TRUST

.

.

.

.

.

NAMJIN

.

.

.

.

.

(1/2)

.

.

.

Sorry for typos, enjoy!

.

.

.

Kim Seokjin tak pernah mempermasalahkan jarangnya intensitas pertemuan dan interaksinya dengan sang kekasih, Kim Namjoon. Keduanya sudah dewasa, sama-sama mengerti jika ada hal lain yang lebih harus di prioritaskan. Meski begitu, keduanya tetap menjaga hubungan baik. Saling berkirim pesan di penghujung hari selalu menjadi kegiatan wajib keduanya. Sekedar menanyakan kabar dan melepas penat setelah lelah bekerja. Di lain waktu mereka bertelepon, saat Namjoon tak sedang sibuk di rumah sakit. Meski jarang, keduanya tetap bertemu setidaknya satu kali setiap minggunya, biasanya di akhir pekan. Berjalan dengan tangan bertautan di taman, makan malam spesial buatan Seokjin, atau menonton film semalaman hingga keduanya tertidur di sofa dengan televisi masih menyala. Namjoon dan Seokjin melakukannya selama empat tahun terakhir.

Semua baik-baik saja...

.

.

.

Atau setidaknya begitu menurut Seokjin.

.

.

Restoran tempat Seokjin bekerja akan pebuh seharian ini. Sebuah perusahaan menyewa seisi restoran untuk acara ulang tahun perusahaan, yang dipastikan akan berlangsung hingga larut malam. Seokjin yakin dirinya akan pulang larut hari ini.

BRUKK!

Suara berdebum mengalihkan atensi para koki selama beberapa detik, mencoba melihat apa yang terjatuh. Sebelum aroma terbakar makanan yang tercium membuat mereka fokus kembali pada kegiatan mereka.

"Jungkook pingsan!" Seseorang berteriak

Sebagai seorang kepala koki, dan anggota tertua di dapur, Seokjin bergegas mematikan kompor dan menghampiri sumber suara.

Beberapa pria berseragam pelayan mengerumuni Jungkook yang masih terbaring tak sadarkan diri di lantai. Seokjin menyeruak diantara kerumunan,

"Berikan ruang!" Seokjin menyeru, ia berlutut disebelah Jungkook,"Kim Mingyu! Kwon Soonyoung! Bawa Jungkook masuk ke mobilku." Seokjin menatap dua pelayan dihadapannya, yang serempak mengangkat tubuh Jungkook dan membawanya keluar dari dapur, menuju mobil Seokjin yang terparkir diluar.

Seokjin memutar cepat otaknya, berpikir,"Park Jihoon! Gantikan aku di meja Main Course!" Ia berteriak, memberi perintah

"Siap, chef!" Park Jihoon menyahut, ia meninggalkan stasiun hidangan penutupnya, dan berlari kecil menuju meja Main Course.

"Lee Taeyong!" Atensi Seokjin teralih pada pelayan yang baru saja masuk kedalam dapur dengan nampan kosong,"Pakai celemek dan gantikan Jihoon di meja Dessert!"

"Jung Hoseok! Ambil alih komando dapur selama aku pergi!" Ia memberikan perintah terakhir, sebelum berbalik menuju pintu keluar dan masuk kedalam mobil.

Seokjin memacu mobil secepat yang dia bisa, sesekali melirik Jungkook yang masih terbaring tak sadarkan diri di kursi belakang. Ia meraih earpiece di Dashboard mobil, kemudian menghubungi manajer restoran. Fokusnya berjabang, antara mengemudi dan menjelaskan situasi yang terjadi beberapa menit lalu pada sang atasan, dan meyakinkan jika situasi terkendali.

CKITT!

Mobilnya terhenti tepat didepan pintu unit gawat darurat. Seokjin tak membuang waktu dan langsung melompat turun dari kursi pengemudi, ia membuka pintu belakang mobil, dan membawa tubuh Jungkook kedalam. Bertahun-tahun mengangkat panci besar berisi sup ternyata bermanfaat di saat seperti ini.

Beberapa perawat yang menyadari kedatangan Seokjin lantas mengarahkannya pada brankar yang kosong. Ia berdiri beberapa langkah dibelakang sementara para dokter melakukan tugasnya, sambil menjelaskan kronologi kejadian Jungkook bisa sampai pingsan.

Dokter yang memeriksa Jungkook berbalik, menatap Seokjin,

"Anda walinya?" Dokter itu bertanya

Seokjin menggeleng,"Aku teman kerjanya." Ia menjawab jujur

"Pasien kelelahan karena terlalu banyak bekerja." Sang dokter menjelaskan,"setelah efek obat bius dan cairan IV-nya habis, dia boleh pulang. Dan, tolong hubungi walinya untuk mengurus administrasi."

