WARNING: Boy's Love—BL, slash, shonen-ai, atau apalah istilah yang menurut Anda baik adanya. Penggunaan sudut pandang akuan (Kasamatsu) sebagai tokoh utama (sudut pandang orang pertama/Kasamatsu), dan diceritakan dengan gaya flashback. AU/Alternate Universe. Mungkin tergolong pendek untuk ukuran multichapter. Dan maafkan kalau ada typo.

NOTE: Cerita ini mengambil seting setelah kelulusan GoM dari SMA. Anggap saja bahwa mereka menganggap basket zaman SMA itu hanya sekedar untuk senang-senang, dan sadar kalau realita itu keras, sehingga memutuskan untuk kuliah daripada jadi pebasket tidak terkenal #heh Dan terakhir: DON'T LIKE, DON'T READ!


Hari ini adalah sebuah hari kelam, dengan hujan sangat deras di suatu malam musim gugur. Namun aku tak ambil pusing—fokusku hanyalah layar laptopku yang menyala terang, menampilkan program pengolah kata di layar LED tipis.

Di sampingku ada secangkir kopi yang tinggal separuh, sudah dingin karena kuabaikan sedari tadi. Namun sekarang bukan waktunya untuk mengurusi hal remeh semacam itu—aku butuh fokus ke hal lain. Dosenku memberi tugas, dan deadlinenya besok. Bisa dibayangkan betapa sibuknya aku saat ini. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi hal ini tidak bisa ditunda-tunda lagi. Menjadi seorang murid semester enam membuat hari-hariku terasa sibuk. Masih ada klub, dewan mahasiswa, dan segala macam hal. Sehingga, terpaksa kupaksa tanganku mengetik tanpa henti; kupaksa otakku memikirkan kata-kata secepat mungkin.

(Bayangkanlah, otak yang berkemampuan rata-rata ini dipaksa berpikir dengan kecepatan cahaya.)

Sudah tiga jam berlalu sejak aku mulai mengerjakan tugas karya tulis Bahasa Inggris ini, dan aku menemukan diriku berhasil mengetik 4.500 kata hanya dalam 180 menit. Mengesankan, entah mengapa aku bangga dengan hasil kerjaku ini—walau dikerjakan dalam keadaan terdesak.

Dan pada saat itulah aku mendengar suara ketukan pintu.

Desahan napas pendek keluar dari mulutku, disertai dengan beberapa gumam sebal. Siapa? Tanyaku dalam hati, mencoba menerka-nerka siapa gerangan orang yang berada di luar. Siapapun dia (walau Moriyama sekalipun), orang itu datang dalam saat yang tidak tepat. Hanya 1.500 kata lagi sebelum karya tulisku selesai. Ini adalah saat krusial, di mana nilaiku dipertaruhkan di sini.

Awalnya, aku sudah berniat untuk mengusir orang itu apapun yang terjadi. Berbagai skenario sudah tergambar dalam benak, apapun yang terjadi… dia harus pergi. Aku tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang, mengobrol, bahkan untuk menonton televisi sekalipun. Tidak bisa, kalau aku ingin mengejar cumlaude. Sehingga aku pun membuka pintu dengan ogah-ogahan.

Namun, semua skenario yang kususun lenyap saat aku melihat dengan mata kepalaku sendiri siapa sosok yang berada di depan pintu itu. Bagaikan debu, skema tadi lenyap seolah digerus hujan deras.

"… Senpai..."

Pada malam berhujan di musim gugur, Ryota Kise muncul di hadapan pintu apartemenku. Basah karena hujan, dan raut mukanya sedih—senada dengan kekelaman yang dinampakkan oleh cuaca di luar sana. Muncul kebingungan dalam benakku, dan juga rasa terkejut. Kejutan yang tidak disangka-sangka, pun tidak diinginkan. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Kise di apartemenku. Aku tidak tahu mengapa dia datang ke sini di malam hari yang berhujan lebat. Dan aku juga tidak tahu apa yang membuat raut mukanya nampak begitu sedih—tidak, atau tepatnya seperti keceriaan yang biasa dimiliki olehnya mendadak sirna.

Namun aku sudah bisa menebak apa penyebabnya.

