.

elsword; Lord Knight
aisha; Dimension Witch

.

.

"Awas!"

Dia tahu seharusnya saat itu dia tidak mendongak. Hanya saja, saat itu dia hanya menduga akan langsung melihat langit biru yang terbentang di atasnya, bukannya sesuatu yang terlihat seperti titik ungu yang jauh di atas sana.

Manik merahnya menyipit, berusaha untuk melihat lebih jelas—memastikan apakah benda ungu itu adalah 'makhluk yang tidak terlihat' yang biasa dia lihat atau bukan. Namun pikiran itu langsung menghilang tanpa jejak begitu sesuatu yang sebelumnya ia sebut benda ungu itu semakin besar, berubah wujud menjadi seorang gadis dengan rambut ungu yang dikuncir dua.

Butuh waktu beberapa detik lagi baginya untuk menyadari bahwa gadis itu—dia terlihat seperti lebih muda darinya—benar-benar, dalam arti harfiah, jatuh dari langit. Tangannya dikepak-kepakkan dengan panik, seolah berharap bahwa kedua tangan mungil itu dapat berubah menjadi sepasang sayap yang akan membawanya terbang pergi, dan tanpa hasil.

(Dia tidak mengenal gadis itu, tapi dia bisa menyimpulkan bahwa gadis itu adalah seorang idiot.)

Jadi, seperti orang normal—yang panik dan bodoh—lainnya, dia mengulurkan tangannya, hendak menangkap gadis itu, berusaha sekeras mungkin untuk menghilangkan pikiran untuk membiarkan gadis itu jatuh dan mati seorang diri. Tidak, itu terlalu kejam.

Dalam detik gadis itu jatuh dalam pelukannya, begitu ringan layaknya sehelai bulu, dia merasakan sesuatu yang familiar mengalir dari tubuh gadis itu.

Dan begitu manik amethyst besar gadis itu bertemu dengan merah miliknya, dia tahu dunianya tidak akan sama seperti sebelumnya lagi.

.

Encounter

Chapter 1 – When the girl fell from the sky

"—we, indeed, already fated to meet like this."

An Elsword/Aisha fanfic; the writer gains no profit from this.

.

.

Dia sedang berlari. Bukan dari kakaknya yang mengerikan yang akan memaksanya berlatih di dojo atau gurunya yang tidak henti-hentinya menagih hutang-hutang tugas yang tak kunjung ia sentuh. Dia hanya berlari, menembus rimbunan hutan yang tak henti-hentinya memaksanya berhenti dengan goresan di kulit sawo matangnya dan daun-daun kering di rambut merahnya yang membara.

Kalau begitu, kenapa dia berlari?

Itu adalah salah satu dari pertanyaan yang tidak bisa ia jawab begitu saja.

Sejak kecil, dia memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang normal lainnya tidak bisa lihat. Orang lain akan menyebut makhluk itu hantu, namun baru-baru ini ia ketahui dari seseorang nama dari makhluk yang menghantuinya sejak kala kecilnya; Anima.

Dia tidak terlalu mengerti dengan penjelasan dari orang itu. Intinya, Anima bukanlah makhluk yang berbahaya. Makhluk itu tinggal di sisi manusia, bahkan lebih lama dari mereka. Mereka tidak akan menyerang manusia, andai saja manusia tidak mengganggu mereka—hal yang jarang sekali terjadi. Walaupun begitu, Anima bukanlah makhluk yang sepenuhnya aman. Terlalu lama tinggal di sisi manusia, Anima akan menyerap aura-aura jahat yang manusia keluarkan. Semakin lama, mereka akan berubah menjadi jahat dan mulai menyerang manusia tanpa pandang bulu. Wujud mereka yang terlihat tidak membahayakan akan berubah menjadi mengerikan—mereka, yang disebut Ayakashi.

(...Kenapa juga orang itu menggabungkan kata Latin dengan legenda Jepang? Oh ya, dia seorang idiot.)

Kembali lagi ke topik, alasan dia berlari di tengah hutan sekarang adalah orang idiot itu, yang dengan sembarang menyerang salah satu Anima—orang itu bilang tidak sengaja, dia bilang orang itu idiot—dan memutuskan untuk pergi begitu saja dengan sihirnya, membiarkan dia berlari sendirian, dikejar oleh Anima yang mengamuk.

