Another 5%
Remake Novel by Shanty Agatha
Cast: Park Chanyeol – Byun Baekhyun – Oh Sehun
WARN! Genderswitch for Byun Baekhyun
Length: Chaptered
Genre: Genderswitch, Romance, Hurt/Comfort, Supernatural
Disclaimer: This story belongs to Shanty Agatha. I only remake this story with the other cast and change some words that need to be.
.
.
.
Bagaimana jika kau bisa mengaktifkan kekuatan otakmu hingga 95%?
Bagaimana jika kau mempunyai kekuatan hampir setara kekuatan Tuhan?
Bagaimana jika kehancuran dunia ini ada dalam genggamanmu?
Dan bagaimana jika pilihannya adalah memiliki kekuatan tak terbatas, atau kehilangan kekasih yang sangat kau cintai?
PROLOG
Sehun's POV
"Sayang, aku pulang dulu ya? Nanti sore aku kembali lagi."
Seperti biasa, aku memejamkan mataku saat Baekhyun mengecup dahiku dengan lembut ketika kami akan berpisah. Dan seperti biasanya, Baekhyun akan menyempatkan diri untuk membelai seluruh wajahku dengan jemarinya yang lentik.
"Kau akan baik-baik saja kan kutinggalkan?"
Dengan susah payah aku tersenyum demi kekasihku – Baekhyun – meskipun tersenyum adalah hal terakhir yang kuinginkan.
"Aku akan menunggumu datang kembali nanti sore," suaraku terdengar serak dan lemah. Dan aku benci itu.
Baekhyun kembali mengecup dahiku, seolah dia enggan beranjak menjauh.
"Aku pasti kembali," bisiknya pelan sebelum menghilang dari balik pintu ruang perawatan intensif yang berwarna putih.
Pintu yang sangat kubenci karena selalu menelan bayangan Baekhyun, menghilang, dan menjauh dariku. Pintu yang menjadi satu-satunya pemandangan selama hampir enam bulan terakhir. Enam bulan yang menyiksa, yang penuh dengan obat-obatan, chemotherapy yang menyakitkan, suntikan yang tiada henti, pemeriksaan yang sangat menggangu, yang hanya untuk menemukan bahwa aku akan mati 3 bulan lagi, yang hanya untuk menemukan bahwa aku sudah tidak punya harapan lagi untuk hidup. Hanya untuk menemukan bahwa kesempatanku bertahan untuk melihat dunia ini hanyalah tiga persen dari 100 orang yang menderita penyakit yang sama denganku, kanker otak yang sangat ganas, kanker otak stadium akhir.
Aku tidak ingin mati. Bukan, bukan karena aku mencintai dunia ini. Tetapi lebih karena Baekhyun. Ya, Baekhyun, belahan jiwaku, satu-satunya perempuan yang bisa membuatku menyerahkan hatiku dengan sukarela. Aku masih mempunyai mimpi yang ingin ku wujudkan bersamanya. Aku ingin mengubah dunia, aku ingin mewujudkan dunia yang indah, dunia yang penuh kebaikan, dunia yang tidak hancur seperti sekarang ini. Dan itu semua karena Baekhyun.
Aku menatap langit-langit kamar di atasku dengan perasaan getir. Aku punya mimpi seluas langit di angkasa, tapi aku terjebak dalam tubuh ini. Tubuh sialan yang lemah, yang sakit parah dan hampir mati. Tubuh yang sama sekali tidak bisa digunakan dan hanya merepotkan orang lain, bahkan merepotkan Baekhyun, wanita yang kucintai, wanita yang tidak meninggalkanku bahkan setelah aku menjadi invalid dan hanya bisa tergolek lemah di rumah sakit, yang sepenuhnya tergantung kepada perawatan medis. Baekhyun tidak pernah mau meninggalkanku meskipun aku memaksanya, mengancamnya, bahkan mengusirnya dengan kata-kata kasar. Sampai aku luluh dan menerima semuanya, Baekhyun mencintaiku, kejam sekali jika aku memaksanya untuk menjauh dariku, lelaki yang dicintainya, apalagi dengan waktu yang ku punya sangatlah sempit. Sebelum tubuhku menyerah dan kalah, sebelum raga ini mati dan nyawaku terenggut, terpisahkan selamanya, dan tidak akan pernah bisa bertemu lagi.
