RAINBOW DAYS

"Hari-hari penuh warna, seperti pelangi.

Setiap harinya pasti ada kesedihan. Tapi kau tahu artinya? Dibalik kesedihan itu ada kebahagiaan yang menunggu. Dan juga sebaliknya. Sebenarnya sebuah kebahagiaan menyembunyikan kesedihan didalamnya.

Seperti pelangi. Mereka ada setelah datangnya hujan. Takkan ada kebahagiaan jika tak diawali oleh kesedihan.

Didunia tanpa kesedihan, jembatan pelangi tidak akan muncul."

Chapter 1

Levi membuka matanya yang semalaman terpejam. Seperti biasa pria dengan tinggi tidak lebih dari 160 cm itu bangun lebih awal. Sebagai orang yang bertanggung jawab dirumah tentu saja ia harus melakukan pekerjaan seorang ibu dan ayah secara bersamaan. Mengingat dirinya memiliki seorang adik yang harus ia rawat membuatnya harus bekerja lebih keras.

Bukan merupakan sebuah keinginan hanya tinggal berdua dengan adiknya di sebuah apartemen mewah. Bukan kemauannya pula kehilangan kedua orang tuanya secepat ini, disaat adiknya masih membutuhkan kasih sayang orang tua. Disamping ia harus berperan sebagai kakak yang layak bagi adiknya, Levi juga harus menjadi sosok ibu yang mengurusnya dan memasak untuk makan mereka berdua juga harus menjadi sosok ayah yang bekerja keras membanting tulang untuk menunjang kehidupan mereka.

Levi bangkit dari tempat tidurnya. Melangkah menuju kamar adiknya, Eren. Ia hanya ingin memastikan apakah adiknya sudah bangun atau belum. Tapi ini memang terlalu pagi jika saja adiknya itu sudah bangun. Dan ternyata Eren memang belum menandakan tanda-tanda terbangun dari tidur nyenyaknya.

Melihat itu, Levi kembali menutup pintu kamar Eren dan memutuskan mulai melakukan pekerjaan rumah.

Miris memang. Seorang pria berusia 20 tahun harus mengurus adik satu-satunya yang masih berusia 7 tahun. Disaat pria sepertinya memiliki kehidupan pribadi yang menentukan masa depannya.

Sebenarnya ia belum terbiasa melakukan peran sebagai ayah dan ibu secara bersamaan. Itu karena baru setahun lalu ayahnya meninggal. Ayahnya adalah seorang wakil direktur di sebuah perusahaan mobil terkemuka. Hari itu beliau menjadi orang pertama yang mencoba mobil keluaran terbaru perusahaannya. Tapi karena ternyata mobil itu memiliki sedikit kelalaian dalam pengerjaan, beliau tak bisa menggunakan rem mobil itu. Dan kecelakaanpun terjadi. Mobilnya bahkan sampai meledak. Dengan itu sudah dapat dipastikan nyawanya tak lagi ada dalam tubuhnya.

Kejadian kecelakaan itu membuat Levi memiliki sedikit trauma saat mengendarai mobil. Sehingga ia lebih menyukai menaiki kendaraan umum jika keadaannya tidak mendesak.

Mata sipit Levi selalu menunjukkan bahwa ia bukan orang yang mudah diajak berbicara, terlebih jika mata itu mulai mengeluarkan aura kelam membunuh jika ia merasa tak senang pada seseorang. Pria miskin ekspresi itu kini tengah berkutat dengan komputer dihadapannya. Niatnya untuk membereskan rumah ia urungkan karena rumahnya ini sama sekali tidak berantakan. Sebagai orang yang gila kebersihan, rumahnya ini sangat jauh dari kata kotor dan berantakan. Bahkan mungkin debu-debu malas untuk menjatuhkan diri diatas benda-benda yang ada dalam rumah itu.

Diusianya yang masih terbilang muda, Levi sudah menjadi seorang guru. Ya meski sebenarnya ia baru bekerja beberapa minggu terakhir ini.

Pekerjaannya sebagai guru disalah satu sekolah menengah atas baru-baru ini sudah memikat para murid disana. Selain karena cara mengajarnya yang cukup killer, tak jarang juga ia mendapatkan surat cinta dari para siswi. Levi guru yang populer juga.

Dikomputernya itu kini ia tengah mengetikkan sebuah laporan. Pekerjaan sebagai guru memang tidak mudah, ditambah semua urusan hidupnya itu.

Jemarinya menari lincah diatas keyboard sampai sebuah suara menghentikan kegiatannya, suara pintu kamarnya yang terbuka.

"Nii-chan.."

Levi menoleh kearah asalnya suara dan melihat sosok Eren berdiri diambang pintu sambil menggosok matanya yang baru terbuka.

"Nande?" balasnya datar.

Eren kecil melangkah masuk ke kamar kakaknya kemudian duduk disamping kakaknya itu. Dengan mata yang masih terlihat mengantuk ia melihat apa yang sedang dikerjakan kakaknya.

"Kenapa nii-chan sudah bekerja pagi-pagi seperti ini?" tanya Eren polos.

Levi diam sejenak. Merasa aneh dengan pertanyaan Eren yang jarang sekali ia tanyakan. Biasanya anak itu tidak pernah mau membicarakan pekerjaan kakaknya, ia lebih suka membuat kakaknya sebal.

"Kenapa menanyakan hal itu?"

"Aku hanya ingin tahu.."

Hening. Baiklah, hubungan mereka sebagai kakak-adik memang cukup dekat namun sepertinya masih ada beberapa hal yang tidak dimengerti satu sama lain. Itu membuat sedikit jarak antara mereka.

Detik waktu sepertinya berjalan lebih cepat hari ini, itu yang dirasakan Levi saat ini.

"Hari ini kau sekolah kan? Mandilah, nanti nii-san antar."

Tanpa banyak bicara Eren langsung menuruti apa yang dikatakan sang kakak.

Dia tampak aneh hari ini, batin Levi. Tapi ia tak banyak ambil pusing. Mungkin ia hanya kurang tidur.

Setelah memastikan Eren masuk ke kamar mandi, Levi melanjutkan apa yang tadi sempat tertunda.

Sudah berkali-kali Eren gagal menalikan tali sepatunya. Padahal ia sama sekali tidak lupa dengan cara menalikan tali sepatu. Namun entah mengapa dirinya seolah tidak fokus dan berkali-kali gagal dalam menalikan tali itu.

