With Arms Wide Open

Naruto © Masashi Kishimoto

Fic by EJC

Fic ini didekasikan kepada para pecinta fic Naruko berbagai rating milik EJC

Pair: One-sided KibaNaruko; SasukeNaruko

Summary: Hari ini adalah perayaan sehari sebelum pernikahan akbar sang Rokudaime Hokage dan si jenius penerus Uchiha. Tapi, dibalik sorak-sorai para sahabat dan warga desa, hanya Kiba yang tak dapat bersuara sedikitpun. Tak hanya kehidupannya; segalanya bagi Kiba telah hancur. Dark-fic. Dengan rating ini, kalian tahu apa isinya, 'kan? Seperti biasa.

-o0o-

Dari dulu, yang selalu kusuka darimu adalah dua pasang taring runcing yang nampak begitu menggemaskan ketika kau tersenyum lepas. Bibirmu yang mungil itu selalu bisa membuatku terpaku; tertinggal oleh waktu yang berjalan tanpa pernah menunggu. Tiga garis cakaran pada kedua pipimu selalu bisa mengingatkanku padamu. Selalu. Pada setiap malam, setiap aku hendak pergi tidur—juga ketika kubermimpi.

Aku hanya selalu menemui wajahmu.

Bahkan ketika mimpi buruk yang menjijikkan mendatangiku, seseorang yang menungguku diantara pintu cahaya adalah kau—bukan siapa-siapa. Kau menjulurkan tanganmu padaku dan mengembalikanku alam nyata.

Hingga kusadari pada akhirnya: Aku menyukai segala hal yang engkau miliki.

Naruko si periang. Naruko yang selalu dikucilkan masyarakat sedari dulu. Namun engkau selalu menjadi 'Naruko-ku' yang terus saja membawakan senyum ke sekitarnya; kepada siapapun, tanpa terkecuali diriku. Naru, sainganku dalam memperebutkan gelar hokage ke-enam. Naru yang tak pernah mau kalah dari anak laki-laki sekalipun. Naru yang selalu bertengkar denganku—bertarung hingga gigi terakhirnya.

Lihat? Ketika aku menyebutkan aku menyukai semuanya yang engkau miliki, maksudku adalah 'Semuanya'.

Saat itu mungkin kita melihat diri kita hanya sebagai anjing dan rubah. Kau berlari sambil tersenyum dan menyipitkan matamu, selagi aku mengejar dengan napsu bermain-main bagaikan anjing. Mengapa? Kita sesama mamalia feral seharusnya berakhir bersama.

Atau itu memang hanya dari pandanganku saja?

Apakah karena kau merasa aman berada di dekatmu, aku sudah seenaknya menjadikanmu tujuan hidupku?

Aku tidak tahu apa yang salah. Siapa yang salah. Dimana salahnya—aku tidak tahu.

Sekarang aku katakan padamu…

Aku berdarah.

Hanya dengan melihatmu dari sini—sosokmu yang begitu anggun, dengan berbagai macam renda, dan lapisan demi lapisan kimono yang berwarna cerah dan berbunga itu; kau begitu indah. Kau begitu bersinar ketika kulihat dari pinggir jalan.

Senyumanmu kembali mekar. Bukan sebagai seseorang yang dikucilkan lagi. Tapi melainkan Naru sang pahlawan Konoha. Pahlawan dunia shinobi.

Sementara aku? Aku apa? Aku hanya sanggup melihatmu dari kejauhan—seperti ribuan orang disekitarku.

Aku bukan orang yang spesial. Aku hanya pernah berteman denganmu. Hanya itu mungkin ikatan yang kumiliki dengan dirimu, Naru.

Kini kau semakin tak terjangkau olehku. Tidak hanya oleh tangan ini, tapi juga dari perasaan ini.

Besok adalah hari yang besar bagimu. Dan aku tak berhak menghadirinya hanya untuk mengumbar-umbar perasaanku.

Kau dan Sasuke akan terikat dengan abadi mulai dari besok.

