Jeongin punya kehidupan yang sempurna. Ayah yang bekerja keras namun tetap memperhatikannya dengan teliti. Mama yang selalu menyayanginya sepenuh hati. Kakak yang tak pernah lupa ingatkan untuk makan teratur setiap hati. Kehidupannya lengkap. Tidak ada sela untuk mengeluh sama sekali.
Pagi hari saat dia bangun dan selesai mempersiapkan diri, Jeongin akan turun dan mendapati sang Ayah pertama kali. Beliau akan duduk di ruang tengah dengan koran dan secangkir kopi. Jeongin akan berhenti. Menyapanya secara pelan. Sekadar formalitas yang jadi rutinitas.
Lalu dia berjalan ke dapur untuk menyapa sang mama yang masih sibuk dengan masakannya. Mengucap salam pagi dengan binar yang sangat kentara. Bertanya apa menu pagi ini yang disahut sang mama dengan senyum tak kalah hangat.
Saat ayahnya ikut bergabung di meja makan, Jeongin akan mendengar langkah kaki dari sang kakak. Ikut duduk di kursi sebelahnya setelah membersihkan motornya.
Rutinitas pagi Jeongin akan dihiasi tanya dan canda di meja makan. Saling berbagi cerita tentang kemarin dan rencana untuk hari ini. Paginya sempurna, dengan kasih sayang dari keluarga.
Namun itu dulu. Sekarang hanya sekadar cerita lalu. Yang ingin Jeongin ulang namun segera sadar saat tahu. Itu tak mungkin. Terlalu semu untuk keempatnya bersatu.
Dua bulan lalu, ayahnya pulang dengan kabar menyedihkan. Perusahaan collapse, ayahnya terkena PHK. Pekerjaannya hilang dalam sekejap mata. Awal Jeongin kira tak apa. Ayahnya sosok yang kuat dan giat. Jeongin yakin beliau cepat atau lambat akan dapat pekerjaan baru.
Tapi tak ada yang bisa Jeongin lakukan saat Tuhan berkehendak. Dua minggu setelah kabar itu, ayahnya belum juga dapat pekerjaan baru. Beliau justru berubah menjadi sosok asing bagi Jeongin. Seminggu pertama setelah PHK, ayahnya keluar rumah dan pergi tanpa tujuan. Baru pulang saat petang. Kadang malah pulang dengan kondisi mengenaskan. Bau alkohol jelas tercium di pakaian. Jeongin sama sekali tak bisa mengerti mengapa orang dewasa berlaku begitu. Apa semua akan mabuk saat kehilangan pekerjaannya?
Minggu kedua kelakuan ayahnya bertambah parah. Yang semula pulang petang, berubah menjadi hilang. Ayahnya pergi tanpa kembali selama dua sampai tiga hari. Saat pulang pun pria dewasa itu tak memperbaiki keadaan sama sekali. Justru memperparah. Emosinya sering kali meluap tanpa alasan. Jeongin yang dulu sering diperhatikan lewat tanya ringan, sekarang berubah menjadi berpuluh bentakan dan umpatan.
Kadang Jeongin ingin menangisi keadaan. Namun dia sadar, dia terlahir sebagai lelaki yang sudah seharusnya bisa tegar. Jadi meski sering kali mendapat umpatan dari sang ayah, dia tetap menghormatinya.
Kakaknya, Hyunjin, tetap diam dalam kondisi keluarga yang berantakan ini. Rutinitasnya masih sama. Pagi setelah dia bangun, dia akan turun dan masuk ke garasi untuk membersihkan motornya. Dia tampak tak lagi peduli dengan ada atau tidaknya sang ayah. Dia tak lagi peduli tentang sarapan pagi. Dia tak lagi peduli akan keutuhan keluarga ini. Setidaknya itu yang ada di pikiran Jeongin. Kakaknya itu benar-benar menutup diri dan selalu berusaha tampak sibuk dengan kegiatan kuliahnya.
Jeongin merasa sendiri jika saja tak ada sosok mama yang selalu merawatnya dengan sepenuh hati. Mungkin tak ada lagi sang ayah di ruang tengah dengan koran dan kopi. Mungkin tak ada lagi lantunan suara sang kakak saat membersihkan motornya. Mungkin meja makan tak seramai dulu. Tapi setidaknya dia masih punya mama yang menyajikan sarapan seadanya dan bekal untuk dibawa. Setidaknya ada mama yang menenangkannya saat dia mendapat umpatan dari sang ayah. Setidaknya ada mama yang menemaninya saat Hyunjin pergi kuliah. Setidaknya ada mama di sisinya.
Jeongin turun di satu pagi. Berniat menyapa mama dan sarapan berdua seperti biasa. Namun yang dia dapati berbeda. Mamanya tak ada di dapur. Kompor tak tampak menyala. Piring tak tampak tertata. Semua barang didapur itu masih rapi seperti semalam. Dalam hati Jeongin bertanya. Kemana sang mama?