Dia tahu seharusnya dia pergi ke sekolah saja, biarlah Elsa atau Stella mengamuk padanya. Bahkan itu terdengar lebih baik daripada menjadi calon makanan Anima.

Manik merahnya berpendar, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai senjata, dan meraih sebuah batang kayu yang cukup panjang seperti pedang kendo-nya. Dengan tangkas ia berbalik, dan bertemu langsung dengan wujud Anima yang selama ini selalu menakutinya—kulit yang biasanya bercahaya putih lembut, kini berubah menjadi merah gelap yang mengerikan, diliputi aura marah. Wujud yang biasanya terlihat seperti manusia yang mengenakan kimono kini terlihat lebih mengerikan—tangannya berubah menjadi cakar, lehernya menjadi lebih panjang dan bersisik, serta kepalanya terlihat seperti kepala naga.

Tangannya mencengkram batang kayu itu lebih kuat, kemudian menyiapkan kuda-kuda yang bertahun-tahun dipaku oleh kakaknya selama latihan. Ketika Anima itu menerjang ke arahnya, dia ikut menerjang, meneriakkan apapun yang tidak ia ingat, dan memukul makhluk itu tepat di antara kedua matanya.

Geraman marah Anima itu tidak membuatnya merasa lebih baik, dan dengan refleks melompat balik sebelum cakar itu berhasil mengoyak dirinya. Dia benar-benar melakukan usaha yang baik—dalam membuat makhluk itu semakin marah, maksudnya.

Dan saat itulah, suara yang tidak asing namun menyebalkan itu terdengar tepat di sebelah telinganya, "Tidak berguna seperti biasanya~"

Awalnya tidak terlihat, namun perlahan-lahan, wujud seorang gadis mulai muncul di sebelahnya, terbalut dalam cahaya ungu yang lembut. Gadis yang memiliki rambut ungu yang dikuncir dua, dengan ujung rambutnya bergulung. Seragam SMA Velder yang ia kenakan bersih tanpa noda, berbeda dengan yang kini ia kenakan. Dengan tangkas, gadis itu menariknya ke belakang pohon yang tersembunyi.

"Kau pergi ke sekolah selama aku mengurus—" Tatapannya mendelik tajam ke arah Anima yang kini tengah mengendus udara, mencari mereka. "—sampahmu ini?"

Tatapan meledeknya menghilang, berganti dengan sebuah senyum terbalik. "Jadi ini salahku?"

"Memang salah siapa lagi?!"

Gadis itu mendecak, jelas tidak senang dianggap sebagai seorang pembuat masalah (walaupun dia memang seorang pembuat masalah), namun tidak membalas kata-katanya. Dia hanya menatap Anima mengamuk di dekat pohon mereka bersembunyi, kemudian tangannya terangkat ke udara kosong, memunculkan sebuah tongkat dengan ujung yang berbentuk hati dengan sepasang sayap putih di dekat ujungnya.

Gadis ini—Aisha, namanya—adalah gadis yang mengaku sebagai seorang penyihir yang datang dari tempat yang jauh, dengan tujuan untuk menyegel Ayakashi di tempat ini. Dia juga gadis yang waktu itu jatuh dari langit, kemudian di selamatkan olehnya—walaupun gadis itu enggan mengakuinya. Entah apa yang gadis itu lakukan hingga bisa terjatuh dari langit setinggi itu, dia enggan untuk menceritakannya. Lagipula, dia sendiri juga tidak ingin tahu.

Barulah ia ketahui, Aisha adalah murid pindahan pendiam yang datang beberapa bulan yang lalu. Dia sama sekali tidak menyadari keberadaan gadis itu saking pendiamnya. Namun setelah hari itu, gadis itu selalu datang padanya dan berbicara non-stop dengannya.

Kesimpulannya; gadis itu aneh.