"Masuklah," ujarku padanya dengan ketenangan yang bahkan tak disangka-sangka oleh diriku sendiri. Tetapi Kise tetap tak bergerak semilipun dari tempatnya berdiri. Alih-alih menuruti perintahku, dia hanya mematung di sana, dan kulihat tubuhnya bergetar. Aku ingat pemandangan ini. Sekali lagi, aku jadi teringat pada masa SMA.

Pemandangan Kise di kala tengah menahan tangis agar tak tumpah dari pelupuk matanya.

"Kasamatsu-senpai…."

Tatkala mengucap namaku, sekonyong-konyong air mata membanjiri pelupuk mata Kise, dan mengalir deras menuruni pipinya. Tangis itu bersatu dengan wajahnya yang dingin dan basah karena hujan, kemudian membentuk sungai di wajahnya yang tampan. Aku memandangi sosok Kise dengan penuh rasa kasihan yang tak terkatakan. Ini buruk. Namun, aku merasakan sensasi déjà vu; dalam aspek ini, Kise tak berubah—masih seorang bocah cengeng yang terjebak dalam tubuh pemuda 18 tahun. Sekali lagi aku berkata padanya, namun kali ini dengan lebih lembut. Kutepuk pundaknya pelan. "Masuklah, Kise…"

Tetapi sekali lagi Kise masih menolak. Dia menggeleng pelan. "Senpai…," dia berkata lagi, kali ini dengan bisikan pilu, "A-A-Aomine… cchi, Senpai…"

Mendengar kata-kata itu, aku merasakan amarahku mendidih. Tanpa sadar, aku menggertakkan gigiku. Dan—tahu apa?—tugasku yang seharusnya sangat penting, mendadak terasa begitu remeh saat aku melihat tangis Kise makin deras, sederas hujan di luar. Dalam hati aku merasa bertanggung jawab, namun yang lebih daripada itu: aku merasa sangat marah. Tak hanya marah pada Daiki Aomine, namun juga pada diriku sendiri. Seolah-olah, Kise yang menangis separuhnya adalah kesalahanku.

Kurasakan dorongan yang teramat sangat untuk maju, dan memeluk Kise dalam sebuah dekapan erat.

Dan aku memang melakukannya.

Tubuhku terus meneriakkan larangan. Seharusnya ini tidak boleh, seharusnya aku hanya menepuk pundaknya pelan layaknya seorang senior terhadap juniornya. Namun tubuhku bergerak tanpa disuruh. Segera aku merasakan Kise membalas pelukanku. Dan ia menangis sejadi-jadinya.

Namun, di balik tangisan itu, kurasakan sesuatu yang aneh. Seperti dalam diriku, ada satu sisi yang merasa bahagia, sedang sisi yang lain berempati dan merasakan kesedihan yang sama seperti Kise.

Tangisan Kise, yang seharusnya dingin… anehnya terasa hangat di pundakku, seolah tengah melelehkan beban yang kubawa selama ini.


A Heart that Fix Everything

By: DeBeilschmidt

Kuroko's Basketball © Fujimaki Tadatoshi
I'm not making any profit from this fiction.


Di awal tahun ketiga dalam masa kuliahku, entah mengapa aku menemukan diriku menguap di pagi hari pertama. Sakura dengan mekar dengan indah di depan gedung auditorium. Sayangnya, aku bukan orang yang sentimentil, sehingga kulewatkan fakta itu begitu saja, dan menganggap mekarnya sakura itu sebagai sebuah hal yang sama yang terus berulang setiap tahun. Sesuatu yang konstan, walau anehnya banyak orang yang terus mengagumi hal itu.

Kurasakan sentuhan pelan di pundakku. Aku menoleh, dan menemukan temanku, Moriyama, tersenyum. "Melamun?" tanyanya.

Dengus pelan kuberikan sebagai jawaban. "Tidak," kataku, "hanya mengamati saja."

Dia melihat ke bawah, melalui jendela kelasku yang berada di lantai tiga. Dari sini, halaman auditorium terlihat dengan jelas. Di bawah sana, aku bisa melihat adanya kerumunan anak-anak baru yang siap untuk menghadapi masa orientasi. Tapi, tetap saja—untuk ukuran kerumunan, harus kuakui bahwa tahun ini memiliki ukuran kerumunan yang cukup besar. Seakan-akan tidak hanya mahasiswa baru saja yang berkumpul, tetapi juga mahasiswa dari semester yang lebih tinggi. Ada kebingungan dalam benakku, tentu saja, walau kuabaikan rasa bingung itu.

