Disclaimer © Tite kubo
(Bleach bukan punya saya)
…
Roller Coaster
by
Ann
Terinspirasi dari lagunya ST12 - "Stasiun Kereta" dan keinginan saya naik roller coaster yang sampai sekarang belum bisa terwujud.
…
Peringatan : AU, OOC (Sesuai kebutuhan cerita), Typo (Saya sudah berusaha menguranginya tapi sepertinya tetap ada), Gaje (Silahkan anda berpendapat sendiri),
Tidak suka? Mungkin bisa tekan tombol 'Back' atau 'Close'
dan
Selamat membaca!
...
Biarkan kenangan berada di masa lalu, simpanlah di dalam kotak berharga di sudut hatimu. Jangan biarkan masa lalu itu menghambat jalanmu di masa depan.
...
"Kau yakin mau pergi sendiri?" Hisana melirik Rukia−adik perempuannya− yang duduk di sampingnya, lalu kembali menatap jalanan di depannya.
Rukia mengangguk. "Ini kesempatan pertamaku pergi ke luar kota dengan naik kereta dan mungkin setelah ini tidak akan ada lagi. Bukankah nii-sama berkata hanya mengijinkanku kali ini saja?"
"Byakuya-sama melakukan hal itu karena dia ingin menjagamu, Rukia. Dia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk padamu makanya dia melarangmu bepergian sendiri apalagi naik transportasi umum," ujar Hisana.
"Aku tahu, tapi aku sudah besar nee-chan. Aku sudah dua puluh tahun, aku bisa menjaga diriku sendiri."
Hisana tersenyum. "Nee-chan percaya, jadi jangan kecewakan nee-chan ya?"
Rukia mengangguk mantap.
Rukia mengacungkan kedua ibu jarinya tangannya. "Percaya padaku."
Hisana menginjak rem perlahan sebab lampu lalu lintas sudah berubah kuning. "Tapi sebenarnya apa alasanmu pergi ke Karakura, Rukia?" tanyanya. "Nee-chan tahu jika alasanmu ke Karakura bukan untuk liburan."
Rukia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, matanya seolah menatap ke depan tapi sebenarnya ia sedang hanyut dalam pikirannya sendiri. Dalam kenangannya bersama seseorang di Karakura.
"Apa kau masih belum bisa melupakan Kaien?"
Pertanyaan itu membuat Rukia kembali ke realita.
"Kaien-dono adalah masa lalu, nee-chan," ujar Rukia.
"Masa lalu yang masih kau bawa sampai sekarang, bukankah seharusnya kau meninggalkannya di belakang, Rukia? Lupakan dia. Masih banyak yang lebih baik daripada putra keluarga Shiba itu."
Rukia meringis. Kakaknya memang menjadi antipati pada pria yang pernah disukainya itu, sejak pria itu lebih memilih menikah dengan Miyako daripada menerima cinta Rukia.
"Ya, pasti lebih banyak yang lebih baik, dan aku akan menemukan satu," kata Rukia optimis. "Dan mungkin aku akan menemukan satu di perjalananku ini." Meski sebenarnya niatnya ke Karakura bukanlah untuk mencari pengganti Kaien tapi ia ingin menghibur sedikit hati kakaknya agar tak terlalu mencemaskan dirinya.
"Kau harus menemukannya, Rukia."
Tak berapa lama kemudian mobil yang dikemudiakan Hisana menepi di trotoar. Rukia turun dari mobil bersama sebuah ransel berukuran sedang tersampir di bahunya.
"Jaga dirimu, Rukia. Bila ada apa-apa langsung hubungi nee-chan," pesan Hisana. "Dan jangan menghabiskan waktu terlalu lama di Chappy Land."
"Baik, nee-chan, dan soal Chappy Land kuusahakan hanya menghabiskan waktu sehari di sana," kata Rukia.
"Dasar." Hisana menggeleng pelan kemudian melajukan mobilnya.
...
Hujan mulai turun dengan intensitas sedang saat Rukia memasuki stasiun. Ia segera menuju gerbang tiket memasukkan tiket yang sudah ia beli beberapa hari sebelumnya ke dalam slot tiket dan langsung menuju platfrom stasiun, menunggu kereta yang akan membawanya ke Karakura.
Rukia melirik jam tangannya, pukul tiga kurang lima menit, berarti keretanya akan datang lima menit lagi. Rukia memerhatikan sekeliling, memerhatikan orang-orang yang sama sepertinya sedang menanti kereta. Perhatiannya terkunci pada seorang pemuda yang berdiri tak jauh darinya.