Melihat apa yang dilakukan Eren, Levi langsung mengambil alih pekerjaan itu. Ia berjongkok dihadapan Eren untuk menalikan tali sepatunya. Adiknya itu pasti sedang memikirkan sesuatu sampai tak bisa melakukan hal mudah seperti menalikan tali sepatu dengan benar.

Setelah kedua sepatu itu sudah ditali dengan benar, Levi memandang heran eajah Eren yang tampak lesu.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

Eren tak menjawab. Ia hanya sesekali memainkan tali sepatu dikakinya. Levi mencoba untuk mengerti. Mungkin ini bukan saatnya ia akan mengatakan apa yang mengganjal hatinya.

"Souka. Ayo kita berangkat."

Rivalle bangkit berdiri dan menarik tangan Eren agar mengikutinya.

Perjalanan mereka pagi ini sangat hening. Eren yang biasanya selalu berbicara tak henti kini terlihat murung. Sesekali Levi melirik pada adiknya itu. Memastikan apakah ia tidak sakit atau semacamnya.

"Sudah sampai. Jadikan harimu menyenangkan. Nanti nii-chan menjemputmu lagi dijam seperti biasa."

Eren mengangguk tanda mengerti. Kemudian berlalu pergi menuju area sekolah.

"Ada apa dengan anak itu.." guman Levi.

"Apa kalian mengerti?" tanya seorang guru pendek yang baru saja menjelaskan sebuah materi.

Tak ada yang menyahut, hanya anggukkan kecil yang diberikan para siswanya. Mungkin mereka takut salah bicara dan akhirnya menjadi korban serangan kapur mematikan dari sang guru pemilik surai hitam itu. Mengerikan bukan?

"Jika kalian sudah mengerti, saya akhiri pertemuan hari ini. Jangan lupa dengan kegiatan kunjungan ke museum besok lusa."

"Baik sensei!" seru mereka serempak.

Ya sebenarnya Levi juga menjadi wali kelas kelas ini menggantikan guru yang dulu karena sudah pensiun. Dan sepertinya tak butuh banyak waktu untuk membuat para muridnya nyaman dengan sosok guru pengganti itu meski tak ada kata main-main jika berhadapan dengan Levi.

Para murid mulai membereskan buku-buku mereka kedalam tas. Pergelutan mereka disekolah hari ini memang sudah berakhir, ditutup dengan perginya Rivaillle dari ruang kelas. Mereka sudah bisa bernapas lega.

Disamping itu, Levi yang baru saja melangkahkan kaki meninggalkan kelas mulai berjalan sedikit cepat. Sesekali ia melirik jam yang tergelang manis di tangan kirinya. Wajah datar itu kini terlihat sedikit berekspresi. Ekspresi.. cemas?

Setelah ia sampai diruang guru dan mengambil mantel hitamnya, Levi langsung bergegas meninggalkan ruang guru atau mungkin meninggalkan sekolah. Ia harus menjemput Eren. Untung saja hari ini ia membawa mobil karena jika tidak, mungkin ia akan sangat terlambat menjemput adiknya. Ini sudah lebih 20 menit dari seharusnya. Mungkin agak aneh kalau jam pulang anak kelas 2 SD sama dengan jam pulang anak SMA. Tapi itulah yang terjadi. Pemerintah yang baru mengganti peraturan lama. Tapi sepertinya ini tak berakibat buruk, dilihat dari bagaimana efektifnya pembelajaran mereka. Tidak terlalu buru-buru dalam memberikan materi.

Levi menancap gas mobilnya cukup cepat, tidak peduli banyak mobil yang berlalu-lalang juga disekitarnya. Kekhawatirannya pada Eren membuatnya sangat bersikap protective. Eren tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa seijinnya. Orang yang berteman dengan Eren juga harus Levi ketahui terlebih dahulu. Minimal Levi tahu nama dan wajahnya, dengan begitu ia akan mudah mencari orang-orang itu jika terjadi sesuatu pada Eren.

Tidak membutuhkan banyak watku untuk sampai di sekolah Eren. Dengan cepat Levi turun dari mobil hitam mengkilatnya dan mencari sosok Eren. Biasanya Eren akan menunggu di depan gerbang tapi sepertinya hari ini berbeda. Levi tidak menemukan adiknya didepan gerbang. Apa ia terlalu lama datang sehingga membuat Eren bosan dan pergi entah kemana? Baiklah, hentikan pikiran bodoh itu Levi batinnya.

Meski wajahnya masih tetap sama, datar seperti biasa. Namun sorot matanya tetap menunjukkan sebuah kecemasan. Pria tak jangkung itu melangkah memasuki gerbang sekolah, siapa tahu bocah itu ada dalam.

Mata sipit Levi tak henti menyusuri setiap sudut lapangan sekolah itu, lapangan yang cukup luas untuk sekedar sekolah dasar. Beberapa detik setelah ia melangkah dan melirik kesana kemari, sosok yang dicari akhirnya ditemukan. Eren tengah duduk termangu disebuah tangga yang memisahkan lapangan depan gerbang dengan lapangan olahraga.

Terlukis sebuah senyuman tipis di wajah datar itu. Akhirnya, si tuan tanpa ekspresi ini memberi sebuah kehangatan diwajahnya meski hanya sekejap.

Levi menghampiri Eren yang sepertinya tidak menyadari keberadaan kakaknya itu karena ia masih menundukkan kepalanya menghadap tanah sambil mengorek-ngorek tanah itu dengan sebuah ranting kecil.

"Eren!"

Sang pemilik nama itu mendongak pada orang dihadapannya. Tapi mata emerald itu perlahan-lahan terlihat sayu melihat kehadiran kakaknya. Akhirnya ia menunduk lagi.

Merasa heran dengan kelakuan adiknya, Levi mengangkat sebelah alisnya.

"Ada apa denganmu?"

Tak ada jawaban.

"Kenapa kau duduk disini? Bajumu nanti kotor karena debu. Ayo berdiri, kita pulang."

Masih tak ada jawaban. Yang diajak bicara hanya semakin menundukkan kepalanya. Malah sekarang yang terdengar hanya sebuah isakan kecil.

"Eren?"

Baiklah, bocah emerald itu menangis. Karenanya?

Levi berjongkok dihadapan Eren, berusaha melihat wajah adiknya yang tengah menangis itu. Berkali-kali Eren memalingkan wajahnya dan berkali-kali pula Levi mencoba melihat wajahnya. Hingga akhirnya Levi memaksa adiknya itu untuk mendongak, menatapnya.