Aku akan menghilang. Aku akan menghilang selayaknya Inuzuka murahan yang tercampak di pinggir jalan. Hanya sebagai anjing gunung yang menerima perintah dan diberi makan agar melaksanakan perintah sang majikan: Konoha.

Tentu saja, aku akan tetap menjadi seorang shinobi. Aku takkan kabur kemana-mana; lagipula dimana lagi aku bisa pergi. Kita 'pun sebagai shinobi hanya akan melawan begundal-begundal murah yang membangkang. Bukan berarti aku ini kuat atau semacamnya—tadi 'kan sudah kubilang, aku hanyalah Inuzuka murahan. Di Konoha saja kami hampir tidak dihargai. Jika ada yang bisa kami kerjakan, itu adalah mengendus dan mencabik. Lalu makan, pergi tidur, mengendus, mencabik, dan siklus yang takkan pernah berhenti itu akan kujalani dengan baik.

Dengan sangat baik, Naru.

Heh, Naru.

Mungkin aku sudah tidak punya hak lagi menyebut namamu seperti itu. Ya, 'kan rokudaime hokage?

Sepasang mata yang sebiru lautan itu melirikku dari atas kereta pawai. Sorak-sorai penduduk seolah menambah mewahnya gelimang kilau yang memukau itu.

Kau tersenyum padaku.

Aku tak bisa membalasnya. Aku bukanlah siapa-siapa, nona hokage. Mungkin kau tengah melirik Shino, sahabatku ini.

Benar, aku hanya anjing murah. Tak pantas bermimpi tinggi.

Aku tahu ini kasar, karena kau adalah hokage. Tapi aku sudah tak punya tempat lagi. Jika terus berada di sini, aku takut pawai perayaan pernikahanmu untuk besok ini akan bertambah runyam. Aku tentu saja juga tidak mau tiba-tiba melompat ke jalan,

Meraihmu,

Membawamu lari,

Hanya untuk ditusuk oleh raksasa dewa kuno milik si Uchiha calon suamimu itu.

Itu mungkin belum cukup. Pemberontak harus dimusnahkan, bukan? Tidak ada jaminan pria itu tidak akan membakarku dengan api hitamnya.

Setelah aku mati, kau akan terselamatkan oleh ksatria berambut gelapmu dan kembali melanjutkan perjalanan seperti tak terjadi apa-apa. Seperti hanya meninggalkan kotoran atau sampah dibelakangmu.

Tidak perlu repot-repot. Kasihani sedikit seksi kebersihan desa.

Aku tak menyadarinya sedikitpun. Hanya dengan membayangkannya, aku menggigit bibirku hingga darah berwarna merah segar mengalir dari sisi bibir bawahku. Serasa aku menahan panasnya api hitam itu saat membakar tubuhku. Menangis, menjerit, meremas apapun yang dapat kuraih hanya untuk menurunkan suhu matahari tersebut walau hanya 0,01 derajat. Aku tak kuasa, nona hokage. Ini menyakitkanku. Aku tidak ingin menangis disini, tapi aku akan pergi.

Selamat tinggal, nona rokudaime hokage.

Aku harap topeng ANBU yang telah mulai kukenakan ini bisa menyembunyikan wajah, perasaan, dan keberadaanku darimu. Sejauh-jauhnya. Jauh. Jauh.

Atau kalau bisa aku berharap inderaku mati rasa, dan sindrom apati membasuh keseluruh perasaanku. Hanya agar kau tidak muncul lagi di dalam mimpiku dan membuatku menangis hanya dengan membayangkan datangnya hari terkutuk ini.

"…Lepaskan, Shino."

"Naru…melambai kepadamu."

"Jangan lancang, kau. Beliau adalah nona rokudaime." Aku melepas genggaman tangan sahabatku yang meremas erat pergelangan kananku. "Dan dia bukan melambai kearah kita. Penduduk. Kau tidak melihat banyaknya penduduk disekitar kita?"