Kami berdua memandangi kerumunan dalam waktu yang cukup lama, tanpa berbicara sama sekali. Kalau melihat gelagatnya, entah mengapa aku memiliki firasat bahwa Moriyama tengah memindai kerumunan—mencari, gadis mana yang cukup manis untuk dijadikan pacar pertamanya. Menyedihkan.

"Kau tahu…," Moriyama berkata, memecah keheningan di antara kami, "Kudengar Kouhai kita yang manis itu juga masuk ke universitas ini."

"…Apa?"

Aku terperangah mendengar perkataan Moriyama. Aku memiliki firasat buruk mengenai hal ini. Namun aku tak ingin berburuk sangka. Kutatap Moriyama lekat-lekat, memastikan terlebih dahulu sebelum menyimpan kekhawatiran yang kelewat hiperbolis. "Siapa yang kau maksud dengan 'Kouhai kita'?"

Moriyama mengeluarkan cengiran bahagia. "Ayolah, masa' kau tidak tahu? Kouhai kita, Kasamatsu! Kouhai sekaligus ace tim basket SMA Kaijou—Ryota Kise! Kau tidak tahu apa-apa mengenai hal ini?"

"…."

Untuk sesaat, aku tidak tahu harus berkata apa. Bahkan, kata-kata seolah mendadak lenyap dari kepalaku. Aku bahkan nyaris tidak percaya dengan perkataan Moriyama. "…Kau serius?"

"Sangat," jawabnya mantap. Dia menarikku, membuatku lebih dekat pada jendela, lalu menunjuk ke arah kerumunan yang teramai. "Lihatlah, ini bahkan belum dimulai dan dia sudah dikerumuni banyak gadis! Tidakkah ini mengingatkanmu pada masa SMA dulu, eh?"

…. Sesungguhnya, aku masih tak percaya. Namun mataku telah memastikan semuanya, dan memberitahuku bahwa semua ini bukan mimpi. Aku melihatnya sendiri, Ryota Kise nampak begitu menonjol dengan tubuhnya yang tinggi dan rambut pirangnya. Ada senyum cerianya yang biasa. Seperti kata Moriyama: layaknya nostalgia masa SMA. Andai saja ini komik, barangkali aku sudah menjatuhkan rahangku. Pemandangan itu membuatku bingung. Tak bisa berkomentar. Kata-kata menguap dalam sekejap.

Rasanya sangat sulit dipercaya sehingga sejenak kupikir ini adalah mimpi.

Moriyama kemudian bersandar di punggungku. "Lihat?" ujarnya, "Sepertinya ini akan menjadi sebuah hal yang menyenangkan, bukan? Kita berempat—aku, kau, Hayakawa, dan Kise; kita semua akan berkumpul lagi seperti masa SMA dulu!"

"… Ya." Ada jeda dalam perkataanku sebelum aku bisa mengiyakan apa yang dikatakan Moriyama. Berkumpul lagi…, ini berarti aku harus menghadapi seorang Ryota Kise, yang sengaja kuhindari sejak kelulusan SMA. Saat masuk kuliah, aku memiliki sebuah resolusi. Namun ada firasatku yang mengatakan dalam hati, bahwa resolusi itu akan hancur jika aku kembali lagi berdekatan dengan Kise.

"Oh, lihat! Lihat!" seru Moriyama persis di sebelah telingaku, "Kise nampaknya menyadari ada kita di sini!"

Mendengar kata Midorima, kepalaku refleks memandang lagi ke arah Kise yang sedang melambai ke arah kami. Aku tertegun, dan memandang Moriyama, yang kini sedang balas melambai padanya. "O-Oi! Apa yang kau lakukan?!" tanyaku.

"Menyapa Kise, 'kan?" balasnya, "OII! KISE!"

Teriakan Moriyama sama sekali tak bisa kucegah. Yang bisa kulakukan hanyalah terdiam, dan pura-pura merasa tidak tertarik. Namun, kemudian Moriyama kembali menatapku dengan pandangan aneh, seolah-olah aku melakukan sesuatu yang salah. "Apa?" Aku bertanya, bersikap pura-pura tidak mengerti apa maksud dari tatapannya.

