All about Marriage

Naruto © Kishimoto Masashi

.

.

Chapter Satu: Her Husband

Ketika membuka pintu depan rumah, bau aroma penyegar udara langsung menyerbu lubang hidungnya. Aroma memuakan yang membuatnya sadar betul bahwa ia telah ada di rumah. Sambil melangkah masuk, Matsuri melepas kancing jubah berpergiannya perlahan-lahan.

Ia meraba-raba tombol lampu, menyalakan sinar putih terang yang menerangi ruangan dapur dan ruang makan yang terlalu besar untuk ukuran dua orang penghuni rumah.

"Menyebalkan sekali." Pikir Matsuri sambil menatap sebuah botol kecil penyegar ruangan otomatis di dinding atas. Bentuknya yang lucu dan elegan membuatnya sangat menarik perhatian namun, bagi Matsuri botol penyegar itu malah membuatnya muak setiapkali dilihat. Entah sudah berapa kali ia mencoba mencopot dan menyingkirkan botol penyegar itu, namun Matsuri selalu tidak pernah bisa melakukannya.

Matsuri membuka pintu lemari es dan mengambil sebotol minuman kaleng dingin di dalamnya. Seluruh tubuhnya terasa pegal setelah seharian penuh menjamu tamu-tamu besar negara, tapi yang paling menyebalkan adalah ia yang tak bisa melepas senyum palsunya walau cuma sedetik membuat otot-otot wajahnya kebas setengah mati.

Ayo mandi dan berendam!

Setelah menghabiskan setengah kaleng minuman, Matsuri mulai memeriksa isi lemari es.

Sayuran ini baru dibeli kemarin, tahu ini… sepertinya masih bisa digunakan. Nah, susu… masih ada. Telur sudah kosong.

Matsuri menghela napas pendek. Sejak kapan ia membiasakan diri mengecek isi lemari es? Ugh, kalau dia masih lajang dulu, ia tidak pernah peduli pada apapun yang busuk di lemari es. Dasar!

Dengan gemas Matsuri menutup pintu lemari es. Kemarin ia sudah makan ramen instan sebagai makan malam. Jika perkiraannya benar, ia akan mendapat masalah jika tidak memasak makanan yang 'benar' malam ini. Mengesalkan. Merepotkan!

"Ah, sebaiknya aku mandi dulu saja. Menu makan malam akan kupikirkan sambil berendam."

Sehelai demi sehelai ia mencopot pakaiannya. Kemudian sambil membiarkan pintu kamar mandi terbuka ia melangkah ke dalam bak mandi yang masih kosong. Tangannya merayap meraih keran air. Dengan gerakan kecil ia memutar keran itu dan air hangat langsung turun mengguyur kakinya yang terasa kebas karena memakai sepatu hak tinggi sedari pagi.

Saat air telah naik ke mata kakinya, Matsuri mengambil container berisi gel. Ia membuka tutupnya dan mengucurkan isinya. Aroma memabukan bunga yang entah kenapa bisa sewangi ini, memenuhi ruangan. Matsuri yang sudah dimabuk aroma gel, menatap air yang mengalir naik menutupi tubuhnya perlahan-lahan.

.~*~.

Enam tahun yang lalu...

"Begitulah, kumohon Matsuri."

"Ta—tapi Temari-sama!"

"Hanya kaulah harapanku. Ya?"

Matsuri mendesah pendek. "Hanya menjaga, kan? Baiklah!"

Temari menggenggam tangan Matsuri, menangkupnya bersamaan. "Terimakasih… sungguh! Ah, dengan begini aku bisa tenang hidup di Konoha."

Matsuri tersenyum pendek. "Syukurlah kalau begitu."

Perempuan sulung dari keluarga pembesar Suna itu sebentar lagi akan menikah. Calonnya adalah si jenius Shikamaru Nara. Shikamaru-san yang merupakan penasihat Hokage tidak mungkin meninggalkan Konoha, oleh karena itulah Temari-sama meminta diri untuk keluar dari aktivitas pemerintahan dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya di Konoha. Tapi masalahnya… ia tidak bisa tenang meninggalkan adik bungsunya yang sibuk luar biasa itu sendirian.

"Nah, tolong ya Matsuri. Gaara itu selalu lupa makan. Aku tidak mau dia jatuh sakit karena terlalu sibuk bekerja."

