**Disclaimer**

Bungou Stray Dogs just by Asagiri Kafuka & Harukawa Sango

Karena terlalu cinta pada dua makhluk ini, izinkanlah diri meminjamnya.

Warn : shonen-ai, AU, kemungkinan ooc, munculnya typo secara tiba tiba, pelanggaran kaedah bahasa yang baik dan benar, dan tentu dengan kegajean merajalela.

Dengan berbagai situasi karangan author, dan tolong jangan terlalu dipikirkan, diharapkan, apalagi dicoba di dunia nyata.

.

Silahkan menikmati ^^


-CHAPTER 1-

IIII-IIII

"Wow." pemuda itu terpaku. Pada kulit putih dengan pipi kemerahan. Pada hidung mancung dan bibir penuh. Rambut oranye dan leher jenjang. Dada bidang yang terekspos pada tubuh mungil yang hanya terbalut selendang biru tua di pinggul hingga lututnya. "Rata." pikirnya nistah.

"Oh tidak!" Dazai menggeleng. Kembali dari acara terpesona nya mulai menekan diafragma orang itu.

Berkali kali namun pria yang tergeletak itu tidak sadar juga. Hingga Dazai memutuskan untuk memberi nafas buatan. Mengambil posisi yang benar, mendekatkan wajah, lalu "aku tak yakin harus melakukan ini." katanya menjeda.

Namun tetap dia lakukan. Matanya terpejam dan kedua pasang benda kenyal itu bertemu. Ingin Dazai hembuskan nafasnya tapi batal karena ia menarik kepalanya. Sesaat setelah ia merasa sebuah tangan dingin mencengkram lengan bajunya.

Matanya memperhatikan. Sepasang kelopak yang bergerak dan perlahan menampakkan manik biru. Sekali lagi, Dazai Osamu terpaku pada pandangan itu. Hingga-

"Menyingkir kau manusia sialan!" kalimat pertama yang pria itu ucap adalah pengusiran. Untuk Dazai tepatnya.

Dazai menyingkir dan pria itu bangkit duduk dengan sehatnya. Tanpa ada jejak kalau dia baru saja hampir mati tenggelam.

"Itu balasan untuk orang yang telah menyelamatkan mu?" Dazai memprotes.

"Aku tidak merasa diselamatkan." respon pria itu tanpa dosa. "Dan apa itu tadi?" lanjutnya bertanya.

"Apa? Oh, aku ingin memberi nafas buatan. Itu saja. " jawab Dazai dengan malas.

"Bagus. Bukan menyelamatkan kau malah memancing kutukan."

"Hah?!" bingung, lalu Dazai melanjutkan dengan entengnya "Seharusnya kau bersyukur yang menyelamatkanmu pria sebaik aku."

"Aku benar benar benci manusia sepertimu. Pergilah."

"Hei hei. Kenapa kau yang mengusirku? Sungai ini ada di tanahku. Kau tau? Aku, Dazai Osamu."

"Terutama bangsawan. Aaa ini benar benar hari paling buruk dalam setahun."

"Hhh." Dazai menghela nafas nelangsa. "Ini benar benar jauh dari harapan. Sungguh jaaaauuuhhhhh dari harapan."

"Kau gila."

"Dengarkan aku Tuan. 5 detik yang aku gunakan untuk mengejarmu, lalu 60 detik untuk mencarimu dalam air deras, dan 25 detik untuk membangunkanmu dari keadaan hampir mati. Ya, selama 90 detik itu aku membayangkan suara feminim yang berkata 'Oh, terima kasih Tuan. Anda baik sekali. Aku tidak memiliki apapun untuk berterima kasih', " Dazai berlagak layaknya aktor pinggiran lengkap dengan pengaturan suara wanita, "..atau semacam nya." lanjutnya kembali nelangsa.

"Ya, aku dengar. Dan kau brengsek." pria itu membuang muka dengan sedikit raut kesal di wajahnya.

"Tapi—" Dazai kembali mendramatisir kejadian "Yang aku dapat adalah pengusiran dari seorang pria cantik. Walau aku pikir suaramu lumayan indah dan awalnya juga aku menganggapmu menawan— Huhh... Sayang sekali. Tau begini kubiarkan saja kau tenggelam tadi..." dan semakin sengsara.