"Tuhan…" tanpa sadar aku mendesahkan nama itu, mengingat Baekhyun selalu mengingatkanku akan Tuhan. Tetapi bukankah cinta selalu menghubungkan jiwa dengan Tuhan? Meskipun sekarang aku sudah muak memohon kesembuhan pada Tuhan. Aku tahu Tuhan sudah meggariskanku, Tuhan sudah menetapkanku untuk mati. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
"Sepertinya sore ini akan hujan," suara berat yang baru pertama kali ku dengar membuatku menoleh kaget.
Teman sekamarku, yang baru masuk kemarin malam dan langsung tertidur pulas karena pengaruh obat. Sepertinya sudah bangun, dia menatapku dari ranjang seberang, entah kenapa matanya terlihat teduh.
"Mungkin kita akan bersama beberapa saat," lelaki tua itu tersenyum dan sedikit menegakkan duduknya. Dia tampak susah payah, tubuhnya tampak renta, tapi entah kenapa ada kekuatan yang terpancar dari dalam dirinya.
"Mungkin, jika saya bisa bertahan lebih lama," aku menjawab pelan, tidak bisa menyembunyikan nada pahit dalam suaraku.
Lelaki itu mengernyit dan berdehem.
"Kenapa? Apakah kau divonis akan mati?"
Aku mengernyit mendengar kata-kata lelaki itu. Pertanyaan apa itu? Ruangan ini adalah ruangan intensif untuk penderita kanker stadium akhir yang sudah tidak punya harapan hidup lagi. Tentu saja aku akan segera mati, dan sepertinya lelaki tua itu juga, karena dia dimasukkan ke dalam ruangan yang sama.
"Dalam waktu tiga bulan," jawabku datar.
Lelaki tua itu terkekeh. "Itu vonis dari dokter, manusia biasa. Mungkin Tuhan bisa berkehendak lain, siapa tahu?"
"Tuhan?"
Aku mengusap rambutku yang mulai menipis dan rontok karena chemotherapy yang tiada henti.
"Aku bahkan sudah lama tidak menyebut nama-Nya."
"Apakah kau tidak lagi percaya pada-Nya?"
"Bukan," aku menggeleng.
"Aku masih percaya, hanya saja, aku merasa percuma memohon mujizat kesembuhan pada-Nya. Dia pasti ingin aku segera mati."
Lelaki tua itu terkekeh lagi. "Begitu sinis."
Tiba-tiba tawanya terhenti. "Ada kalanya kita bersyukur karena kita diberi kemudahan, mati dengan mudah, mati tanpa pilihan, daripada tak bisa mati, tak bisa mengendalikan diri, dan kemudian ditinggalkan oleh orang-orang yang sangat kau cintai," suaranya berubah serak dan tampak sedih.
Aku terdiam, mencoba menelaah kata-kata lelaki tua itu, tetapi tak bisa memahami maksudnya.
"Orang yang kau cintai," lelaki tua itu berkata serak.
"Perempuan yang barusan pergi tadi, apakah dia orang yang kau cintai?"
"Anda melihatnya?"
Senyum lelaki tua itu mengembang, seolah terkenang.
"Aku melihat cinta yang begitu dalam, kau beruntung anak muda, dicintai seperti itu."
"Ya, aku beruntung," aku tidak membantah. Perasaan hangat membanjiri dadaku.
"Kalau saja, kalau saja kau diberi kesempatan untuk memilih, pilihannya kau bisa memilih kehidupan, demi perempuan yang kau cintai itu, tetapi kau harus menanggung konsekuensi berat di balik pilihan itu, akankah kau bersedia?"
