Aku benci orang dewasa.

Terutama mereka, kedua orangtuaku.

Yang ada di pikiran mereka hanyalah uang, uang, dan uang. Jika ada hal lain yang mereka pikirkan, mungkin itu adalah perusahaan tempat sumber uang mereka.

—dan penerus mereka.

"Kita harus memilih salah satu dari mereka untuk melanjutkan perusahaan kita. Cih, kenapa pula kita harus mempunyai anak kembar?"

"Rin, kau pintar sekali. Kamu sudah bisa membaca di usia begini."

"Len! Kau sampah! Bagaimana bisa nilaimu sekecil ini dibanding Rin?!"

"Rin, selamat sudah dapat beasiswa masuk SMP unggulan, ya."

"Len, karena kau sampah, kami rasa kau pantas masuk ke sekolah sampah yang ada di ujung jalan itu."

Terkutuklah takdir yang membuatku terlahir kembar. Terkutuklah kakak kembarku yang jauh lebih superior dalam segala hal daripada diriku.

—Terkutuklah orangtuaku yang membuatku kehilangan impianku.


Vocaloid dan para karakternya bukanlah punya gue. Fanfik ini adalah isi otak kanan gue yang tertuang dengan cara meminjam karakter-karakternya.

Catatan: Karena Vocaloid nggak punya sifat maupun setting, jadi semuanya murni dari pikiran gue. Genrenya campur-campur antara drama-friendship-humor-family. Blame FFn yang cuma menyediakan dua genre.

Disability Student Club —
— Episode #01:
Pemain Basket yang Kehilangan Sayapnya —


Sebagai 'karya gagal' dari keluarga Kagamine, aku mulai hidup sendirian sejak lulus dari SMP. Siapa juga yang bisa tahan di rumah yang bahkan tidak menerimamu?

"Biaya bulanannya sepuluh ribu yen. Apa kau mau?"

Aku mengangguk pelan menanggapi pertanyaan dari Ibu asrama yang akan menjadi tempat tinggalku selama tiga tahun ke depan. Menyesap teh yang disediakan olehnya, dan duduk senyaman mungkin di sofa empuk di ruang keluarga rumah utamanya.

"Ano... Apa saya tidak bisa mengurangi harganya dengan bekerja?" tanyaku. Karena orangtuaku sama sekali tidak ingin membiayaiku.

Ibu muda yang bernama Meiko Sakine itu terdiam sebentar. "... Kamu nggak dapat biaya dari orangtua?"

Aku ragu sebentar, namun kemudian mengangguk pelan.

Nyonya Meiko—dia minta dipanggil begitu—menghela nafas pelan, kemudian berkata, "Sebenarnya, saya kurang yakin dengan anak yang biaya perbulannya dari uang sendiri."

"Eh?"

"Tapi, kamu bisa bantu saya menyediakan sarapan, bersih-bersih, dan cuci piring. Biaya kamu bakal saya potong jadi delapan ribu yen. Bagaimana?"

Sepakat, kami lalu berjabat tangan.


"... Kamar yang sederahana..." ujarku pelan saat memasuki kamar asrama SMA Vokazuri milikku untuk pertama kalinya. Kamar ini memang cukup sederhana. Memiliki kasur dua tingkat, dua meja belajar, dan jendela kaca yang langsung menghadap ke halaman depan.

Aku dengar setiap ruangan akan memiliki dua orang siswa, tapi itu urusan belakangan. Mungkin calon teman sekamarku akan datang agak sore, mengingat sekarang masih jam sepuluh pagi.

Setelah menata barang-barangku, aku berjalan keluar dari kamar, mencoba mengelilingi asrama sekolah ini. Selama berkeliling, aku melihat sekitar sepuluh siswa yang memakai baju bebas. Calon pelajar di SMA Vokazuri, sama sepertiku, serta beberapa yang –ehm- berwajah tua. Mungkin kakak kelas.

Baiklah. Sekarang aku bisa hidup untuk sementara dengan sarapan dan makan siang gratis dari asrama ini. Dan aku memiliki cukup banyak tabungan—hasil dari menahan lapar untuk tidak jajan selama di SMP— untuk bayaran perbulan, yang menurut perkiraanku, bisa untuk satu setengah tahun ke depan.