"Iya."

"Dia kalau sudah tiga hari berturut-turut tidak pulang seret pulang. Abaikan alasan lemburnya. Kalau tidak seperti itu ia selamanya tidak akan pulang!"

"Iya."

"Jika kau menemukan ia belum pergi ke kamarnya setelah pukul 12 malam, paksa ia tidur dan bereskan semua berkas-berkas bodohnya."

"Iya."

"Oh, pastikan ia tidak membawa berkas apapun ke kamarnya. Oke?"

"Iya."

Jadi dengan kata lain, pekerjaan baru Matsuri adalah… Kazekage-sama sitter…?

"Nah, karena kau harus mengawasi Gaara setiap detik, tinggallah bersama dengan Gaara. Aku akan mengurus kepindahanmu. Pokoknya aku ingin kau pindah sebelum aku pindah."

"Iya."

Saat Temari mengatakan hal-hal lain yang sepertinya berkaitan dengan persiapan pernikahannya nanti, pikiran Matsuri kembali hanyut. Bisakah ia menjalankan tugas ini dengan baik? bagaimana dengan perasaannya? Memikirkan itu, Matsuri hanya mampu menghela napas.

"Hei kau dengar tidak, katanya Gaara-sama tinggal dengan seorang perempuan, lho!"

"Bohong! Bagaimana bisa? Gaara-sama kan belum menikah!"

"Itu benar… ada seorang gadis yang tinggal di rumahnya. Aku tidak tahu persis, tapi kau bayangkan… mereka tinggal bersama seperti itu apa mungkin tidak terjadi apa-apa?"

"Iuhh, kumpul kebo maksudnya?"

"Wush! Ngaco kamu."

"Yah, bisa jadi kan?"

"Benar. Perempuan mana yang gak akan menyerang Gaara-sama?"

"Tuh, setuju kan?"

Tidak lama setelah Temari-sama pergi meninggalkan Konoha bersama suaminya, gosip itu menyebar. Sebenarnya percuma menjelaskan duduk perkara masalah ini pada warga. Tapi citra Kazekage-sama tidak bisa dibiarkan begitu saja. Semua manusia memang sama, lebih suka mengambil kesimpulan negatif dari pada positif. Sementara Matsuri berusaha tak mengacuhkan kabar miring itu, Kankuro-sama yang sibuk dengan penelitian di salah satu lab besar, memilih keluar dari rumah dan menyewa apartemen kecil di sekitar lab. Alhasil, gosip pun menjadi semakin panas.

"Pilihlah."

Suatu hari, Gaara-sama mengajak Matsuri mengunjungi toko perhiasan di pusat perbelanjaan SunaGakure. Matsuri yang tidak punya ide sama sekali, mengerutkan keningnya.

"Anda mau memberikan hadiah pada seseorang?"

Untuk beberapa saat Gaara kehilangan suaranya.

"Ya."

"Apa yang ingin anda berikan padanya? Kalung? Gelang? Atau…" Matsuri meneguk ludahnya sendiri. Tengkorokannya mendadak kering. "Cincin?"

Gaara meraih tangan Matsuri dan membawanya pada deretan cincin pernikahan. Matsuri tersentak.

"Ah. Anda akan menikah?"

Tidak tahu harus bersikap bagaimana, perasaan Matsuri menclos seketika.

"Iya."

Mata Matsuri melebar. Ia menatap Gaara lekat-lekat seolah meminta penjelasan. Tapi Gaara hanya memalingkan wajahnya. Sibuk menelusuri deretan cincin pasangan di etalase toko.

"Matsuri." Panggil Gaara. Gadis itu menoleh, matanya nampak kosong. "Aku tidak punya waktu banyak, cepat pilih."

Matsuri menarik tangan Gaara keluar dari toko perhiasan.

"Apa yang kau lakukan?"

"Gaara-sama! Apa maksud anda?"

"Huh?"

"Anda akan menikah? dengan siapa?"

Pupil mata Gaara melebar. Di sudut ruangan yang temaram itu, Matsuri tidak bisa menangkap perubahan ekspresi Gaara dengan jelas.