Aku mengernyit, makin tak mengerti akan arah pembicaraan lelaki tua teman sekamarku itu, tetapi tak urung aku menjawab juga, "Tentu saja, sekecil apapun kesempatannya, jika aku bisa memilih kehidupan, demi kekasihku, aku akan memilihnya, tak peduli seberat apapun resiko yang harus ku tanggung nantinya."
"Jika pilihan pertama adalah kau mati sesuai takdirmu, tetapi dunia akan berjalan baik pada akhirnya tanpamu, kekasihmu itu pada akhirnya akan bahagia dengan manusia baru yang digariskan Tuhan dengannya, dunia akan berjalan sebagaimana adanya dan baik-baik saja. Pilihan kedua adalah kau diberi kesempatan melawan takdir, kau tersembuhkan, kau bisa hidup, bisa mencintai kekasihmu, tetapi konsekuensinya, beban akan dunia ini, apakah dunia ini akan berakhir baik ataupun berakhir dalam kehancuran dibebankan di pundakmu, mana yang akan kau pilih?"
"Aku akan memilih kehidupan," aku menjawab mantap.
"Dengan beban akan akhir dunia di pundakmu?"
Aku mengangguk tak tergoyahkan.
"Dengan konsekuensi jika kau gagal menguasai dirimu, kau akan kehilangan orang yang kau cintai?"
"Aku tidak mungkin gagal menguasai diriku sendiri," jawabku yakin.
Lelaki tua itu tersenyum, sedih.
"Muda, idealis, dan tak tergoyahkan. Seperti aku dulu, sampai kekuatan tak terbatas dan kekuasaan tanpa akhir menghancurkan semuanya, membuatku kehilangan orang-orang yang kucintai, membuatku sebatang kara dan sendirian, hanya menggenggam kehancuran," suara lelaki itu tampak makin samar.
"Katanya kita sebagai manusia seumur hidup hanya menggunakan 10% dari kekuatan otak kita."
Aku bingung dengan perubahan topik yang tiba-tiba itu.
"Aku dengar juga begitu," jawabku pelan.
"Hanya menggunakan 10% dari kekuatan otak kita, dan manusia bisa menjadi parasit yang paling berkuasa di bumi ini, menguasai semuanya, alam, makhluk hidup lain, menciptakan kehancuran, menciptakan senjata, merasa seperti Tuhan," lelaki tua itu melanjutkan.
Aku mengangguk-angguk, dan kemudian mengemukakan pendapatku.
"Tetapi anda hanya melihat sisi negatifnya saja, dengan hanya menggunakan 10% dari kemampuan otaknya saja, manusia bisa menciptakan keindahan-keindahan yang luar biasa, patung-patung berharga, bangunan-bangunan indah, musik yang menghibur jiwa, kemajuan-kemajuan yang memudahkan."
Lelaki tua itu terkekeh lagi. "Memang, selalu ada sisi positif dan negatif dari semua segi," tiba-tiba tatapannya berubah tajam.
"Menurutmu apa yang akan terjadi kalau manusia bisa mengaktifkan sampai maksimal kinerja otaknya? Katakanlah sampai 95% dari fungsi otaknya."
Aku terpana mendengar pertanyaan itu, aku tertegun sejenak, tapi kemudian aku tersenyum, aku suka percakapan ini, yang bisa membunuh kebosananku menanti di kamar, sampai Baekhyun datang nanti sore.
"Maka manusia itu akan bisa menyamai kekuatan Tuhan, begitulah yang aku baca, dia akan bisa melakukan apa saja yang dia mau, dia bisa terbang, dia bisa membaca pikiran orang lain, dia bisa memindah waktu, menggerakkan benda-benda, bahkan mungkin dia bisa menjadi penyembuh, dengan kata lain dia akan mempunyai kekuatan tidak terbatas, dia akan menjadi manusia super."
Lelaki tua itu mengangguk-angguk setuju. "Dan menurutmu, apa yang akan terjadi kalau manusia yang terpilih untuk bisa mengaktifkan 95% kinerja otaknya itu adalah manusia dengan sifat yang jahat dan keji?"