Bibir Rukia terkunci rapat. Pemuda yang tengah memerhatikan layar smart phone-nya itu terlihat memesona. Wajahnya terlihat tegas dengan kerutan yang kerap menghias keningnya, badannya tinggi dan tegap. Pemuda itu mirip dengan seseorang yang berusaha Rukia lupakan. Keduanya mirip tapi jelas bukanlah orang yang sama, sebab Kaien tidak akan pernah mau mengecat rambutnya hingga berwarna jingga seperti yang dimiliki pemuda itu.
Nampaknya pemuda itu tak menyadari kalau dirinya sedang diperhatikan karena ia sama sekali tak mengalihkan matanya dari layar gadget-nya. Tapi tak apa, Rukia memang tak ingin ketahuan sedang memerhatikan wajah rupawan milik pemuda itu. Rukia coba mengalihkan pandangannya meski sekali-sekali ia masih melirik pemuda itu, sambil coba mengatur debar jantungnya yang berdegup cepat. Ada sesuatu yang menjalar di dadanya, cepat sekali hingga ia tak bisa memprediksi apa yang terjadi pada tubuhnya.
Tak berapa lama kereta yang ditunggu akhirnya datang. Rukia bersama penumpang yang lain naik ke dalam kereta. Saat naik ke dalam kereta Rukia masih menyempatkan diri melirik pemuda tadi, dan ternyata pemuda itu naik kereta yang sama dengannya.
Setelah meletakkan ranselnya di tempat yang disediakan, Rukia segera menuju kursinya yang berada di bagian tengah gerbong, di samping jendela. Ia memang sengaja memilih kursi di samping jendela agar ia bisa melihat pemandangan di luar, sebab perjalanan selama enam jam bukanlah waktu yang sebentar.
"Permisi."
Rukia menolehkan kepalanya ke arah suara. Ia terdiam sesaat. Pemuda itu berdiri di sampingnya, tersenyum padanya.
"Sepertinya ini kursiku," ujar pemuda itu sembari duduk di kursi kosong di samping Rukia.
Rukia hanya mengangguk, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Ia masih tak bisa percaya jika ia begitu beruntung.
...
Kereta berjalan di tengah hujan, melenggang dengan kecepatan konstan di rel besi. Tak ada percakapan antara Rukia dan pemuda itu. Pemuda berambut jingga itu lebih sering mengutak-atik ponselnya, sementara Rukia sibuk menatap keluar jendela. Lengan mereka kadang secara tak sengaja bersentuhan dan hal itu membuat Rukia merasa seperti tersengat arus listrik. Napasnya tercekat dan bibirnya langsung terkunci rapat.
Sesekali Rukia mencuri pandang ke arah pemuda itu. Ia berusaha menangkap setiap detail wajah yang baru ia temui kurang dari satu jam yang lalu itu. Matanya, hidungnya, dagunya, dan segala bentuk fisik pemuda itu memiliki kemiripan dengan Kaien, tapi Rukia sadar mereka adalah orang yang berbeda. Sangat berbeda.
Untuk mengusir rasa bosan, dan menghindari hasrat untuk selalu melirik ke samping, Rukia mengeluarkan ponsel dan menyambungkannya dengan headset, lalu memasang headset berbentuk kelinci itu ke telinganya.
"Chappy?"
Rukia menolehkan kepalanya.
"Kau suka chappy?!"
Rukia agak terganggu dengan nada suara pemuda itu, yang seolah kesukaannya kepada chappy adalah sesuatu yang salah. "Iya, ada masalah dengan itu?" Kekagumannya pada pemuda itu menguap seketika.
"Ah, maaf. Aku tidak bermaksud mengejekmu," ujar pemuda itu sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Adikku juga sangat suka pada chappy, ia mengoleksi semua hal yang berhubungan dengan chappy, mulai dari boneka, selimut, tas, pokoknya semua yang ada di kamarnya pasti berhubungan dengan chappy," jelasnya.
"Benarkah?" Rukia memandang pemuda itu penuh minat. "Aku juga penggemar chappy, aku mengoleksi semua hal yang berhubungan dengan chappy."