Aku tahu. Aku tahu dia terus melirik kearah sini sedari tadi. Aku tahu dia sampai tidak bisa berdiri menghadap ke depan selagi kereta kuranya berjalan. Dia terus dan terus saja mengharapkan jawaban dari sini. Aku tahu dia bingung dengan sikapku, demi Kami-sama atau siapapun sampah yang sok mengatur 'diatas' sana!

Tapi aku tidak bisa.

Aku berniat melanjutkan jalanku, tapi anjing kesayanganku—yang selalu setia hidup dan mati, Akamaru, menghalangi jalanku. "…Mau apa kau? Minggir.

Aku sedang tidak mau bertengkar."

Apa yang kupikirkan? Aku tidak berniat melemparkannya kebencian dan kemuakkan ini pada kedua sahabat terdekatku.

Tapi aku hanya tidak bisa berada disini terlalu lama. Maaf, Shino, Akamaru. Tapi apa kalian bisa mengerti perasaan ini?

Aku belum ingin mati disini. Aku tidak ingin mati kehabisan darah lantaran mencabik-cabik kulit dan dagingku karena mengutuk kehidupan ini.

Hingga aku sadar dari lamunanku, aku sudah menyudutkan segerombol pemberontak padang pasir di perbatasan antara Konoha dan Suna. Topeng ANBU bercorak anjing liar pegunungan terpasang dengan erat di wajahku. Siapapun yang berada di depanku, mereka takkan tahu jati diriku sebagai makhluk elit terkutuk dengan pekerjaan kotor—bernamakan shinobi rahasia—pasukan belakang.

Aku tidak bisa menahannya. Aku harus melampiaskan kekesalan dan kebencian ini.

Aku memukul , menendang, dan menghajar ketujuh orang-orang ini. Aku harus mengeluarkannya, atau aku akan meledak. Mereka orang-orang salah. Mereka tak tahu suah berurusan dengan siapa. Mereka kira mereka bisa bertukar-tukar desa untuk merampok dan mencuri.

Tidak bisa. Aku akan memberikan hukuman ini. Kalian semua harus mulai belajar untuk tidak membuat masalah denganku.

Mereka semua tersudut. Aku tahu tidak seharusnya aku menghajar orang-orang ini. Tapi mereka harus tahu, sebagai orang-orang bawah apa yang harus mereka lakukan! Bekerja untuk hidup! Bukan merampok!

Aku kembali menendang muka mereka masing-masing. Aku yakin beberapa dari mereka menderita patah tulang pada hidung. Aku menyukai bunyi krak itu. Sayangnya aku bukan ninja penginterogasi. Mungkin kita bisa mematahkan satu dua jari kalian, para makhluk terbuang!

Bergelimang darah, aku menyerahkan mereka semua pada pos perbatasan Suna-Konoha. Shinobi penjaga dari Suna berterima kasih, dan secepatnya akan segera melapor kepada Kazekage untuk mengirimkan uang bayaran misi kepada Konoha.

Aku segera menghilang dari balik malam untuk mendarat di sekitar desa kecil.

Aku butuh pelampiasan lain.

Aku butuh pelampiasan lain. Tak bisa menahannya, aku terus mengulang-ulang mantra itu.

"Kau suka bermain kasar, hah?" Aku berbisik pada pelacur berambut hitam panjang yang kusewa di rumah border. "Ya, aku dengar kau suka bermain kasar, anjing betina!"

Kedua mata gelapnya menunjukkan tanda-tanda seperti kecanduan. Oh, wanita ini benar-benar suka permainan kasar rupanya. Aku menghentakkan pinggangku dengan lebih kuat dari belakang bokongnya.

Ia memekik keranjingan, tak bisa diam. Dia meraih leherku dan menarik tubuhku lebih mendekatinya.

Jangan main-main dengan anjing, kau wanita. Hah?

Kau meminta permainan kasar dariku? Sekarang kita bermain kasar. Kau suka bermain dengan anjing—dengan gaya anjing, 'kan hah!

"Pergi! Panggilkan aku wanita berambut pirang panjang."