Sedangkan satu setengah tahun sisanya, kurasa aku akan mulai mencari kerja sambilan.

Merasa bosan, aku lalu kembali ke kamar asramaku, dan memilih beristirahat sejenak di atas kasur bawah.

"Hei, elo ingin bergabung dengan klub apa?"
"Dulu gue pas SMP main basket. Jadi sayang banget kalo SMA ini gue berhenti."
"Oh, jadi elo juga pengen masuk klub basket?!"
"Iya! Elo juga?!"

Obrolan antara dua remaja laki-laki itu terdengar melintas dari depan pintu kamar asramaku. Aku menghela nafas pelan, dan membuka mata. Membatalkan niat untuk tidur siang.

Basket, kah...

Dulu, saat SMP, aku adalah salah satu dari anggota inti dari tim basket. Ya, meskipun tubuhku pendek—aku akui itu—tapi dengan tubuh kecil dan tangan cepat, aku dulu dijuluki sebagai pengguna pass legendaris.

Tunggu dulu. Gue bukan Kuroko, woi.

Ah, pokoknya, aku dulu adalah pemain basket yang cukup hebat. Sampai kejadian itu terjadi.

Sumber masalahnya, tentu saja, kedua orangtuaku. Meskipun prestasiku cukup tinggi, mereka sama sekali tidak menyetujuiku bermain basket karena alasan yang menyebalkan: itu sama sekali tidak mendatangkan uang. Meskipun aku sudah bilang pada mereka bahwa aku akan mendapatkan uang jika menang di turnamen, mereka tetap menolak.

Mereka memarahiku, mencaci diriku.

Aku ingat sekali hari itu. Ayahku, dengan kejamnya mendorongku dari lantai dua rumah istanaku. Membuatku jatuh bergulingan di tangga rumah (yang tingginya mungkin lebih dari 20 anak tangga), dan membuat tanganku retak.

Ya. Tanganku retak. Sekujur lenganku. Dari tulang bahu hingga pergelangan tangan.

Seharusnya aku masih bisa bermain lagi setelah sembuh, tapi hal itu menjadi tambah mustahil karena Ayahku. Bukannya membawaku ke rumah sakit ternama dengan kekayaannya, dia malah membawaku ke dokter pinggir jalan yang belum jelas lisensi pengobatannya.

Dan seperti yang kukira, terjadi kesalahan dalam pengobatan tersebut. Sejak saat itu, kedua tanganku tidak dapat menggenggam, dan aku tidak dapat merasakan apapun saat telapak tanganku menyentuh sesuatu

Indra peraba di tanganku telah hilang. Tidak, mungkin kata hilang itu tidak tepat. Tanganku... Lumpuh.

Aku tahu. Bermain basket sama sekali tidak memerlukan genggaman tangan. Tapi percuma. Sejak saat itu juga, tanganku tidak dapat memegang benda dengan benar. Tanganku akan bergetar hebat saat memegang bola. Bola akan menggelincir dari tanganku tanpa perasaan.

Kehidupan basket seorang Len Kagamine, berakhir disitu.


"Oi."

Merasa tubuhku digoyangkan, aku mulai membuka mata. Hal yang kulihat adalah seorang laki-laki yang memiliki rambut dan mata kuning yang memakai kemeja putih.

Aku bangkit dari tiduran, dan mendudukkan pantatku. "... Siapa?"

Dia menjawab dengan senyum kecil di bibirnya, "Nero Akita. Lu... Len... Kagamine, 'kan?"

Aku menganggukkan kepala. "Jadi, lu teman sekamar gue?"

"Iya," ujarnya pelan sambil mengambil HP dari kantong celananya. Dia lalu mengalihkan pandangannya kepadaku, dan berkata, "Mohon bantuannya untuk tiga tahun ke depan."

Aku mengangguk lalu menjatuhkan tubuhku ke atas kasur kembali sambil bergumam 'mohon bantuannya juga~' dengan suara kecil. Sedangkan Nero langsung naik ke ranjang atas dan (sepertinya) memainkan HPnya.

