Hetalia Axis Power belongs to Hidekazu Himaruya
Centaurea © Nerazzuri
Warning : AU, possibly OOC, typos dan sederet kesalahan lain
.
.
Gumpalan awan kelabu menyelimuti bumantara. Gemuruh petir berkejar-kejaran dengan kilatan cahaya. Menyapa telinga hingga tak jarang membuat kaget entitas bernyawa. Elizaveta menguak sedikit tirai yang menutup jendela. Seulas senyum berbalut iba menghiasi parasnya. Kemilau jumantan miliknya mendapati seorang pemuda. Berdiri tegap di bawah gemericik hujan yang menggoda.
Gilbert Beilschmidt.
Seorang ksatria yang bekerja pada suaminya. Seorang Preuβen yang selalu merasa dirinya luar biasa. Teman masa kecilnya, rival dalam berlaga sekaligus juga ... cinta pertamanya.
Sungguh pun distansi puluhan meter menjadi sekat, Elizaveta tetap dapat melihat. Helaian keperakan milik sang Preuβen mulai basah walau topi telah tersemat. Sementara paras rupawannya tetap merefleksi sebuah semangat. Seolah mengukuhkan dirinya sebagai ksatria yang hebat.
"Eliza ..."
Suara milik Roderich –suaminya- membuat Elizaveta sedikit tersentak. Sekejap ia tersadar, tujuannya ke dapur adalah mengambil goulash soup yang telah ia masak. Alih-alih menyahut, ia justru terdiam sejenak. Mencari dalih dalam setiap liku otak.
"Hujan-hujan begini, para prajurit masih saja berlatih. Apa tidak apa-apa jika mereka dibiarkan begitu?" kilahnya. Wanita itu menebar senyum penuh dusta.
"Kau mencemaskannya?"
Roderich Edelstein tidaklah sebodoh pemikirannya. Terbukti dari aksentuasi atas akhiran -nya. Lelaki Austria itu tahu siapa objek yang mencuri atensi Elizaveta. Dia, sang albino asal Prussia. Lelaki yang ia percaya menjadi panglima bagi pasukan keamanannya.
"Kau terlalu posesif." Elizaveta membawa mangkuk berisi goulash soup untuk suaminya, "Jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya kasihan pada mereka."
Roderich tak pernah suka pada kata posesif. Sebagai lelaki yang bergelut dalam seni, ia bisa merasakan makna dari zamrud dan ruby yang interaktif. Bagaimana bisa ia mengabaikan setiap tanda-tanda destruktif? Sebagai suami, tentu saja ia tak bisa membiarkan rumah tangganya terusik oleh sebuah probabilitas negatif.
"Cepatlah, aku sudah lapar," tukas Roderich.
Pria Austria itu menolak untuk menanggapi. Sepenuhnya ia tahu, Elizaveta akan kembali menimpali dengan beragam pretensi. Tidak, bukan itu yang ia takuti. Dari sekian probabilitas yang akan terjadi, Roderich tahu ia akan benar-benar kehilangan istrinya jika ia menuding Elizaveta dan sang albino terikat sebuah afeksi.
Karena itulah, diam sembari sesekali menyuarakan keberatan adalah opsi terbaik untuk saat ini.
"Kelihatannya kau serius sekali mempersiapkan konsermu nanti," komentar Elizaveta saat melihat lembaran-lembaran partitur di atas piano milik suaminya.
"Musik adalah duniaku. Kurasa kau tahu itu," ucap Roderich, "kemarilah, Eliza. Akan kumainkan sebuah lagu untukmu."
Elizaveta mengambil sebuah tempat di sisi suaminya. Ia memerhatikan jemari Roderich bergerak lincah merangkai nada. Memainkan melodi indah yang memanjakan telinga. Pria ini memang tak pandai menebar kata cinta. Ia lebih suka bicara lewat nada. Membiarkan Elizaveta mengurai romansa yang tersirat dari sebuah enigma.
