Mata dwi warna itu melongok ke bawah dan mendecih kesal.

"Ouch.. sial, tangga yang kupakai tadi rupanya jatuh." Decak Seijuuro.

Tanpa ragu pemuda bersurai merah itu melompat turun ke sisi di balik tembok, menuai tatapan kagum dari Tetsuya.

"Orang di rumahmu sering mengecek keadaanmu?"

"Eh? Tidak― mereka hanya datang pada saat jam makan satu jam lalu dan nanti pada saat jam makan malam. Agar aku tidak terganggu katanya.." diiringi dengus kesal diakhir. Sang Akashi muda tersenyum puas.

"Heh, bagus kalau begitu. Mereka tidak akan sadar kalau kau hilang selama beberapa jam."

"Memang apa hubungannya denga―"

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Seijuuro mengulurkan tangannya tinggi ke atas― seperti menyuruhnya untuk… oh tidak. Dia tidak serius kan?

"Tetsuya, lompat. Aku akan menangkapmu."

Tetsuya menggelengkan kepalanya cepat dengan wajah hampir memucat.

"Percayalah padaku."

Dua kata singkat itu entah mengapa meluluhkan dinding ketakutan Tetsuya, dan ia mendapati dirinya bergerak bagaikan auto pilot menuju ke dekapan Seijuuro di bawahnya. Ia baru saja bertemu pemuda ini beberapa menit lalu, dan dia tidak tahu pemuda yang kini menangkapnya dengan pendaratn mulus ini baik atau jahat. Namun insting dan kata hati Tetsuya berkata bahwa― ia bisa mempercayai orang ini.

Katakan Tetsuya naif― ia tidak perduli.

Ia hanya ingin memercayai pemuda yang kini menurunkannya dari dekapan secara perlahan dan tersenyum lembut padanya.


.

-あやめ-

.


"Jadi kau akan membawaku ke mana tuan 'bukan-penculik'? "

Seijuuro mendesah perlahan sambil tersenyum jengkel.

"Jangan panggil aku begitu, kan aku sudah memberi tahu namaku Tetsuya?"

"Baiklah, Akashi-kun.."

Seijuuro menaikkan satu alisnya heran― seakan ia tidak pernah dipanggil dengan nama itu.

"Panggil saja Seijuuro, teman-temanku di Inggris memanggilku begitu." Ujarnya dengan seringai.

"Tidak, kau sekarang di Jepang. Jadi aku akan memakai tata cara Jepang.", ucap Tetsuya dengan nada monoton dan wajah datar. Membuat Seijuuro hanya menghela nafas pasrah karena sifat keras kepala pemuda berparas datar itu.

"Kau tadi bilang 'teman-temanmu di Inggris'? Memangnya kau bukan orang Jepang, tapi namamu?" Tetsuya mengernyit heran sambil terus mengekor di belakang Seijuuro.

"Aku orang Jepang, tapi aku pindah ke Inggris saat umurku 4 tahun. Dan karena Inggris saat ini sedang menjalin aliansi dengan Jepang, orang tuaku berpikir bahwa ini kesempatan bagus untuk kembali ke tanah air kami. Jadilah kami pulang ke ibukota― Kyoto. (3)"

Kuroko mengangguk-angguk mengerti. Jadi karena itu pakaian yang dikenakan oleh Seijuuro berbeda dengan orang kebanyakan.

"Kita sudah sampai."

Tetsuya menengok ke depan Seijuuro, dimana di depannya berdiri sebuah gudang yang berada cukup jauh dari daerah pusat ibukota. Seijuuro menggeser pintu tersebut dan mempersilahkan Tetsuya masuk. Disana terdapat banyak sekali mesin-mesin, spare part, dan komponen yang Tetsuya tidak mengerti fungsinya.

"Selamat datang di tempat penelitianku. Sebetulnya ayahku menyuruhku bereksperimen di rumah keluarga Akashi, tapi aku tidak nyaman di sana. Jadi ayahku memberikan gudang ini sebagai gantinya."