"Oh sialan. Kau memperburuk keadaan. Tidak. Keberadaan mu memang buruk. Pergi sana. Dan jangan kembali ke sini. Setidaknya 2 hari ke depan." pria itu berkata dengan acuhnya. Lalu hendak melompat sebelum Dazai menarik lengannya—

"Apa yang kau lakukan?" Dazai menjegat.

"Bukan urusanmu. Lepaskan." jawab pria itu sinis. Ingin melepas genggaman Dazai, namun sepertinya Dazai lebih kuat.

"Kau ingin menyia-nyiakan satu setengah menit berhargaku untuk mencoba mati lagi?"

"Jangan sentuh aku manusia sialan!" tangan itu melepaskan diri dari lengan si pria,atau pria itu yang memaksa tangan itu terlepas dengan membekap empunya dengan air. Air yang entah bagaimana bisa membentuk bola padat mengelilingi Dazai. Jenuh tanpa rongga untuk persediaan oksigen hingga yang di dalamnya sesak.

Dazai menyipitkan sebelah matanya. Mencoba menghancurkan bola air yang memenjarakannya dari dalam. Namun yang ia dapat hanya tatapan penuh emosi dari pria pirang di depannya. Hingga— "Hentikan Chuuya." sebuah suara datang dari balik batu dan menegur si pirang bermanik ruby.

"Kau tidak boleh membunuh manusia itu." wanita pemilik suara itu memunculkan sebagian tubuhnya dari balik batu. Membuat Chuuya menghentikan perbuatannya, menghancurkan bola air itu, dan mengeluarkan Dazai yang hampir kehabisan nafas di dalamnya.

"Kau tak apa Dazai-kun?" wanita cantik bersuara lembut dan rambut rapi itu bertanya ramah pada Dazai yang tergeletak berusaha meraup udara dengan serakah. "Y—ya." jawabnya tersengal.

"Kau sudah mulai kering. Masuklah ke air Chuuya." wanita itu beralih lawan bicara.

"Ya, itu yang ingin aku lakukan dari tadi jika si sialan ini tidak menjegatku." kesal terpampang di wajah manis Chuuya. Pria itu masuk ke air. Menenggelamkan dirinya hingga seluruh tubuhnya basah barulah ia keluar kembali.

"Jadi ada apa ini?" Dazai yang sudah baikan tampak bingung.

Kedua pasang mata sewarna langit malam menatapnya. Yang satu dengan santai, satunya dengan niat membunuh.

"Tidak ada." yang dengan niat membunuh menjawab "Hanya kau dan aku dalam bahaya besar yang lebih baik mati sekarang dari pada dilanjutkan." dengan sinis.

"Hah?" sepertinya kalimat Chuuya membuat kebingungan Dazai semakin meningkat.

"Kau dan Chuuya hampir terikat kontrak." si wanita menengahi.

"Dan Nee-san mengucap namaku dengan mudahnya." gantian Chuuya menghela nafas nelangsa.

"Aa. Maaf. "

"Kontrak apa?"

"Dengan Nymph." Chuuya menjawab dengan baik.

"Nymph? Maksudmu peri yang ada di legenda itu?"

"Jangan samakan kami dengan makhluk itu. Tapi ya, sesukamu bagaimana mengartikannya." kata Chuuya datar. "Kau sudah melakukan 3 syarat untuk membuat kontrak denganku. Dan kau tahu? Lebih baik aku mati kekeringan dari pada menjadi pelayan manusia, apalagi bangsawan, apalagi yang seperti mu, apalagi kau."

"Oh.. begitukah? Tapi tenang. Aku juga lebih baik mati sesak nafas dari pada punya pelayan Nymph, apalagi yang pria, apalagi yang sepertimu, apalagi kau." Dazai membalas.

"Sialan kau." perempatan imajiner muncul di dahi Chuuya.

"Lalu, berapa syarat lagi yang belum kupenuhi?" tanya Dazai tanpa dosa pada wanita yang dipanggi Chuuya 'Nee-san' karena sepertinya dia akan ada di bola air itu lagi jika bertanya pada Chuuya.