"Terima kasih, dokter." Seokjin membungkuk hormat, yang dibalas senyuman oleh sang dokter, sebelum menghampiri brankar Jungkook dan duduk di kursi disebelah brankar.

Seokjin meraih ponselnya dari dalam saku celana, kemudian menelepon seseorang.

"Halo, Taehyung-a." Seokjin berbicara, saat panggilannya terjawab,"ya, ini Jin hyung. Hei, bisa kau datang ke rumah sakit sekarang? Jungkook pingsan dan-"

Ucapannya terhenti saat Taehyung berteriak dan meracau di ujung sambungan. Seokjin sampai harus menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Kim Taehyung!" Seokjin meninggikan suara, yang langsung mendapat tatapan tidak suka beberapa pasien dan perawat didekatnya,"Jungkook baik-baik saja, oke? Jika kau memang sekhawatir itu, cepat datang ke rumah sakit universitas Hanlim sekarang juga!"

PIP!

Seokjin mematikan sambungan. Ia menghela napas lelah, lalu menyandarkan kepala pada ujung brankar Jungkook.

"Jinnie?"

Seokjin mengangkat kepala ketika mendengar suara yang amat familiar memanggilnya. Ia menoleh, lalu tersenyum kearah seorang pria berseragam putih didepannya.

"Junnie!" pekiknya senang, ia berdiri dari duduknya, dan melingkarkan tangan di tubuh Namjoon, memeluknya erat

Namjoon balas mengusap punggung Seokjin, sebelum melepas pelukan keduanya. Ia menatap Seokjin tepat di mata.

"Ada apa? Kenapa kau disini? Kau baik-baik saja?" Namjoon bertanya lembut,

"Aku tidak apa-apa." Seokjin menjawab,"Jungkook pingsan karena kelelahan, aku sedang menunggu Hoseok datang lalu kembali ke restoran."

Namjoon menghela napas, ia melirik Jungkook,"Aku akan menceramahi anak itu saat sadar nanti."

Seokjin tersenyum, ia lalu terpikirkan sebuah ide,"Shift-mu selesai sebentar lagi, kan?" ia mengganti topik

Namjoon melihat arlojinya, lalu mengangguk,"Sekitar setengah jam lagi."

Senyum Seokjin semakin melebar,"Bagaimana jika setelah ini kita-"

"Namjoon-ie hyung!"

Kalimat Seokjin tak sempat diselesaikannya, senyum yang sedari tadi berada diwajahnya mendadak menghilang, rongga dadanya mendadak sakit melihat apa yang baru saja terjadi. Siapa orang ini? Kenapa dia memeluk Namjoon seperti itu?

"Oh, halo Ren-a." Namjoon berujar santai,

Kesabaran Seokjin sudah berada diambang batas. Oh ayolah! Siapa yang suka melihat kekasihnya dipeluk oleh orang lain didepan matanya sendiri? Dan Namjoon juga tak menunjukkan tanda-tanda tak nyaman dengan perlakuan dokter bernama Ren itu. Ada apa ini? Apa ada sesuatu yang Namjoon sembunyikan darinya? Seokjin mendadak paranoid.

"Ehem!" Seokjin berdeham, cukup keras untuk mendapat atensi kedua dokter dihadapannya

"Oh!" Namjoon seolah tersadar, buru-buru dia melepaskan tautan lengan Ren pada tubuhnya,"Ren-a, ini Kim Seokjin. Kekasihku."

Ren menatap singkat kearah Seokjin, terlihat tak berminat untuk sekedar menyapa,"Ya, halo." Atensinya kembali terarah pada Namjoon,"hyung, setelah ini kita tetap pergi ke panti sosial, kan?"

Namjoon mengangguk,"Tentu saja."

Ren tersenyum senang,"Sampai jumpa setengah jam lagi, hyung." Ia berlari pergi

Atensi Namjoon kembali pada Seokjin,"Tadi apa yang ingin kau katakan?"

"Oh, bukan apa-apa." Seokjin berujar santai, sebisa mungkin menahan diri untuk tidak meledak,"hanya ingin mengajakmu makan siang. Tapi sepertinya kau sibuk."

Raut wajah Namjoon berubah tak enak,"Maaf, Jinnie. Aku sudah janji dengan Ren."

Seokjin menghela napas pelan, kemudian mengangguk mengerti,"Siapa Ren ini? Kau tak pernah cerita."

"Ren juniorku disini. Dan kau tahu, Jinnie? Ren salah satu relawan terbaik rumah sakit ini! Tak banyak dokter yang mau ikut bakti sosial seperti ini, kau tahu? Dia luar biasa!"