Tetsuya melihat dengan tatapan berbinar ke seluruh penjuru ruangan. Hingga matanya terarah ke meja utama di ruangan itu. Terdapat sebuah alat dengan lilitan kawat dan corong aneh.

"Ini apa?"

"Oh.. ini prototype dari alat komunikasi yang kuceritakan tadi. Sebenarnya aku punya 2 prototype, tapi yang satunya kuuji coba di depan rumahmu tadi dan yah.. kau bisa lihat hasilnya."

Tetsuya mengangkat satu corong dan mengintip ke dalamnya― membuat sebuah senyum terkembang di bibirnya.

"Tetsuya coba kau pegang corong yang itu dan tempelkan di telingamu. Aku akan menggunakan alat pasangannya."

Dengan itu Seijuuro menuju ke arah meja lain di sisi ruangan itu, dan kemudian mendekati alat yang merupakan pasangan dari alat yang Tetsuya pegang. Ia kemudian menempelkan satu corong ke mulutnya dan mulai berbicara.

"Tes.. Akashi Seijuuro disini.."

Tetsuya terperanjat ketika terdengar suara Seijuuro dari corong yang ia dekatkan ke telinganya.

"Akashi-kun.. su-suaramu! Suaramu ada disini!"

Seijuuro terkikik geli melihat reaksi Tetsuya yang memekik kaget sekaligus kagum.

"Seperti inilah yang kumaksud Tetsuya, meskipun alat ini masih belum sempurna. Kadang suaranya keluar kadang tidak."

"Tetap saja! Ini sangat luar biasa!"

Dan begitulah, Tetsuya menghabiskan beberapa jam di gudang penelitian milik Seijuuro. Ia merasa senang, kagum, dan juga merasa― hidup. Sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan dalam dirinya. Hingga ingatan sepi tentang kamarnya yang sepi dan buku tua bertumpuk tidak lagi terlintas dalam benaknya.

Sampai saatnya Akashi kembali mengantar Tetsuya pulang ke rumahnya sebelum jam makan malam. Yang diakhiri dengan jari kelingking yang saling beruntai― dan janji untuk saling berjumpa esok hari.


.

-あやめ-

.


Sejak hari itu Seijuuro selalu menyempatkan dirinya untuk mengunjungi Tetsuya dan membawa Tetsuya untuk lebih melihat dunia luar. Kadang kala mereka akan berdiam di gudang penelitian milik Seijuuro, atau di hari lainnya mereka akan mengunjungi danau kecil di dekat gudang. Atau melihat bukit yang penuh dengan pohon momiji (4) yang memerah dengan sangat menawan― mengingatkan Tetsuya akan surai pemuda bermanik dwi warna yang mendampinginya.

Dan pada saat-saat itulah Tetsuya benar-benar merasa bebas. Walaupun kondisi fisiknya tak memungkinkan Tetsuya untuk berjalan terlalu lama― dan Seijuuro menjadi hafal di luar kepala atas batas toleransi fisik si pemuda biru. Walau pernah ada suatu masa dimana Tetsuya hampir kambuh penyakit pernafasan― asma rupanya, dan sempat membuat Seijuuro panik, Tetsuya merasa benar-benar bahagia.

Hingga suatu hari, ketika tak sengaja kaki Tetsuya terantuk batu dan ia nyaris saja mencium tanah jikalau tangan Seijuuro tidak sigap menangkap tubuh mungilnya― dan mengakibatkan jarak diantara wajah mereka begitu dekat.

Barulah kedua insan itu tersadar atas rasa yang telah berbunga di hati masing-masing.

Saat sensasi menyengat itu terasa ketika kulit mereka bersentuhan, tau ketika wajah mereka terasa begitu dekat sehingga mereka bisa merasakan hembusan nafas masing-masing. Semburat merah jambu tipis mulai terjalin di pipi mereka berdua. Melukis rona merah menyala yang memacu degup jantung menjadi irama tak stabil, dan rasa panas menjalari tubuh mereka ketika mereka menjauhkan tubuh masing- masing. Menciptakan jarak untuk menjaga mereka dalam batas waras menurut nalar dan logika.