Wanita mana yang tak tersanjung kala menerima sebuah lagu cinta. Pun demikian dengan Elizaveta. Ia memandangi suaminya. Seolah ingin mengucap rasa terima kasih tanpa kata.
Pria Austria ini bukan hanya melimpahinya dengan afeksi yang menggelora. Mengulurkan tangannya di kala ia terkubur dalam kuasi janji yang diucap pemuda Prussia. Roderich-lah yang mengangkatnya dari kehidupannya yang amat bersahaja. Menjadikannya sebagai ratu di 'istana'nya, menempati singgasana dalam hatinya.
Roderich menerimanya lengkap dengan semua jejaknya bersama albino asal Prussia. Acapkali rasa bersalah mendera Elizaveta. Kendati ia telah belajar untuk mencintai suaminya, sebuah ruang di hatinya masih saja mengucap nama pemilik sepasang lingkar magenta.
"Terima kasih," bisik Elizaveta lirih.
Ia mengecup pipi suaminya perlahan. Dua pasang lingkar tak sewarna bertatapan. Elizaveta memberikan sebuah senyuman. Sementara Roderich menariknya dalam sebuah dekapan. Memeluknya dengan erat seolah ia takut akan kehilangan.
"Tetaplah menjadi milikku, Eliza," bisik Roderich teramat pelan.
Elizaveta menjawabnya dengan sebuah anggukan. Menyakinkan dirinya sendiri, pada lelaki inilah seisi hatinya ia berikan. Dan bayang-bayang Gilbert yang tersisa harus bisa ia enyahkan.
.
.
.
Gilbert mengibaskan rambutnya berkali-kali. Mulutnya memaki hujan yang membuat rambutnya tak hebat lagi. Biar saja orang lain menyebut warna rambutnya sebagai penuaan dini. Ia tak pernah peduli. Baginya rambut keperakan yang terlihat hebat ini bukanlah sebuah anomali. Barangkali mereka yang mengejeknya hanya iri karena tak bisa memiliki.
Fokus dari sepasang iris magenta beralih pada kaca di depan mata. Menatap nanar refleksi yang tak pernah berdusta. Dan yang didapatinya adalah visualisasi ksatria dengan hati yang terluka.
Ketukan kecil di pintu kamarnya membuat sang panglima terjaga. Nyaris saja ia menggumamkan nama wanita Hungaria. Siapa pun yang ada di balik pintu itu, terima kasih telah membawa Gilbert ke alam nyata. Setidaknya begitulah isi pikiran pemuda Prussia.
Dan yang dilihat Gilbert di depan pintu adalah si bocah Italia Utara. Membawa mangkuk kecil dengan aroma yang menggugah selera. Bocah itu tersenyum sembari menyodorkan nampan yang dibawanya.
"Selamat sore, Signor Beilschmidt. Ada kiriman soup untuk Anda." Aksen Italia nan kental mengiringi setiap frasa yang terucap.
"Kesesese~ orang hebat sepertiku memang akan selalu mendapat perhatian dari para wanita. Jadi Feliciano, siapa wanita cantik yang memberiku sup ini?" ucap Gilbert penuh percaya diri.
"Saya kira …"
"Ya, ya, ya. Aku mengerti. Sampaikan salamku untuknya, ya," ucap Gilbert sembari menepuk pundak bocah Italia.
Tak perlu waktu lama bagi seorang Gilbert Beilschmidt untuk menerka siapa yang mengirimkan semangkuk goulash soup untuknya. Sebuah determinasi didapatkannya kala mendapatkan secarik kertas dengan tulisan yang familiar baginya.
Jangan merasa sok kuat. Keringkan tubuhmu, lalu makanlah sup ini selagi masih hangat.
Ada atensi tersirat dalam rangkaian kata. Terselip pula bukti kuatnya renjana. Membuat Gilbert menyakini, Elizaveta tetaplah menjadi wanitanya. Roderich mungkin memiliki raganya, tapi Gilbert yakin dirinyalah yang merajai hati Elizaveta.