Bohong jika Seokjin tak merasa cemburu. Hatinya seperti ditusuk ribuan jarum, nyeri dan sakitnya sangat terasa, terlebih saat Namjoon dengan bersemangat memuji dokter bernama Ren itu. Seokjin tak pernah melihat Namjoon seantusias ini saat menceritakan seseorang.

Sial! Seokjin jadi ingin menangis.

"B-bisa kau menjaga Jungkook sebentar? Aku perlu ke toilet." Suara Seokjin bergetar di awal kalimat, ia mati-matian menahan tangis

"Oh, tentu." Namjoon berkata

Seokjin tersenyum lemah, sebelum bergegas pergi. Separuh jalan menuju toilet, dan air matanya tak bisa ditahan lagi. Ia melanjutkan langkah dengan aliran air mata dan pandangan yang kabur.

KLIK!

Pintu bilik dikunci, dan Seokjin menangis dalam diam.

Kekanakan sekali, memang. Menangis hanya karena melihat Namjoon bersikap baik pada orang lain. Seokjin merasa seperti anak sekolah yang baru pertama kali berkencan. Bisa-bisanya dia semudah itu menangis hanya karena sebuah pelukan.

Pelukan yang sudah lama tak dirasakannya.

Kapan terakhir kali Namjoon memeluknya sebelum hari ini? Ah, sepertinya bulan lalu. Saat kencan terakhir mereka, Namjoon memeluknya erat ketika mengantarnya pulang setelah menonton film.

Seokjin penasaran sudah berapa kali dokter Ren itu memeluk Namjoon. Mereka bekerja ditempat yang sama, pasti akan sering bertemu. Bisa melihat Namjoon setiap hari, melihat lesung pipinya yang lucu tiap kali dia tersenyum. Dokter Ren sangat beruntung.

Sial! Seokjin iri setengah mati dengan Ren!

KRINGG!

Seokjin mengusap kasar matanya, sebelum meraih ponsel di kantung celana.

"H-halo?" ia menjawab panggilan masuk dari Taehyung

"Hyung? Dimana-" Ucapan Taehyung terhenti saat ia tak sengaja mendengar suara tersendat Seokjin,"kau sedang menangis, hyung?"

Seokjin tersenyum disela tangis,"Wah, kau hebat bisa tahu, Taehyung-a." Ia berujar pelan

"Dimana kau sekarang?" Nada bicara Taehyung terdengar serius

"Temui Jungkook saja, dia lebih membutuhkanmu. Dia ada di unit gawat darurat, Namjoon sedang menjaganya." Seokjin memberitahu

"Kau bertengkar dengan Namjoon hyung, kan?" Taehyung menerka

Seokjin terkejut, darimana Taehyung bisa tahu?

"K-kenapa kau bisa tahu?"

"Kau hanya akan memanggil Namjoon hyung dengan nama aslinya saat bertengkar. Biasanya kau akan memanggilnya Junnie, kan."

Seokjin tertawa pelan,"Aku seperti itu?" ia menatap kosong kearah lantai

"Sudahlah, dimana kau sekarang?"

"Taehyung-a, aku sedang ingin sendiri." Ujarnya pelan,"bisa kau bilang pada Namjoon aku langsung pulang setelah menemuimu di lobi rumah sakit?"

Taehyung menghela napas,"Oke, tapi aku akan ke apartemenmu malam ini. Mau kau suka atau tidak."

"Terima kasih, Taehyung-a."

Seokjin memasukkan kembali ponselnya kedalam saku. Ia membuka pintu bilik, dan membasuh wajahnya di wastafel, menghilangkan sisa air mata di wajah. Ia tersenyum kearah refleksi dirinya di cermin, meyakinkan diri jika semua akan baik-baik saja. Ini hanya efek kelelahan, dan Seokjin jadi terlalu sensitif. Namjoon tak mungkin melakukan hal buruk.

.

.

.

.

.

TING! TONG!

CKLEK!

Seokjin tersenyum saat melihat Taehyung berdiri didepan pintu apartemennya. Ia menyingkir, memberi ruang bagi Taehyung untuk masuk, lalu menutup pintu. Ia mengikuti Taehyung ke ruang tengah, dan tersadar jika Taehyung membawa dua plastik putih besar.

"Apa itu?"

"Tteokbokki, Odeng, Ojing-eo, Kimchi Jjigae, semua makanan pedas yang bisa kutemukan selama perjalanan kemari." Taehyung mengeluarkan satu per satu makanan dari dalam plastik,"Dan tentu saja Soju." ia mengeluarkan beberapa botol Soju dari plastik yang lain.