Saat aku memejamkan mata, aku dapat mendengar suara-suara perempuan anehmenyebalkan yang mengganggu tidur. Setelah cukup lama suara itu mengusik my lovely sleepy moment, aku akhirnya membuka mata, mencari sumber suara.

...

...

"Nero."

"..."

"Nero," ujarku dengan suara agak lebih keras.

"Hah? Apaan, Len?"

"Lu pake headset, 'kan?"

"I-iya?"

"Pasang yang bener. Suara desahan dari bokep lu kedengeran, o'on."


Tiiiit. Tiiiit.

Suara nyaring beserta getaran dari balik bantalku terdengar dengan jelas. Mencoba membangkitkan diriku dari tidur.

"Len, gue tahu ini hari pertama, tapi ini masih jam setengah empat pagi, bego... Gah, mata gue masih pedes dari gegara begadang main HP semalem..." desah Nero dari ranjang atas dengan suara setengah sadar.

Entah sejak kapan, aku dan Nero mulai saling memanggil dengan kata-kata seperti 'bego', 'o'on', 'bodoh', dan semacamnya. Yah, setidaknya itu tandanya kalau kami mulai berteman.

Aku bangkit dari tempat tidur, menguap sebentar, mengambil handuk serta seragam sekolah, lalu pergi ke kamar mandi yang ada di ujung asrama.

Cklek.

Baru saja saat aku masuk dan menutup kamar mandi. Aku baru menyadari sesuatu. Sebuah suara air yang mengalir.

"A-ah..."

Sebuah suara perempuan yang seolah terkejut.

"G-grr..."

Dan sebuah suara perempuan yang menggeram. Perlahan, menuruti insting laki-lakiku, aku menoleh ke belakang.

... Nyonya Meiko yang terburu-buru memakai celana.

Dan sebuah kepalan tangan yang menuju ke arah kepalaku.

"KALO MASUK NGETOK DULU!"

Aku langsung berlari keluar kamar mandi, dan menutupnya kembali. Aku mengetok pintu tersebut, dan mengucapkan maaf, "Maafkan saya. Tadi saya kira tidak ada orang, karena masih sepagi ini."

"Tidak apa. Ada apa kamu bangun sepagi ini?" jawab Nyonya Meiko dari dalam kamar mandi. Mungkin belum mau keluar karena belum menyelesaikan jatah hariannya.

"K-kemarin saya udah bilang mau membantu tugas asrama untuk mengurangi biaya, 'kan?"

"Eh? Beneran?"

"Dasar tante-tante pelupa."

"Kamu ngomong apa tadi?!"

"NGGAK! Bukan apa-apa! SUMPAH!"

"Ah, yasudahlah. Pertama-tama, tolong kau panaskan sop kaki ayam yang ada di dapur. Sambil menunggu, kau bisa menaruh nasi di piring, dan menaruhnya di meja makan."

"Baiklah. Ada berapa jumlah siswa di asrama ini?"

"35."

"Oke. Saya mengerti."

"Kalau selesai, kamu boleh mandi."

"Baik."

Selesai dengan percakapan itu, aku segera berjalan ke arah dapur asrama (yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kamar mandi tadi). Pertama-tama, aku membuka satu-persatu panci-panci besar—untuk porsi makan 35 orang—dan setelah menemukan dimana panci yang berisi sop kaki ayam, aku mengangkatnya ke atas kompor listrik yang ada di tengah meja memasak.

Mencolokkan listriknya, lalu menyalakan 'api'nya.

"Lalu... Menyiapkan nasi... Pret. Ini 'kan harusnya tiap anak bisa ngambil sendiri. Kenapa gue harus ngambilin, sih..."

Selesai mengeluh, gue membuka wadah besar berisi nasi, dan memindahkan nasi ke sekitar 35 piring, dan menaruh beberapa sendok nasi lagi ke piring yang lebih besar (untuk kalau ada yang nambah).

Aku meletakkan piring-piring tersebut di depan kursi yang berjejer di meja yang panjangnya cukup panjang untuk membuat orang mengukurnya, lalu kembali ke kamar mandi.

"Aku sudah selesai. Boleh mandi sekarang?"