Tanyanya langsung dapat jawab saat dia dengar teriakan dari halaman. Ragu, Jeongin berjalan pelan ke pintu depan. Disana, persis di tengah halaman, mamanya berdiri bergetar. Berhadapan dengan ayahnya yang berdiri sempoyongan dipapah seorang wanita. Jeongin tak tahu apa yang terjadi. Dia tak mengerti. Atau lebih tepatnya tak ingin sedikitpun tahu tentang keadaan ini.
Disana mamanya menangis. Beberapa kali mendorong ayahnya yang setia mengumpat di tiap ucapan sang mama. Wanita yang menjadi sandaran sang ayah seakan sama tak mengertinya dengan Jeongin. Tampak bingung dengan kondisi yang dihadapi. Seorang lelaki dalam dekapannya dan seorang wanita berteriak ke lelaki itu.
Jeongin lihat, wanita itu berkedip sekali dan menyeringai seakan mengerti. Apa arti dari kondisi ini. Apa lagi jika bukan perselingkuhan di tengah keluarga yang berantakan?
Jeongin bingung. Dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Ingin melerai tapi takut. Ingin mendekat pun enggan. Ingin menolong sang mama tapi terlambat. Mamanya sudah terlebih dahulu di dorong dengan kasar. Di tendang tanpa perasaan oleh sang ayah. Mamanya meringis kesakitan. Jeongin menangisi keadaan.
Semuanya berjalan dengan terlalu cepat. Saat sang ayah sekali lagi menendang mama dan berlalu dengan seorang wanita. Semuanya terlalu cepat. Jeongin bahkan tak sempat mencerna dengan baik. Yang Jeongin tahu, saat dia berbalik masuk ke rumah, Hyunjin memandangnya lekat. Seakan ada pesan yang tersirat. Belum sempat tanya terucap, Hyunjin sudah lebih dulu berlalu dan pergi ke kampus. Mengendarai motor kesayangannya untuk melintasi halaman yang sudah kosong. Mamanya sudah pergi entah kemana.
Itu satu pagi yang sangat ingin Jeongin lupakan. Karena sejak pagi itu, semua tak lagi sama. Hidupnya berubah menjadi derita.
Derita itu bertambah kala satu senja menyapa. Saat itu Hyunjin belum pulang. Ayah masih berkeliaran entah kemana. Jeongin berdua dengan mama di rumah. Awal suasana terasa biasa. Mama berada di dapur untuk menyiapkan makan malam dan Jeongin di kamar sedang mencoba bersantai barang sejenak.
Suasana itu berubah saat Jeongin turun untuk mencari sedikit cemilan di kulkas. Dapurnya sepi, mamanya sudah tak disana. Jeongin coba cari karena heran. Makanan sudah siap di meja namun mamanya tiada.
Rintik hujan mulai turun saat Jeongin coba cari mama di kamarnya. Kamar itu terasa dingin. Tampak seperti tak berpenghuni padahal mamanya disana setiap hari. Terasa aneh. Rumahnya mendadak hening. Mama juga tak nampak dimana pun.
Angin mulai berhembus keras saat Jeongin buka pintu samping. Tengok ke kanan kiri masih coba cari entitas mamanya. Masih nihil.
Jeongin berniat cari mama di halaman depan saat telinga tak sengaja dengar bunyi napas tercekat dari pintu bagian selatan yang terhubung dengan teras belakang. Jeongin buru-buru berjalan kesana untuk pastikan. Bahwa apa yang di dengar, bukan seperti apa yang terlintas di benak.
Sayang. Apa yang kini tertangkap retina adalah gambaran nyata dari pintu derita bagai neraka yang terbuka special untuknya.
Benar mamanya disana. Benar itu suara mama. Suara tercekat akibat tali yang memeluk lehernya erat. Kursi tergeletak tak jauh dari posisinya. Nampak berantakan akibat ditendang. Kaki mama tampak menendang udara bagai bayi baru mengenal dunia.
Tetapi konteks ini berbeda. Mamanya bukan sedang gembira karena mengenal dunia lewat tangis bayinya. Bukan tercekat haru karena bisa melihat anaknya. Justru karena dia sedang gembira menjemput ajalnya. Tercekat karena terkejut Jeongin dapat menemukan dirinya.
Iya, mamanya sedang berusaha pergi. Dari sisinya. Dari entitasnya disamping Jeongin.
Mungkin mama sudah tak tahan dengan seluruh beban yang dia rasa. Jadi dia putuskan untuk pergi meninggalkan semua derita dunia.
Jeongin masih mematung disana. Tampak tak percaya dengan apa yang dia lihat. Mamanya perlahan berhenti bergerak. Sampai di satu titik, Jeongin sadar beliau sudah tak lagi bernapas. Jeongin juga sadar, hidangan di meja makan senja itu adalah hidangan terakhir yang mamanya siapkan.
Saat itu juga Jeongin berteriak. Kencang sekali. Memanggil Hyunjin yang entah sedang kemana.