"Hanya satu. Sebut nama dan dia akan jadi milikmu."

"Nee-san-" Chuuya menggeram. "Itulah bahayanya. Kau mengerti Dazai?" Chuuya melihat Dazai. Kali ini dengan tatapan tegas, atau percaya, entahlah.

"Jangan khawatir, cuma 2 hari kan? Tadi kau bilang. Ngomong ngomong, apa saja syaratnya? " Dazai bertanya.

"Tidak banyak. Kesan pertama yang baik, sesuatu seperti ciuman, lalu menyebut nama sendiri, dan terakhir nama Nymph nya." kakak Chuuya menjelaskan.

"Ohh... Aku merasa bodoh sekarang." Dazai sweatdrop. "Kenapa kau tak bilang dari tadi?"

"Untuk apa? Aku sudah bilang kau memancing kutukan, lalu mengusir mu. Belum cukup?"

"Tentu saja. Kau bodoh? Mana aku tau kau itu makhluk ajaib yang bisa sihir tanpa menggunakan mana."

"Kau bahkan hampir membunuhku tadi."

"Bukankah kau yang hampir membunuhku di bola airmu tadi? Kenapa kau menuduhku?"

"Kami Nymph air." kakak Chuuya menyela. "Chuuya penjaga air terjun itu, dan aku penjaga sungai ini. Masih ada yang lain memang. Air menjadi sumber kehidupan kami. Kalau tubuh kami kering kami bisa mati. Dan sayangnya kau hampir membuat Chuuya kering tadi."

"Oh. Aku tidak tahu. Maaf." nadanya menurun, Dazai bicara pada Chuuya.

"Ya,, tapi kalau membuat kontrak dengan manusia kami bisa berkeliaran bebas. Walau Chuuya tidak suka manusia sih." tambah wanita itu.

"Nee-san, kenapa kau berkata seperti mengharapkan kontrak itu?" Chuuya menggerutu pada kakaknya.

"Ah! Aku harus pergi." si wanita tenggelam. Menghilang, atau lebih tepat melarikan diri ke dalam air yang mengalir.

"Hey!" Chuuya ingin mencegah, tapi gagal dan dia pun merelakannya. "Jadi?" dia beralih menatap Dazai "bisakah kau pergi? dan tidak bercerita tentang ini pada siapapun."

"Kalau masalah rahasia sih gampang. Tapi aku enggan pergi. Sungguh." kata kata itu memancing emosi Chuuya naik lagi. "Ya sudahlah. Rasanya bahaya juga di sini." dan Dazai pun berbalik. Masuk ke hutan untuk kembali ke rumahnya.

IIII-IIII

Pagi yang cerah di mansion nya. Dazai Osamu bangun sebagai putra sulung keluarga bangsawan yang terhormat di negerinya seperti biasa. Kamar yang besar dengan jendela, tempat tidur, lemari, kamar mandi, dan meja hias yang besar pula.

Sejujurnya Dazai ingin lebih lama lagi berada di kamarnya. Membaca buku bagus atau tiduran saja sangat ia inginkan. Namun sebagai seorang bangsawan bergelar Marquess membuatnya harus menjadi pribadi yang baik dalam segala bidang, disiplin dalam segala bidang, dan menang dalam segala bidang.

Salahkan ayahnya yang seorang Duke memiliki dia sebagai anak pertama. Bagus memang. Dazai lebih memilih berkuda, memanah, berpedang, atau menjalankan taktik perluasan wilayah dibanding memotong kayu, menempa besi, atau memanggang roti di kota.

Tapi tetap saja pemuda dengan wajah menawan itu terkadang jenuh dan melarikan diri dari segala latihannya. Seperti kemarin misalnya. Ia lari dari pelajaran biola yang jika ditelusuri penyebabnya adalah pelatih yang tua dan cerewet. Sekali lagi Dazai menghembuskan nafas nelangsanya.