Seokjin tersenyum, Taehyung selalu tahu bagaimana cara menaikkan mood-nya. Ia beranjak menuju dapur, mengambil peralatan makan dan dua gelas kecil,

"Bagaimana kabar Jungkook?" Seokjin bertanya, sedikit berteriak karena masih berada didapur

"Aku mengurungnya dikamar seharian ini, besok mungkin dia tak akan masuk kerja."

Seokjin membawa peralatan makannya, lalu duduk bersila didepan Taehyung.

"Jadi, apa yang terjadi?" Taehyung bertanya, sepotong kue beras masuk kedalam mulut

Seokjin menenggak gelas Soju pertamanya, kemudian menghela napas,"Kurasa aku hanya terlalu sensitif dan berubah kekanakan." Ia memulai, lalu menceritakan kejadian siang ini pada Hoseok

Hoseok diam untuk beberapa saat, mencoba mencerna apa yang baru saja Seokjin ceritakan.

"Jadi,"Hoseok memulai,"Namjoon hyung bersikap biasa saja saat dokter bernama Ren ini memeluknya dihadapanmu. Dan dia bahkan lebih mementingkan janjinya dengan Ren dibanding makan siang bersamamu?" Taehyung menyimpulkan

"Namjoon terdengar sangat jahat jika kau mengatakannya seperti itu." Seokjin kembali melahap sepotong Odeng

Taehyung menghela napas,"Hyung, jelas sekali jika Ren mencoba merebut Namjoon hyung darimu. Kau ini bagaimana?"

Seokjin menggeleng, sepotong kue beras yang kini masuk kedalam mulutnya,"Aku percaya pada Namjoon."

"Lalu apa kau percaya dengan Ren? Siapa yang tahu kapan Ren akan benar-benar merebut Namjoon darimu."

"Taehyung, jaga bicaramu." Seokjin berujar, tak suka

"Maaf hyung, tapi aku hanya mencoba melihat kemungkinan yang paling masuk akal saat ini." Taehyung mencoba membela diri,"ini sudah tahun keempatmu bersama dengan Namjoon hyung, kan. Menurutmu Namjoon hyung tak akan berada pada titik jenuhnya, apalagi disaat kalian berdua sedang sibuk dan jarang bertemu seperti ini?"

Seokjin berhenti mengunyah, ia memikirkan perkataan Taehyung barusan.

Ia menatap Taehyung,"Lalu apa yang harus kulakukan?" wajahnya mendadak panik

Taehyung tersenyum,"Hyung, kau tahu aku selalu ingin bekerja di Dispatch, kan?"

Seokjin mengangguk, masih tak mengikuti arah pembicaraan Taehyung.

"Biar aku mengikuti Namjoon hyung selama beberapa hari. Aku akan melaporkan semuanya padamu."

"Kau mau? Bagaimana dengan pekerjaanmu?" Seokjin bertanya

"Elle Korea tidak membutuhkanku untuk sementara waktu. Ada fotografer lain yang bisa menggantikanku." Taehyung menjawab santai,"lagipula kau sudah menolong Jungkook. Setidaknya ini yang bisa kulakukan untuk membalas budi."

Seokjin menimbang, haruskah dia menerima tawaran Taehyung? Tapi itu sama saja dengan menuduh Namjoon selingkuh. Tidak pernah sedikitpun terlintas dikepalanya skenario dimana Namjoon berselingkuh. Mereka bertengkar, seperti pasangan pada umumnya, tapi tidak untuk perselingkuhan.

"Oke." Seokjin menyetujui, tak ada salahnya mencoba, kan?

.

.

.

.

.

Hari ini restoran sedang sepi, tipikal rabu sore seperti biasa. Hanya ada satu dua pelanggan yang menempati meja restoran, sibuk dengan makanan dan percakapan masing-masing. Seokjin sedang membersihkan stasiun kerjanya ketika Taehyung menelepon dan berkata ada hal penting yang harus dibicarakannya dengan Seokjin hari ini juga. Ini menyangkut Namjoon.

Seokjin setuju untuk bertemu, dan meminta Taehyung untuk datang ke restorannya. Dia meminta ijin untuk keluar menemui Taehyung pada manajernya, dan menghampiri mobil Taehyung yang terparkir diseberang jalan.

TUK!

"Apa ini?" Seokjin bertanya, sebuah amplop Taehyung jatuhkan diatas pangkuannya beberapa saat setelah Seokjin masuk kedalam mobil.

Taehyung menatap Seokjin,"Uh, hyung, kau bisa melihatnya sendiri."

Seokjin mendadak khawatir, ia membuka amplop pemberian Taehyung dan mengeluarkan beberapa lembar foto didalamnya.

Tangannya bergetar, lembar foto pertama yang dilihatnya menjadi alasan. Seokjin tak tahu harus merespon seperti apa.