"Iya," jawab Nyonya Meiko, sambil berlalu begitu saja. Dengan handuk dan pakaian dalam di tanganku, aku masuk dan memulai ritual yang selalu dilakukan oleh setiap manusia setiap pagi.

Iya, kalimat barusan nyindir lu yang nggak pernah mandi pagi.


Ketika sarapan bersama.

"Ooh! Nyonya Meiko! Tumben-tumbenan mau ngambilin nasi!"

"Hihi," cengiran menyebalkan muncul dengan jelas dari bibir Nyonya Meiko yang duduk di bangku paling ujung.

Fak.


Kemeja putih, jas blazer hitam tangan panjang dengan aksen putih di sekitar kerah, dan celana panjang bahan yang berwarna sama dengan jas. Serta dasi berwarna hitam dengan simbol sekolah di tengah-tengahnya. Itulah seragam sekolahku yang sekarang.

Aku melirik ke arah Nero yang sedang memakai blazernya.

"Apa lu lihat-lihat? Jatuh cinta sama gue? Maaf, Len. Sayang sekali, gue masih normal dan masih suka makhluk yang mempunyai gunung."

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Uwoh?! Secepat itu lu melupakan perasaan lu ke gue?!"

"Yang suka sama lu siapa, coba..."

"Len."

"Nggak, gue enggak suka sama lu."

"Tapi aku suka kamu."

Reflek, aku langsung menutupi tempat dimana lubang pantatku berada dengan tas selempang sambil berlari ke luar ruangan dan berteriak,

"NYONYA MEIKOO! SAYA INGIN GANTI TEMAN KAMAAAR! NERO AKITA SEBENARNYA ADALAH SEORANG PENYUKA SESAMA JENIIIS!"

"—Len kepara—" teriakan Nero langsung terpotong oleh suara perempuan.

"Mana anaknya?!" tanya Nyonya Meiko yang entah muncul darimana. Aku menunjuk Nero yang berkeringat dingin di depan pintu kamar menggunakan jempol.

Nyonya Meiko langsung menjewer telinga Nero sekuat tenaga, dan berteriak tepat di depan telinganya, "HUBUNGAN ASMARA TIDAK BOLEH DILAKUKAN SELAMA BERADA DI SEKOLAH!"

"EEH?! Jadi homo enggak apa-apa?!"


"Ayo bergabunglah dengan Klub Sepakbola!"

Sori, gue enggak punya tenaga buat lari-lari di lapangan sambil ngerebutin bola.

"Bergabunglah dengan Klub Minum Teh. Kami menyediakan semua jenis teh disini."

Tunggu. Itu Klub Minum Teh atau Klub Pelatihan Pembukaan Warung Teh?!

"Mau bergabung dengan Klub Cewek Nakal?"

Eeeh?! Cowok boleh ikut?!

Selama perjalanan di atas jalur trotoar di tengah rerumputan yang terbentang di antara gerbang sekolah dan gedung sekolah, pemandangan klub-klub sekolah yang mencoba merekrut anggota baru adalah hal biasa.

Aku sendiri sebenarnya tidak tertarik untuk mengikuti klub apapun. Jadi aku hanya berjalan lurus menuju gerbang sekolah tanpa memperhatikan satupun perekrutan. Kecuali Klub Cheerleding dan klub-klub lainnya yang beranggotakan cewek cantik. Wat? Gue 'kan cowok.

"Oi."

Abaikan. Aku tidak akan mengikuti klub apapun. Jangan tergoda meskipun aku saat ini sepertinya sedang dipanggil oleh suara seorang perempuan.

"Oi~"

Meskipun suaranya terdengar lebih manja, abaikan. Tunggu, itu sulit. Bahkan mataku tanpa sadar menoleh ke asal suara.

Tunggu. Beruang?! Dan kenapa beruangnya naik kursi roda?!

"... Apa?"

"Bergabunglah dengan klub kami!" teriak beruang betina (?) berkursi roda itu sambil melihat ke arah atas, seperti menatap wajahku. Setidaknya, sebutkan nama klubnya dulu, woi.

"Miku-sama, setidaknya tolong lepaskan topeng beruang itu sebelum bicara. Anda terlihat seperti orang gila sekarang ini," ujar pemuda berambut biru yang—meskipun memakai seragam sekolah yang sama denganku—terlihat seperti butler.

