Summary: Kau adalah cahaya gelapku. Kau ada di tiap petangku.

Jinhwi featuring Samuel (baca: Samhwi), Jihoon (baca: Winkdeep), Guanlin (baca: Panwink), Wanna One, dan PD101 trainee.

.

.

.

Selalu ada kegilaan dalam cinta, tapi juga selalu ada dalih dalam setiap kegilaan.

–Friedrich Nietzche


EIGENGRAU

[1]

"Gravitation is not responsible for people falling in love" –Albert Einstein


Ibu mendekapku sangat erat. Dia menangis. Senggukannya mengguncangku pelan dengan sentakan tak teratur. Bagian pundak kemeja hitam yang kukenakan semakin basah dan hangat. Kepalaku terkunci di lekuk kanan lehernya, di antara juntaian rambut yang berantakan. Ah rasanya panas, aku susah bernapas.

Saat akhirnya ibu melonggarkan siku yang mengapit kepalaku, aku mendongak dan mendapati kerumunan di depanku mengarahkan tatapan sendu mereka ke sebuah titik pandang di belakang. Aku mendorong lemah tubuh ibuku dan berbalik.

Bingung, aku tertegun. Mengapa mereka begitu sedih melihat orang yang berbaring di sana? Melihat ayahku.

Aku jadi ingat beberapa waktu lalu Samuel pernah sakit. Dia selalu di tempat tidur dan malas sekali. Ketika kuajak bermain, dia mengatakan baru saja minum obat dan mengantuk. Kuputuskan saja untuk duduk menunggu, tapi Samuel malah tidur sepanjang hari.

Bukankah ayahku juga begitu? Sepertinya tadi pagi aku melihat dia minum obat. Aku jadi kesal.

Ibuku juga, untuk apa sih dia menangis. Goyangkan saja tangan ayah seperti biasa. Nanti juga dia pasti bangun kan ... pikirku waktu itu.

Hah, terlalu naif.

Aku terus memandangi sosok itu. Ayahku. Terpejam. Di sana. Dalam sebuah kotak. Sebuah peti. Mati.

Ayahku mati.

Dia ... mati.

" –to? Earth to Pluto? Lee Daehwi! DAVID!"

"Ya!" hardik pemuda berkaos panjang yang sekilas terlihat kedodoran. Dia menarik earphone di telinga kiri dan memelototi layar laptop di hadapannya. "Aku mendengarmu Samuel! tidak perlu teriak begitu kenapa sih?"

Samuel menaikkan sebelah alis, dahinya sedikit berkerut seolah menyuarakan 'Oh ya?' melalui tatapan bosan yang akhir-akhir ini terlalu sering ia lakukan. "Jadi bagaimana?"

"Apanya?" refleks Daehwi. Ups. Sedetik kemudian pemuda itu sadar. Dia tersenyum sambil mengelembungakan dua sisi pipi, mempersenjatai dirinya dengan ekspresi cari pengampunan ala Lee Daehwi ... yang sayangnya tak lagi mempan jika ditujukan pada sang lawan bicara bermarga Kim itu.

"Oh. My. God. Can't believe I talked to you like a whole good 30 minutes and you've just spacing out on me. Yaps! Great," gerutu sosok berkepala pirang di layar.

"I was not!" ujar Daehwi membela diri. "Lagipula bagaimana bisa aku Pluto dan kamu Bumi? Hei, aku yang lebih tua di sini! Juga, apa-apaan itu 'Daehwi-ya'? Kamu kemanakan gelar kehormatan hyung di belakang namaku, eh? Dasar tidak sopan."

Samuel tersenyum lebar. Mulutnya terkatup menahan kekehan.

"Apa lagi sekarang? Kau menertawaiku uh?" kesal Daehwi.

Samuel menggeleng, "Nope. Aku lebih suka Lee Daehwi versi cerewet dan cemberut begitu dibanding yang gloomy."

Sebersit perasaan hangat menjalar di suatu bagian dalam tumpukan rasa lelah pemuda berwajah tirus itu. Itu adalah perasaan yang sama, selalu sama sejak dulu. Semacam efek sepesial Kim Samuel kepada Lee Daehwi.

"Ehm," Daehwi berpura-pura grogi. "Suka? Kalau begitu cepat terbang ke sini dan temui aku. Confess properly Muel-ah," candanya bernada serius. "Akan kupertimbangkan kok, janji deh." Tambahnya lagi disertai kedipan satu mata yang gagal.