"Doushite?"

Hanya terdengar isakan dari mulut Eren kecil. Pikiran bocah memang tak bisa dibaca orang dewasa.

Levi menyerah. Mungkin Eren sedang tidak mau menceritakan apa yang terjadi padanya saat ini. Levi memutuskan untuk mengeluarkan sapu tangannya dari saku mantel miliknya kemudian membersihkan air mata yang tergenang dikedua pipi bocah dihadapannya ini. Ia juga menarik tangan Eren agar berdiri, supaya ia bisa menepuk debu yang menempel dicelana bagian belakang adiknya. Setelah itu tentu saja Levi mengelap kedua tangannya dengan sapu tangan yang lain. Entah berapa sapu tangan yang ia miliki itu, dasar clean freak.

"Kakak sudah menanyakannya padamu, 'ada apa dengnmu?'. Kakak tinggal mendengar jawabannya. Sekarang kita pulang."

Tanpa mau mendengar repot menunggu tanggapan Eren, Levi langsung membawa adiknya menuju mobil. Pulang ke rumah adalah tujuannya.

"Nii-chan.." bisik Eren sambil meremas ujung mantel yang digunakkan Levi. Suaranya sangat kecil sampai Levi hampir tidak menangkap suara itu. Untunglah disana cukup sepi sehingga indra pendengaran Levi bekerja dengan baik.

Levi berbalik arah pandangnya menghadap Eren, memberi tatapan 'ada-apa' padanya.

"Aku.. takut.."

Mereka masih terus berjalan. Levi sama sekali tak merespon apapun setelah Eren mengatakan apa yang ada dipikirannya saat ini. Pembicaraan ini akan berlanjut nanti, dirumah, disaat Eren sudah bersih dari kuman-kuman dan berhenti menangis.

Eren duduk dengan diatas kursi sofa di ruang tengah. Ia menunggu kakaknya selesai mandi untuk membicarakan apa yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Mata emerald-nya tak henti terlihat gelisah. Ia sedikit takut menanyakan hal ini pada kakaknya. Ia takut mendapat bentakan atau makian darinya, meski sebenarnya ia tak pernah mendapat bentakan atau makian dari kakaknya.

Klek

Suara pintu terbuka. Levi yang baru selesai mandi menghampiri Eren. Pria itu masih mengelap-elap rambutnya yang basah dengan handuk kecil yang menyampai dipundaknya.

Levi duduk dikursi, tepat dihadapan Eren. Memberi isyarat agar Eren memulai apa yang ingin ia katakan.

"E-etto.. Nii-chan.. Apa aku membebanimu?"

Sedetik kemudian Levi tersedak kopi hitam yang baru saja masuk ke kerongkongannya. Bicara apa bocah ini?

"Apa maksudmu?"

Eren sama sekali tak menatap mata sang kakak, reaksinya sama dengan apa yang dibayangkan Eren sebelumnya.

"Aku merasa.. menjadi beban bagi nii-chan.. Aku tahu ayah baru pergi setahun lalu, tapi nii-chan tahu sendiri kan kalau aku selalu diurus oleh nii-chan. Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Semakin hari, aku semakin merasa mengganggu kehidupan nii-chan.."

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Aku.. selalu merepotkan nii-chan. Aku tahu saat nii-chan menyuruhku tidur tepat waktu, nii-chan sendiri tidur sangat telat karena mengurus ini itu.."

"Hanya karena itu?"

Eren terdiam. Kenapa reaksi kakaknya itu begitu datar sedatar lintasan pesawat terbang?

"Kalau begitu, kakak akan memasak makan malam dulu."

Levi beranjak dari kursinya, berjalan menuju dapur sampai suara Eren menghentikan langkahnya.

"Nii-chan!"

Levi menoleh, datar.

"Nii-chan belum menjawab pertanyaanku."

Eren menatap iris kelabu kakaknya. Levi menghembuskan napas berat. Pertanyaan konyol yang tidak seharusnya dilontarkan bocah seperti Eren kenapa harus ia jawab? Mata sipit itu menangkap wajah penuh harap akan jawaban darinya, sebelum akhirnya ia mengalah dan menjawab pertanyaan kompleks itu.

"Jika kau menjadi bebanku, mana mungkin kau masih hidup sampai detik ini. Mana mungkin aku rela melakukan berbagai hal untuk bebanku, berhentilan berpikiran bodoh seperti itu Eren."

Terlihat sebuah ekspresi terkejut pada wajah Eren. Bayangannya salah besar ternyata.

"Ta-tapi.."

"Kau tidak membebaniku, Eren."

Hening. Levi kembali melanjutkan langkahnnya menuju dapur untuk memasak makan malam. Sedangkan Eren? Ah entahlah.. Mungkin dia lega sekaligus senang karena ternyata ia sama sekali tidak membebaninya. Ia memang berpikir bodoh saat menduga hal itu. Sebarusnya ia percaya bahwa kasih sayang kakaknya sama sekali bukan beban. Bahwa kakaknya itu melakukan berbagai hal untuknya karena ia menyayangi Eren.

Eren yang lega langsung menyusul kakaknya ke dapur, melihat apa yang sedang dilakukan kakaknya itu.

"Duduklah." ucap Levi saat menyadari Eren berada disampingnya, memerhatikannya dengan antusias.

Eren menuruti perintah Levi. Ia duduk disalah satu kursi meja makan yang memang nenyatu dengan dapur itu. Darisana, ia tiba-tiba mengingat masa lalunya dulu. Mungkin saat usia 3 tahun.

Flashback

"Nii-chan nii-chan!" panggil Eren kecil pada kakak disampingnya yang tengah berkutat dengan buku-buku tebal dihadapannya.

Levi menoleh sebentar lalu kembali membaca buku tebal itu sambil sesekali menggoreskan tinta hitam penanya diatas buku tulis.

"Nande?" jawabnya santai.

"Nii-chan sedang apa?"

"Mengerjakan PR."

"Hm? Nani? Apa itu PR?"

Benar-benar. Kenapa Eren kecil bertanya seperti itu dengan puppy eyes miliknya? Ini sangat mengganggu konsentrasi Levi untuk menyelesaikan tugasnya. Dengan sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak mencubit pipi menggemaskan adiknya itu. Adiknya ini sangat.. kawaii.

"Nii-chan?" Eren kecil menunggu jawaban dari kakaknya, masih dengan puppy eyes itu.