"—Hei, dunia pada Elsword?" manik merahnya mengerjap begitu tongkat Aisha mengayun di depan wajahnya, membuatnya menghentakkan kepalanya ke belakang karena kaget, dan menghantam belakang kepalanya sendiri di batang kayu dengan suara yang cukup keras. "B-Bodoh! Kalau kau bersuara keras begitu—"

Tidak perlu Aisha jelaskan, erangan Anima yang mengancam mereka cukup memberitahu Elsword bahwa persembunyian mereka telah diketahui. Tanpa basa-basi, Elsword menarik tangan Aisha, membawanya berlari pergi dari balik pohon tersebut, yang kini sudah tidak bersisa dengan satu serangan dari cakar sang Anima.

"Yang ini bukan salahku!"

"Salahmu, bodoh!" Laki-laki berambut merah itu menggertak balik, "Sudahlah! Yang penting sekarang kita—"

Jeritan Anima di belakang mereka memotong kata-kata Elsword, dan begitu mereka sadar, kini mereka tengah melayang di langit. Tempat mereka berlari sebelumnya telah hancur, hanya dengan satu pukulan dari Anima tersebut. Sentakan itu membuat mereka terlempar ke langit, sepertinya.

Aisha dengan cepat berpindah ke sisinya, memeluk pinggangnya, kemudian melompat di tengah udara kosong seperti berlari di atas air. Seragam SMA Velder telah berubah menjadi pakaian gadis sihir seperti di anime yang pernah ia tonton—namun sekarang hal seperti itu tidak penting.

"Dia akan berubah menjadi Ayakashi." Elsword mendengar gadis itu menggerutu, "Aku tidak bisa bertarung dengan beban di tanganku sekarang!"

"Hei!"

"Itu kenyataan, kok!" Dia memeletkan lidahnya pada laki-laki di pelukannya. "Untuk sekarang, kita harus pergi menjauh. Akan kuurus dia lain kali."

"Ide yang bagus."

Keduanya mengangguk bersama-sama. Dan Elsword membiarkan dirinya sendiri di bawa oleh Aisha melewati ranting-ranting pohon, menuju daerah yang lebih berpenghuni.

.

"...Lunaria?"

Awalnya dia tidak yakin, berhubung dia tidak pernah mengobrol dengan gadis itu sebelumnya. Aisha Lunaria—murid pindahan di kelasnya yang datang beberapa bulan yang lalu, kemudian suaranya tidak pernah terdengar lagi. Dia tipe orang yang akan memojok seorang diri di kelas, kemudian pergi duluan ketika pulang sekolah. Dia juga sering tertangkap basah mengobrol seorang diri, dan melakukan sesuatu yang terlihat seperti ritual yang aneh. Akhirnya orang-orang di kelas mulai menyebutnya dengan panggilan; penyihir.

Betapa mereka tidak tahu kalau sebutan itu memang benar-benar miliknya.

Manik amethyst gadis itu melebar setelah beberapa saat, seolah dia baru saja mencerna apa yang terjadi, dan dia memekik keras, nyaris saja membuat Elsword menjatuhkan gadis itu ketika sebuah tinju bersarang di wajahnya.

"A-Apa-apaan?!" Dengan sedikit kasar, dia menjatuhkan gadis itu dari pelukannya dan mengusap bagian yang dipukul olehnya, membuat gadis itu mengerang di rerumputan sambil mengusap bagian bawahnya. "Aku menolongmu dan kau malah memberikanku itu?!"

Gadis itu masih mengamatinya dengan tatapan panik dan takut, kemudian bertanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar, "K-Kau bisa melihatku?"

"Hah?" Satu alis terangkat, dan dia memberikan tatapan 'kau-kira-aku-buta?' pada gadis itu. "Kau Aisha Lunaria, yang sekelas denganku itu, bukan?"

Barulah setelah ia amati, gadis itu tidak mengenakan seragam Velder—walaupun sekarang masih tengah jam pelajaran dan Elsword memang tidak peduli dengan sekolahnya, dia tidak pernah membayangkan Aisha Lunaria adalah seorang pembolos sepertinya—namun mengenakan pakaian layaknya gadis penyihir seperti di anime; baju merah muda yang ketat dan rok ungu pendek, tertutup oleh sebuah jubah putih dengan bentuk seperti bulan sabit di bagian pinggir jubahnya. Serta sebuah pita ungu besar yang tersemat di belakangnya, membuatnya lebih terlihat seperti karakter dari anime atau komik yang biasa ia baca.