"Damare, Kaito! Sebagai pelayan kelas rendah, kau tidak berhak berbicara begitu! Dasar sampah!"

Pemuda rambut biru itu langsung berlutut dengan lututnya di hadapan Beruang Betina itu, dan langsung memohon dengan wajah suram, "Maafkan saya, Miku-sama. Tolong jangan pecat saya."

Tunggu. Apakah pemuda yang disebut sebagai Kaito ini adalah pelayan dari seorang beruang betina?! Apakah dia adalah pengidap zoophilia sekaligus masochist tingkat akut?! ... Baru kali ini gue denger ada zoophilia yang suka sama beruang... Masochist, lagi.

Beruang Betina itu—kutarik perkataanku—siswi berwajah moe-moe itu melepaskan topeng kepala beruang yang ada di kepalanya. Bersamaan dengan itu, rambut indah dari gadis itu langsung berjatuhan dari dalam topeng, menampilkan warna biru ke hijau yang menyilaukan mata.

Untuk sesaat, mataku bertemu dengan matanya.

Ukh, itu mata seorang tsundere yang kelewat tsun.

"Miku Hatsune. Kelas XI-A. Ketua Disability Student Club. Anggotanya saat ini baru empat orang. Mau bergabung dengan kami?" cerocos gadis itu—Miku, dengan wajah yang tidak tersenyum sama sekali.

Seandainya lu senyum, gue langsung ngangguk. Sumpah.

"Disability Student Club?" ujarku dengan nada bertanya.

"Cih," tunggu. Barusan dia mendecih ke gue?! Dia lalu berbicara lagi dengan nada yang seperti orang kesal, "Klub Murid Cacat. Secara literal."

"... Jadi, kenapa gue diajak? Apa gue terlihat seperti anak cacat?"

"Enggak. Sebenarnya gue mengajak semua orang yang mukanya suram."

Oke. Gue nyerah ngomong sama perempuan tsundere kelewat tsun ini. Aku menoleh ke arah butlernya yang berdiri di belakang kursi roda Miku.

"Kami mempunyai daftar siswa yang menyandang kecacatan. Jadi kami sebenarnya tidak mengajak orang sembarangan. Miku-sama adalah seorang tsundere. Jadi saat berbicara dengannya balik saja artinya."

"Siapa yang tsundere?!"

"... Gue pikir-pikir dulu, deh."

Kaito tersenyum manis—abaikan saja deskripsi berbau homo ini, "Kalau tertarik, silahkan datang ke ruang kesenian tidak terpakai di lantai empat."

"Gue anak baru, jadi enggak tahu tempatnya."

"Sampai di tangga, lurus terus. Terus ketika ketemu pertigaan, belok kiri. Cari ruangan yang paling ujung."

"Disitu ruang keseniannya?"

"Bukan, kamar mayat."

"Eeh?! Sekolah ini punya kamar mayat?!"

"Iya. Buat memuaskan nafsu orang-orang pengidap necrophilia."

"Eeeh?! Tunggu. Udah berapa kali gue bilang 'Eeeh?!' hari ini?!"

"Kami akan menunggumu."

Kaito tersenyum manis sekali lagi. Sebuah senyum manis yang bahkan dapat melelehkan es yang sudah lama mengendam di dalam hatiku—wait. Sekali lagi, abaikan deskripsi berbau homo barusan.

"Jangan enggak datang," ucap Miku sembari menyerahkan formulir pendaftaran klub ke tanganku. "Kalau mau gabung, silahkan isi, lalu antarkan lagi ke kami. Kalau enggak mau, lu bebas mau ngapain itu."

"Boleh gue jadikan obat nyamuk?"

"Kaito, tolong jelaskan kepadanya betapa sakitnya kakimu dulu saat kulindas menggunakan kursi rodaku."

"Rasanya—" aku langsung memotong ucapan Kaito sebelum dia sempat menjelaskan hal itu,

"Enggak perlu. Maafkan gue. Gue enggak akan lagi mengatakan hal seperti barusan."