"Eren, PR itu adalah tugas dari sekolah yang dikerjakan di rumah. Bisakah Eren tidak mengganggu nii-chan untuk sebentar saja, hm?"

Tampak ekspresi kecewa di wajah Eren. Dan itu malah menambah berkali-kali lipat aura kawaii yang ia miliki.

"Tapi Eren ingin bermain dengan nii-chan.."

Jger!

Ah.. Petir seperti menyambar kesabaran Levi. Tidak, apapun boleh asal bukan membuat adiknya yang kawaii ini kecewa. Sudah jadi rahasia bahwa Levi, dibalik topeng stoic-nya, menyimpan sebuah kebahagiaan tersendiri saat mendapatkan hal yang ia inginkan. Adik laki-laki. Ya, Levi sangat menginginkan hal itu dan saat ini, saat dia sudah mendapatkannya, ia sangat sangat sangat ingin menyenangkan hal yang ia inginkan itu.

Runtuhlah sudah topeng stoic-nya. Levi menutup buku pelajarannya. Pria 16 tahun itu kemudian tersenyum hangat pada adiknya sebelum melakukan hal macam-macam padanya. Kegemasannya pada Eren sudah membuatnya menjadi kakak yang.. emm, apa ya? Sangat menyayangi adiknya.

"Kenapa kau malah bengong? Makanan sudah siap."

Eren celingukan mendengar suara Levi. Kenangannya tadi baru mengingatkan Eren bahwa, kakaknya itu sangat menyayanginya. Mungkin itu sudah cukup.

"Ah, gomen-nasai.." ucap Eren sedikit sumringan.

"Sepertinya Eren sudah kembali menjadi dirinya yang biasa.." guman Levi seraya menaruh semangkuk nasi dihadapan Eren.

Eren cengengesan mendengar oernyataan kakaknya. Ya, Eren memang sudah kembali menjadi Eren yang biasa.

"Nii-chan! Sesudah ini kita bermain game ya!"

"Kau harusnya mengerjakan PR-mu."

"Tidak ada PR hari ini, jadi.. Ya? Ya? Kita bermain game ya?"

"Hm, baiklah."

Bocah yang aneh. Tadi siang ia menangis ketakutan sekarang dia kegirangan karena akan bermain game dengan kakaknya. Mungkin, atau memang kenyataan, Levi lebih sering tersenyum dirumahnya. Ya, karena ada keluarganya disana.

Chapter 2

"Nii-chan! Kenapa air panasnya tidak menyala?" teriak Eren dari kamar mandi.

Levi, pria kurang tinggi yang sibuk memanggang sosis dan roti untuk sarapan itu langsung menghela napas. Pagi-pagi sudah berisik.

"Nii-chan!"

"Kh, urusai! Kenapa kau tidak memakai air dingin saja?" teriak Levi yang masih melakukan pekerjaannya.

"Ini kan dingin nii-chan!"

Levi memijat pelipisnya perlahan. Kesal sudah menjalar keseluruh tubuhnya. Anak itu manja sekali, batinnya.

"Nii-"

"Cepat mandi atau aku yang akan memandikanmu, Eren."

Siing..

Suara Eren seketika lenyap bagai ditelan bumi. Dan beberapa detik kemudian terdengar suara air yang berjatuhkan ke lantai, ya suara orang mandi. Mendengar itu Levi langsung menyeringai. Mungkin Eren tahu bagaimana cara ia memandikan seseorang, apalagi dengan air dingin itu.

Itu adalah mimpi buruk saat beberapa bulan lalu Eren membawa kucing liar pulang bersamanya. Namanya juga kucing liar, pasti hewan berbulu itu kotor. Hal itu pastinya membuat pria gila kebersihan yang berstatus sebagai kakak Eren itu merasa tidak suka. Langsung saja kucing itu dibawa kekamar mandi untuk dimandikan. Tidak perlu dijelaskan bagaimana cara Levi memandikan kucing itu, yang jelas hal itu berhasil membuat Eren syok. Sehari setelah kejadian itu, kucing yang Eren bawa menghilang entah kemana. Mungkin kabur setelah merasakan bagaimana dimandikan oleh si topeng stoic.

Beberapa menit kemudian Eren keluar dari kamar mandi, dengan handuk dikepalanya. Bergegas ia masuk ke kamarnya tanpa berani menatap sang kakak.

"Eren, sarapanlah."

"Baik."

Dia jadi anak baik haari ini. Levi yang sudah selesai menyiapkan sarapan mendudukkan dirinya di salah satu kursi meja makan. Seperti biasa ia menikmati secangkir kopi pahit kesukaannya. Entah mengapa cairan hitam berkafein itu selalu membuatnya tenang.

Tak lama Eren keluar dari kamarnya, bocah itu sudah siap dengan seragam dan tas sekolahnya. Tapi tentu saja ia pergi ke ruang makan dulu untuk sarapan. Sambil terus mengunyah makanan dalam mulutnya, sesekali Eren melirik kakaknya yang tengah membaca koran pagi ini. Merasa diperhatikan, Levi pun berkomentar.

"Kenapa memandangiku seperti itu?"

"I-iie.."

Levi berhenti membaca korannya, kini ia menyeruput kembali kopi hitam itu. Setelah cairan hitam itu melewati kerongkongannya, Levi memandang adiknya hendak mengatakan sesuatu.

"Besok kau pulang lebih awal kan?"

"Iya."

"Ajaklah Armin dan gadis Arkceman itu kesini."

"Hm? Nande?"

"Besok kakak harus membimbing para murid berkunjung ke museum, mungkin pulangnya terlambat jadi tidak bisa menjemputmu."

Eren berhenti mengunyah beberapa detik. Kemudian mengangguk mengerti.

"Pastikan setelah pulang sekolah kau langsung ke rumah bersama Armin dan gadis Arkceman itu, bermainlah disini."

"Mm, bagaimana kalau aku tidak langsung pulang tapi aku bermain diluar?"

"Kau akan tahu akibatnya."

Eren mengerucutkan bibirnya, kesal. Bahkan saat kakaknya tak ada di rumahpun ia tak bisa melakukan apa yang ia inginkan. Kakaknya ini terlalu baik atau kelewatan protective?

"Kau bisa melakukan apa yang kakak katakan tadi kan, Eren?" tanya Levi sedikit ragu.

Eren menangguk. Mulutnya sedang penuh jadi tidak bisa berkomentar banyak.