Hingga kemudian Tetsuya melirik tersipu dengan ekor mata, mendorong sejengkal keberanian dalam impuls di pikirannya untuk mencicipi dan mengecap anomali yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Sebuah gelitik di dalam diri yang masih belum mereka ketahui apa namanya.

Tangan pucat itu terulur perlahan, menyentuh ujung kemeja sang merah. Melirik dengan pipi serona apel siap panen di musim semi, bibir memerah menggoda― mengoyak batas resisitensi akal sehat sang emperor merah. Menarik sang merah untuk melangkah, sebuah ajakan non verbal.

Ah― persetan dengan resistensi.

Kali ini biarkan mereka mengikuti naluri alami.

Hingga akhirnya kedua belah merah itu bertemu dalam satu panggut manis yang tersinkronisasi. Dimana setiap lumat dan geliat merupakan gerak dimana hanya mereka yang tahu tata urutan dan caranya. Ketika manis aroma vanili bercampur dengan kayu manis― rasa favorit sang emperor untuk menemani makan paginya, bersama sup tofu. Berpadu menjadi sebuah adiksi yang memabukkan.

Gerakan kedua bilah merah itu inonsen sebenarnya, tak ada panggut lidah atau lain sebagainya. Hanya kedua belah yang saling menempel― namun terasa begitu sempurna.

Dan saat kedua bibir itu berpisah, mereka saling terhanyut dengan warna masing-masing.

Ya.

Jerat afeksi kini ada di antara mereka.

Tanpa mereka sadari apa yang akan menanti mereka setelah ini.


.

To Be Continued..

.


Note:

(1) Anglo-Japanese: Sebuah era sekitar tahun 1851 sampai sekitar tahun 1900 dimana Inggris mulai memperkenalkan budayanya ke Jepang dan mulai menjalin hubungan dengan kekaisaran Jepang.

(2) Saat itu belum ada teknologi yang namanya telepon. Alexander Graham Bell baru menemukan teknologi telepon tahun 1876 di Amerika Serikat. Seijuuro disini merupakan salah satu peneliti muda yang antusias ingin menciptakan telepon karena pengaruh pendidikan dan ilmu pengetahuan yang sudah cukup maju di Inggris.

(3) Kyoto pernah menjadi ibukota Jepang sebelum Edo― atau sekarang dikenal sebagai Tokyo. Kyoto menjadi ibukota dari tahun 794 sampai 1868, sebelum tahun 1868 kaisar memindahkan ibukota Jepang ke Edo.

(4) Momiji: Salah satu pohon khas Jepang, yang warna daunnya berubah merah atau kuning kecoklatan di musim gugur. Kalau saya bilang sih kaya daun Maple.


Not so important Author Note:

Halo para penghuni Fandom Kuroko no Basuke Indonesia! Saya Winter Cocoa yang biasanya selalu main di fandom Kuroko no Basuke Inggris dan sekarang coba-coba nulis di Indonesia setelah hiatus hampir setengah tahun. Semoga cara saya menulis nggak karatan dan malah menyampah disini.. ^ _ ^ 'a

Dan ditengah stress kuliah yang menumpuk, terlahirlah benda ini. Dan iya, benda ini two atau three shot jadi nggak akan panjang-panjang banget. Saya nggak kuat kalau nulis panjang-panjang. Terinspirasi nulis ini gara-gara lagunya Hatsune Miku yang "Senbonsakura", tapi entah kenapa jadi nggak nyambung sama lagunya. Hahaha.. #ketawa garing

Saya sebenarnya agak bingung menentukan ending fanfic ini, tapi yah.. kita lihat saja nanti endingnya bakal happy end atau sebaliknya. Akhir kata, saya mohon kritik dan sarannya lewat kotak review di bawah. Jaa.. Sampai jumpa di chapter depan!

.

-Cocoa-