A/N : Cerita ini kemungkinan besar akan mirip dengan White Wolf of Konoha karya Kakashi16. Penulisan (mungkin) akan lebih rapi dan banyak hal akan diubah. Penasaran? Selamat membaca~
Naruto milik Masashi Kishimoto.
Chapter 1 : I'm a Monster
Aku berlari pulang ke rumah. Air hujan jatuh dengan deras ke atas rambut perakku yang sudah basah. Air mata mengalir deras dari kedua mata onyxku. Beruntung, tidak ada yang melihat karena tertutup oleh air hujan.
"Anak dari seorang pengkhianat!"
"Pergi kau, sampah"
"Kau dan ayahmu tak pantas tinggal di Konoha!"
Aku menutup kedua mataku dengan erat. Dadaku terasa sakit. Kata-kata mereka terasa seperti pisau yang menancap dalam di dadaku.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, berusaha menghilangkan kata-kata itu dari pikiranku. Tapi tetap saja, aku gagal. Pisau yang sudah menancap dalam di dadaku, tak bisa kucabut. Yang bisa kulakukan hanyalah meminta orang lain untuk mencabutnya, atau pasrah ditelan kegelapan tanpa akhir.
Ayahku seorang pahlawan!
Aku menyimpan kata-kata itu di pikiranku. Ya, ayahku seorang pahlawan. Mereka semua hanya orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Yang tidak tahu tentang kebenaran, dan tidak ingin mencari tahu. Mereka hanya orang bodoh yang hanya percaya sama omong kosong. Dan aku..., aku akan membuktikannya. Ya, lihat saja nanti.
Aku akan membuktikan bahwa ayahku seorang pahlawan!
Aku terus berlari. Tanpa kusadari, hujan sudah berhenti. Namun, awan hitam masih menggantung di langit. Air mataku juga masih mengalir, dan rasa sakit yang kurasakan didadaku masih terasa, malah bertambah sakit. Entah sampai kapan aku akan merasakan rasa sakit ini.
Akhirnya aku sampai di depan pintu rumahku. Aku menarik napas, dan mendorong pintu itu dengan pelan.
"Tadaima!"
Aku menunggu jawaban dari ayahku. Namun, aku hanya dijawab oleh keheningan. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Keringat dingin mengalir dari tubuhku ketika hidung sensitifku menangkap bau yang sangat aneh. Bau amis seperti darah.
Aku panik, dan langsung berlari ke dalam, tidak peduli untuk melepas sepatuku. Bau amis itu sangat kuat, dan yang membuatku semakin panik adalah bau itu berasal dari kamar ayahku.
Aku sampai di depan pintu kamar ayahku. Aku sangat ketakutan. Seluruh tubuhku gemetaran. Lututku hampir tidak bisa mengangkat beban tubuhku.
Aku berdiri di depan pintu itu beberapa lama. Akhirnya, aku memberanikan diriku untuk membuka pintu itu. Tanganku yang masih gemetaran berusaha menyentuh gagang pintu. Aku menarik napas yang dalam, kemudian membuka pintu itu.
Napasku semakin cepat setiap detik aku mendorong pintu itu. Badanku bertambah gemetar, dan bahkan aku hampir terjatuh karena lututku yang tidak bisa mengangkat beban tubuhku.
Setelah pintu itu terbuka, kedua mataku melebar.
Di ruangan itu, ayahku terbaring di lantai. Sebuah tanto kebanggaannya menancap diperutnya. Rambut peraknya basah terkena darahnya sendiri. Kulitnya sangat pucat, dan kedua matanya itu sudah tidak menandakan kehidupan.
Aku merasakan air mata hangat kembali mengalir dari kedua mataku. Aku berlari ke arah ayahku. Mencabut tanto itu dari perutnya dan memeluk tubuh tak bernyawa itu dengan tangan kecilku. Darahnya mengenai tubuhku. Tapi aku tidak peduli. Dia adalah ayahku dan itu adalah darahnya, bukan darah orang lain.
Aku berteriak sekeras-kerasnya, mengeluarkan semua emosi yang kurasakan. Air mata terus mengalir dari kedua mataku dan aku merasakan diriku tenggelam dalam lautan darah.
Darah milik ayahku.
Ruangan itu hanya dipenuhi oleh suara tangis dan teriakku, serta petir yang mengamuk di luar rumah.
Namun tiba-tiba tubuhku terasa panas. Suara tangis yang keluar dari mulutku berhenti, begitu pula air mataku. Aku merasakan ada sebuah chakra perak aneh yang menyelimutiku, membentuk sepasang telinga dan ekor serigala. Mataku juga berubah, menjadi sepasang mata serigala yang sangat dingin.
Aku merasakan ada kehadiran orang lain di ruangan ini selain aku dan ayahku yang sudah tak bernyawa. Aku berdiri, dan menghadap ke belakang. Aku melihat 2 orang jounin Konoha yang tadinya tak bisa kulihat.
Aku berjalan ke arah mereka. Mereka terlihat sangat ketakutan, tak bisa bergerak. Dengan ekor chakraku, aku mencekik mereka, menghancurkan leher mereka. Mereka berteriak kesakitan, namun itu seperti musik di telingaku. Senyuman jahat menghiasi wajahku. Aku senang melihat mereka kesakitan, mendengar teriakan mereka, dan ekspresi yang ada di wajahnya.
Aku ingin membunuh mereka.
Aku membanting tubuh mereka ke lantai, mengubahnya menjadi debu yang berhamburan. Membunuh mereka tanpa meninggalkan jejak.
Sesaat setelah itu, chakra yang menyelimutiku kembali masuk ke dalam tubuhku. Pikiran asliku kembali ke dalam otakku. Aku terkejut ketika mengetahui apa yang kulakukan tadi.