"Baiklah.. Semoga harimu menyenangkan besok."

Satu gigitan terakhir roti Eren mengakhiri sarapannya, juga perbincangan paginya bersama kakaknya.

"Ayo berangkat, nii-san!"

Ting tong

Bel tanda istirahat terdengar di seluruh ruangan kelas. Bunyi itu membuat semua anak keluar ruangan mencari jatah makannya. Beberapa sisiwa yang membawa bekal sendiri memutuskan untuk tetap dikelas, menikmati makan siangnya bersama teman-temannya.

Eren menghampiri bangku teman karibnya, Mikasa dan Armin. Seperti biasa mereka akan makan bersama. 3 bocah itu memang sudah berteman dari dulu, sedari TK mungkin.

Mereka mulai membuka bekal masing-masing. Mikasa membawa bento buatan ibunya, Armin membawa roti isi, dan Eren? Ia membawa bento yang dibuatkan kakaknya.

"Woaa! Eren! Bekalmu sangat cantik!" seru Armin.

Eren hanya senyum-senyum mendengar ketakjuban temannya itu. Dia terlihat, sangat bangga.

"Apa kakakmu yang membuatnya?" tanya Armin dengan mata yang berbinar-binar.

"Iya! Dia hebat kan?"

"Cih," Mikasa mendecih.

Gadis bermata tajam itu memang terlihat sangat tidak menyukai Levi. Alasannya pria pendek itu tidak cocok menjadi kakak Eren yang baik hati. Padahal aura Mikasa dan Levi sama-sama mematikan, tidak bersahabat.

Eren memandang Mikasa yang terlihat sebal. Ia mencoba untuk mengerti ketidaksukaan Mikasa pada kakaknya, tapi tetap saja ia tidak mengerti.

"Nee, pulang sekolah nanti bermain di rumahku ya?"

Armin dan Mikasa sontak melirik satu sama lain, jarang sekali mereka bisa bermain di rumah Eren.

"Eh? Kau yakin Eren? Tidak akan dimarahi oleh kakakmu?"

Eren menggeleng sambil tersenyum cerah, mata emerald-nya sangat berbinar penuh harap.

"Aku ingin sekali tapi hari ini aku harus pergi les piano. Kalau tidak pergi, ibuku pasti marah. Mungkin aku bisa main setelah les. Kurasa jam 4 aku pulang." Armin berusaha tersenyum hangat meski ia sebenarnya ingin menerima ajakan Eren.

Eren mulai menurunkan sudut bibirnya yang sempat membentuk sebuah senyuman. Tampak raut kekecewaan disana. Ia menoleh kearah Mikasa, berharap gadis itu tidak menolak ajakannya seperti Armin.

"Aku juga tidak bisa menemanimu bermain. Aku sudah berjanji pada ibuku untuk menemaninya belanja keperluan dapur. Jadi aku langsung dijemput oleh ibuku sepulang sekolah nanti. Maaf Eren.."

Gagal sudah rencana Eren untuk bermain bersama mereka dirumahnya. Bocah brunette itu tampak sangat kecewa meski ada sebuah senyuman di wajah polosnya.

"Tak apa. Mungkin lain kali ya.." balasnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Matahari yang sempat merajai bumi tepat diatas ubun-ubun beberapa jam lalu sudah berpindah arah. Levi bersama para siswanya baru saja turun dari bus yang mereka tumpangi. Sejak tadi pagi mereka sudah berkeliling museum.

Semuanya turun dengan tertib didepan sekolah. Sesudah ini mereka akan bergegas pulang ke rumah masing-masing.

"Semuanya! Berkumpul dulu disini!" teriak si ketua kelas.

"Silakan, sensei." ia mempersilahkan Levi untuk mengatakan sesuatu.

"Kurasa kalian sudah mengerti tentang tugas yang tadi diberikan saat berkeliling museum. Kuharap 2 hari setelah hari ini laporan kegiatan kalian sudah ada di mejaku. Kalian paham?"

"Paham, sensei!"

"Baiklah, silakan pulang ke rumah masing-masing dan beristirahatlah."

"Hai, sensei!"

Tak lama merekapun membubarkan diri. Itulah enaknya menjadi guru anak SMA. Mereka sudah tidak sulit diatur seperti anak SD. Mereka juga mudah diajak berkomunikasi dan mudah dimengerti.

Saat Levi hendak membuka pintu mobilnya yang ia simpan di tempat parkir, seorang siswi menghampirinya.

"A-ano.. Levi-sensei.."

Levi menoleh pada gadis berambut abu itu.

"Naze?"

Gadis dihadapannya langsung menyodorkan sebuah kotak berwarna merah lengkap dengan pita berwarna putih yang ukurannya cukup sedikit besar.

"Apa ini?"

"I-ini coklat. Kuharap sensei menyukainya."

Dalam hati Levi ingin menolak pemberian gadis itu. Disamping ia memang kurang menyukai makanan manis, ia juga tidak suka membuatnya berhutang budi pada seseorang. Tapi ya apa boleh buat. Anggap saja sebagai cara untuk lebih akrab dengan muridnya, ia menerima kotak yang katanya berisi coklat itu.

"Terimakasih." ucapnya singkat. Ia tidak suka menyebarkan senyuman tanda terimakasih, sudah jadi wataknya.

Gadis bersurai abu itu langsung pamit pergi dengan malu-malu. Dasar anak SMA, batin Levi.

Baiklah, saatnya ia pulang. Mungkin coklat itu akan ia berikan pada Eren. Dan teman-teman bocah itu mungkin? Ya jika mereka masih berada dirumah.

Levi menjalankan mobilnya sambil menyalakan musik dimobilnya agar tidak terlalu sepi. Sesekali mata kelabunya melirik setiap jalan yang ia lewati, berharap ada sesuatu yang aneh di jalan itu. Tapi nihil. Yang ia lihat tak lebih dari sekedar gedung-gedung menjulang tinggi dan pepohonan yang menyediakan pasokan oksigen diperkotaan seperti ini.

Tak terasa Levi sudah berada di kawasan apartemennya. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat parkir, ia berjalan menuju tempat tujuannya di lantai 3 dari 9 lantai yang terdapat pada gedung apartemen itu.

Saat sampai dan membuka pintu rumahnya, Levi tak menemukan manusia seorangpun disana. Rumahnya kosong. Berbagai kemungkinan kini membanjiri otaknya. Hal yang seharusnya terlihat dirumahnya ini tak tampak. Apa Eren tidak bermain dengan teman-temannya?