"Heol! You wish!"

"Pffftaaahahahah! Mukamu merah Sam!"

"Wha ...!"

Daehwi terpingkal. "Seperti udang goreng! Whahahahah!"

"Hei!"

"Ahahahahahahahah ... hha hha," pingkalan itu berubah jadi sedu samar. Daehwi menunduk, menyembunyikan matanya di balik poni.

Samuel duduk diam. Dia menyadarinya. Daehwi menangis lagi, menangisi hal yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Samuel tidak suka. Dia tidak suka berada di belahan bumi yang sepenuhnya berbeda. Dia tidak suka hanya melihat dan berbicara saja. Dia tidak suka–

"–wish you were here, Muel-ah." Daehwi berbisik pelan, sangat pelan.

Samuel ingin memukul dinding. Dia merasa putus asa. Kenapa kau masih begitu hancur, Hwi-ya?

Untuk sejenak sambungan jarak jauh itu hanya diisi oleh isakan Daehwi. Tapi mimik muka pemuda itu berubah ceria saat mendengar cerita Samuel tentang kegilaan anak tetangga di kompleks perumahan lama mereka, di California sana, yang berakhir jadi teman sekelompok Samuel untuk proyek Biologi.

"Ahahah, konyol sekali! Konyol sekali!" seru Daehwi sambil bertepuk tangan heboh. "Bagaimana bisa hanya mendapat skors tiga hari? Ahahaha! Benar-benar perlu dicontoh itu. Konyol sekali, ahahahah!"

Perbincangan ringan mengalihkan perhatian Daehwi seutuhnya. Dia suka saat Samuel mencoba melucu. Sejujurnya bukan tentang leluconnya, tapi orangnya yang menarik perhatian Daehwi. Samuel adalah magnet unik bagi seorang Lee Daehwi. Dan selamanya dia akan mensyukuri hal itu.

Samuel memang tidak sekuat gravitasi. Karena itu juga Daehwi menyukai dia. Seperti yang semua tahu, gravitasi dan magnet tidaklah sama. Gravitasi bersifat menarik dan kau akan susah melawannya. Magnet sedikit berbeda. Samuel berbeda. Dia tidak seperti kenangan lama ayah Daehwi ataupun ... orang itu.

Ah, orang itu. Gravitasi mutlaknya Lee Daehwi. Sekuat apapun dia coba melompat dan naik setinggi-tingginya ke gedung bertingkat, usahanya tetap sia-sia. Dia akan selalu terbelenggu oleh gravitasi. Terbelenggu oleh orang itu.

Melelahkan sebenarnya berurusan dengan emosi semacam itu. Daehwi ingin berhenti berpikir. Tapi bagaimana jika otak kurang ajarnya malah menceburkan dia ke sebentuk kolam berisi segala macam hal mengenai orang yang sedang ia pikirkan?

Daehwi berantakan. Dia sangat berantakan.

Dan untuk kali kesekian, sebelum tenggelam terlalu dalam ...

"DAVID!" Samuel berteriak sambil menariknya ke permukaan.

"YA! Kim Samuel! Kamu ingin membuatku tuli apa!" seru Daehwi tak kalah keras. Dalam hati pemuda itu tersenyum. Ah, kau sungguh mengenalku dengan baik Muel-ah. "Oi, bocah! Berratus kali sudah kubilang jangan sembarangan panggil nama orang bisa tidak sih! Aku kan lebih tua! Tsk. Serius ya, aku heran kemana perginya Samuel manis yang dulu selalu mengekoriku itu?"

Di layar, Samuel bersedekap ala idol boygroup televisi. "Life goes on, babe. Samuel yang itu sudah tumbuh lebih tinggi dan lebih tampan dari Lee Daehwi. Aku." ujarnya mantap sembari menaik-turunkan alis.

"Yaaaa! Kenapa bawa-bawa tinggi badan segala sih?" Daehwi mengepal dramatis kedua tangannya di depan kamera. "Tinggiku lumayan tahu!" erangnya keras kepala.

Samuel berkata santai, ekspresi mengejek kental di wajahnya. "Nu uh, kamu pendek Daehwi-ya."

"Dan kau bocah menyebalkan!"

"I know."

"Kamu sangat menyebalkan!" mata Daehwi mulai berkaca.