Apa yang telah kulakukan?!
Sekujur tubuhku terasa lemas. Aku jatuh berlutut di lantai karena lututku sudah tidak dapat mengangkat beban tubuhku lagi.
Sebenarnya, aku itu apa?
Aku berbaring di lantai, disebelah jasad ayahku. Aku merasakan kesadaranku semakin menjauh. Tapi aku tidak peduli. Aku sangat lelah, dan membiarkan diriku ditelan kegelapan, kegelapan tanpa akhir.
Aku seorang monster.
Saat aku membuka mata, aku tidak lagi berada di rumahku, melainkan disebuah ruangan yang berwarna putih. Aku juga tidak lagi berada di lantai yang keras, melainkan disebuah kasur yang empuk.
Aku berusaha mengganti posisiku, yang awalnya berbaring menjadi duduk. Tubuhku terasa sakit setiap kali aku menggerakkan otot-ototku. Aku bertanya-tanya dalam hatiku.
Kenapa aku bisa merasa kesakitan? Padahal kemarin aku tidak berlatih sama sekali. Lalu, kenapa aku berada di rumah sakit? Apakah kemarin ada yang menyerang rumahku? Kalau begitu, apa yang terjadi pada ayah?
Tiba-tiba, aku merasakan kepalaku terasa nyeri. Dan saat itu juga, aku ingat apa yang terjadi tadi malam.
Ayahku. Terbaring di lantai. Dilumuri darah. Tak bernyawa.
Aku memegang kepalaku dengan sangat erat sementara pikiranku mengulang-ulang kejadian tadi malam.
Ti-tidak. Tidak mungkin. I-itu tidak mungkin terjadi. Tousan... pasti masih hidup. Semua itu hanya mimpi. Semua itu tidak mungkin terjadi!
Air mata mengalir dari kedua mataku yang tertutup rapat. Aku menggigit bibirku untuk mencegahku berteriak.
Semua itu tidak mungkin terjadi!
"Kakashi, kau tidak apa-apa?"
Aku terkejut. Kenapa ada orang lain selain aku di ruangan ini? Bagaimana mungkin aku tidak mengetahui kedatangannya?
Aku mengangkat kepalaku. Untuk beberapa saat, air mataku berhenti mengalir. Aku menatap asal suara itu. Sepasang mata sipit yang menunjukkan kekhawatiran pemiliknya kini terkunci dengan sepasang mata onyx milikku.
"Sandaime-sama..."
"Kau baik-baik saja?"
Aku mengangguk, tak tau ingin bicara apa.
Sandaime menarik napas dalam-dalam, sebelum ia mengeluarkan kalimat selanjutnya dari bibirnya. Aku tahu, apapun yang ingin dia katakan, itu pasti buruk.
"Aku merasa bersalah, atas kejadian yang meninpamu tadi malam Kakashi"
Aku hanya menunduk, tak bisa bicara. Namun, jauh di dalam diriku, aku berteriak.
Air mata kembali menetes dari kedua mataku. Tidak sederas yang tadi, hanya beberapa tetes. Aku mulai belajar mengendalikan emosiku. Aku tidak tahu berapa kali aku menangis sejak tadi malam. Menangis itu sia-sia. Ayahku sudah mati, ibuku sudah mati, dan sekarang aku sendirian. Menangis tidak mengubah apa-apa.
"Kakashi..."
Suara halus Sandaime menyadarkanku dari pikiranku sendiri. Aku mengangkat kepalaku, mataku kembali terkunci dengannya.
"Besok pendaftaran akademi akan dimulai. Jika kau mau, aku akan mendaftarkanmu langsung Kakashi. Jika tidak, tidak apa-apa. Aku akan mendaftarkanmu langsung kapan pun kau mau."
Aku hanya mengangguk dan kembali menundukkan kepalaku, tidak ingin bicara. Sandaime sepertinya mengerti, karena ia tidak memaksakanku untuk menjawab.
"Pemakaman ayahmu akan dilaksanakan sore nanti."
Aku masih diam. Sandaime juga sepertinya tidak mengharapkanku untuk menjawab. Ia berjalan ke arah pintu, keluar dari ruanganku. Tapi sebelum itu, ia meninggalkan beberapa kata.
"Ayahmu seorang pahlawan, Kakashi. Apapun yang mereka katakan, ia tetap seorang pahlawan."
Sandaime memberikanku tatapan terakhir, sebelum menutup pintu dengan halus Aku yang masih tertunduk, hanya dapat mengingat kalimat terakhir yang ditinggalkannya sebelum pergi keluar dari ruanganku.
Ayahmu seorang pahlawan, Kakashi. Apapun yang mereka katakan, ia tetap seorang pahlawan.
"Ya, aku tahu itu."
Sandaime menghela napas.
Laporan dari para anbu dan tim medis sudah cukup membuktikan kalau pria yang terkenal dengan sebutan Konoha's White Fang membunuh dirinya sendiri tadi malam.
Apa yang telah kau lakukan, Sakumo? Kau tidak memikirkan anakmu?
Sarutobi kembali menghela napas.
Ia sangat khawatir tentang Kakashi. Sekarang anak itu sendirian, tidak ada ayah, tidak ada ibu, tidak ada orang tua. Belum lagi ia harus menanggung dosa ayahnya dan dikucilkan penduduk.
Dan itu semua karena ulah Sakumo. Tidak. Perang. Itu semua akibat perang. Perang yang membuat sakumo menentukan pilihan sulit. Perang yang membuat Sakumo kehilangan nyawanya. Perang yang merenggut masa kecil anak berumur 6 tahun. Perang yang merenggut senyum dan tawa anak itu dan menggantinya dengan tangisan.
Itu semua akibat perang!