"Eren?" panggil Levi setengah berteriak.

Tak ada jawaban dari si pemilik brunette itu. Saat memeriksa keberadaan sepatu sekolah adiknya, tidak ada di rak. Ini menandakan suatu hal. Eren belum pulang dari sekolahnya.

Levi mendecih. Lagi-lagi anak itu tidak melakukan apa yang ia minta. Sore-sore seperti ini biasanya seorang bocah berada dimana? Levi mengeluarkan ponselnya. Ia menghubungi telepon rumah Armin. Saat menanyakan keberadaan adiknya, lagi-lagi ia harus mengeluarkan kerutan kesal dikeningnya.

"Maaf, Levi-san. Armin baru pulang les piano jadi ia tak bersama Eren." jelas seseorang diseberang sana, ibunya mungkin.

Setelah mengucapkan terimakasih ia menutup sambungan teleponnya. Sekarang menghubungi teman Eren berambut hitam itu. Dan jawaban yang ia dapat sama nihilnya.

Jadi kemana bocah brunette itu? Harusnya ia berada di rumah sekarang. Dengan melupakan rasa lelah yang sempat melanda, Levi kembali keluar menuju luar untuk mencari Eren. Kali ini tidak dengan mobilnya. Siapa tahu Eren sedang bermain disekitar gedung apartemen ini.

"Eren?! Dimana kau? Eren!"

Ia berteriak berkali-kali sembari menjatuhkan pandangan ke setiap penjuru. Usahanya masih nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan Eren disana. Akhirnya Levi memutuskan untuk pergi ke sekolah Eren, ia berharap anak itu ada disana. Untuk kali ini, Levi menaiki mobil hitamnya agar lebih cepat.

Tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai disana. Levi langsung turun dari mobil, mencari keberadaan adiknya. Tapi sejauh mata memandang yang ia lihat hanya sekumpulan anak laki-laki yang tengah bermain sepak bola di lapangan olahraga. Levi memerhatikan setiap anak, berharap ada yang ia kenal untuk ditanyai. Dan bingo! Ia ingat bahwa dulu Eren pernah membawa seorang bocah pelontos kerumah. Kalau tidak salah namanya Connie.

Tentunya Levi menghampiri bocah pelontos yang sedang istirahat dari bermain bola itu. Langsung menuju topiknya. Melihat Levi menghampirinya, Connie mengerutkan alis. Ia merasa kenal dengan pria itu.

"Connie, apa kau melihat Eren?"

"Ah! Levi-san?" Connie baru ingat nama kakak temannya itu.

"Soal Eren..."

Connie tampak sedang mengingat-ingat. Dengan sabar Levi menunggu anak itu mengucapkan sesuatu.

"Ah! Yang aku tahu sepulang sekolah tadi dia pergi bersama 2 orang pria berpakaian jas hitam dan kacamata. Aku tidak tahu itu siapa."

Baiklah. Penjelasan itu berhasil membuat Levi membelalakkan matanya. Ini pertanda tidak baik.

"Bagaimana ciri-cirinya?"

"Maaf Levi-san.. Aku melihatnya sekilas karena aku sedang bermain sepak bola. Yang aku ingat hanya mereka memakai pakaian serba hitam. Ah iya! Setelah itu Eren dibawa kedalam mobil."

Saat itu juga Levi mmerasa lututnya lemas. Apa ini sebuah penculikkan? Kenapa harus adiknya yang kena? Berkali-kali ia memaki diri sendiri. Harusnya ia terus mengawasi anak itu.

"Apa kau ingat merk mobil dan nomor kendaraan yang membawa Eren?"

Meski Levi tahu menanyakan hal itu pada bocah SD adalah sia-sia, ia tetap menanyakannya. Mungkin ekspresinya datar-datar saja namun sorot matanya tidak, itu sorot mata khawatir dan.. panik?

Connie menggeleng sebagai tanda bahwa ia tidak mengetahui sejauh itu. Levi menghembuskan napas pelan.

"Baiklah.. Jam berapa Eren pulang?"

"Itu.. Sekitar jam setengah 3. Dia piket dulu tadi."

"Saat itu terjadi apa disekolah sudah sepi?"

"Hmm.. Ya! Yang ada hanya klub sepak bola yang sedang bermain disini."

Levi tampak menimbang-nimbang sesuatu. Kemudian ia melirik kearah gerbang sekolah, memastikan sesuatu. Setelah dirasa sesuai dugaannya, ia kembali menghadap Connie.

"Ruang office belum dikunci kan?"

"Ah, ya. Biasanya belum."

"Apa ada penjaga disana?"

"Kurasa tidak. Jam segini semua guru dan penjaga sudah pulang."

"Terimakasih Connie!"

Levi menepuk punggung Connie ringan sebelum ia berlari menuju gedung sekolah.

"Woaa.. Dia terlihat seperti aktor di film laga.." gumannya takjub.

Saat ini Levi masih mencari-cari ruang office. Ia harus memastikan apa yang dikatakan Connie itu benar atau tidak.

Setelah beberapa saat mencari akhirnya ia menemukan sebuah ruangan diujug koridor lantai 3 yang bertuliskan 'keamanan'. Langsung saja Levi memasuki ruangan itu.

Didalam terdapat beberapa layar dan alat-alat elekronik lainnya yang hampir memenuhi ruangan itu. Levi yakin bahwa ruangan ini adalah ruang untuk mengawasi semua CCTV yang dipasang dibeberapa sudut sekolah.

Levi menyalakan semua layar-layar itu. Kemudian ia mencari layar yang menunjukkan kejadian di gerbang sekolah. Setelah menemukannya, ia beberapa kali mengotak-atik keyboard dihadapannya untuk melihat kejadian sebelumnya.

Layar bercahaya itu memundurkan kejadian saat ini menuju kejadian beberapa jam lalu. Levi menghentikkan proses itu saat melihat anak yang ia kenal diapit oleh 2 orang pria.

Entah mempelajari darimana, Levi dengan lihai langsung memperbesar tayangan yang ia lihat itu. Mempertajam mata untuk melihat jenis mobil dan nomor kendaraannya.

"Ferrari.. 1410.."

Ia berusaha memperjelas wajah kedua pria itu. Tapi sayangnya mereka berdua memakai topi dan kacamata hitam. Bodoh sekali jika mereka memang seorang penculik, memakai pakaian mencolok seperti itu sama saja dengan bunuh diri.