"I know."

"Kamu sangat sangat menyebalkan!" ulang pemuda berjari lentik itu sambil merapatkan mata.

"I know."

"Kamu sangat sangat sangat sangat sangat sangaaaaat menyebalkan," kata Daehwi super hiperbola, masih dengan usaha menghadang cairan hangat untuk tetap tertahan di pelupuknya.

Samuel memutar pupil matanya, gagal menyadari mood twist dalam candaan mereka. "Ya, ya. Aku tahu itu."

Dan Daehwi akhirnya kalah. Dia menunduk lagi, menyerah pada kuasa emosinya. Sembari mulai terisak tanpa memandang si lawan bicara dia mengimbuh pelan, "Dan aku sangaaaaat merindukanmu."

"Ya, ya, y–" Samuel membeku. Dia sedikit terkejut. Mulutnya mengatup. Bocah itu mengedip beberapa kali ke layar.

"–really wish I were there. Hwi-ya ... kamu tahu kan aku tetap di sini? Aku akan tetap di sini Lee Daehwi."

Ah, kalimat itu lagi. Daehwi tahu, dia mengerti maksud kumpulan kata itu. "Kenapa kamu sih? Kenapa selalu kamu sih, Sam? Kadang-kadang aku benci padamu. Sembunyi darimu rasanya mustahil." Pemuda itu menutup muka dengan kedua tangannya.

"Tentu saja kau tidak bisa, Hwi-ya. Kamu itu selalu ada dalam jarak pandangku. I mean, hei, ada radar Lee Daehwi di atas kepalaku! Jadi sudah, menyerah saja," ujar si pirang. Dia menepuk ubun kepala sebelum pose boygroup sok kerennya kembal lagi.

"You cheesy little brat!"

Samuel mendengus lelah. "I wonder siapa sebenarnya a brat di sini." Sorot matanya terlihat jenaka di layar Skype. Dia mengatakan, 'yang jelas sih bukan aku' secara tidak langsung.

"Arghh! Aku muak dengan tampangmu!"

Cengiran Samuel melebar. Dia menggelengkan kepala, "Kau mengaguminya, Hwi-ya."

"Heol! Percaya diri sekali."

"Memang begitu, kan?"

Daehwi memukul keningnya ke atap meja. Dia sengaja meratap keras-keras. "Ya Tuhan, kumohon kembalikan Samuel imutku. Angkatlah segala bentuk iblis yang bersemayam dalam diri bocah di layar ini, Tuhan."

"Aigoo, aku Samuel imutmu Hwi-ya."

"Ha! You said yourself lho ya kalau kamu imut," jingkrak Daehwi bahagia. Senyum licik di wajahnya menyembulkan kedua pipi sampai ke area mata.

"Selama Lee Daehwi lebih imut dari Kim Samuel, apapun tidak masalah."

"Ya! Kamu gaul dengan siapa jadi norak begitu, Muel-ah? Jangan-jangan kau sedang menyukai seseorang? Kenapa kamu tidak cerita, hah? Jangan minta saran ke orang yang salah, kumohon. Seperti apa orangnya? Seperti apa?"

Dicecar pertanyaan macam itu Samuel membisu. Ia terlihat menimbang. Menatapi bahasa tubuh Daehwi yang berteriak 'Aku penasaran! Beri tahu aku sekarang!' membuat Samuel sedikit tegang. Dia menggigit bibir, mencoba berpikir.

"Emm, dia cantik. Imut. Cerewet tapi tidak peka sama sekali," gumam si pirang. Dibanding pernyataan spesifik, pemuda 16 tahun itu memilih deskripsi yang sangat umum. Daehwi merengut.

"Skill-mu dalam menjelaskan bagus sekali, Samuel-ssi," ucap Daehwi remeh.

"Argh! Sarkasmu memang jahat Lee Daehwi," ketus Samuel.

"Heeeh," Daehwi bersedekap. Matanya menyipit lurus, tajam ke arah kamera. Oke. Samuel menyukai seseorang. Siapa? Dia penasaran. Dia ingin tahu. Sekarang!

Sementara di belahan bumi sana, si rambut pirang meremas kedua tangan di sisi kanan kirinya. Dia gugup. Daehwi dan kejengkelan menghasilkan ancaman yang membawa petaka. Keselamatan diri pemuda blasteran itu menjadi pertaruhan.