Gaara terlihat menghela napasnya. Semua gerak-gerik Gaara membuat Matsuri berdebar-debar. Semua kemungkinan terburuk jika Gaara pada akhirnya mengatakan nama gadis lain telah siap ia terima. Ini semua tinggal waktu bagi Gaara untuk memecatnya. Matsuri telah berpikir bahwa ia harus segera mencari apartemen baru yang murah. Ia juga telah berencana mengambil kerja di bagian akademi.

Patah hati seperti ini, memang sudah menjadi resikonya sedari awal.

"Gaara-sama?"

"…"

"Jika anda tidak mengatakan nama gadis beruntung itu, aku tidak tahu harus memilih yang seperti apa. Setidaknya beritahu aku ukuran lingkar jarinya."

"…"

"Gaara-sama?"

Gaara tetap tak mengatakan apapun. Ia memandang Matsuri dengan pandangan yang sulit diartikan. Tak lama kemudian Gaara menghela napas dan berbalik, "Kita pulang."

"Huh?"

"Lupakan saja. Ayo pulang!"

Perlahan-lahan punggung Gaara menjauh. Matsuri tidak mengerti.

"Tu—tunggu! Apa maksud anda, Gaara-sama? Bukankah anda mau membeli cincin? Ma—maafkan saya jika saya lancang. Ka—kalau begitu ayo kembali ke toko perhiasan."

"..."

"Sebuah cincin kan? Baiklah, rasanya lingkar jari perempuan tidak terlalu besar perbedaannya. Jadi aku akan mengambil ukuran rata-rata… asal modelnya bagus kupikir kita bisa meme—"

"Matsuri."

"—sannya. Ya?"

Gaara mengangkat kepalanya sendiri dan menghembuskan napas frustasi. "Apa kau tidak pernah berpikir untuk menikah… denganku?"

"Eh?"

"Aku tahu. kau tak perlu menjawab."

Gaara kembali membalikkan badannya dan berjalan pulang.

"Tu—tunggu! Ap—apa ma—maksud anda?"

"Sudahlah. ini bodoh. Lupakan saja."

"Tidak! Jelaskan padaku. Apa maksud anda sebenarnya?"

"Sudah kubilang lupakan saja. Ini tidak penting."

"Gaara-sama!"

"…"

Gaara menatap lekat mata Matsuri yang menatapnya dengan penuh keingintahuan. Rasa penasaran yang bercampur dengan desakan membuat Gaara menghela napasnya.

"Dengar, aku sebenarnya tidak peduli dengan apa yang orang-orang bicarakan diluaran sana. Tapi pekerjaanku menuntut itu. citra atau apalah namanya… dan kau, kau adalah seorang perempuan. Aku tahu jika kita tetap seperti ini, pada akhirnya harga dirimu yang terluka. Jadi kita hanya punya dua pilihan. Memecatmu atau menikah. Aku tidak ingin memecatmu. Tapi jika kau menginginkan itu, kita akan mengambil itu."

Matsuri tertegun—tak mampu mengatakan apapun.

"Baiklah. Aku akan menyuruh sekretarisku mencarikan apartemen dan pekerjaan baru untukmu. Mungkin seminggu lagi kau bisa pin—"

"Tidak!"

"—dah. Ya?"

"Aku tidak mau dipecat."

"Ah,"

"Kubilang aku tidak mau dipecat."

"Baiklah. Kalau begitu ayo pilih cincinnya."

.~*~.

Matsuri menghela napas panjang. Saat itu, akan lebih baik baginya untuk tidak pernah memilih cincin di toko itu. Matsuri bersandar, memainkan bathtub yang terbuat dari marmer dengan air. Keseharian yang melelahkan dan monoton terus berlalu. Matsuri menyandarkan kepalanya pada pinggiran bathtub.

"Brrr…"

Matsuri menggetarkan bibirnya. Angin yang masuk dari lubang fentilasi membawa angin dingin yang membekukan tulang. Sebentar lagi Gaara mungkin pulang. Matsuri harus bergegas keluar dari tub dan menyiapkan makan malam. Ah, tapi jika Gaara kembali lembur, maka ia akan makan malam sendirian lagi. Suaminya itu, orang paling tidak pengertian sedunia, tidak pernah pulang dengan teratur. Kepalanya selalu sibuk memikirkan pekerjaan dan Negara hingga ia hampir tidak punya waktu memikirkan dirinya sendiri. Yang kerepotan pada akhirnya adalah Matsuri.