"Kau tidak mau menyapa junior kita tercinta, Kasamatsu? Ada apa denganmu?"

Dia menyadarinya. Mendadak seisi kepalaku merasa panik, sehingga tanpa kusadari, keringat dingin sudah menetes di wajahku. Apa aku seaneh itu? Apa yang harus kulakukan? Kulempar rentetan pertanyaan pada diriku sendiri yang—tentu saja—tak kuketahui jawabannya. Hingga akhirnya, aku sampai pada sebuah keputusan, yakni berusaha bersikap 'senormal mungkin'. Kugelengkan kepala, dan mengangkat bahu. "… Mu-Mungkin nanti saja."

Entah apa yang seperti itu bisa dikatakan sebagai 'senormal mungkin'.

"Hmm…." Moriyama menatapku intens, seolah berusaha mengorek-ngorek kejujuran dari dalam diriku dengan cara menganalisa gerak-gerikku. Namun ia hanya mendesah pelan, dan memberiku sebuah senyum tipis, "Aku lupa kalau dulu kalian sangat dekat."

"…Hah?" Sejenak aku terdiam. Tak mengerti apa maksud perkataan Moriyama. Mungkin, karena isi kepalaku yang sudah panik lebih dulu, benakku mulai memikirkan apakah Moriyama mengetahui kejadian dua tahun yang lalu, atau…

"Maksudku, karena kalian dekat, jadi kukira kau akan menyapa Kise dengan cara yang lebih personal, begitu?"

Syukurlah, ternyata bukan. Kubiarkan tawa pelan keluar dari mulutku, namun yang terjadi adalah, tawa itu terdengar sangat canggung. Seolah terlalu dibuat-buat, dan terasa datar. "Hahah—ya, begitulah."

"Apa kata-kataku ada yang salah?"

"Tidak…," jawabku. Dan sebelum Moriyama sempat berkata-kata, aku sudah berpaling dari jendela, dan kembali ke tempat dudukku. Aku mengerling sejenak ke arahnya, "Kau tidak mau duduk? Sensei sebentar lagi datang."

Di wajah Moriyama masih terlihat adanya kebingungan. Tetapi dia hanya diam, kemudian mengiyakan. "Baiklah…"

Aku tersenyum. Setidaknya, selesai sudah masalah untuk satu hari ini. Pada waktu-waktu berikutnya, aku selalu menghindar saat Moriyama mulai membahas mengenai Kise. Kutunggu sampai dia benar-benar menyerah, dan untuk sementara waktu, benakku mulai menyusun rencana.

(Dan seandainya dosenku tidak menegur, aku tidak akan tahu, kalau saat aku melamun, aku selalu melihat ke arah jendela.)


Dua minggu berlalu sejak aku kembali melihat Kise dengan mata kepalaku sendiri setelah dua tahun berselang. Hari masih pagi, dan aku masih berusaha bangun dari futonku yang empuk dan hangat sejak wekerku berbunyi sepuluh menit yang lalu. Sekujur tubuhku seolah meneriakkan kemalasannya untuk beraktivitas, sehingga awal hariku kulewati dengan tempo sepelan lagu balada.

Sayang sekali bila akhir minggu harus dilewati dengan pergi ke universitas, begitulah pikirku, saat aku tengah menatap bayanganku sendiri yang tengah menggosok gigi di cermin kamar mandi. Gosok gigi itu menyenangkan, tidakkah kau berpikir mengenai hal yang sama denganku? Tatkala kau menggosok gigi, ada dua alternatif yang akan terjadi: satu, kau akan mengosongkan pikiranmu dan hanya fokus pada suara sikat yang beradu dengan gigi, atau, dua, kau akan mendapati dirimu melamun seiring dengan suara gosokan sikat dan membiarkan pikiranmu tenggelam dalam semua hal acak yang mendadak terlintas. Aku sendiri tidak bisa memilih antara dua opsi tersebut—semua akan terjadi dengan sendirinya. Namun, kali ini aku mendapati diriku tengah memikirkan sesuatu yang sudah lama tak muncul ke permukaan.

Kata kunci: aku, Kise, Daiki Aomine, remaja labil.