Dia memutuskan pergi ke kota. Hari ini jadwalnya tidak padat. Hanya ada latihan berkuda sore nanti. Ya, seharusnya lebih dari itu. Hanya saja dia memasukkan bubuk cabai ke teh pelatih pidato nya dan membuat Beliau terpaksa vacuum mulai hari ini dan beberapa hari kedepan. Dazai terkikik saat mengingat hal itu.

Kakinya menapak ke jembatan batu. Meniti di sungai kecil yang bahkan tidak terlihat mengalir. Ia jadi ingat kejadian di bawah air terjun dua hari lalu. Yah, hanya tinggal menunggu matahari sedikit bergerak ke sekitar 15 derajat di ufuk barat.

"Hampir 48 jam, lalu aku bisa melepas seluruh pemikiran tentang tanggung jawabku pada peri air— maksudnya nymph air itu."

Kota tampak ramai hari ini. Padahal seingat Dazai tidak ada peringatan hari besar atau kemenangan pertempuran yang terjadi. Mengingat dia sudah lama tidak ke kota, jadi dia menganggap ini hal yang baru baru ini terjadi, dan mengabaikannya.

Tujuannya adalah kedai berkayu coklat. Ia masuk, duduk, dan memesan, Pesanan datang, sebuah kepiting rebus bewarna merah kesukannya, yang dipandang dengan nafsu lalu akhirnya disantap dengan khidmat. Bukannya tidak ada yang seperti ini di rumah. Hanya saja, koki di rumah itu terlalu ribet dan melama lamakan proses pembuatan kalau Dazai minta menu ini untuk makan malam dengan alasan harus spekta.

Selesai dengan makanan favorit, Dazai berjalan menelusuri pinggiran danau. Untuk apa? Tentu melihat lihat danau dengan angsa putih yang berenang. Danau ini memang didedikasikan ayahnya untuk tempat wisata dan pameran es kala musim dingin. Dan lagi, di sini banyak wanita cantik yang sekedar jalan jalan dengan peliharaan atau berpiknik dengan teman, salah satu penarik minat Dazai.

Bertopang dagu pada sandaran danau dan matanya mendalami pemandangan indah di depannya. Sudah lewat tengah hari. Dan kutukan yang dibicarakan pria pirang beriris rubi hampir selesai. Senyum terukir di wajah tampan Dazai. Beberapa wanita yang melihat pun terpana, namun bukan tipe si pemuda.

"Hm?" seketika matanya menangkap kerumunan di dekat toko penjualan. Kau bisa menjual apapun di sana, dan dibayar dengan yang uang setara dengan barang itu. Salah satu kebijakan ayahnya. "Aneh. Apa toko itu selalu seramai ini? Tunggu. Ada apa di sana?" batinnya penasaran.

"Mereka bilang menangkap penyihir!" seorang pria tak dikenal menyeru temannya. Dan suara itu menghentak Dazai. Ia penasaran. Lalu berlari ke arah kerumunan.

Layaknya demonstran, Dazai harus menembus setidaknya 6 meter kerumunan manusia. "Ada apa ini?" katanya sambil terus menerobos lautan manusia.

"Mereka bilang itu penyihir air." seorang wanita seusia ibunya -namun lebih tampak tua- menjawab.

"Eh?" firasat Dazai memburuk. Ini hari kedua setelah ia bertemu orang itu. Rasa penasaran bercampur khawatir membuatnya berinisiatif melompat. Lelaki bersurai coklat itu terbilang tinggi, namun pria seperti goblin 2 meter di depannya terlalu bagus untuk jadi penghalang.

"Hey, Tenanglah Tuan!"

"Tidak bisakah kau tenang? Kami juga ingin melihat!"

"Aduh! Kau menginjak kakiku! "... seru beberapa orang yang protes, dan Dazai si pelaku mengacuhkan mereka. Manik topaz berhasil mendapat gambaran rambut pirang dan kulit putih dengan goresan-goresan merah, terikat rantai di tangan, kaki, leher, dan tubuhnya.

"Oh Tidak—" kembali Dazai menerobos. Persetan dengan si tuan goblin yang ada di depannya. Tapi 'pria itu' di sini mungkin karena kesalahannya.