"Gaara-sama… kau pulang tidak hari ini?"

Meski kepulangan Gaara tidak akan membawa keceriaan, tapi Matsuri lebih suka Gaara pulang. Meski kepulangan Gaara membuat Matsuri harus repot memasak, tapi Matsuri memang lebih suka Gaara pulang. Ia tidak ingin sendirian di rumah besar yang sepi ini. Ia ingin bersandar pada Gaara dan tertidur tanpa banyak bicara.

Tanpa disadari, Matsuri tertidur di dalam bathtub yang hangat.

.~*~.

Pukul 11.38 malam. Gaara tiba di rumah. Kening Gaara tampak mengerut saat melihat lampu teras dan ruang tamu tidak menyala. Apa Istrinya terlalu kelelahan melayani tamu negara hingga tidak sempat menyalakan lampu? Yang jelas, Matsuri kini tidak menunggunya.

Gaara memang tidak mengatakan akan pulang hari ini, tapi ini sudah tiga hari berlalu semenjak ia lembur. Matsuri harusnya tahu persis bahwa apapun yang terjadi Gaara akan pulang setelah lembur tiga hari berturut-turut. Gaara tahu bahwa Matsuri lelah karena telah menjamu tamu agung seharian, tapi Gaara juga lelah telah bekerja seharian. Gaara jadi merasa kesal.

Saat membuka pintu dengan kunci cadangan, Gaara menemukan ruang depan gelap gulita. Namun, ada seberkas cahaya dari arah dapur dan ruang makan. Gaara meletakkan tasnya di kursi terdekat dan berjalan memasuki dapur.

Tapi semua bayangan istrinya yang sedang tertidur di meja makan dengan aneka makanan dingin di sekitarnya tidak terlihat. Gaara mendengus pendek. Rasa-rasanya ia jadi terlalu banyak berkhayal. Jelas-jelas Matsuri tidak sempat memasak untuknya. Jelas-jelas Matsuri tidak menungguinya. Lalu sebuah kaleng minuman yang terbuka menarik perhatiannya.

"Masih sisa setengah." Gumamnya pendek, kemudian meneguk sisa cairan manis itu.

Gaara membuka lemari es dan tak mendapati makanan apapun. Hanya ada sayuran, tahu dan bahan-bahan mentah lainnya. Gaara mendesah. Sambil membuka lemari makanan disampingnya, Gaara hanya menemukan setumpuk ramen instan.

"Kau benar-benar tidak mengira suamimu akan datang, huh?"

Gaara mengambil sebungkus ramen dan meletakkannya di meja. "Air panas? Nah, sebaiknya aku mandi dulu saja."

Gaara merasa heran saat melihat lampu kamar yang gelap gulita. Tidak biasanya Matsuri mematikan lampu saat tidur. Dengan perasaan khawatir, Gaara membuka pintu kamar dan mendapati ruangan itu kosong.

Tidak ada siapapun. Kemana dia?

"Matsuri?"

Panggil Gaara. ia berjalan keluar kamar dan mulai menelusuri koridor rumah.

"Matsuri? Kau ada dimana?"

Apa Matsuri belum pulang? Mustahil. Ia tahu persis Matsuri telah pulang lebih dulu setelah pertemuan tadi sore. Tapi kemana dia? Apa jangan-jangan Matsuri tidak pulang kemari melainkan pergi ke suatu tempat?

Cemas menerjangnya tanpa ampun. Gaara mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan tempat yang disinggahi Matsuri. tapi ini tidak seperti biasanya! Matsuri tidak pernah tidak ada di rumah selarut ini. pergi kemana dia?

Tunggu sebentar. Kalau tidak salah, lampu kamar mandi…! Ah, dasar bodoh!

Gaara bergegas menuju kamar mandi, dan benar saja tubuh Matsuri yang terbalut busa tertidur dengan pulas.

Gaara melepas jubahnya dan mengambil handuk dari rak. Beberapa detik Gaara hanya bisa menghela napas saat menatap tubuh istrinya di bathtub sebelum kemudian membungkusnya dengan handuk dan menggendongnya dengan sangat hati-hati.

Wangi aroma bunga-bungaan menusuk hidungnya. sesaat pikiran liar melumpuhkan akal sehatnya.

Tidak. Tidak, Gaara! Kau tidak boleh melakukannya!