Sudah bisa ditebak? Oh—semoga saja tidak. Aku tak berharap ada orang lain yang tahu mengenai hal itu. Setidaknya, bukan sekarang. Aku tidak bisa, dan juga karena ada perasaan sakit yang aneh dalam relung dadaku jikalau aku memaksa otakku untuk memutar kembali memori semasa SMA dulu. Terlalu sentimentil, barangkali banyak orang akan berkomentar begitu. Namun, aku tak bisa mengelak ataupun menyangkalnya—segala mengenai kenangan yang menyakitkan, terutama mengenai dia, akan membuatku bersikap melankolis dan berubah menjadi sentimentil layaknya tokoh dalam drama-drama roman.

Dari dalam kamar mandi, aku bisa mendengar suara ponselku berdering. "Tsk," aku berdecak pelan, agak kesal rasanya karena waktuku diinterupsi. Namun aku buru-buru keluar, dan melihat bahwa ada tanda satu panggilan tak terjawab, dari seniorku yang jadi ketua panitia pengurus acara outbond mahasiswa baru. Membaca hal itu, tak ayal membuatku melepas desah napas panjang. Kuambil kamera dari atas mejaku, dan aku berangkat.


Aku masih sibuk mengabadikan gambar dari balik lensa kamera DSLRku tatkala aku merasakan ada sebuah tepukan di pundakku. "Wah, seksi dokumentasi kita memang terlalu rajin~" Komentar orang itu, dan tanpa berbalik pun, aku sudah tahu siapa sang pemilik suara baritone yang menyapaku.

Dengus tawa keluar dari mulutku. "Mau bagaimana lagi? Ini tugas," tukasku. Kemudian aku berbalik, dan menatap sosok Moriyama yang terlihat begitu santai. Kuperhatikan dirinya, dari atas sampai bawah; tidak ada tanda-tanda kelelahan karena berada di bawah teriknya sinar matahari selama berjam-jam. "Kau sendiri? Aku iri dengan kalian yang bergabung di unit P3K, sepertinya santai sekali."

Moriyama hanya tersenyum mendengar sindiranku. "Makanya, kubilang juga apa—lebih baik kau bergabung dengan unit ini daripada masuk ke seksi dokumentasi yang harus bepergian ke sana-kemari. Tuh, lihat hasilnya, kau sendiri yang kelelahan."

Jawaban yang sangat khas Moriyama, kalau aku boleh berkomentar. "Enak saja," aku membalas ejekan Moriyama dengan melayangkan sebuah tinju pelan ke lengannya, "Aku tidak mau dibilang pemalas oleh orang lain."

"Heh—jadi kau mengataiku pemalas?"

"Hmm… sejauh pengamatanku, sih… iya."

"Kurang ajar!" Moriyama berteriak, dan aku hanya tertawa saja melihat tingkahnya. Sudah biasa terjadi seperti ini di antara kami—saling mengejek yang berujung dengan sedikit kekerasan. Namun, ya sudah, hanya itu. Hubunganku dengannya tak lebih dari sebatas teman. Moriyama dengan segala prinsip hidupnya yang konyol, hingga saat ini masih bersikeras untuk mendapatkan pacar paling baik dan cantik sejagat raya. Sedangkan aku….

"Oh iya, Kasamatsu…"

"Apa?"

"Itu," ia menunjuk kamera DSLR yang tergantung di leherku, senyum nakal bermain-main di wajahnya, "Siapa saja yang sudah kaufoto?"

Aku mengangkat bahu. Dengan pertanyaan itu, aku otomatis membuka gallery kameraku, dan mulai melihat-lihat isinya. "Entahlah—terlalu banyak, aku sendiri lupa. Yang jelas aku sudah memotret pos satu sampai pos tiga. Lima pos sisanya barangkali setelah makan siang," jawabku. Tanganku masih sibuk memencet-mencet tombol 'next', agar bisa melihat dari foto satu ke foto berikutnya.

"Hoo…." Moriyama hanya mengangguk-angguk saja. Kemudian dia mendekat ke arahku, dan melirik isinya. "Kau sudah memotret Kise?"

Seketika gerakan tanganku terhenti tatkala mendengar pertanyaan itu dilontarkan. Kucoba untuk menyembunyikan kegugupanku dengan terus menekan tombol 'next'. "Umm… Belum. Kenapa?"