Drrtdrrt

Ponsel dalam sakunya bergetar menandakan sebuah panggilan masuk. Levi tak melihat dulu siapa yang meneleponnya, ia langsung menangkatnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar didepannya.

"Moshi-moshi.."

"Tuan Levi."

Deg!

Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak. Suara bariton yang ia tangkap dengan indra pendengarannya sangat asing.

"Siapa ini?"

"Kau anak dari wakil direktur perusahaan Knight kan?"

"Ya. Siapa ini?"

"Kukuku.. Apa kau merasa kehilangan sesuatu?"

Bingo! Penjahat itu menghubunginya sekarang. Levi berusaha tetap tenang meski tangan kirinya sudah mengepal sempurna.

"Siapa kau?"

"Hahaha! Sepertinya kau sedang emosi.. Padahal aku ingin bernegosiasi denganmu."

"Apa-apaan kau!"

"Mau mendengar suara adikmu yang manis itu hm?"

Eren, gumannya. Ini sangat rumit untuk dimengerti. Apa salahnya sampai ia harus berurusan dengan pemjahat ini.

"Nii-chan! Nii-chan! Aku tidak tahu ada dimana!"

"Nah bagaimana? Merindukan adik kecilmu? Hahaha!"

Levi tampak sangat geram. Kalau sampai mereka melakukan hal yang macam-macam pada Eren, sudah ia pastikan masib mereka akan sama dengan ikan busuk dipelelangan.

"Dimana kau?"

"Santailah.. Rencana kami meminta uang tebusan padamu sebagai jaminan anak ini. Aku tahu kau masih memiliki uang jaminan kematian ayahmu kan? Nah, bawa uang itu kemari beserta barang berharga lain!"

"Kau memerasku hah?"

"Ini demi adikmu."

"Kh, dimana kau? Aku akan kesana menghajarmu!"

"Eits! Jika tujuanmu itu, aku akan melarikan diri membawa adikmu. Sepertinya organ dalam sedang laris saat ini."

Levi semakin geram. Ia keluar dari ruangan itu dan berjalan cepat menuju luar, dengan ponsel yang masih menempel ditelinga kanannya.

"Jangan sampai aku menemukan satu luka kecilpun ditubuh anak itu. Aku akan datang sekarang membawa apa yang kau minta!"

Tempat sudah ia dapatkan. Ternyata cukup jauh mereka membawa Eren. Levi tak memedulikan seruan Connie saat ia berjalan cepat menuju mobil. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah membawa uang itu dan segera membawa Eren pulang. Dia langsung masuk ke dalam mobilnya dan menancap gas.

"Woaa... Dia keren sekali.." guman Connie melihat kepergiannya.

Hanya suara deru mobil terdengar disekitar Levi. Sudah sekitar satu jam ia berada dalam mobilnya, menuju tempat penculik itu. Langit sudah mulai berubah warna menjadi jingga. Hal itu berhasil membuat wajah panik Levi terlihat artistik.

Disamping kemudinya, Levi menyimpan sebuah koper berukuran sedang. Ya, koper itu berisi uang yang tak bisa dikatakan sedikit. Sebelum berangkat tadi, ia sempat memberitahu penculikkan ini pada polisi. Sebagai buktinya, kini beberapa mobil polisi mengikutinya dari belakang. Sebuah rencana penangkapan rahasia.

Dalam kesibukkannya mengemudikan mobil, tiba-tiba ponselnya berdering. Panggilan dari nomor tadi.

"Kenapa?"

"Kau sedang dijalan kan?"

"Iya."

"Pastikan kau datang sendiri atau adikmu akan kami bedah."

Levi menggenggam erat kemudinya setelah menutup teleponnya. Ini berarti ia harus memberitahukannya pada pihak polisi agar jangan datang bersamaan dengannya. Tapi bagaimana caranya? Ia tidak sempat menanyakan nomor ponsel salah satu polisi yang membantunya.

Tak ada cara lain selain menghindar. Levi mempercepat laju mobilnya, beberapa kali menyalip mobil lain didepannya. Memberi jarak cukup jauh antara mobilnya dengan mobil polisi.

Toh ia sudah memberi tahu alamat si penculik pada para polisi itu. Jadi ia harus lebih dulu sampai agar bisa membawa Eren dengan selamat. Setelah itu baru ia angkat tangan, tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan polisi pada para penculik itu. Entah dupenjara atau mungkin hukum mati.

Mobilnya sudah hampir memasuki wilayah sebuah pabrik tua dipinggiran kota. Mungkin tak banyak orang yang tinggal disekitar sini karena terlihat sangat sepi. Levi turun dari mobilnya membawa koper berisi uang itu. Sebelum memasuki pabrik tua itu ia memastikan bahwa memang benar pabrik ini yang mereka maksud. Dan sepertinya ia tidak salah. Mobil ferrari hitam dengan nomor kendaraan 1410 sedang terparkir dihalaman pabrik. Itu cukup menunjukkan bahwa tempat ini memang benar.

Levi sudah siap dengan berbagai kemungkinan yang terjadi. Ia sudah siap memberikan pukulan atau tendangan pada para penculik itu jika mereka berani macam-macam pada Eren. Entah angin darimana, kehidupan tenangnya ini berubah menjadi seperti film laga.

Levi masuk kedalam, dengan koper ditangan kanannya. 2 orang berpakaian hitam langsung mengiringnya menuju tempat transaksinya berada.

"Bos kami sudah menunggu." ucap salah satu pria yang mengiringnya.

"Baguslah. Lebih cepat lebih baik." balas Levi sinis.

Pintu besi dibuka. Tampaklah seorang pria berambut blonde dengan kumis lebat dibawah hidungnya tengah tersenyum menyadari kedatangannya. Sedangkan Levi tidak sudi sedikitpun melempar senyuman pada orang bejat itu. Ia melihat ada beberapa orang dibelakang pria yang sepertinya bos mereka itu. Tampak seperti sekumpulan mafia.

Tak jauh dari tempat bos mereka berdiri tampak Eren tengah duduk disana, dijaga oleh 2 orang pria bertubuh tegap. Jika dihitung ada sekitar 9 orang yang berada dalam ruangan remang-remang itu.

"Nii-chan!"

Levi memusatkan pandangannya pada Eren, memastikan anak itu baik-baik saja.

"Nah, kau membawa uangnya?" tanya pria blonde berkumis itu.