Selayaknya hari pertama sekolah pada umumnya, setiap murid akan memperkenalkan dirinya, dan menjelaskan visi dan misinya selama berada di sekolah. Ngomong-ngomong, aku berada di kelas X-D.

Perkenalan itu adalah hal yang paling merepotkan dan krusial dalam kehidupan anak sekolahan. Ada anak yang menjadi terkenal karena visi misinya yang bagaikan janji politikus, ada juga yang terkenal gara-gara visi misinya yang penuh aura chuunibyou.

"Len Kagamine."

Suara panggilan dari guru langsung membuatku berdiri dari bangku, dan mulai memperkenalkan diri.

"Nama saya Len Kagamine, dari SMP Crypton—"

"Itu SMP anak buangan, 'kan?", "Iya. Kalo enggak salah, hampir tiap hari ada aja masalah di SMP itu.", "Kenapa dia bisa masuk ke sini?", "Mungkin dia menyogok kepsek.", "Kenapa harus ada sampah di kelas ini, sih?"

"Damare, Bitch."

Seluruh kelas langsung terdiam.

"Maafkan saya. Saya ulangi sekali lagi. Nama saya Len Kagamine, dari SMP Crypton. Masuk ke sekolah ini dengan peringkat 50 besar dalam tes—yang kalian tahu sendiri, pesertanya lebih dari lima ribu. Mantan pemain basket, namun berhenti karena tangan saya mengalami setengah lumpuh."

"Lalu, visi dan misimu selama berada di sekolah ini?" tanya guru kepadaku, sambil menatap dengan dahi berkerut.

"Visi dan misi saya?"

Aku tidak memiliki hal semacam itu. Aku sekolah karena aku ingin belajar. Aku belajar karena ingin mendapatkan bekal untuk bertahan hidup. Aku sama sekali tidak memerlukan nilai tinggi atau semacamnya.

Yah, setidaknya, aku bisa bersifat sedikit keren disini.

"Visi dan misi saya... Mencari bekal untuk hidup tanpa bantuan orangtua."

"Terakhir. Apa impianmu?"

Cengiran tidak dapat menghilang dari bibirku. Aku memegang kepalaku sendiri menggunakan tangan kanan, memasang pose ala protagonis dari suatu anime mecha yang memiliki mata penghipnotis.

"Impianku... Menguasai dunia."


Bersambung —


Refrensi (yang mungkin pengen kamu lihat):

Ide asrama sekolah, dari Little Busters! © Key.
Ide saudara kembar dimana salah satunya dianggap buangan, dari rute Haruka, dari Little Busters! juga.
Ide perkumpulan anak cacat, dari VN Katawa Shoujo © Four Leaf Studios.
Ide heroine yang menggunakan kursi roda, dari Kotori, seorang heroine dari VN Kono Oozora ni, Tsubasa wo Hirogete © Pulltop.
Anime yang dimaksud pada narasi terakhir, Code Geass.

Catatan Akhir:

Baru pertama kali ngebuat cerita bersambung di archive Vocaloid, jadi salam kenal. Nama gue Elpiji. Terserah mau manggil El, Pi, Ji, Elpiji, Elpi, atau Piji. Semoga kalian suka cerita ini.

Humor + Angst = Drama. Karena itu genre fanfik ini adalah drama. Karena drama memainkan perasaan pembaca. Dan semoga fanfik ini mampu melakukan hal tersebut. Format fanfik ini mirip-mirip dengan VN-VNnya Key, jadi wajar aja. Maklum, gue adalah seorang Keyfaggot.

No romance in here. Semuanya hanyalah pertemanan. Karena pendapat gue pribadi, angst pertemanan dan keluarga lebih nyesek daripada angst percintaan.

'Gue', 'Lu', dan 'Enggak' bukanlah bahasa tidak baku. Silahkan cek sendiri di KBBI. Mereka memiliki arti, dan bukan sekedar bahasa gaul. Meskipun gue cuma memakainya saat punchline dan dialog. Soalnya gue lagi ngelatih diri ngebuat sudut pandang orang pertama menggunakan 'aku'. #inianakkebiasaanbikinsudutpandangorangpertamapake gueelu #hashtagnyakepanjanganwoi

Review silahkan, enggak review enggak apa-apa.