"Sepertinya aku harus memperkenalkan kalian, berhubung kalian memiliki hobi yang sama. Jadi, kalian bisa berbagi cerita tentang chappy dan aku akan terhindar dari keharusan mendengarkan cerita tentang chappy dari adikku." Pemuda itu terlihat sangat gembira dengan ide yang baru saja ia cetuskan.
Mata Rukia menyipit. "Kau membenci chappy?"
"Bukan begitu maksudku," elak pemuda itu cepat. "Kadang aku tidak tahu harus berkata apa dan bersikap bagaimana saat Yuzu, adikku menceritakan sesuatu tentang chappy yang tidak kumengerti. Nah, kalau dia berbicara dengan fans chappy, sepertimu, akan lain ceritanya, kalian lebih bisa saling mengerti."
Rukia kembali menyandarkan tubuhnya ke kursinya. "Kau benar juga, akan lebih mudah bercerita pada orang yang sama-sama mengerti akan sesuatu daripada yang tidak."
"Aku Ichigo, Kurosaki Ichigo. Kau?" pemuda itu memperkenalkan diri.
"Kuchiki Rukia."
Setelah itu obrolan keduanya mengalir. Mereka membicarakan berbagai hal, tentang musik, film, buku, dan keseharian mereka. Keheningan yang sebelumnya sempat tercipta diantara mereka mencair menjadi obrolan yang hangat dan menyenangkan.
"Jadi, apa yang membawamu kembali ke Karakura? Chappy-land?" tanya Ichigo.
"Itu adalah tempat tujuan utamaku," jawab Rukia. "Selain itu, perjalanan ini sekaligus untuk melupakan seseorang."
"Mantan pacar ya?" tebak Ichigo.
Rukia menggeleng. "Cinta sepihak dan sekarang dia sudah menikah, makanya aku ingin segera melupakannya dan mulai menyukai orang lain."
"Itu bagus. Jangan terus melihat ke belakang, kau harus melihat ke depan. Mungkin saja di depanmu sudah ada seseorang yang menunggumu," kata Ichigo. "Atau mungkin di sampingmu."
Rukia memandang Ichigo. "Di samping?"
Ichigo mengangguk. "Tepatnya di samping kananmu." Ichigo merujuk pada dirinya sendiri.
Rukia berusaha bersikap seperti biasa, tapi rasanya berat. Sangat sulit rasanya bertindak biasa saat dirinya duduk bersebelahan dengan pemuda yang membuat debaran jantungnya berdetak tak karuan.
"Kau sudah punya pacar?" tanya Rukia, ia ingin memastikan sebelum membiarkan dirinya mulai menyukai Ichigo.
"Aku akan berbohong jika aku bilang sudah punya," jawab Ichigo.
"Serius?"
Ichigo mengangguk tegas. "Tenang saja, tidak akan ada yang marah jika kau suka padaku."
Kalimat terakhir Ichigo membuatnya mendapat hadiah sebuah pukulan di kepalanya dan ia langsung mengaduh kesakitan. Mengundang penumpang lain yang duduk di dekat mereka menoleh ingin tahu.
"Siapa bilang aku suka padamu." Rukia membuang muka.
Tarikan ringan di bajunya membuat Rukia menoleh dan langsung memasang tampang garang pada Ichigo. "Apa?"
"Maaf," ucap Ichigo tulus.
Sesaat kemudian wajah garang Rukia luntur. "Maaf juga sudah memukulmu. Sakit tidak?"
"Tidak, aku kan kuat," jawab Ichigo sok.
"Mau ditambah lagi?" Rukia mengacungkan tinjunya.
Ichigo melambaikan kedua tangannya. "Yang tadi sudah cukup."
"Katanya kuat," ejek Rukia.
"Kalau sekali masih bisa kutahan, Rukia, kalau dua kali... kau bisa membunuhku, atau paling tidak membuatku masuk rumah sakit," ujar Ichigo.
Mereka kembali terlibat dalam percakapan seru yang kali ini sering diikuti dengan perdebatan kecil karena keduanya berbeda pendapat.
"Oh ya, kalau ke Chappy Land kau harus naik roller coaster Chappy yang ada di dekat pintu masuk," ujar Ichigo. "Itu wahana yang baru diresmikan bulan lalu."
"Tidak mau, aku tidak suka roller coaster," sahut Rukia.
"Kenapa? Naik roller coaster itu seru loh," tanya Ichigo. "Lagipula itu wahana paling romantis di Chappy Land."