Aku melempar wanita jalang barusan dengan 15000 ryo. Dia memekik kesenangan. Dasar jalang.

Anjing betina yang kuminta akhirnya datang.

Dia adalah wanita berambut pirang keemasan dengan panjang kurang-lebih sepinggang. Kesan itu langsung tertinggal di dalam benakku. Aku menyuruhnya menguncir tancangkan rambutnya pada kedua sisi. Aku semakin menikmati ini. Rambutnya berayun dengan menggoda dibalik punggungnya.

"Apa? Fetish anda, tuan?"

Aku menidurkannya disebelahku.

Wanita ini cukup cantik. Sayang dia seorang pelacur. Aku mengecup bibir merahnya, merasakan tiap garis bibirnya.

"Anda punya pengalaman pahit…"

"Diam. Kau cukup melayaniku." Aku berbisik balik dengan suara yang parau.

Aku kini mengecup pelipis dari sepasang mata birunya, mata biru yang entah mengapa mengingatkanku pada seseorang yang keberadaannya terlalu jauh dari jangkauanku.

"Anda sedang lari dari sesuatu, tuan?"

"…Sudah kubilang diam, pelacur!"

Aku menggerayangi pipinya yang mulus, dan berjalan menuju dagu, batang leher, dan ke dadanya. Wanita itu mendesah mesra dan memohon lebih.

Aku menggigit puting susunya, dan menghisapnya. Ia semakin memekik tak kuasa.

Wanita. Semua wanita sama saja.

"…Saya memang pelacur,"

Mau sampai kapan wanita ini berbicara. Atau dia sudah begitu tidak sabarnya untuk kuperkosa?

"Tapi saya tidak pernah lari dari jalan hidup saya."

Apa katanya? Apa katanya?

Apa yang dikatakannya barusan?

"Saya tidak bangga dengan pekerjaan saya. Tapi saya mendapatkan makan dari ini, dan saya hidup.

Jika tidak tetap tersenyum, mungkin saya lebih memilih lari dari kehidupan ini."

"…Jangan sombong kau, pelacur…" Mataku mulai berair. Tahu apa orang ini dengan kehidupan?

Apa dia pernah merasakan pahitnya seorang Inuzuka yang tak pernah dianggap sedikitpun, dan bermimpi terlalu tinggi?

Apa dia mengerti perasaan yang ingin mengejar tapi tak pernah sampai?—Sakit, kau tahu. Sangat sakit.

"Dengan kedua lengan saya terbuka, tuan. Silahkan lakukan sesuka anda terhadap saya."

Matanya berbeda. Kedua matanya ini begitu berbeda dengan pelacur-pelacur yang biasa kau jumpai. Dia lain. Dia memiliki visi. Apa ini? Seorang bangsawan yang jatuh?

Kenapa dia memiliki tatapan pasti seperti itu?

"…Saya hanya ingin hidup. Hidup dan tersenyum. Ingin makan dan menikmati indahnya hidup ini." Ia menatapku dengan tatapan sendu. "Apa itu jawaban untuk pertanyaan anda, tuan?"

Tadi pagi aku secara tak sengaja menggigit bibirku hingga robek, dan sekarang…

Aku menangis tanpa kusadari sedikitpun. Segalanya mulai diluar kendaliku.

Aku merasa ditelanjangi oleh wanita ini. Aku serasa tak memiliki harga diri lagi. Namun anehnya aku merasa begitu lepas. Aku memang ditelanjangi tapi harga diriku tak diinjak-injak.

"Naruko…" Aku mulai berbisik perih. Air mataku jatuh ke dada perempuan tak kukenal ini. "Oh, Naru…"

Aku tenggelam dalam tangis. Dia memelukku di atas dadanya. Semua napsuku sudah menghilang, dan kini akal pikiranku mencair di atas tubuh tak kukenal ini.

Aku mengeluarkan semuanya. Keperihanku. Kekecewaanku. Ketidakmampuanku. Kepengecutanku. Ketidakadilan dunia ini. Kekalahan dan perasan tersisih. Semuanya. Semuanya.