"Maka dunia akan menuju kehancuran."
"Betul," lelaki tua itu menghela nafas panjang.
"Tuhan menciptakan manusia dengan sempurna, hampir menyerupai kesempurnaan-Nya, tetapi Dia memberikan pembatas itu, bukan karena Dia tidak ingin manusia menyaingi kekuatan-Nya, tetapi lebih karena Dia menyayangi ciptaan-Nya. Seberapapun sempurnanya manusia, meskipun kekuatannya nanti sama dengan Tuhan, tetapi dia tidak akan bisa menyerupai Tuhan, karena manusia berbeda dengan Tuhan, manusia adalah makhluk yang tercipta dengan kelemahannya, hati manusia mudah tergoda, mudah berubah, mudah terpengaruh oleh sesuatu yang jahat. Dan ketika manusia yang lemah hati ini mampu mengembangkan kekuatan yang sama dengan Tuhan, maka kehancuran adalah jawaban yang sudah pasti."
Aku menganggukkan kepalaku tidak membantah.
"Kalau kau tiba-tiba saja tersembuhkan dari kanker otakmu, bukan hanya sembuh, tetapi kau juga diberkahi anugerah istimewa, bisa mengaktifkan sampai 95% dari kekuatan otakmu, apakah kau akan membawa dunia kepada kehancuran?" tanya lelaki tua itu.
Pikiranku melayang. Terbang, itulah hal pertama yang melintas di pikiranku. Kalau aku bisa terbang, aku akan mengajak Baekhyun terbang, duduk di atas awan yang seputih kapas, dipenuhi perasaan hangat dengan mendengar suara tawa bahagia Baekhyun. Tetapi yang terpenting dari semuanya adalah aku bisa hidup, bersama Baekhyun, mencintai Baekhyun, dan mungkin mempunyai kemampuan untuk menciptakan dunia baru bagi Baekhyun, dunia yang indah, dan kehancuran tidak akan pernah ada dalam masa depanku.
"Aku hanya akan menciptakan keindahan dunia untuk kekasihku, sekuat tenaga aku akan menghindarkan kehancuran dari dunia ini, dengan kekuatan yang aku punya, jika memang aku bisa memilikinya."
Lelaki tua itu tersenyum, dan wajahnya tampak begitu teduh.
"Istirahatlah nak, entah aku harus memberimu selamat atau menangisimu, entah kau ini beruntung atau sangat sial, kau akan terbangunkan sebagai manusia baru, dan semoga hatimu dikuatkan."
Suara lelaki tua itu semakin lama semakin sayup. Aku semakin kehilangan kesadaran, yang tiba-tiba datang menyergap bagaikan kabut yang melingkupiku, dengan menelan pertanyaan terakhir yang muncul di benakku,
"Bagaimana lelaki tua itu bisa tahu bahwa dia mengidap kanker otak?"
. . .
"Sehunnie,"
Usapan yang sangat lembut itu, suara yang sangat kukenal lamat-lamat menusuk ketidaksadaranku, menggugahku dari kegelapan yang menyelubungiku.
Aku berusaha bangun, berusaha menyingkap selubung itu, merobeknya, mengembalikan kesadaranku, dan mataku pun terbuka.
Baekhyun duduk di sebelah ranjangku, dengan tatapan penuh cintanya yang biasa, tetapi entah kenapa aku merasa berbeda, aku merasa luar biasa, sudah lama aku tidak merasa seperti ini.
Ingatanku melayang kepada lelaki tua yang bercakap-cakap denganku tadi, dengan segera aku menoleh ke ranjang seberang, dan aku pun terperangah ketika melihat ranjang itu kosong, rapi, seolah tidak berpenghuni sebelumnya.
"Kenapa sayang?" Baekhyun tampak bingung melihat perubahan ekspresiku.
"Lelaki tua yang disebelah, dia pindah kemana?" tanyaku gamang.
