WARNING: BL/Slash/Boys' Love. Sudut pandang… euh, orang kedua? Saya tahu ini istilah nonsense, di buku teks tidak ada yang seperti ini...

NOTE: Hadiah ulangtahun untuk Chyka! Maaf telat… Dan seperti biasa: don't like, don't read.


Ini bukan hari yang indah untuk sebuah pesta kelulusan.

Rinai hujan bercampur hembus angin membasahi wajahmu, dan seragam sekolah yang kau kenakan kini basah sehingga membuatnya terasa berat. Ijazahmu berada di tangan, tersimpan dalam wadahnya yang antiair, kini tengah kau pegang erat untuk menutupi gemeletuk gigimu akibat dingin yang menyentuh kulit.

Namun kau tetap berada di sana. Lokasi klasik—ternaungi oleh pohon sakura yang rimbun di atas kepala, kini kau menunggu sosok itu dengan mengabaikan degup jantungmu yang sudah seperti derap kuda berlarian di atas padang rumput. Tiap kau pelototi aplikasi jam di ponselmu, lengan penunjuk detik nampak bergerak lebih lambat dari yang seharusnya, seolah-olah kini kau menjadi korban pembuktian teori relativitas yang dikemukakan oleh Einstein.

Seringkali benakmu bertanya-tanya di mana gerangan sosok itu sebenarnya. Bisa saja kau mendapatkan jawaban itu segera—dari Moriyama yang selalu cepat tanggap dengan gadgetnya, atau dari Hayakawa yang selalu reaktif. Tetapi godaan itu dengan cepat kau enyahkan. Mantra pelindungmu adalah 'dia pasti datang' yang kau teriakkan berulangkali dalam kepala. Entah itu benar atau tidak, dirimu yang berada dalam batas kewarasan hanya memiliki sebaris kalimat itu sebagai pegangan.

Terkadang kau berharap agar sekarang kau tengah berada dalam dunia sebuah film sains-fiksi: dengan mempercepat waktu, kau bisa melihat wajahnya lebih cepat ketimbang seharusnya. Kau bisa kembali melihat bagaimana rupa dari sang pemuda dengan rambut emasnya yang indah untuk mengatasi rasa rindumu. Ah, bukankah kau mengingat bahwa kalian berdua sudah tidak bertatap muka selama lebih dari dua minggu? Kau tidak tahu bagaimana ia menghabiskan waktu. Namun bagimu, dua minggu adalah sebuah rentang yang menyiksa karena dia adalah mataharimu. Kau tumbuhan tropis yang memerlukan matahari untuk fotosintesis; tanpa matahari kau tidak bisa apa-apa selain tumbuh kian panjang dengan daunmu yang pucat. Setidaknya, analogi itu adalah sebuah gambaran hiperbolis dari kondisimu saat ini.

Langit mendung di atas kepalamu. Kau rasakan dingin menyentuh kulit, namun tak menganggapnya terlalu rumit. Keinginan untuk pergi sempat terbesit, sayang kondisimu terjepit—ada kemungkinan kalau kau pergi, maka kau kehilangan semua keberanianmu dan terus memendam perasaan ini lebih lama dari yang seharusnya.

Tik. Tik. Tik.

Kau tidak mempunyai jam tangan ataupun berada di dekat sebuah jam dinding. Pikirmu kini berhalusinasi, menganggap ada jam imajiner dalam kepala, terus berdetak menghitung detik yang kau lalui hanya untuk menunggu sang pemuda bermata emas. Saat hujan menderas dan rinainya menghilang, kau merasakan apa yang sebut dengan keputusasaan. Barangkali dia tidak akan datang. Barangkali dia lupa. Atau barangkali kau sudah kalah sebelum bertarung, karena kealpaannya dalam situasi ini adalah sebuah pernyataan halus akan penolakan.

Sempat kau berpikir seperti itu, sebelum akhirnya ada sebuah suara tenor familiar menyapamu, dengan nada khawatir dan juga riang—oh, nada yang biasa.

"Kasamatsu-senpai!"

Untuk sesaat, kau bersyukur karena sudah memilih untuk menunggu alih-alih menyerah dan pergi.


The End of the Sun

(A Gift for Chyka)

.

Oleh: DeBeilschmidt

.

Kuroko's Basketball © Fujimaki Tadatoshi
I'm not making any profit from this fanfiction.


"Oh, Kise. Akhirnya kau datang juga," kau berkata, dengan penuh syukur melempar senyum pada sosok yang sudah sangat kau kenal selama setahun terakhir. Kau sudah hendak berkata-kata lagi, namun ia keburu menggamit tanganmu, dan berteriak dengan penuh rasa khawatir.