Dia juga tidak pernah membayangkan kalau Aisha Lunaria yang pendiam bisa menunjukkan kulit sebanyak itu. Buru-buru ia memalingkan wajahnya yang memerah.

"Kenapa kau berpakaian seperti itu, hah? Kau cosplayer yang berdandan seperti penyihir?"

"Aku penyihir sungguhan, kok."

Buru-buru Elsword mengembalikan pandangannya pada Aisha, yang kini sudah berdiri dan membersihkan debu dari pakaiannya.

Dia tertawa gugup, "H-Hei, kami cuma bercanda—"

Namun tatapan serius gadis itu memotong kata-katanya. "Aku benar-benar penyihir." Kalimatnya ditekan di setiap kata-katanya. "...dan seharusnya, tidak ada yang bisa melihatku sekarang."

Laki-laki berambut merah itu menelan ludah.

Berarti gadis itu jangan-jangan—

"Hei, namamu Elsword Sieghart, bukan—"

Dia tidak mendengar lanjutan kata-kata gadis itu dan langsung melarikan diri.

.

Sebuah buku setebal kamus mendarat di wajahnya ketika ia mencoba menyelinap masuk dalam kelas, telak mengenai keningnya tepat di tengah, seolah orang yang melemparnya telah hafal betul bagaimana modus operandi-nya dalam menyelinap masuk dalam kelas di tengah pelajaran.

Dan memang itulah kenyataannya. Guru yang kini mengajar—Stella, atau si monster keji yang menyiksa pelan-pelan dengan berbagai angka-angka rumit, sama saja—memang sudah hafal betul dengan sikap Elsword Sieghart, si pembolos namun bintang klub kendo itu. Andai saja julukan yang terakhir itu tidak ada, mungkin laki-laki berambut merah itu sudah ditendang dari SMA Velder yang berprestasi.

Di sudut matanya, dia melihat Aisha, yang duduk di kursi belakang tempat duduknya di dekat jendela, melirik ke arahnya dan memeletkan lidahnya, mengejek. Terkadang dia mengutuk sihir ruang dan waktu milik gadis itu—yang dengan sembarangan meninggalkannya di lorong depan kelas sementara dia sudah kembali duduk di tempat duduknya, seolah tidak ada hal yang terjadi.

"Ada yang harus kau katakan, Sieghart?"

Suara ketus Stella sama sekali tidak menakutinya—dia sudah biasa, sepertinya.

Dengan sisa tenaganya setelah berlari begitu jauh, Elsword berdiri sambil menyingkirkan daun kering yang tersangkut di rambutnya, kemudian mengangkat bahu. "Petualangan laki-laki."

Dan kata-kata singkat itu cukup untuk membuatnya menerima satu lagi kamus di keningnya.

.

Kesan pertamanya akan Aisha Lunaria; si murid pindahan yang aneh, namun misterius dan sedikit manis, berubah menjadi Aisha Lunaria; si hantu yang mengaku penyihir (masih manis).

Tak henti-hentinya dia bisa merasakan tatapan mengerikan yang diberikan Aisha keesokan harinya, yang duduk di belakangnya. Awalnya dia ingin melarikan diri saja, namun entah mengapa seolah takdir tidak mengizinkannya untuk lari dari gadis itu.

Dan ketika istirahat tiba, gadis itu langsung saja mencengkram tangannya, seolah menahannya dari melarikan diri, dan langsung mennyeretnya dengan kekuatan yang Elsword tidak tahu gadis mungil itu bisa keluarkan. Beruntung Elsword benar-benar dapat menahan rontaan dan permohonan maaf keluar sebelum mempermalukan dirinya sendiri di depan tatapan satu kelas.

Aisha membawa mereka ke belakang sekolah, tempat biasa gadis itu tertangkap basah berbicara seorang diri. Dengan keras, gadis itu menyentakkan tangannya, lalu berbalik dan menatap Elsword dengan tajam.

"Kemarin kau benar-benar tidak sopan, Elsword Sieghart!" Dia melipat tangannya di depan dada. "Kau tidak tahu aku benar-benar dalam masalah karena kau melihatku?"

