"Ciiieeell", teriakan Elizabeth membuat Ciel terlonjak dari tempat tidurnya. Tak lama, derap langkahnya semakin mendekat dan pintu menjeblak terbuka,

"Ciel Ciel Ciel Ciel, katanya kamu sakit. Sakit dimana? Haduh, badanmu panas! Sudah minum obat?", Elizabeth menyentuhkan tanggannya di kening Ciel,

"Tidak apa-apa Lizzy. Hanya sedikit flu,", Ciel menepis tangan Lizzy lemah.

"ayo sekarang rebahan lagi,", Lizzy mendorong pelan tubuh Ciel,

"tidak apa-ap..ummhhh,", mulut Ciel tertahan,

"habiskan buburmu, Ciel. Habiskan selagi hangat,", Lizzy sudah mengambil bubur dari tangan Sebastian,

"umhh umuhmumm!",

"ada apa? Mau minum? Minumlah dulu,",

"sudah, uurghhh….blub glek,",

"bagaimana?", Lizzy masih memandang cemas Ciel,

"Lizzy, aku tidak apa-apa. Dan tolong diam sedikit. Kepalaku jadi pusing,", Ciel berbaring membelakangi Lizzy,

"oh, baiklah.", Lizzy duduk di kursi di sebelah ranjang besar itu.

"Miss Elizabeth, saya akan membawa makanan ini keluar. Ada yang anda inginkan untuk saya bawa saat saya kembali ke sini?", Sebastian memandang Lizzy.

Lizzy terdiam sejenak, lalu membisikkan sesuatu pada Sebastian.

"apakah ada?", Lizzy bertanya,

"ada. Tentu saja. Bagaiman dengan anda sendiri,",

"tidak perlu,", Lizzy tersenyum.

Pintu tertutup setelah Sebastian keluar meninggalkan ruangan besar itu dalam kesunyian. Hanya siul burung robin yang terbang disekitar manor house.

Lizzy mengambil tangan Ciel. Di genggamnya tangan itu. Sangat kurus. Dingin. Seperti tidak hidup. Sangat berbeda dengan tangan Ciel yang hangat, seperti dulu sebelum kejadian itu.

"ngg…", Ciel mengerang,

"ada apa?", Lizzy bangkit,

"kau masih di sini?", Ciel memandang Lizzy sekilas, lalu kembali membelakanginya,

"tentu saja, aku akan disini untuk menjagamu,",

"aku punya Sebastian. Pulanglah. Ibumu pasti cemas,",

"tidak perlu khawatir. Ibu pasti mengerti,",

"terserah padamu,",

Hening kembali.

"hei Ciel, kalau kau mau,", Lizzy menggangtung kata-katanya,

"ya?", Ciel hanya bergumam,

"kau bisa menceritakan padaku,",

"ceritakan apa?",

"apa saja.",

Diam sebentar.

"baiklah. Angka penjualan Petter Rabit minggu ini menurun. Kemungkinan karena produk pendatang baru itu. Apa namanya? Aku lupa. Barbara atau sesuatu. Di bidang pangan, coklat edisi paskah habis terjual, dan aku belum puny aide untuk musim ini, lalu…",

"apakah itu yang membebanimu, CIel?",

Ciel duduk, lalu berbalik menatap Lizzy. Mukanya begitu serius, tapi tidak ada lagi yang bisa dibacanya dibalik mata itu.

"Ciel, kau tahu,", Lizzy mengambil tangan Ciel,

"dulu kau tidak sekurus ini,", ia membelai pelan tangan mungil itu,

"yah, aku akui, sakit seminggu menguras tenagaku,",

"Bukan! Bukan itu! Dulu tangan ini yang menghiburku. Begitu hangat,", dibawanya tangan Ciel kepipinya,

"sebenarnya apa yang sudah kau lalui selama ini?",

Ciel dapat merasakan aliran darahnya kencang kemukanya. Ditariknya tangannya.

"itu bukan…urusanmu,", diakhiri kalimatnya dengan pelan,

"tapi kelak aku akan menjadi istrimu. Sudah sepatutnya aku tahu,", Lizzy memaksa,

"jangan bercanda. Pulanglah. Aku akan tidur dan tidak akan menjawab pertanyaanmu,", Ciel berbalik, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut,

"tapi,",

"pulang!", kali ini suaranya terdengar keras,

Lizzy bangkit lalu menghelai napas. Di tepuknya sedikit lengan Ciel,

"hei Ciel, terkadang, aku harap aku dapat mengerti dirimu,", dibukanya sedikit selimut Ciel,

"jangan terlalu ditutup. Kau tidak akan bisa bernapas. Cepat sembuh,",

Tak lama terdengar pintu tertutup pelan.

Bercerita padanya? Tidak akan ada yang mengerti apa yang ia rasakan. Orangtuanya masih ada. Rumahnya tidak dibakar orang. Ia tidak diincar dan diperdagangkan. Apa yang bisa ia mengerti?