Dia berhasil ke baris depan, berhasil mendahului si pria goblin. Ingin memanggil Chuuya, tapi dia bingung dengan apa. Dia tidak boleh mengucapkan namanya sampai matahari hampir terbenam nanti. Tapi—

"Kau tak mengerti?! Aku hampir mati! Siram aku dengan air!" sepasang mata biru laut memancarkan marah dan kebencian yang mendalam. Tapi Dazai Osamu dapat melihat sedikit permohonan tersirat di sana.

"Dia hampir kering! Siram dia!" Dazai bersuara, sedikit mentitah. Seluruh mata menuju pada pemuda dengan balutan perban yang tampak di leher dan tangannya.

"Kau.. Kau bilang kau akan menjaga rahasia." kecewa terasa di kalimat Chuuya.

"Ya. Dia tidak bercerita apapun. Kami yang melihat kalian kemarin. Dan sepertinya kalian tidak sadar. Hahaha. " seorang pria kekar lengkap dengan panah dan pisau, seorang pemburu, keluar dari toko dengan soknya.

"Sampai mana kau mendengarnya?" tanya Dazai dengan nada santai. Inilah yang dia pelajari selalu. Tidak takut, tidak menggertak, dan merancang siasat untuk menyelamatkan Nymph air.

"Mana bisa aku mendengar. Aku hanya melihat. Saat dia mengurungmu dalam bola air. Terlihat seperti orang bodoh. Hahaha.." pria itu tertawa lagi, diikuti kelompok yang terlihat seperti anak buahnya.

"Dia memang bodoh." Chuuya berbisik. "Aku tersinggung sungguh." jawab Dazai santai. Bukan kepada si pemburu yang mengatainya bodoh, tapi Chuuya yang menegaskan kebodohannya. 'Kalau aku bodoh yang pintarnya gimana coba?!' batinnya menjerit namun wajahnya tetap Poker Face.

"Lepaskan dia, atau siram dia, atau aku akan membelinya dengan uang yang kau inginkan? "

"Brengsek kalian memperlakukan ku seperti barang!"

"Berisik!" seorang pria menendang Chuuya. "ughh." lenguh kesakitan lolos dari mulutnya. Kondisinya kritis dan Dazai tahu itu.

Sebenarnya Dazai bisa pergi ke sana, menyerangnya di ulu hati mencuri pedangnya, memenggal kepalanya, untuk menakut nakuti anak buahnya. Tapi, dia tidak bisa menodai hukum yang dibuat ayahnya. Bagaimanapun, status Chuuya sekarang adalah barang tangkapan dan hanya bisa dibebaskan dengan uang atau persyaratan.

"Tenanglah, Nymph cerewet. Aku akan cari cara untuk membuatmu tetap hidup." sedikit dia merasa kasihan. Tapi dia tidak sebaik itu mau repot repot mengeluarkan uang untuk individu menyebalkan seperti Chuuya. "Kenapa kalian tidak menyiramnya dengan air? Dia hampir mati."

"Tadi kami mencoba, tapi dia menyerang kami. Benar benar makhluk buas."

"Begini saja. Akan aku bayar jika kalian membasahi tubuh kecilnya itu dengan air dari teko di sana." Dazai mencoba bernego saat Chuuya tergeletak lunglah. "Lihatlah, dia bahkan tidak bisa menggerakkan jari tangannya. Mana ada yang mau membeli peri mati. Lagi pula, orang orang ini pasti ingin melihat bukti kalau dia itu penyihir air."

"Si–a.. lan uhh"

'Tuhan.. walau sudah di ambang maut dia masih mengataiku. Tatapannya nyeremin Ya Tuhan, Osamu gemes!' batin Dazai.

hening. Lalu— "Tidak." boss pemburu itu menolak usul Dazai. Dan si goblin yang di belakangnya membekap Dazai. Sempat terkejut. Dazai berlatih untuk melawan manusia dan penyihir, bukan manusia raksasa yang memeluknya erat hampir mematahkan tulangnya. Dan tawaran tadi hanya dia fikirkan selama sekian detik tanpa menyiapkan kartu as sebagai tameng agar berhasil.