Disana, diantara daun yang menghalangi lensa kamera Taehyung, duduk dua orang yang sangat dikenalnya dibawah pohon, saling tersenyum, terlihat sangat bahagia dimata Seokjin.

.

.

Namjoon dan Ren.

.

.

Dilihatnya foto kedua, tak jauh berbeda. Kali ini Ren bergerak mengambil sepotong roti isi dari dalam keranjang rotan didepannya.

Foto ketiga, Namjoon menerima suapan dari Ren dengan senyum merekah.

Foto keempat...

Keduanya berpelukan.

Seokjin tak mampu melanjutkan, hatinya hancur. Dibiarkannya berlembar-lembar foto itu jatuh diatas kaki, sementara kedua tangannya kini menutup wajah. Isakan terdengar pelan, namun cukup untuk membuat atmosfir didalam mobil berubah muram.

Taehyung, yang tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa mengusap pelan bahu Seokjin. Dia sebenarnya tak ingin melakukan ini pada keduanya. Sejak mengenal Seokjin dan Namjoon bertahun-tahun silam, Taehyung selalu menjadikan keduanya panutan. Dia belajar bagaimana rasa saling percaya bisa membuat sebuah hubungan berjalan dan langgeng dari keduanya. Tapi, dia juga tidak bisa melihat Seokjin terus dibohongi seperti ini. Mencetak foto-foto itu adalah salah satu pekerjaan terberat yang pernah dilakukannya.

"Darimana..."Suara Seokjin terdengar parau,"darimana kau me-mendapat fo-foto ini?" ujarnya pelan disela isakan yang masih tersisa

"Acara peringatan hari lansia akhir minggu lalu. Aku mengikuti rombongan rumah sakit ke panti lansia. Setelah beberapa hari mengikutinya tanpa hasil yang berarti, kupikir dokter Ren itu memang hanya menganggap Namjoon hyung sebagai seniornya di rumah sakit." Taehyung mulai bercerita,"tapi saat aku akan pulang, memutuskan jika keduanya bersih, aku tak sengaja melihat dokter Ren menarik Namjoon hyung keluar dari aula. Aku mengikuti mereka sampai ke belakang gedung. Ternyata Ren sudah menggelar karpet dan menyiapkan makanan untuk acara piknik dadakannya dengan Namjoon hyung." Taehyung menyelesaikan cerita.

Seokjin mendengarkan dengan seksama. Dia tak lagi menangis. Tatapannya kosong menatap lembaran foto yang terserak diantara sepatunya.

"Hahh!" Seokjin menghela napas keras, ia menegakkan postur duduknya, kemudian menoleh kearah Taehyung, ia tersenyum,"Terima kasih atas bantuanmu, Taehyung-a."

Senyuman Seokjin nyatanya membuat perasaan Taehyung tak enak.

"Jin hyung," Taehyung berujar pelan,"kurasa kau harus membicarkan ini dengan Namjoon hyung. Kau tahu? Sebelum mengambil keputusan." ia mencoba memberi saran

"Tenang saja, Taehyung-a. Aku tidak bodoh." Seokjin mengumpulkan foto dibawah, dan kembali memasukkannya kedalam amplop,"foto ini boleh kubawa, kan?" Seokjin bertanya

"Tentu, hyung." Taehyung memberi afirmasi

TAP!

Seokjin menepuk bahu Taehyung pelan, sebelum membuka pintu mobil dan berlalu menuju restoran.

Taehyung menatap kepergian Seokjin dalam diam, ada sesuatu yang mengganjal didalam hatinya. Dia tak baru saja menghancurkan hubungan 4 tahun sempurna dua hyung kesayangannya, kan?

.

.

.

.

.

Seokjin menatap foto hasil jepretan Taehyung untuk kesekian kalinya. Sudah berjam-jam lamanya, dan hanya itu yang dilakukannya sejak pulang kerja. Ia mengerutkan dahi, sebanyak apapun dia berpikir, tak ada satupun ide yang muncul dikepalanya yang bisa menjelaskan interaksi keduanya hanya sebatas senior dan junior dalam lingkup bekerja ditempat yang sama.

Ia meraih ponselnya, mencari nama sang kekasih dalam daftar nomor telepon, dan meneleponnya, nada sambung terdengar beberapa kali hingga Namjoon menerima panggilannya.

"Halo, Jinnie? Maaf, bisa kutelepon kau lagi nanti? Aku sedang sibuk saat ini." Suara Namjoon terdengar terburu-buru, Seokjin bahkan belum sempat mengucap apapun ketika sambungannya diputus secara sepihak.

Oke, Namjoon hanya sedang sibuk menyelamatkan nyawa seseorang. Bukan masalah besar, Seokjin bisa berusaha mengerti.