"Senpai, apa kau sudah menungguku dari tadi? Kenapa senpai tidak berteduh?!"

Mendengar teriaknya yang penuh rasa cemas, kau biarkan satu tawa pelan meluncur keluar dari mulutmu. ("Jangan tertawa! Aku benar-benar khawatir, Kasamatsu-senpai!" protesnya.) Kau menggenggam erat tangannya, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Lagipula, barangkali ini adalah kesempatan terakhir bagimu untuk menggenggam tangannya.

"Tidak masalah," tambahmu setelah tawa pelan itu usai. "Bukannya kita sudah sering melakukannya?"

Kise tersenyum. Lagi-lagi senyum manis yang biasa; satu yang membuatmu sanggup merasa lebih ringan hanya dengan melihatnya. Sebuah kurva dan hatimu sudah melambung ke surga. Sayang sekali, kau tahu bahwa tak hanya dirimu seorang yang mendapatkan senyum itu. Semua orang di SMA Kaijou pernah ia berikan pengaruh mataharinya, semua orang yang dianggapnya teman pernah mendapatkan senyum itu. Kau tahu, bahwa senyum mataharimu itu tidak spesial, tapi toh kau sudah membulatkan tekad, sehingga kau tetap berada di sana, menatap maniknya yang tetap bersinar di kala mendung, dan menegakkan tubuh walau kedua kaki itu sudah ingin berlari.

Tidak ada jawaban dari Kise. Barangkali ia menyadari tingkahmu yang aneh: tertawa keras di tengah hujan deras, rahang menegang di bawah angin kencang, rona merah mendidih walau terkena cipratan hujan pembuat mata perih. Akhirnya kau sadar bahwa tangan kalian masih bertaut. Untuk pertama kalinya dalam satu bulan terakhir, kau menyadari bahwa sorot mata sewarna madu itu berubah serius. Genggaman tangannya kian erat, matanya menunjukkan tanya tersirat.

"Ada apa denganmu, Senpai?"

Ia bertanya dan kau berdiam.

"Tingkah lakumu hari ini… aneh," Kise menambahkan, raut cemas itu tak kunjung hilang dari wajahnya, sehingga mau tak mau kau juga merasa bersalah karenanya. Saat pemuda itu menelengkan kepalanya, muncullah satu pertanyaan yang penuh paradoks; kau ingin mendengar pertanyaan itu untuk memulai segalanya, di satu sisi kau pun tidak ingin mendengarkan pertanyaan tersebut. "Untuk apa Senpai memanggilku hari ini?"

Apabila ini opera sabun dan kau memiliki darah hiperbolis dalam tubuhmu, barangkali kau bisa mendengarkan bagaimana jantungmu berhenti berdetak untuk sesaat kala mendengarkan pertanyaan tersebut.

Lagi-lagi, kau bungkam.

Kau mengerti bahwa Kise menantikan jawaban darimu. Tetapi…, kau belum siap. Amat, sangat belum siap. Seperti burung yang belum dewasa dan dijatuhkan orang lain selain induknya untuk terbang, kau sama sekali tidak tahu akan berkata apa. Kata-katamu sudah pergi dihempas angin, larut karena pengaruh adrenalin. Kau rasakan lagi sensasi yang sama seperti saat Kise masih belum datang: ingin pergi secepat mungkin. Lutut itu sudah bergetar; tangan yang digenggam Kise kini menggigil, namun disebabkan oleh rasa paranoid yang kau rasakan alih-alih dingin yang menusuk kulit.

"Aku…," kata itu terdengar lemah bila dibandingkan dengan ketakutanmu. Ada keinginan untuk mengasihani diri sendiri, seperti: "Kau ini mantan Kapten SMA Kaijou! Masa' yang begini saja tidak bisa?!" Namun saat kau memikirkan betapa besar waktu yang kau gunakan untuk mengambil keputusan ini, kau menganggap ketakutanmu wajar.

Sayang, kebungkaman ini membuat rasa bersalahmu kian besar. Seorang kapten dengan jiwa pengecut, itulah dirimu. Kau menggeleng keras-keras, membuat air dari rambutmu yang basah kuyup terciprat ke mana-mana. Kau ambil sebuah napas panjang dan mulai berteriak. "AKU—"

(Ya, apa yang seorang 'aku' ini akan sampaikan? Kau mulai ragu.)

Namun Kise menunggu.

"Kise, aku—" Terputus. Lagi. Oh, betapa kali ini kau berharap menjadi jebolan klub debat bahasa Inggris alih-alih basket. "Kise, aku… menyukaimu."