Dengan wajah kesal ingin memukul pria dihadapannya, Levi mengiyakan pertanyaannya.

"Bagus. Kurasa kau tidak main-main dengan ini. Bawa uangnya kemari dan kau boleh membawa anak itu."

Levi melirik sekitar. Jika ia melawan mereka, apa ia akan menang dengan selamat? Meski cara berkelahi Levi bisa dikatakan sangat hebat tapi tetap saja jika melawan semua pria bertubuh tegap ini ia akan kewalahan, ditambah ia tidak membawa senjata apapun.

Levi mulai melangkah mendekati bos mereka sampai sebuah sirine mengagetkan mereka semua. Semua pria berpakaian hitam itu langsung panik dan memandang satu sama lain.

"Kau membawa polisi bersamamu?!" teriak pria blonde berkumis geram.

Levi hanya menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman licik.

"Mana mungkin aku melepaskan penjahat sepertimu."

"Kh.. Semuanya serang dia!"

Para anak buahnya langsung mengeluarkan serangan-serangan pada Levi. Untungnya pria raven itu dengan gesit menghindari serangan-serangan itu. Ia terpaksa melepaskan koper ditangannya untuk melawan mereka.

Suara riuh perkelahian terdengar menggema disana. Beberapa anak buahnya terkapar dilantai namun kembali bangkit dan menyerang Levi lagi. Serangan itu begitu bertubi-tubi sampai membuat Levi kewalahan.

"Nii-chan!" teriak Eren ketakutan melihat kakaknya melawan orang yang jumlahnya tak sedikit itu.

"Eren! Pergilah!"

"Ta-tapi.."

"Pergilah! Lari dari tempat ini! Cepat!"

Kedua kaki Eren bergetar. Ia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Yang ia tahu sekarang kakaknya dipukuli oleh orang-orang itu. Matanya terasa semakin berembun melihat hal itu.

"Eren! Cepatlah pergi!"

Dengan perasaan yang masih ketakutan, Eren berlari keluar ruangan. Untung saja tak ada yang mengejarnya.

Pria blonde berkumis yang merupakan bos mereka itu semakin panik mendengar bunyi sirine mobil polisi yang dirasa semakin mendekat. Alih-alih membawa anak buahnya kabur, dia malah mengambil koper yang tadi dijatuhkan Levi. Jangan katakan dia akan kabur sendiri dengan membawa uang itu.

Melihat apa yang dilakukan pria blonde itu, Levi langsung menendang koper yang tak jauh dari kakinya itu agar menjauh dari jangkauan pria blonde tersebut.

Karena marah, pria blonde itu mengeluarkan pistolnya yang sedari tadi tersimpan manis di saku jasnya.

"Pegangi dia!" perintahnya.

Dengan cepat anak buahnya menuruti apa yang diperintahkan bos mereka itu. 2 orang memegangi kedua tangan Levi. Kondisi Levi saat ini sudah tidak bisaa dikatakan baik-baik saja. Baju yang ia kenakan kotor dan bahka robek dibeberapa titik. Luka lebam menghiasi pipinya. Darah yang sempat keluar dari mulutnya pun masih menghiasi sudut bibirnya.

Levi mengatur napasnya yang berantakan. Matanya yang tajam menatap sinis pada objek dihadapannya.

"Padahal aku sudah berbaik hati memberikan pilihan mudah ini, tapi kau malah menantangku!"

Tak ada jawaban dari Levi. Hanya tatapannya saja yang mengisyaratkan kebencian pada pria blonde itu.

"Aku tak punya pilihan lain. Sepertinya lubang dikepalamu akan menghiburku. Tapi aku ingin melihat kau berlutut dihadapanku dulu!"

Bang!

Levi jatuh terduduk dihadapannya. Peluru itu berhasil bersarang dikaki kirinya. Napas tak beraturan itu masih ia keluarkan. Apa memang harus seperti ini yang ia rasakan demi keselamatan adiknya?

Si pria blonde menginjak tubuh tak berdaya Levi. Dengan amarah yang sangat meluap-luap ia terus menginjak-injak lawannya sampai..

"Angkat tangan! Kalian sudah dikepung!"

Setelah mendengar suara itu, Levi tak ingat lagi apa yang terjadi padanya. Hanya saja ia sempat mendengar suara pelatuk yang nyaring. Levi terlalu lelah untuk sadar. Ia memutuskan untuk beristirahat sebentar.

Manik kelabu itu terbuka esok hatinya. Dengan pandangan pertama langit-langit berwarna putih. Ia tak tahu berada dimana sekarang. Saat ia menyadari sekelilingnya, ternyata ada Eren disamping ranjangnya. Duduk sambil menangis menatapnya.

"Eren?"

Saat mencoba untuk mengangkat kepalanya, ia menyadari rasa sakit yang ada diwajahnya. Ah, ia ingat sudah dipukuli waktu itu.

Levi akhirnya memutuskan untuk tetap berbaring. Saat ia sadar ada sebuah selang infus yang membelit tangannya, ia memberi pendapat bahwa dirinya ada di rumah sakit.

Ternyata diruangan ini bukan hanya ada dirinya dan Eren tapi juga 2 orang lain. Salah satunya bernama Petra Rall, rekan kerjanya di sekolah. Dan satu orang lagi ketua kelas 12-1, Hitsugaya Toushirou.

"Nii-chan.." ucap Eren masih terisak.

Levi memandang adiknya itu. Syukurlah dia baik-baik saja, tanpa luka sedikitpun.

"Maaf.. Maafkan aku nii-chan.. Aku.. Aku.."

"Sudahlah. Tidak usah meminta maaf. Ini sudah terjadi. Yang penting kau selamat kan?"

"Ta-tapi nii-chan.."

"Diam dan jangan menangis."

Alih-alih menuruti perkataan kakaknya, Eren malah menangis semakin kencang setelah kepalanya mendapat usapan lembut dari Levi. Meski sekilas, terlihat sebuah senyuman kecil diwajah Levi. Mungkin ia tidak ingat ada orang lain disana. Ya, 2 orang lagi yang tengah berada disana membelalakkan mata mereka. Sebuah pemandangan langka telah mereka lihat, secara cuma-cuma.

"Ah Eren, kau sudah memakan coklat yang aku simpan diatas meja di rumah?"

"Eh?"

"Muridku memberikannya. Makanlah."

"H-hai nii-chan!" responnya dengan cengiran khas Eren. Ya meski air mata masih mengalir dikedua pipinya.

Chapter 3