Ia membaringkan istrinya ke tempat tidur. Membuka lemari pakaian dan mengambil sepasang dengan sembarangan. Cepat tutupi tubuhnya dan mandi!

Jam antik tua di tengah rumah berdentang. Menegaskan bahwa sekarang sudah pukul dua belas malam. Dentangan samar itu merayunya, memperburuk keadaannya. Gaara mati-matian menahan dirinya. Setelah selesai mengancingkan baju terakhir Matsuri, Gaara buru-buru keluar dari kamar dan menyalakan shower di kamar mandi.

Aku butuh air ! Air yang sangat dingin!

.~*~.

"Semalam Anda tidur dimana?"

Pertanyaan Matsuri tiba-tiba membuat seluruh ingatan Gaara terbang ke malam kemarin. Tubuh putih mulus dengan aroma bunga yang mekar di musim semi. Gaara buru-buru mengalihkan wajahnya dan berpura-pura menyibukkan dirinya dengan tumpukan koran hari itu.

"Di ruang kerja."

"Anda tidur, kan?"

"Ya."

"Kenapa tidur di ruang kerja?"

"Ketiduran."

"Huh, seharusnya Anda langsung tidur begitu pulang. Kenapa Anda senang sekali bekerja, sih?"

"Ada banyak yang harus kuselesaikan."

"Tapi Anda ini seorang pemimpin negara. Kalau Anda sakit bagaimana Anda mempertanggungjawabkan diri Anda pada negara nanti?"

Matsuri menyodorkan semangkuk nasi kehadapan Gaara. Lalu mendengus pendek. "Simpan koran Anda, makanlah!"

"…"

"Gaara-sama!" Matsuri menarik koran di tangan Gaara, memaksa Gaara menatap matanya. Sialnya, gerakan mata yang terang-terangan menghindar itu membuat Matsuri semakin kesal.

"Makan dulu, oke?"

Akhirnya Matsuri memilih menyerah. Ia berbalik dan meletakkan koran jauh-jauh dari jangkauan suaminya.

.~*~.

"Nyonya, hari ini Anda harus menghadiri kelas minum teh."

"Ah, Sejak kapan suamimu mengambil alih perusahaan di gedung itu? Walau tampangnya pas-pasan tapi nampaknya tidak bisa disepelekan."

"Iya, sebagai istrinya kau tidak harus terlalu banyak berpikir, kan? Eh, anakmu sudah masuk sekolah?"

"Belum. Dia masuk tahun depan."

"Eh? Kalau begitu cepat-cepat pesan kursi."

"Ah, masih lama, kan? Nanti saja deh!"

"Setelah itu ada acara kebudayaan…"

"Jangan bodoh. Kalau kau memesannya nanti, kau hanya akan mendapat sekolah kelas rendah."

"Apa maksudmu?"

"Kuberi tahu, ya. orang-orang seperti kita kalau ingin mendapatkan sekolah yang bagus ya harus jauh-jauh hari. Bahkan ada yang pesan untuk anaknya yang baru delapan bulan."

"Masa sih."

"Anakmu baru satu sih, kau harus tanya-tanya pada kami, yang sudah lebih berpengalaman. Tk Matahari misalnya, kalau kau mau memasukkan anakmu kesana, kau harus pesan maksimal saat anakmu berusia dua tahun."

"Apa?"

"Iya, tapi karena anakmu setahun lagi sekolahnya, coba ke Tk Dahlia. Sepertinya masih menerima. Tapi kau harus cepat. Kau tidak mau kan anakmu masuk ke sekolah biasa-biasa saja. Akan bilang apa suamimu yang hebat itu?"

"Benar. ini tuntutan dari kehidupan suami kita juga, kan? Kalau kita memasukkannya ke sekolah biasa nanti yang malu kita sendiri karena diianggap tidak bisa me-manage masa depan anak kita sendiri. Pokoknya demi image suami dan dirimu sendiri, kau harus lebih sigap!"

"Ah, kalian benar! aduh terimakasih, ya. Dengan begini aku sangat tertolong."

"Ibu-ibu muda seperti kita memang harus saling bahu membahu, sih."

"Iya… kau benar. hihihi…"

"Jangan lupa. Anda harus menghadiri…"

"Ugh, kepalaku sakit."

"Kenapa, Matsuri-sama? Kenapa kepala Anda?"