Oh, lihatlah, ada kebingungan yang dinampakkan oleh Kise. Satu ekspresi yang kau tahu menandakan ketidakyakinan serta ketidakmengertian. Baik, baik, kau memutuskan untuk mengucapkannya lagi. "Kise, aku—"

"Senpai, tadi Senpai bilang kalau kau menyukaiku?" tanya Kise, nampak mencoba memastikan dengan bahasanya sendiri. Kendati hanya sedikit, tangan bergeletukmu yang sensitif bisa merasakan genggaman tangannya yang kian longgar, kemudian sensasi itu mendingin, dan barulah kau sadar bahwa ia sudah melepas genggaman tangan kalian.

Kau mengangguk.

Satu senyum nampak di wajahnya. Awalnya kau menganggap, bahwa senyum itu merupakan tanda bahwa kau memiliki satu harap. Cepat-cepat kau mengulas senyum, membalas mataharimu yang melakukan hal yang sama. Tetapi, saat senyum itu pecah, barulah kau sadar bahwa balas menyungging senyum bukanlah hal yang tepat.

"Kise… ada apa?" Kau kini yang ganti khawatir. Kakimu refleks mendekat, mencoba mengamati bagaimana rupa seorang Ryota Kise dalam siraman hujan. Kau mencoba meraih dagunya, namun tangan sang pemuda menepismu.

"Ma-Maafkan aku, Senpai…."

Barulah kau sadar, saat melihat tubuhnya yang kaku, bahwa ini semua mengenai hal yang baru saja kau bicarakan. Mengenai cintamu pada Kise. Mengenai jawabannya akan pernyataanmu. Mengenai hubungan kalian berdua yang sudah tidak bisa dikamuflase dalam istilah 'teman'.

Kau terhenyak. Ini semua tak berjalan seperti yang kau harap. Memang, dalam skenario yang kau susun, bukan akhir bahagia yang menanti. Namun, tak berarti kau harus melihat tetes air mata tanda pedih tak terperi. Sekarang kau menggagu, seakan di tenggorokanmu ada sesuatu yang mengganggu. Bingung melandamu, hingga akhirnya yang bisa kau lakukan hanyalah menarik napas berat. Sekali lagi menggeleng, mencoba memahami isi kepala Kise yang berkecamuk, menandakan kau adalah seorang senior yang baik terhadap adik kelasnya—tentu saja, ini adalah satire.

"Sudahlah…," ini semua tidak akan berhasil, pikirmu. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kau pun memaksakan sebuah senyum miring. Berpura-pura kuat padahal hatimu rusak berat. "Kuberi waktu satu minggu. Setelah itu, baru kau tolak aku dengan cara yang baik dan benar. Bagaimana, hm?"

Jawaban yang diberikan Kise hanyalah anggukan bersamaan tangisnya yang masih sesenggukan. "Te-Terima kasih, Senpai…."

.

Setelah itu, yang kalian berdua lakukan adalah berteduh di dalam gedung olahraga—tempat masa lalu di mana kalian (dahulu) bermain bersama sebagai kapten dan ace dari salah satu tim basket SMA terkuat di Kanagawa—dan Kise masih menangis sesenggukan dengan tubuhnya yang basah kuyup.

"Aku… pulang dulu kalau begitu," ujarmu padanya. Sekali ini, kau ingin bertindak sebagai senior tak bertanggung jawab, dengan meninggalkan juniormu yang sedih karena ulahmu sendirian di gedung olahraga. Masih, tubuhnya masih basah dan kau pun tahu. Masalahnya, kesedihan karena cintamu ditolak lebih besar ketimbang rasa tanggung jawab yang kau punya.

Tak menghiraukan jawaban dari Kise, kau pun segera pergi. Masih dengan ijazah di tangan, tersimpan dalam wadahnya yang antiair.

Sungguh, ini bukanlah hari kelulusan yang menyenangkan bagimu.

-bersambung-


Afterwords: Sengaja tidak saya beri keterangan pairing. Pokoknya sesuai dengan selera yang ulangtahun. Semoga part pertama tidak mengecewakan. Sebenarnya fanfiksi ini sudah selesai, tapi sayanya aja yang suka bikin orang penasaran (…) Dan, oh, maaf kalau agak aneh. Saya buru-buru mau ke kampus soalnya. Nggak asyik banget, ya. Hari Minggu gini ke kampus… #sampah

Dan seperti biasa, updatenya bakal lebih cepat kalau Anda mereview! Hohoho! Nggak ding, saya sih nggak dapat review juga santai aja. orz

P. S. Update chapter berikutnya hari Selasa. Cepat karena memang sudah tamat, tapi kepanjangan, jadi saya potong. :B

130812—rdb