"Lelaki tua? Tidak ada orang lain di kamar ini, sama seperti enam bulan lalu, kau ditempatkan sendirian di kamar ini, sayang."
Tetapi ingatanku tentang lelaki tua itu bukan mimpi, bukan main-main, aku masih ingat setiap patah katanya, dan aku yakin dalam kondisi sadar ketika bercakap-cakap tadi, tetapi Baekhyun juga tampak serius dengan kata-katanya.
Aku memegang tengkukku, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang menggangguku.
"Apakah aku sudah lama tertidur?"
"Dari satu jam sejak aku datang tadi, tidur pulas, seperti bayi," ada senyum dalam suara Baekhyun.
"Kenapa kau tidak membangunkanku?"
"Karena kau tampak sangat damai dan lelap sayang, sudah lama kau tidak tidur seperi itu, biasanya kau begitu gelisah, dan kesakitan." Suara Baekhyun bergetar, membayangkan kesakitan yang kutanggung dan ketidakmampuannnya untuk membantuku. "Aku tidak mau mengganggumu."
"Aku merasa sangat sehat." Dan aku tidak berbohong, aku merasa semua kesakitanku hilang, rasa nyeri di kepalaku tidak ada lagi, tubuhku yang lemas, kakiku yang lunglai seakan-akan begitu kokoh, kuat.
Baekhyun tersenyum, tampak bahagia.
"Aku bisa melihatnya, dari pancaran wajahmu, dari matamu, kau memang tampak sehat."
Tetapi bukan hanya sehat, aku merasa sembuh, sembuh sepenuhnya. Dan bahkan terasa lebih sehat daripada yang pernah ku rasakan seumur hidupku. Ada yang aneh dalam diriku, ada yang berubah tetapi aku masih belum tahu kenapa. Apakah ini berhubungan dengan percakapan tadi siang yang entah khayalan atau kenyataan itu?
"Bahwa seandainya aku disembuhkan, bahwa seandainya aku bisa mengaktifkan kekuatan otakku hingga 95%."
Aku tidak berani membayangkannya. Tetapi aku memutuskan untuk menguji diriku sendiri, nanti kalau aku sudah sendirian.
Author's POV
Sementara itu di luar kamar Sehun, seorang lelaki tampan berpakaian hitam-hitam bersandar di tembok, mendengarkan percakapan Sehun dan Baekhyun sambil tersenyum. Dia setengah mencibir, membayangkan lelaki tua itu akhirnya menemukan penerusnya dan menyelamatkan kekuatannya.
Sehun, lelaki itu sekarang tampak lemah dan bodoh, tetapi beberapa saat lagi dia akan menjadi lawan yang tangguh, dan dia tidak sabar menunggu saatnya tiba. Dia sama sekali tidak merasa takut, karena dengan kekuatannya, dia akan bisa mengalahkan Sehun sama seperti dia bisa mengalahkan lelaki tua yang tidak berguna itu.
"Tuan Chanyeol." Seorang lelaki tua berpakaian hitam-hitam menyadarkannya dari lamunannya. Lelaki tampan yang dipanggil Chanyeol itu mengangkat alisnya, menatap pelayannya dengan galak.
"Ada apa? Kenapa kau menggangguku?" gumam Chanyeol tajam.
Sang pelayan tua menatap tuannya dengan gugup. "Mobil anda sudah siap, tuan."
Chanyeol mendengus lalu menegakkan tubuhnya, tanpa berkata-kata berjalan melewati lorong rumah sakit itu.
Biarkan kali ini Sehun menikmati kebersamaannya dengan Baekhyun, sebelum Chanyeol akan datang lagi dan menghancurkan Sehun, lalu merenggut Baekhyun, dan menjadikan perempuan itu "lima persen"nya.
TBC
Hi! Aku baru disini Aku nyoba ngremake novelnya mbak Shanty Agatha yang menurutku beda dari novel-novelnya yang lain. Sorry for many typos here. And, review please? Thanks so much~