Namjoon menyelamatkan nyawa, bersama dokter Ren. Bukan masalah, memang itu pekerjaan mereka.

"Sial!"

Seokjin membanting ponselnya keatas sofa, hatinya tidak bisa tenang jika terus begini. Dia harus menyelesaikan semuanya sekarang juga.

Dikenakannya jaket hitam miliknya, juga mengambil kunci mobilnya diatas laci, lalu mengantungi ponselnya disaku jaket sebelum pergi menuju rumah sakit tempat Namjoon bekerja.

.

.

Aneh

Rumah sakit tak terlihat ramai, Seokjin bahkan sempat melihat beberapa suster tertawa di eskalator. Kondisi yang tenang, terlalu tenang. Dimana letak sibuknya?

Ia meraih ponselnya, berusaha menghubungi Namjoon. Dan tentu saja, tak dijawab. Bukankah Namjoon bilang dirinya sibuk tadi?

Seokjin menghampiri suster yang kebetulan lewat, Park Hani, dari papan nama yang dikenakannya. Ia tersenyum kearah sang suster,"Selamat malam," ia menyapa.

Suster bernama Hani itu tersenyum,"Ada yang bisa kubantu?"

"Aku mencari dokter Kim Namjoon, dari departemen gawat darurat. Aku mencoba menghubunginya, tapi tak dijawab."

"Ah, dokter Kim." Suster Hani tampak familiar dengan nama itu,"Mungkin dia sedang sibuk menyiapkan kejutan untuk dokter Ren?"

Oke, apa lagi ini?

"Kejutan?" Seokjin tak mengerti

Suster Hani mengangguk,"Pesta kejutan untuk merayakan berakhirnya masa residennya. Dokter Ren akan menjadi profesor bedah toraks, menggantikan profesor Hwang yang akhir tahun ini pensiun."

"A-ah, begitu." Seokjin berujar, dirinya mendadak merasa kecil. Namjoon berpaling darinya untuk seorang profesor? Tentu saja masuk akal.

"Kau ingin ikut bergabung?" Suster Hani menawarkan

Seokjin memberi gestur tangan menolak,"Tidak, aku tidak ingin mengganggu pesta staf rumah sakit." tolaknya halus

"Hey, ikut saja." Suster Hani menarik tangan Seokjin, mencegahnya menolak lebih jauh.

Seokjin hanya bisa pasrah saat suster Hani membawanya ke ruang gawat darurat. Riuh rendah suara para dokter dan perawat saling bersahutan, sebagian mengucapkan selamat pada dokter Ren, sebagian yang lain menikmati beberapa kotak pizza di atas meja.

Seokjin menatap sekitar, matanya menjelajah cepat, mencari orang yang sejak tadi ingin ditemuinya. Genggamannya pada amplop berisi foto siang tadi mengerat saat dia menemukan Namjoon diantara lautan manusia berjubah putih didepannya. Ia berusaha mendekat, mendorong pelan beberapa dokter agar memberinya jalan.

"Semuanya!"

Langkahnya terhenti saat Ren tiba-tiba berteriak. Ia, dan dokter lain menghentikan kegiatan mereka. Semua mata tertuju pada Ren.

"Terima kasih karena sudah mendukungku selama ini. Aku tak yakin bisa sampai pada fase ini jika bukan karena bantuan kalian semua." Ren memulai, ia berbalik, menatap Namjoon,"terutama pada Namjoon hyung. Terima kasih karena sudah menjadi senior paling hebat yang pernah kumiliki. Tentu saja semua seniorku disini yang terbaik, jangan marah sunbaenim-deul."

Gelak tawa terdengar, Seokjin tak termasuk kedalam orang yang tertawa. Tatapannya lurus terarah pada Namjoon, yang sampai detik ini masih tak menyadari kehadirannya.

"Dan aku juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengutarakan sesuatu." Suara dokter Ren kembali terdengar, kembali mengambil seluruh atensi padanya.

"Kim Namjoon sunbaenim," ia menatap Namjoon, senyuman sejak awal tak pernah lepas dari wajahnya,"aku menyukaimu."

Seruan heboh para kolega Namjoon dan dokter Ren menjadi hal terakhir yang Seokjin dengar sebelum ia memutar tubuh dan berlari secepat mungkin keluar dari sana.

Semua pertanyaannya terjawab sudah.

Seokjin tak yakin bisa mengemudi dalam kondisi seperti ini, jadi dia berbelok ke taman rumah sakit, kemudian duduk dibalik pohon, menghadap pelataran parkir ambulans. Tak akan ada orang yang bisa melihatnya menangis disini.