"Bawa dia." perintah itu menggerakkan beberapa orang membawa Chuuya. Dengan menarik rantainya dan membiarkan lecet dan luka bertambah menghiasi kaki putih itu. Entahlah di masa sekaratnya nymph itu masih merasakan sakit atau tidak.

Suara rantai berbunyi membentur sesama rantai atau saat bergesek dengan batu jalan. 'Sangat tidak manusiawi. Ya, memang dia bukan manusia.' pikir Dazai. Chuuya hanya makhluk penjaga air terjun yang hari harinya terusik karena Dazai. Dan sekarang dia hampir menemui malaikat maut.

Darah mulai mengalir dari tubuhnya yang bergesekan dengan jalan. Rasa iba muncul di relung hati Dazai. Di tengah sesak nafas, ia tidak tega melihat si menyebalkan mati mengenaskan di depan matanya.

Kembali memperhatikan, setetes air mata tampak mengalir dari balik helaian oranye. Matanya sendu, ia pasrah, dan menangis.

Dazai terpaku. 'Dia begitu mungil dengan tubuhnya. Konyol dengan tingkahnya. Dan tentu menyebalkan dengan perkataan kasarnya. Tapi saat ini ia menangis. Apa dia minta tolong padaku?' batin Dazai.

"Chuuya."

Mata yang hampir tertutup itu kembali terbuka. Dengan sedikit nuansa kaget di sana. Ia menatap lurus pada Dazai yang masih menggantung sedikit membiru di dekapan si pria goblin. Seberkas cahaya muncul, si penarik rantai terhenti. Melihat luka luka yang begitu banyak tadi tertutup kembali. Tubuh molek yang tadinya sempat lebam kembali indah. Dan pakaian seadanya yang dikenakan pun kembali utuh dengan lebih modis.

Di kulit putih itu terlukis simbol simbol merah menyala. Mematahkan rantai. Sabitan air yang muncul dari tangannya menyerang para pemburu yang menangkapnya. Menjatuhkan senjata mereka secara paksa sebelum sempat mengenainya.

"Aku ingin melihat kebodohan si sialan itu pada kalian." Chuuya memakai sihirnya. Bola air seperti yang ia lakukan pada Dazai. Menahannya lebih lama. Sampai yang terpenjara di dalamnya hampir menuju ujung dunia. 5 menit mungkin, lalu Chuuya melepasnya hingga tahannya tidak diketahui hidup atau tidak. Dan dia tidak peduli itu.

"Kalian tau?" Chuuya memulai langkahnya. Menuju tempat Dazai berada. Sepertinya dia juga merasa kurang udara dalam situasi berbeda dari sebelumnya. "Aku benci manusia. Terutama yang seperti mereka dan orang ini."

Kali ini bola air itu ia perkecil hanya menyelubungi kepala si pria goblin. Semakin sesak membuatnya semakin mengeratkan pelukannya pada Dazai yang juga semakin tersiksa.

"Jangan mengganggu kami. Kami lebih kuat dari kalian. Aku hanya tak ingin ternoda darah kotor dari manusia kotor seperti kalian."

Hingga 5 menit kemudian si pria goblin itu tumbang, dan menjatuhkan Dazai.

Dazai kalap. Matanya terpejam dan berusaha tenang untuk memasok oksigen dan memulihkan penglihatannya. Menangkap sosok cantik dengan senyum nistah berjalan ke arahnya.

"Kau... sengaja?" Dazai yang tergeletak bertutur pelan pada Chuuya.

Chuuya melihat mata Dazai. Tersenyum. "Sama sama."

IIII-IIII

TO BE CONTINUED


Nyoba suasana baru yah.. Kan boleh Dazai dan Chuuya ganti profesi/katasiapa?!

Jadi abaikanlah diri ini, dan lihatlah my partner, Seira yang mencetuskan ide fantasy ini.

Kelanjutannya mungkin- minggu depan? apa bulan depan? atau tahun depan? yah kita berharap saja secepatnya/ditendang.

Yang terakhir,, kami tetap mengharapkan respon kritik, komentar, saran, yang manis atau pedas pun boleh.. :'3

Thank's for reading,,

-See You~