Ia menyendok sup di tangannya. Mencicipi cita rasa yang lama tak dinikmatinya. Rasa paprika dan tekstur potongan dagingnya menyapa indra perasa. Ia seolah terbuai oleh rasa yang amat istimewa. Terlebih kala mengingat siapa pembuatnya.
Rasionya sedikit terusik. Bagaimana pun, Gilbert takkan bisa mengingkari sebuah fakta bahwa Roderich telah mengikat gadisnya dalam sebuah simpul otentik. Dan egonya sebagai lelaki takkan membiarkan hatinya terjajah oleh sebuah romantisme klasik. Ini bukan dongeng anak-anak di mana sang pangeran akan selalu menjadi pendamping putri yang cantik. Ia harus tetap realistis kendati seisi hatinya seakan tercabik.
Toh, semuanya memang salahnya. Terlalu lama ia membiarkan Elizaveta terombang-ambing dalam ketidakpastian hubungan mereka. Janji Gilbert untuk menikahinya tak lebih dari sekedar kuasi belaka. Bukan salah Elizaveta jika wanita itu akhirnya memilih menerima pinangan bangsawan Austria ketimbang menanti Gilbert yang tak pernah membuktikan ikrar yang diucapkannya.
"Memikirkan sesuatu?"
Sapaan pemuda asal Kanada membuat Gilbert tersadar dari lamunan. Ia mengangkat wajahnya, membalas tatapan pemuda yang memandanginya dengan memasang ekspresi penuh keingintahuan. Sungguh, Gilbert pun tak tahu mengapa tiba-tiba kakinya memilih untuk melangkah ke taman. Alih-alih memberi jawaban, sang albino justru tertawa ringan.
"Kesesese … aku hanya sedang memikirkan gelar manusia terhebat yang seharusnya kudapatkan," kilahnya.
Matthew mengerutkan alis seolah tengah menganalis. Pemuda yang tak pernah melepaskan beruang mungil dalam dekapannya itu memiliki sebuah hipotesis. Sebagai orang yang cukup mengenal Gilbert Beilschmidt, tentu ia hafal bagaimana perangai Preuβen yang sedikit eksentris. Bukan hal yang sulit baginya menafsirkan setiap sintaksis.
"Memikirkannya lagi?"
Terkadang Gilbert benar-benar menyesali kecepatan Matthew dalam membaca situasi. Ia selalu gagal menyembunyikan setiap problematika yang terkadang ingin disimpannya seorang diri. Barangkali, itu pulalah yang menyebabkan Matthew menjadi satu-satunya orang yang menjadi tempatnya berbagi.
"Akuilah, Gil. Akan semakin terasa sakit jika kaututupi," ucap Matthew.
"Ya, kau benar." Gilbert menyerah pada kegigihan Matthew, "Hey, jangan menatapku seperti itu. Kautahu, orang hebat sepertiku takkan mungkin gantung diri hanya karena cinta. Ya ampun, jangan terlalu banyak menonton opera sabun, Matt." Ia menyuarakan keberatan manakala Matthew menatapnya simpatik.
Gilbert tak suka dikasihani. Bahkan oleh Matthew yang mengenalnya dengan baik hingga saat ini. Baginya, dikasihani berarti mereduksi harga diri. Mencoreng predikatnya sebagai ksatria mumpuni. Ia lebih suka menyimpan lukanya sendiri. Mungkin sesekali membaginya dengan sahabat yang ia miliki.
Sang Preuβen mendekatkan diri pada sekuntum cornflower yang memesona. Memetiknya dengan hati-hati untuk agar tak merusak keindahan yang ada. Sejenak ia larut dalam sebuah memoar lama. Kala ia dan Elizaveta masih bersama. Gilbert tahu memoar itu akan semakin menggores luka. Tapi ia senang memoar itu masih tersimpan dengan baik dalam benaknya. Sekalipun setitik penyesalan selalu muncul di sudut hatinya.