Glup. Samuel menelan ludah kering. Dia melirik ke pergelangan tangan. "Ku-kurasa aku harus tidur, hampir jam 12 di sini, Hwi-ya," ujarnya hati-hati. Otak cerdas Samuel memberi perintah untuk tidak menatap monitor.

Mengetahui niat si pirang, Daehwi mendesis berbahaya. "Don't. You. Fu*kin. Dare."

Di layar, Samuel tersenyum canggung sebelum akhirnya berucap lirih 'Good nite.'

Satu detik.

Dua detik.

Lee Daehwi bangkit menggebrak meja.

"KIM SAMUEEEEEEEL!"

Hah. Hah. Hah.

Daehwi jengkel. Napasnya memburu. Dia tidak senang, sama sekali tidak senang. "Bocah sok keren itu sebaiknya memberitahuku nanti." Pemuda itu kembali duduk dan menopang dagu di lipatan buku-buku jari. "Ya. Sebaiknya begitu, Kim Samuel. Kamu tahu yang bisa kulakukan dengan foto aib super memalukanmu di taman kota waktu itu. Heh-heh-heh," kekehnya. Ujung kanan bibir Daehwi melengkung berbahaya.

Teralihkan oleh raungan bunyi ponsel, dia berjalan ke tempat tidur. Jari lentiknya meraih benda ekektronik di atas selimut yang berantakan.

"Piyik?" gumamnya. Daehwi mendekatkan ponsel lalu menyapa, "Yoo Seonho? Wae?"

Telinga Daehwi disambut bunyi bising kumpulan manusia yang saling berteriak. Dia menatap bodoh layar 5 inci itu.

"Daehwi Hyung! Daehwi Hyung! Cepat, cepat! Dolpin Cafe. Sekarang. Cepat!"

"Hah?"

"YA, YOO SEONHO! KEMBALIKAN PUNYAKU! DAEHWI JANGAN KE SINI!"

"OWW! ONG HYUNG! KENAPA KAU PUKUL KEPALAKU? TIDAAAK ... BURGERKU! TIDAAK! ... WAA! YA! GUANLIN-A ITU KENTANG GORENGKU!"

"WOI!"

"YAAA!"

Biiip. Biiip. Biiip.

Daehwi melongo. Dia lalu memeriksa ponselnya. Ada 79 pemberitahuan pesan; satu dari Prince Ong, lima dari Piyik Keren, dua dari my love jinyoungie hyung, dan sisanya adalah chat grup.

Prince Ong : Jangan datang!

Piyik Keren : Makan gratis Hyung, traktiran Jihoonie Hyung. Kamu dimana?

Piyik Keren : Daehwi Hyung!

Piyik Keren : Hyung!

Piyik Keren : Hyung!

Piyik Keren : Hyung!

my love jinyoungie hyung : Aku sudah mengatakannya. Kami resmi! ^_^

my love jinyoungie hyung : Makasih! Aku akan mentraktirmu nanti!

Ponsel pintar tergelincir dari tangan gemetar Daehwi. Barang itu jatuh ke atas seprai dengan bunyi bug tertahan. Sebenarnya dia tahu ini akan terjadi. Bahkan dia selalu mengatakan untuk menguatkan hati. Tapi Daehwi tidak siap. Dia tidak pernah siap. Apalagi bersamaan dengan tanggal peringatan kematian ayahnya. Sebuah tanda, titik dimana segala hal di hidupnya menjadi berbeda.

Wajah Daehwi memanas. Pandangannya mulai kabur. Mudah saja bagi pemuda itu meluncur dalam dekapan gravitasi. Kepalanya membentur keras tepian dipan. Kaki kirinya tertekuk ganjil dengan sudut aneh yang terlihat menyakitkan. Namun Daehwi tidak merasakannya. Pemuda bersurai cokelat itu mengesampingkannya. Dia mengabaikan kemungkinan memar di pelipisnya, pun kaki kebas dalam dudukannya.

Sambil mencengkram kaos di bagian dada, Daehwi menangis. Dia menangis sejadinya.

.

.

[...]


A/N: Aku ngulang-ngulang lagu If It is You pas nulis ini. Engga tau artinya apaan sih. Taunya sedih doang. Soale bagus banget dinyanyiin Yongguk cs. Yaudah begini deh hasilnya. Moga-moga suka ya.