Seperti tak peduli dengan apapun lagi, Seokjin menangis sekencang yang dia bisa. Meluapkan semua emosi yang beberapa hari terakhir ini menumpuk dalam hatinya.

Namjoon memilih pilihan yang tepat, pikirnya. Siapa yang bisa begitu bodoh menolak profesor bedah kepala muda yang menarik? Jika Seokjin berada di posisi Namjoon, dia pasti akan menerimanya. Ya, tanpa peduli hati siapa yang akan tersakiti karena keputusannya.

DRRT! DRRT!

Getaran dari ponselnya coba Seokjin abaikan. Dirinya tak sedang dalam mood yang baik untuk bicara dengan orang lain.

DRRT! DRRT!

Siapa orang ini? Harusnya si penelepon tahu jika satu kali panggilannya tak dijawab, berarti Seokjin sedang tidak ingin diganggu. Semua kenalannya tahu itu.

"Hahh," Seokjin menarik napas panjang, menetralkan deru napasnya akibat menangis, kemudian meraih ponselnya.

15 panggilan tak terjawab, semua berasal dari penelepon yang sama.

Kim Taehyung.

Seokjin tak bohong saat merasa sedikit kecewa karena Taehyung yang meneleponnya. Disaat dia berharap Namjoon yang menelepon.

Ah, benar. Namjoon sedang 'sibuk' didalam sana.

"Halo," Suara Seokjin terdengar pelan, ia tak ingin Taehyung tahu dirinya dalam keadaan kacau

"Kim Seokjin, hyung yang paling kusayang." suara Taehyung terengah,"sebenarnya kau ada di bagian rumah sakit yang mana? Aku lelah berlari terus."

Yah, pada akhirnya percuma mencoba menutupi keadaan. Taehyung cepat atau lambat pasti akan mengetahuinya.

"Aku didekat lapangan parkir ambulans, dibawah pohon." Jawab Seokjin.

"Diam disana, aku sudah dekat."

PIP!

Seokjin membiarkan ponselnya jatuh keatas rumput, sementara dirinya menenggelamkan wajah di lutut.

"Hyung!"

BRUKK!

Seokjin tak mampu menjaga keseimbangan tubuh saat Taehyung memeluknya erat. Keduanya berakhir terjatuh dengan Seokjin menjadi alas jatuh Taehyung.

"Hyung, maafkan aku!" Taehyung berujar, ia mengangkat tubuhnya, dan membantu Seokjin kembali ke posisi duduk.

"Kenapa kau meminta maaf? Dan, darimana kau bisa tahu aku ada di rumah sakit?" Seokjin bertanya, suaranya serak, terlalu keras menangis

"Aku mengikutimu, setelah memberikan foto siang tadi." Jawab Taehyung,"dan aku juga melihat saat dokter Ren me-"

"Jangan dilanjutkan!" Seokjin memotong, tak ingin mendengar kelanjutan kalimat Taehyung. Ia menundukkan kepala,

"Kau benar, Taehyung-a." Seokjin berujar,"Sejak awal Ren memang mencoba mengambil Namjoon dariku. Aku harusnya lebih peka."

"Hyung! Bukan salahmu ini semua terjadi." Taehyung mencoba memberi penjelasan

"Tidak, sungguh. Namjoon membuat keputusan bijak jika dia menerima Ren." Seokjin tersenyum,"siapa aku jika dibandingan dengannya? Iya, kan?"

Taehyung terdiam, tak tahu harus bagaimana menjelaskan pada Seokjin jika semua yang dikatakannya adalah salah.

SRET!

Seokjin tiba-tiba berdiri,"Ayo kembali kedalam. Masih ada satu hal yang perlu kuketahui."

Taehyung ingin mencegah Seokjin masuk kedalam sana, tapi ada bagian kecil dalam dirinya yang juga ingin tahu kenapa Namjoon mengkhianati Seokjin setelah empat tahun.

Keduanya kembali ke unit gawat darurat, sebagian besar dokter dan perawat telah pergi.

"Halo, Namjoon-a." Seokjin menyapa

Namjoon terlihat terkejut melihat kedatangan Seokjin dan Taehyung yang tiba-tiba. Terlebih ketika menyadari wajah Seokjin yang sembab, dan wajah panik Taehyung. Sesuatu pasti telah terjadi. Namjoon tak pernah melihat Seokjin sekacau ini sejak Odeng -peliharaan kesayangan Seokjin- mati beberapa bulan lalu.

"Jinnie, sayang. Ada apa?" Namjoon mendekat, sebelah tangannya menangkup pipi Seokjin, raut khawatir terlihat jelas di wajahnya.

Seokjin tersenyum tipis,"Aku hanya ingin menunjukkanmu sesuatu." Ia menjulurkan tangan, memberikan amplop berisi foto yang kini lusuh karena terlalu erat digenggam olehnya selama menangis tadi.