"Romantis? Apa romantisnya naik roller coaster?" Rukia terlihat bingung. "Yang ada malah mual terus muntah. Aku akan mempermalukan diriku sendiri jika naik wahana itu."
Ichigo tertawa lirih, lalu menatap Rukia dengan tatapan yang tak bisa Rukia artikan. "Coba saja naik, setelah itu kau akan tahu seberapa romantisnya roller coaster itu."
Rukia menggeleng tanda ia masih belum mengerti.
"Kau akan mengerti setelah kau naik wahana itu."
Lalu Ichigo mengubah topik pembicaraan. Ia menjelaskan tentang tempat-tempat menarik lainnya di Karakura yang menurutnya harus Rukia datangi. Obrolan mereka baru terhenti ketika kereta berhenti dan suara nyaring di pengeras suara menyatakan jika mereka sudah sampai di stasiun Karakura.
"Apa ada orang yang menjemputmu di stasiun?" tanya Ichigo.
Rukia mengangguk. "Kakakku pasti memastikan ada yang menungguku di stasiun," jawab Rukia.
"Dasar tuan putri."
"Apa kau bilang?"
"Tidak, ayo cepat turun." Ichigo meraih tangan Rukia dan menariknya menuju pintu kereta.
Ichigo baru melepaskan tangannya setelah mereka keluar dari gerbang tiket. Seorang wanita berjalan mendekati mereka dan menyapa Rukia.
Ichigo menepuk "Sampai jumpa, tuan putri," ujarnya.
"Apa kita akan bertemu lagi?" tanya Rukia, dari raut wajahnya nampak sekali ia tidak rela berpisah dengan Ichigo.
"Kita akan bertemu lagi," jawab Ichigo seraya berjalan menjauh meninggalkan Rukia.
"Bagaimana bisa bertemu jika kau bahkan tak meninggalkan nomor telepon atau alamat email padaku," gerutu Rukia.
...
Keesokan harinya Rukia pergi ke Chappy Land. Ia langsung menuju wahana roller coaster yang menurut Ichigo romantis. Ia memandangi wahana itu, selama apapun ia memandanginya yang ia lihat hanya kereta yang melaju sangat cepat sambil membawa dua belas penumpang yang berteriak nyaring hingga memekakkan telinga. Ia sempat berbalik dan membatalkan niatnya naik wahana itu tapi kata-kata Ichigo terngiang di kepalanya.
"Kau akan mengerti setelah kau naik wahana itu."
Dan ia pun ikut mengantri untuk naik wahana itu.
Ketika mendapatkan gilirannya, Rukia berusaha menjinakkan debaran jantungnya yang mulai berdetak semaunya. Roller coaster belum berjalan namun wajahnya sudah pucat pasi. Ia duduk di kursi dan petugas memasangkan pengaman di tubuhnya. Beberapa detik kemudian roller coaster mulai berjalan, Rukia hanya memegang erat besi pegangan sambil menunduk dengan mata terpejam erat. Yang singgah di telinganya hanyalah suara nyaring teriakan orang-orang yang naik wahana itu bersamanya.
Ia tak tahu apa yang terjadi selama roller coaster berjalan, yang ia tahu perutnya mual dan rasanya ia ingin memuntahkan semua isinya keluar.
Ketika roller coaster berhenti, Rukia berjalan terhuyung-huyung meninggalkan wahana itu. Ia berhenti di dekat pagar lalu memuntahkan semua isi perutnya. Ia terbatuk-batuk, matanya berair, dan kepalanya seperti ditinju puluhan kali. Ia memejamkan mata, menyesal sudah menuruti saran Ichigo untuk menaiki roller coaster. Naik roller coaster sama sekali tidak ada romantis-romantisnya. Ia mendumel dalam hati.
Rukia tersentak ketika pipinya terasa hangat. Ia menolehkan kepalanya ke samping kanan. Matanya melebar dan mulutnya terbuka. Hampir saja ia tak memercayai penglihatannya sendiri, andai pemuda itu tak bersuara.
"Kau harus lebih sering melihat ke samping kanan, Rukia."
Pemuda itu menyodorkan sebotol air mineral yang sudah dihangatkan dan satu pack tisu. Tanpa menunggu waktu, pemuda itu membantu Rukia membasuh mulutnya dan berkata, "sudah kubilang 'kan kalau naik roller coaster itu romantis."
...
fin
...
Terima kasih untuk kalian yang sudah meluangkan waktu untuk membaca fic ini.
See ya,
Ann *-*