"Anda tidak bisa tidur, ya?"

"Ah, tidak bisa tidur apa tidak bisa tidur? Hihihi…"

"Tidak ada yang menidurkan Anda, kan? Hihihi…"

Matsuri sedang menghadiri acara kumpul-kumpul ibu-ibu muda penggerak PKK. Tapi sepanjang pertemuan mereka yang rata-rata sudah memiliki satu atau dua anak malah membicarakan topik yang tidak bisa dimasuki Matsuri. Sejak awal, Matsuri memang tidak terlalu suka menghadiri pertemuan ini. Meski ceritanya untuk mengakrabkan diri, Matsuri merasa mereka mirip dengan sekumpulan ibu-ibu penggosip.

Pembicaraan seorang ibu rumah tangga memang selalu sama. Siapa yang suaminya paling kaya, TK atau KOBER mana yang bergengsi untuk dimasuki anak-anaknya, mereka akan melanjutkan pembicaraan dengan mengobrak-abrik kejelekan teman mereka dan kalau sudah bosan semua topik itu akan kembali dibicarakan. Matsuri hanya duduk manis disana. Menghadiri pertemuan ini hanya karena title-nya yang berjudul 'istri Kazekage-sama'.

"Tidak bukan itu. Aku hanya tidak bisa tidur nyenyak saja, kok."

"Memangnya kenapa tidak bisa? Karena suami, ya?"

"Hihihi… enak sekali. Kalian melakukan itu sepanjang malam, ya? hihihi…"

Tidak bukan begitu!

Ibu-ibu muda itu mulai menggunjingkan sesuatu yang tidak dipahami Matsuri. Mereka terus menggoda Matsuri dengan membicarakan 'suami'nya. Matsuri jadi teringat kejadian semalam. Tentang Gaara yang sama sekali tidak menyentuhnya walau ia dalam keadaan telanjang. 'Suami'nya itu lebih suka berhubungan dengan tumpukan kertas kerjaan di ruang kerja daripada menyentuhnya. Kejadian semalam adalah bukti yang terlalu nyata bagi Matsuri. Bukannya menyentuh, ia lebih memilih memakaikan bajunya. Suami macam apa itu? Apa tubuhnya ini sedemikian buruk rupa hingga lebih baik ditutupi…? Menyakitkan… setiap mengingat itu, harga dirinya terasa hancur.

Teman-teman Matsuri berbagi senyum saat Matsuri tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Jadi?"

Salah seorang ibu menyadarkan Matsuri dari lamunannya. Matsuri mengerutkan kening.

"Jadi? Apa?"

"Anda tahu apa yang kami maksud. Jangan pura-pura!"

Yang paling dibenci dari pertemuan ini adalah ketika ibu-ibu muda ini menanyainya tentang 'itu'. Setelah hampir empat tahun menikah apa lagi yang mungkin dipertanyakan?

"Sepertinya belum, ya?"

Matsuri hanya membalas senyum.

"Apa Anda sudah memeriksakan diri ke dokter?"

"Hei, jangan bodoh… pasangan Kazekage-sama itu wajib memeriksakan diri ke dokter sebelum pernikahan, kan? Itu sudah syarat wajib!"

"Lalu kenapa?"

"Apa mungkin… suami Anda yang–?"

"Wush! Jaga bicaramu, bodoh!"

"Ah, maafkan aku. Tapi tetap saja. Begini lho, sebagai warga Suna aku secara pribadi menantikan itu… sangat!"

"Ya, kalau boleh jujur sih, aku juga. Kami semua menantikannya."

"Tapi sepertinya masih belum, ya? hemm… menurutmu apa yang salah?"

Saat ibu-ibu muda mulai menyuarakan apapun yang ada di pikirannya, Matsuri sebetulnya sudah memiliki jawaban itu. Ia tahu betul apa yang salah. Seumur hidup pun ia tidak akan pernah punya anak jika hubungan ia dan suaminya tetap seperti ini. Tidak akan butuh waktu lama bagi Matsuri untuk mendengar desakkan Tetua Suna. Namun bila hari itu datang, akankah Gaara menyentuhnya? Gaara menyentuhnya hanya karena didesak Tetua Suna?

Benar-benar menyakitkan.

Suamiku, sebenarnya untuk apa kita menikah?

-TBC-