Ciel makin larut dalam pikirannya. Dipejamkan matanya erat-erat. Kegelapan pekat langsung melingkup dirinya. Diganti baying baying api yang menari-nari. Derap langkah orang yang menyerbu rumahnya. Senyuman ayahnya yang berusaha menenangkannya. Tidak ada yang akan mengerti.

Mimpi buruk ini terus berulang. Terkadangan ia merasa hidup dibawah baying-bayang masa lalu. Dan ia tahu, karena itulah dia hidup sekarang.

Api semakin berkobar, membungkus kamar, tirai, dan kedua orangtuanya. Ciel di bawa paksa, tak mampu bergerak selain menatap kamar orantuanya yang rubuh, semakin menjauh. Ia hanya menggapai udara tanpa daya,

"ibu! Ayah!", ia mengigau dan membuka mata. Napasnya memburu. Ia sudah biasa melatih dirinya untuk tidur tanpa mimpi. Ia sudah melatih dirinya untuk membuang sejenak baying-bayang menegrikan itu walau hanya saat tidur. Ia sudah berlatih untuk mencintai tidur tanpa melihat apapun selain baying gelap. Tapi kini mimpi itu berhasil mengontrolnya lagi.

"ada apa? Apa anda mimpi buruk?", suara seorang wanita terdengar gelisah,

Ciel lalu duduk sambil mengelap keringatnya,

"aku tidak apa-apa…Paula..Paula?", Ciel menatap heran pelayan di sampingnya,

"Ya?", Paula masih tampak cemas,

"Sedang apa kau disini?", Ciel bertanya,

"tentu saja melayani anda. Ayo cepat bergegas. Jadwal anda sangat padat hari ini,",

"tapi aku….mana Sebastian?",

"anda bicara apa, Nona? Tuan Sebastian tentu sekarang ada di Manor House Phantomhive melayani Tuan Muda Ciel,", Paula menyeka keringat dari dahi Ciel.

"Silahkan susu anda. Ayo cepat. Ayah anda baru pulang tadi malam dan ingin sarapan dengan anda,",

Ciel berdiri. Beberapa juntai rambut pirang keemasan terjatuh dipundaknya.

"Paula, dimana cermin?",

"ada apa nona,",

Ciel melihat sekelilingnya.

Ada.

Dan yang terdengar berikutnya adalah lengkingan Ciel dengan suara Lizzy.

"ada apa putriku manis?", Lord Mildford menatap putrid kesayangannya,

"tidak apa-apa…err…ayah…", menunduk meneruskan makannya,

"tapi kau tampak tidak bersemangat. Kau sakit?", kakak Lizzy tampak sangat cemas,

"tidak apa-apa, kak. Aku…yah..sedang…soal….err…", ia memikirkan apa yang mungkin akan dikatakan Lizzy,

"boneka….",

"waaah, tumben sekali. Biasanya kau hanya menyebut-nyebut Ciel,", ayahnya menggodanya,

Muka Ciel mendadak panas. Ia menyibukkan diri memotong dagingnya lagi,

"Lizzy, cepat habiskan makananmu. Setelah ini ibu tunggu dibawah. Aku duluan saying, ", Lady Middleford mengecup sekilas suaminya,

"wah, tidak aku duga sudah waktunya. Bagaimana hasilnya kemarin?", Lord Middleford tampak bersemangat,

"hasil…apa?", Ciel balik menatap heran,

"seperti biasa. Ia menang clear. Hari ini pertandingan final,", Edward memandang adikknya bangga.

Sial, apa lagi sebenarnya ini.

"Elizabeth,", Lady Middleford memandang tajam kea rah Ciel. Segera ia habiskan sarapannya. Berjalan cepat kearah Lady Middleford.

"aku pergi…er….ayah….dan…kakak", ia berusaha tersenyum. Harus cepat cepat! Ia tak ingin menimbulkan kecurigaan keluarga Middleford. Apalagi bila Edward tahu kalau Ciel sekarang sedang memakai tubuh adik kesayangannya.

"tunggu dulu,", suara lord Middleford menahan Ciel. Sial. Ketahuan?

"ayo kita menarikan tarian semangatnya!", Lord Middleford berdiri, Ciel siap pingsan.

"ayo ayo. Kelinci melompat. Tinggi kea wan. Ayo lelah. Pergilah ke atas. Kucing lari kedepan, ayo sedih jauh-jauhlah lari kesana, kurakura tertinggal dibelakang, ayo masalah, tetap tinggallah di belakang." Ciel terbata-bata mengikuti ayahnya,

"kelinci melompat hup! Kucing berlari meong kura-kura berjalan kluk, aku berlari, membawa kebahagiaan untukmu! Selamat berjuang saying! Kalahkan mereka!", Lord Middleford melambai penuh semangat kearah Ciel yang berlari sambil tetap tersenyum.