Dengan kedua lengan terbuka untukku, dia membelai rambutku di atas kedua payudaranya.

"…Aku…sampah. Aku… Kenapa dunia ini diisi oleh orang-orang tinggi dan rendah?—Kenapa aku terlahir rendah?

Apa kita orang rendah memang takkan pernah bisa melangkah naik? Apakah kita harus menelantarkan satu sama lainnya, hanya untuk mendapatkan hal yang diinginkan…?

Tapi mengapa orang-orang jenius, dari keluarga kaya dan garis darah sukses dapat meraih semua yang diinginkan mereka?

Apa kesalahan kita orang-orang rendah—ataukah hanya diriku saja yang terlalu sensitif?"

"…Tak ada yang salah." Aku mendengarnya berbisik tepat di atas rambutku. Air mataku masih terus mengalir; aku masih terus terisak seperti anak bayi yang merengek atas air susu ibunya. "Hanya saja, Kami-sama terlalu mencintai kita. Sehingga Ia memberikan kita 'lebih banyak' cobaan untuk berdiri tegap.

Saya pikir, hanya mereka yang merangkak dari bawah yang akan tersenyum pada akhirnya.

Meskipun tidak harus selalu begitu, kita tetap bisa tersenyum karena sudah menjalani hidup ini seutuhnya—sesuai dengan yang kita dapatkan. Tidak harus selalu kesuksesan dan posisi.

Tapi keikhlasan. Tidak yang kita dapat; melainkan yang kita beri dan korbankan."

Aku menyeruputi ingus, dan menyudahi tangisku.

"Jika… Jika aku diperbolehkan berharap untuk sekali saja; jika aku diperbolehkan memiliki satu saja keinginan, aku harap aku bisa mengerti. Aku harap kau benar, wahai wanita-yang-tak-kukenali-namanya."

Aku pergi meninggalkan desa kecil itu dengan hati yang sedikit terbuka. Langit malam terasa lebih besar beberapa mil dihadapanku, dan Konoha tak pernah seindah ini sebelumnya ketika kupandangi dari kejauhan.

Mungkin hanya sehari saja kutinggalkan, tapi aku merasa rindu dengan tempat ini.

Nanti… Nanti aku akan menemuinya. Terakhir kalinya. Dengan kedua lenganku yang terbuka lebar, aku akan membiarkannya pergi. Dari pikiranku, dari hidupku. Karena dia juga memiliki kehidupan—begitupula aku. Mungkin memang dia tidak menganggapku apa-apa, tapi dia… Dia adalah salah satu dari sedikitnya sahabat terbaikku.

Dan aku ingin memberinya selamat sebagaimana seorang sahabat seharusnya lakukan.

"Aku tahu kau akan ke sini."

Dia yang selalu menyita perhatianku menampakkan diri dari balik pohon, spot favoritku untuk menyendiri. Aku tidak tahu ia berada disana sedari tadi. Tapi ketika aku berdiri tepat di sebelah pohon yang penuh arti bagiku ini, Naruko menyambutku dengan sepasang mata biru lautannya.

Dan ia tersenyum. Seperti dulu lagi. Seperti ketika kami hanya tahu bermain dan bergembira. "Hei, Kiba. Main, 'yuk!"

|Bersambung|

AN: Satu lagi Naruko Special lemon dari saya. DAN, lagi-lagi saya tinggalkan kalian dengan gaya nge-TROLL yang telah melegenda. Lololol. BUT jangan khawatir, chapter berikutnya akan ada hubungan intim antara Kiba dan Naruko serta penyelesaian diantara mereka berdua. Tapi bagi kalian yang berharap itu adalah adegan sex yang liar, saya harus bilang bahwa kalian telah salah kaprah. Mereka akan Making Love. Bakalan Hot juga, makanya, silahkan REVIEW: MASUKAN, SARAN, dan KRITIK-nya, ya. See you soon.