"M-Mana kutahu!" Mengerahkan seluruh tenaganya, dia membalas, "Lagipula, kau ini apa?! J-Jangan-jangan, hantu yang hanya bisa kulihat?! Kau menyihir satu kelas—"

Sebuah telapak tangan langsung melayang ke mulutnya, begitu keras hingga dia meringis kesakitan. "J-Jangan keras-keras, bodoh!" Dia melihat sekeliling, lalu kembali menatapnya dengan tajam. "Kalau ada yang mendengar bagaimana?!"

Setelah beberapa saat, akhirnya keduanya dapat menenangkan diri, dan Aisha melepaskan tangannya dari mulut Elsword. Tatapannya terlihat jijik ketika menatap telapak tangannya sendiri, dan buru-buru mengelapnya di roknya.

"Jadi, kau bisa melihat... hantu?" Elsword mengangguki pertanyaan Aisha. "Itu juga alasan kau bisa melihatku."

Dia berkacak pinggang. "Sebelum kau mengatakan sesuatu, Sieghart, aku bukan hantu." Dia melempar rambutnya ke belakang dengan punggung tangan, lalu tersenyum bangga. "Seperti yang sudah kukatakan, aku adalah penyihir sungguhan, datang dengan tujuan untuk membasmi sesuatu yang kau sebut dengan hantu—atau lebih tepatnya, Anima."

"Sebelum aku menjelaskan ini padamu, aku akan bertanya satu hal." Tubuhnya di condongkan ke arah Elsword, menatapnya lekat-lekat. "Setelah hal ini, berjanjilah padaku kau akan percaya padaku dan membantuku. Dengan itu, aku akan melindungimu."

"Melindungiku?" Alis laki-laki itu bertaut. "Dari apa?"

Tatapan serius itu tidak menghilang. "Para organisasi yang mengincar Anima." Dia sama sekali tidak terdengar menyesal ketika mengatakan, "Kau sudah termasuk dalam kekacauan ini, Elsword Sieghart."

.

Jadi, beginilah dia sekarang, terlibat dalam sesuatu yang selalu ia jauhi sejak kecil. Sesuatu yang ia tahu akan berujung besar dan merubah hidupnya selamanya.

Sambil melipat tangan di depan dada dan kaki mengetuk lantai dengan tidak sabar, laki-laki berambut merah itu bersandar di samping pintu ruang guru yang terbuka, menunggu Aisha yang kini tengah berurusan dengan salah satu guru—terkadang dia kesal sendiri karena jadwal Aisha yang sibuk, membuat jam pulangnya lebih lambat karena harus menunggu gadis itu.

Kenapa dia menunggu gadis itu, kau tanya? Yah—

"Maaf membuatmu menunggu!"

Gadis itu muncul dari balik pintu ruang guru, tersenyum lebar. "Pulang sekarang?"

Elsword hanya mengangkat bahu, kemudian mengangkat tasnya di bahunya. "Ayo."

Entah bagaimana, gadis itu dapat meyakinkan kakaknya bahwa dia bukanlah gadis sembarangan dan hanyalah teman Elsword yang melarikan diri dari rumah, menumpang untuk sementara waktu. Itu, katanya, supaya lebih mudah untuk melindungi Elsword—walaupun kakak Elsword sendiri adalah seorang juara kendo nasional tingkat mahasiswa, gadis itu hanya tidak mau mendengarkannya, seperti biasa.

Walaupun begitu, entah mengapa begitu melihat berbagai sisi dari Aisha yang tidak ia ketahui selama ini, dia merasa bahwa hal itu bukanlah sebuah masalah yang besar.

.

—atau setidaknya dia berharap begitu.

.

To be continued?


*sujud* saya tau saya nista banget belum selesai satu fic malah nulis fic lanjutan lagi aaaaaaaa *dikubur

oke, saya dapet ide ini waktu lagi tarawih kemarin, dan baru bisa ditulis waktu pengajian sampai hampir tengah malem, jadi kesannya masih mabok gegara saya juga males ngedit- #jangancurhat

fic ini bakalan pendek, mungkin sekitar 4-6 chapter, semoga aja bisa selesai ;;w;;

as always, i don't own Elsword! _(:3/