Dia hanya menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Hanya, aku berpikir kalau kita pasti bisa menjual foto Kise pada para penggemarnya. Lumayan, bukan? Pikirkan berapa banyak uang saku kita bulan ini…"

Aku hanya diam sementara Moriyama terus mengoceh mengenai uang yang bisa ia dapatkan dari menjual foto Kise. Setiap kali mendengar dua silabel itu terucap dari mulutnya, ada dorongan dalam dadaku, yang seolah memaksaku untuk mengingat kembali segala kejadian yang ingin kulupakan. Aku ingin lupa, tapi tak bisa. Nampaknya terlalu banyak perasaan yang terlibat saat aku mengalami kejadian tersebut. Tanpa suara, aku menendangnya. Tentu saja kemudian Moriyama mengaduh dan protes. Kudorong sosoknya yang jauh lebih tinggi dariku itu untuk menjauh, dan memberi perintah. "Sana, kembali ke tempat unitmu berada."

"Aw~" Moriyama tersenyum jahil padaku. Seolah memprotes dan membuatku sebal di saat yang bersamaan. "Sejak kapan kau jadi kejam begini, Kasamatsu?"

"Sudah, pergi sana!"

"Iya… Iya…," ujar Moriyama malas. Ia melambaikan tangan saat pergi, dan kini aku kembali sendiri. Refleks, aku memijat pelipisku. Bagaikan ranjau, pembicaraanku dengan Moriyama tadi seolah membuka pelatuk rasa sakit di dalam otakku. Selalu saja begini, saat ada yang membahas mengenai orang-dengan-nama-terdiri-dari-dua-silabel itu. Yang lebih sial, aku tidak menyangka hal ini akan terjadi di hariku yang malas, di bawah sinar matahari yang panas.

Aku kembali duduk di atas rerumputan, memandang para mahasiswa baru yang tengah bekerja keras di pos tiga di balik lensa kameraku. Ekspresi bersemangat yang tertera di wajah mereka sangat bagus, aku tidak tahan untuk tak tersenyum saat mengabadikan tiap momen yang ada. Klik. . Suara itu terdengar pelan saat aku menekan shutter kamera. Aku masih fokus pada pemandangan menyenangkan di hadapanku, sehingga merasa sangat kaget saat mendadak pemandangan di layar berubah gelap. "Hei! Apa-apaan—"

"Kasamatsu-senpai!" Suara sapaan Kise membuatku membatu. Dalam beberapa tarikan nafas, aku tidak bisa berpikir apa-apa untuk membalas sapaannya. Bahkan aku sempat terkaget saat melihat sosoknya berada tepat di sampingku. Alih-alih membalas sapaan ramah itu dengan senyuman, aku tak menyangka bahwa ada bentakan yang meluncur keluar dari mulutku.

"Apa yang kau lakukan di sini?!"

Kise nampak murung saat aku membentaknya. "Eeeeh! Kenapa kata-katamu jahat sekali, Senpai? Aku hanya ingin menyapamu!"

"Seharusnya kau berada di antara anggota kelompokmu, bukannya menyapaku," balasku dengan tenang. (Sampai aku sendiri bingung dengan ketenangan suaraku) "Lebih baik kau kembali ke kelompokmu, daripada dimarahi oleh panitia."

Tetapi Kise tidak bergeming walau sudah mendengarkan peringatanku, dia hanya menatapku dengan wajahnya yang masih seperti dulu—tidak berubah, masih tetap tampan, atau tepatnya… makin tampan. Ada senyum bermain di matanya yang sewarna madu, dan aku mengernyitkan alis. Aku kenal kebiasaan ini—biasanya Kise akan meminta sesuatu dariku.

"Apa yang kau mau, Kise?"

Tanpa kuduga-duga, saat aku bertanya, Kise merespon dengan senyum lebar di wajahnya. Tambahkan sinar matahari dan efek bunga di belakangnya, pasti dia akan terlihat seperti dewa matahari yang sedang terlalu senang. Aku masih menanti, dan Kise justru mengeluarkan ponselnya. Ia nampak seperti tengah mencari-cari sesuatu. Selama beberapa menit, ada keheningan canggung yang membuatku merasa aneh. Di depanku, Kise nampak sibuk dengan ponselnya. Di sisi ini, aku, hanya memandang Kise dengan pikiranku terus bertanya: Apakah aku harus pergi dari sini? Apa aku harus menunggunya? Apa aku harus mengatakan sesuatu untuk memecah keheningan? Namun, selama aku berpikir, Kise nampaknya sudah menemukan apa yang ia cari, dan ia menunjukkan layar ponselnya tepat di depan wajahku.

