"Jangan tinggalkan aku sendirian."
Suara parau yang sangat menyayat hati memecah keheningan di kamar redup yang hanya diterangi oleh sinar bulan. Remaja laki-laki itu menyandarkan kening di telapak tangannya dan terisak. Sesenggukan mencoba mengumpulkan kembali ketenangannya.
"Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dirimu."
Berjam-jam berlutut di lantai, menunggu dan berdoa. Sembari menggenggam lembut kedua tangan rapuh itu di tangannya yang gemetar. Kelelahan maupun sakit yang ia derita tidak sepadan dengan apa yang sudah dialami oleh wanita yang terbaring di atas ranjang pesakitan itu. Remaja berambut coklat berombak itu kembali meneteskan air mata. Sungguh gejolak perasaan di dalam hatinya tidak tertahankan.
"Aku harus kemana kalau bukan hanya bersamamu?"
Ia lalu menarik lengannya, menutupi kedua mata yang basah dengan lengan itu tatkala ia menyerah kepada perasaannya dan menangis selayaknya anak kecil.
Malam itu adalah waktu yang diselimuti oleh kesunyian.
Orang-orang terlelap ke dalam mimpi.
Ketika angin berhembus dan membawa lolongan kesedihan, siapakah yang akan mendengarnya?
Di rumah kayu sederhana yang dikelilingi pemandangan alami pegunungan, seharusnya menjadi tempat terbaik untuk menyembuhkan diri. Namun, kabar yang datang dari jauh telah membuat keadaan semakin kacau.
Remaja itu masih merasa seperti anak-anak.
Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat.
Orang-orang yang dulu bisa ia andalkan telah pergi lebih dulu. Meninggalkannya duluan.
Ia lantas menangis tersedu-sedu.
"Mother..."
.
.
A fading kitten
Rozen91
Harry Potter © J. K. Rowling
PROLOGUE
.
.
Ia tidak tahu apa yang seharusnya ia lihat di wajah yang tersembunyi di balik bayangan itu. Mungkin ia sudah terlalu murka untuk memikirkan apa yang terjadi di sekelilingnya. Lalu suara tak senang wanita yang lain itu terdengar hingga membuat darahnya mendidih.
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu! Kau dengar itu!"
Seseorang yang dulu ia hormati kini melihat sosoknya saja sudah membuatnya muak. Tak pernah sebelumnya ia merasakan kebencian yang mendorongnya untuk melakukan hal keji seperti ini. Ia seolah melupakan segala kesopanan dan tata krama yang sejak dulu ditanamkan pada anak-anak sepertinya.
"Jangan pikir kau bisa bahagia kalau dia sampai meninggal! Aku benar-benar akan menghancurkanmu!"
Dia tidak main-main dengan ancamannya.
"Ini semua adalah kesalahanmu!"
Tuduhan itu juga sepenuhnya dilakukan dengan kesadaran. Bukan salah orang lain, kecuali orang itu saja.
"Aku mohon padamu! Apakah kau juga akan merenggutnya dariku!?"
Setelah semuanya, tinggal satu yang tersisa. Apakah orang itu hendak merebutnya juga?
Kejam.
Sangat kejam.
"Apa salahku padamu!? Jawab aku!"
Maka seraya menghentakkan kedua tangannya, dengan air mata mengalir deras,
ia bertanya.
xxxx
Mereka dulu adalah orang-orang yang tersenyum dan tertawa dengan riang. Di sore hari ketika mereka semua berkumpul dan kesenangan itu datang begitu saja.
Akan tetapi, kebahagiaan di masa lalu itu tidak bisa lagi kembalikan.
Entah dimana remaja itu akan mencarinya.
Ia mengemas beberapa barang yang dibutuhkan saja, merangkul ranselnya dan pergi jauh. Setelah meninggalkan janji dan sekuntum bunga lily segar pada sosok sang ibu yang belum menunjukkan tanda-tanda akan sadar.
Di pagi-pagi buta itu, Elliot pergi dan tak pernah kembali.
xxx
xxx
.
.
.
London: Granger's house. 03.00 p.m
"Sepupu? Hari ini?" Hermione menaruh secangkir teh di atas meja dan duduk di samping ayahnya. Ibunya mengangguk.
"Anak laki-laki sepupu jauhku yang tinggal di Swedia," kata Jane Granger, "Sepupuku bilang...dia agak eksentrik. Dia melakukan hal-hal yang tidak biasa. Dan anak ini bersikeras kalau dia punya sihir. Kupikir dia mungkin sama sepertimu, Hermione."
Ah.
Hermione tidak tahu bagaimana harus menanggapinya, tapi... rasanya pasti sangat menyedihkan kalau tak ada orang yang memercayai dan memberikan pertolongan padanya.
"Maaf, ya, ini pasti sangat mendadak bagimu. Padahal kau sedang menikmati liburan musim dingin."
"Tidak apa-apa, mom. Apa dia akan tinggal bersama kita...atau mungkin bersekolah di Hogwarts...atau tempat lain?"
Ibunya terkesiap. "Oh, benar. Clara tidak memberitahuku apapun kecuali meminta kita untuk menjaganya."
"Kalau begitu, namanya?"
"Elliot Nightingale."
"Anak itu?" timpal ayahnya," Kurasa dulu aku pernah bertemu dengannya. Waktu itu dia masih sangat kecil. Kalau dihitung, sekarang umurnya sekitar 15 tahun, setahun lebih muda darimu, Hermione."
Hermione mengangguk paham. Mungkin cuma dia saja yang belum pernah bertemu 'Elliot' ini.
Ketika itu bel tiba-tiba berbunyi. Hermione berdiri dan berjalan ke arah pintu. Ibunya berkata mungkin Elliot sudah tiba. Hermione berpikir bisa jadi tukang pos yang datang.
Kemudian ia membuka pintu. Seseorang berdiri di depannya.
Bukan tukang pos.
Seorang remaja yang lebih muda setahun dari Hermione. Warna rambut yang sama dan warna mata yang sama seperti ibunya. Dengan warna penampilan yang sama itu tidak heran jika Hermione langsung mengenalinya. Dia pasti 'sepupu jauh' yang dibicarakan ibunya tadi. Waktunya benar-benar pas.
Sorot matanya sangat diam dan sendu.
Tanpa segan Hermione membuka pintunya lebar-lebar, tersenyum, "Selamat datang, Elliot."
Hermione menoleh ke belakang, memanggil ayah dan ibunya. "Mom, Dad, sudah sampai!"
Ketika menoleh ia mengharapkan pemilik wajah muram itu masih berdiri di sana, memegang tali ranselnya sambil menundukkan kepala, namun yang ia lihat justru sangat mengejutkan.
Remaja itu berjongkok dan menangis sambil menyembunyikanwajah di lipatan lengan di atas lututnya.
Pemandangan itu sungguh membuat hati Hermione terenyuh. Lantas kedua mata Hermione berkaca-kaca ketika ia berlutut dan memeluk remaja itu.
Kesan pertama Hermione pada remaja itu adalah... bahwa Elliot Nightingale anak yang sangat malang.
_end of prologue_
Can you guess what kind of story this one will be?
:D