Setegar apapun seorang ksatria, ia tetap tak bisa mengingkari takdirnya sebagai manusia biasa. Di depan semua orang, Gilbert boleh saja memainkan drama. Tapi tetap saja hatinya takkan sanggup berdusta.
Setidaknya itulah yang dirasakan Gilbert Beilschmidt.
.
.
.
"Kesesese~ rupanya Nyonya sedang berlatih," komentar Gilbert manakala melihat Elizaveta tengah berlatih seorang diri dalam dojo, "hati-hati, Nyonya. Nanti tanganmu yang halus itu terluka."
"Grrr ... kau mengolokku?" Elizaveta mengacungkan pedangnya, "Kalau begitu, jadilah lawanku. Buktikan segala omong kosongmu, Tuan Sok Hebat."
"Aku tak tertarik melawan seorang wanita," Gilbert menyeringai tipis, memandangi lingkar kehijauan Elizaveta mengilat dengan mulut mendesis. Sial, bahkan di saat marah pun, wanita itu masih tetap terlihat manis.
Prrangg!
Dua bilah logam beradu di udara. Sebuah manuver berbahaya dilancarkan Elizaveta. Beruntung Gilbert dapat dengan sigap menangkisnya. Lagi-lagi, Gilbert hanya mengumbar tawa. Di telinga Elizaveta, tawa Gilbert tak ubahnya seperti sebuah ejekan atas deteriorasi kemampuannya.
Hup!
Dalam satu sentakan, pedang di tangan Elizaveta terjatuh di lantai. Menimbulkan bunyi nyaring yang memecah sunyi. Belum sempat Elizaveta mengambilnya kembali, Gilbert lebih dulu merangkum jemari.
"Jika kau memang merasa lebih baik dariku, kenapa bukan kau saja yang memimpin pasukan Roderich? Kenapa orang Austria itu malah memercayakan pasukannya padaku?" Gilbert menatap mata Elizaveta dalam-dalam, "Atau jangan-jangan ini memang rencanamu agar selalu dapat melihatku."
Elizaveta tersenyum sinis, "Kau terlalu percaya diri, Gil. Suamiku tak sama sepertimu. Roderich takkan mengijinkanku berlaga. Jika kini aku sedang berlatih, anggap saja ini seperti olahraga."
Gilbert terkesima. Sepotong hatinya tercabik demi mendengar kata 'suamiku' dari Elizaveta. Sejenak ia lupa bahwa wanita ini adalah istri bosnya.
"Lalu kenapa suamimu memilihku menjadi panglima bagi pasukannya? Apa sulitnya mengakui, kaulah yang mengatur semuanya. Iya, kan, Eliza?" Tak ingin kehilangan harga diri, Gilbert mengeluarkan dalih yang ia miliki.
"Aku bisa memintanya memecatmu kalau kau memang tak suka bekerja untuk kami," balas Elizaveta.
Ucapan khas yang biasa diucap kaum aristokrat. Sekalipun Gilbert tahu, intonasi sarat arogansi itu hanya dibuat-buat, tetap saja ia tercekat. Sialnya, Gilbert belum menemukan kata yang tepat untuk mendebat.
"Tak bisa membalas, Tuan Sok Hebat?" ejek Elizaveta.
"Kesesese~ sebegitu sulitkah bagimu mengakui kehebatanku, Eliza?" tukas Gilbert. Ia mengeratkan jemarinya, "Dengar, Nyonya. Kaulah alasan terbesarku menerima tanggung jawab ini. Jika saatnya tiba, kupastikan kau akan berada di sisiku lagi."
Elizaveta memalingkan wajahnya. Ia bisa merasakan pipinya memanas demi mendengar tutur kata pemuda di depannya. Gilbert menyeringai kala melihatnya. Dalam pemikirannya, ia meyakini, Elizaveta masih menginginkannya.