"Senpai," panggilnya, "Apakah e-mailmu masih yang ini?"

"…Hah?"

Aku menatap layar kecil di hadapanku baik-baik. Membaca isinya, kemudian mencernanya. Semua huruf kanji yang familiar, huruf-huruf yang familiar dalam layar digital di hadapanku…

Oh. Rupanya itu detail kontakku yang nampak di layar ponsel milik Kise. Aku kembali membacanya, kemudian mengamati alamat e-mail yang tertera sana. Kise menanti dengan senyum masih berada di wajahnya, kemudian aku memberi jawab berupa anggukan pelan padanya. "Iya, ini alamat e-mailku. Kenapa?"

Nampak sekali kelegaan di wajah Kise. Ia pun menggeleng bersemangat hingga surai pirangnya ikut berayun pelan. "Syukurlaaah!" ujar Kise keras, "Kupikir Senpai sudah ganti alamat e-mail! Habis, aku sama sekali tak pernah dengar kabar darimu! Kalau begitu, nanti akan kukirimi e-mail! Terima kasih, Kasamatsu-senpai! Aku mau kembali dulu ke kelompokku! Bye bye!"

Aku belum sempat berkata apa-apa. Kise terlalu bersemangat dengan kata-katanya sendiri, dan ia tak memberiku kesempatan untuk merespon. Saat dia pergi dengan senyumnya yang bak matahari dan lambaian tangan yang ditujukan padaku, aku hanya bisa melongo dan membalas dengan lambaian pelan.

Tak ada satupun dari hal ini yang bisa kumengerti pada saat itu. Kehadiran Kise yang begitu tiba-tiba dan mengejutkan selalu saja membuatku tak bisa berpikir jernih. Namun kesibukanku pada hari itu membuatku berhenti memikirkan Kise. Hanya aku, dan kameraku yang mengabadikan momen selama satu hari penuh. Tidak ada Kise. Tidak ada.

(Ada...)


Pada malam hari, ponselku berdering. Ada sebuah pesan masuk, dan isinya dari Kise.

Kemudian ada satu bagian dari diriku yang mengatakan bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang tak bisa terelakkan. Aku mengepalkan tangan saat membaca nama Kise di layar, dan kembali lagi ada perasaan bersalah yang menyergapku entah dari mana. Itu hanyalah sebuah email basa-basi, yang sama seperti tipikal dua orang yang sudah lama tak saling berhubungan satu sama lain. Namun aku tak bisa menahan diriku untuk tidak meninju dinding kamarku yang tipis.

Perasaan ini… kembali memenuhi dada. Suara Kise pada dua tahun yang lalu segera terngiang dalam telingaku, pun kejadian-kejadian pada malam sebelum akhirnya aku memutuskan untuk segera lupa dan menjauh dan menghilang. Dan aku umpamakan diriku sebagai orang yang jatuh ke dalam Abyss—kedalaman, sehingga aku tak akan merasa bersalah bila Kise mencari-cariku. Mereka bilang, orang yang jatuh ke kedalaman sudah tak bisa kembali ke permukaan.

Aku harus lupa. Harus.

Lupakanlah hal itu, Yukio…

-to be continued on next week-


Afterwords:…Jadi, ceritanya saya sedih karena hanya ada dua biji fanfic KasaKise di Fandom Kuroko no Basket Indonesia. Nggak tau apa, kalau di sini ada shipper yang kekurangan bahan bacaan? :| #apaan Lalu ini multichapter pertama saya setelah sekian lama. Jadi maafkan kalau ada yang kurang 'sreg' dan aneh. Siapa tahu semua akan membaik seiring berjalannya waktu #heh Terus... terus... ini kok malah banyak hints MoriKasa, ya... =..=" #salahsiapa Dan sesuai yang tertera di atas, cerita ini akan saya update seminggu lagi. Jadi, doakan saja akan tepat waktu karena saya orangnya sangat moody orz Kemudian... untuk yang menunggu fanfic ini dipublish (lirik seseorang), semoga chapter pertama ini memuaskan.

Oh iya, saya tunggu reviewnya. Makasih :3 /heh

042513—rdb