Namjoon menerima amplop itu dengan ekspresi bingung. Ia membukanya, dan mengeluarkan seluruh isinya. Kedua mata coklatnya membulat sempurna ketika melihat isi dalam amplop pemberian Seokjin itu.

"Ini- d-darimana kau mendapatkannya?" Nada suaranya bergetar gugup

"Namjoon-a,"Seokjin memanggil pelan,"bisa kau jelaskan padaku apa sebenarnya yang terjadi dalam foto ini?" Ia mengabaikan pertanyaan Namjoon

"Ini- aku...uh..." Namjoon berubah kikuk, matanya bergerak tak tentu arah, mencoba memutar otak untuk menjawab pertanyaan Seokjin.

"Ck," Seokjin berdecak,"kau harus mengarang cerita dulu? Kau tidak ingin mengatakan yang sebenarnya padaku? Kau mencoba berbohong padaku, Kim Namjoon?" Seokjin mengatakannya dalam sekali tarikan napas. Matanya masih lekat menatap Namjoon dihadapannya.

Namjoon makin menundukkan kepala, tertangkap basah seperti ini benar-benar membuat kepalanya tak bisa bekerja. Dia tak bisa berpikir jernih jika panik.

"Apa kau menerima pernyataan dokter Ren tadi?" Seokjin kembali pertanya

Kini Namjoon mengangkat kepalanya, menatap Seokjin dengan tatapan tak percaya,"K-kau melihatnya?"

"Setidaknya jawab pertanyaanku yang satu ini, ya? Junnie-ku." Seokjin memohon, suaranya semakin memelan, ia bisa meledak kapan saja.

Namjoon menghela napas,"Apa yang bisa kulakukan, Jinnie?" Namjoon berujar pelan, terdengar putus asa,"aku tidak punya pi-"

"Setidaknya kau bisa memberitahuku." Seokjin memotong,"bukankah itu yang selama empat tahun ini kita lakukan? Saling bersikap terbuka."

"Lalu kau ingin aku melakukan apa?" Suara Namjoon mendadak meninggi,"memberitahumu jika ada junior-ku ditempat kerja yang berusaha mendekatiku selama enam bulan terakhir? Dan aku tidak bisa menolak semua permintaannya karena dia keponakan direktur rumah sakit?"

"Ya!" Seokjin tak ingin kalah, dia ikut meninggikan suaranya,"Ya, kau bisa memberitahuku, Kim Namjoon. Kau bisa memberitahuku semuanya! Masalahmu, kegelisahanmu, semuanya! Apa selama empat tahun ini kau masih belum bisa terbuka padaku, pada kekasihmu sendiri?"

Skak mat!

Namjoon diam, tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya bisa menatap Seokjin yang kini sudah berurai air mata.

"Hahh," Seokjin menghela napas kasar, ia mengusap asal sisa air matanya, lalu menatap kedua netra Namjoon.

"Kita butuh jarak." Seokjin memutuskan

"A-apa?" Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut Namjoon

"Ya, jarak." Seokjin mengulang, memperjelas,"Aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Dan kau butuh waktu menyusun kembali semua keputusanmu, itu pun jika kau mau menyusunnya kembali."

Seokjin tersenyum lemah,"Kau bisa datang padaku saat kau siap. Selamat tinggal."

Itu kalimat terakhir Seokjin, sebelum berbalik meninggalkan Namjoon.

"Maafkan aku, hyung." Taehyung, yang sejak awal menyaksikan pertengkaran keduanya, hanya bisa menyesali apa yang telah dia perbuat, sebelum mengikuti Seokjin keluar dari unit gawat darurat.

Namjoon tak pernah merasa sekosong ini dalam hidupnya.

.

.

.

.

.


TO BE CONTINUE


.

.

.

Hey! Ini Min, disini aku mau meminta maaf, karena kami mendadak menghilang selama kurang lebih satu bulan. It wasn't intentional, believe me. Ada beberapa masalah yang harus aku dan Qiesha selesaikan, karena itu kami belum bisa bekerjasama dalam waktu dekat ini.

Aku tahu harusnya sekuel Let It Go harusnya di-publish beberapa minggu lalu. Dan, aku minta maaf karena belum bisa melanjutkan. Ada sebagian part milik Qiesha yang harusnya selesai, tapi belum selesai sampai hari ini. Dan karena ini project kita bertiga bersama crazehun, aku tidak punya hak untuk mengambil apa yangg menjadi bagian Qiesha.

But I promise, all this problem will be solved soon. So you can expect to read the new chapter of Let It Go by the end of this week, or before January 10th.

.

.

Regards, Min