"Akuilah, Eliza. Tak perlu malu-malu, meski kau memang terlihat lebih cantik dengan rona di pipimu." Rangkaian vebal sarat seduksi dilancarkan sang panglima.
"Simpan kata-katamu untuk wanita yang sanggup menerima janji palsu." Ucapan frontal meluncur dari bibir Elizaveta. Ia menyentakkan jemari Gilbert sebelum meraih kembali pedangnya.
Gilbert terpana.
Dugaannya memang terbukti. Elizaveta membencinya karena kelalaiannya akan sebuah janji. Betapa selama ini ia membutakan diri pada sebuah realita sejati. Menulikan diri dari bisikan hati, bertindak hanya berbekal emosi.
Tujuh tahun yang lalu, Gilbert meninggalkan Elizaveta demi sebuah misi. Ia ingin belajar lebih banyak lagi untuk menyusun strategi dan mengolah enkripsi. Tiga tahun adalah waktu yang dijanjikannya untuk kembali. Gilbert ingat, hari itu ia menyematkan sebuah cincin di jari Elizaveta dan memintanya untuk menanti. Kelak saat ia kembali, ia akan membawa Elizaveta mengucap ikrar sehidup semati.
Tapi yang terjadi kemudian sungguh di luar kendali. Tiga tahun berlalu, dan Gilbert tak juga kembali. Lebih buruk lagi, tak ada sepucuk surat lagi yang menyapa Elizaveta yang terkungkung sepi.
Setahun kemudian, Gilbert kembali. Namun sekali lagi, Elizaveta harus merasakan lara hati. Alih-alih merealisasi janji, Gilbert justru memilih melobi para petinggi negeri. Mendekati kaum bangsawan demi menjalin relasi. Bahkan tak segan mengencani putri para petinggi demi melancarkan ambisi.
Sungguh, kala itu, Elizaveta merasakan hatinya benar-benar sekarat. Dan Roderich datang di saat yang tepat. Mengulurkan tangannya dan menjadi penyelamat. Mengajaknya menjadi bagian dari kaum aristokrat.
"Aku bukan lagi Elizaveta Hedervary yang kaukenal dulu, Gil. Hargai aku sebagai Elizaveta Edelstein. Karena itu, angkatlah pedangmu dan lawanlah aku."
Elizaveta Edelstein.
Istri dari Roderich Edelstein, sang maestro ternama. Bangsawan besar yang dikenal baik oleh penduduk Austria. Pemusik hebat yang bagi Gilbert tak lebih dari seorang pecundang pembawa biola. Sialnya, pria itulah yang merenggut Elizaveta. Lebih buruk lagi, bahkan kini ia bekerja untuknya.
Membalas tatapan Elizaveta, Gilbert tahu kilau zamrud itu menyimpan luka. Dan pedang di tangannya mungkin adalah sebuah pelampiasannya. Jika ini dapat mereduksi kesalahannya, dengan senang hati Gilbert akan melakukannya.
"Baiklah, Nyonya. Jangan salahkan saya jika kau terluka."
Adalah jawaban Gilbert atas tantangan Elizaveta.
.
.
TBC
.
.
Oke, mungkin ada yang mengerutkan kening membaca genre-nya karena sebelumnya, saya jarang berkutat dengan genre ini. Karena itu, mohon maaf kalau ada yang kurang pas. Kalau bisa, berikan saya concrit agar bisa saya perbaiki di chapter berikutnya.
Fic ini saya persembahkan untuk Auriellie Evans atas kemenangan MU dari Liverpool tanggal 11 Februari lalu. Biasanya saya bikin romance humor berbau sepakbola buat Riel-chan. Tapi berhubung sense of humor saya lagi turun, seadanya saja, ya, Riel-chan ^^
Berikan saya kesan-kesan Anda setelah membaca chapter ini. Kotak review saya masih cukup luas untuk menampung atensi.
Molto grazie ^^
