Otome games-based fanfiction

Hinata center

Warning; AU, typo, OOC.

Characters ©Masashi Kishimoto

Story ©pipoooy12

Please follow the rule of the story.

.

.

.

Look At Me, Senpai!


.

.

"Hueee.." Sasuke menangis terisak isak. Lututnya terluka, dan ia tak tahu harus berbuat apa pada darah yang keluar dari lukanya. "Tolooongg.. Tolong akuu" rengeknya.

Sasuke masih berumur 5 tahun waktu itu, dan ia pendek. Hal itu membuatnya tidak dapat berlari mengejar temannya tanpa terjatuh.

Masih menangis, sasuke menutupi luka dilututnya dengan telapak tangan.

"Waah, jangan ditutup seperti itu.. Na-nanti bisa jadi be-bengkak.." Seorang anak perempuan manis bermata lavender menunduk memperhatikan luka sasuke. Wajah anak perempuan itu bersemu kemerahan seperti tomat, buah kesukaan sasuke.

"Tapi.. Aku harus bagaimana?" Terisak isak, sasuke mengelap ingusnya.

"Si-sini, a-aku.. kubersihkan.." Anak perempuan itu mengeluarkan sebuah sapu tangan putih dari kantong dressnya.

Ketika sapu tangan itu menyentuh lukanya, sasuke merintih kesakitan. Tangisannya makin keras.

"Hei, ja-jangan.. Jangan menangis," gadis itu menenangkan, "ini.. Agar kau tak kesakitan lagi.."

Sasuke melihat isi tangan anak perempuan yang terjulur padanya, sebuah lolipop.

"Untukku?" Tanya sasuke berkaca kaca.

"Iya, u-untukmu.." Gadis itu tersenyum.

.
.

"I will love you until you hate me."

.
.

Sasuke menghabiskan seluruh isi gelas anggurnya dengan sekali tegak. Disini, ia terjebak. Di ruang khusus pertemuan keluarga, dengan arsitektur eropanya yang kental, kursi kursi indah dan meja marmer mewah, serta berbagai hidangan berkelas. Jam berdetik terus menerus, seakan ingin semua ini cepat berakhir.

Pertemuan keluarga memang selalu seperti ini, membosankan dan penuh basa basi. Kecuali satu hal.

Seorang gadis yang duduk diseberang tempat duduknya, yang bermata lavender dengan surai indigonya diikat tinggi.

Hinata.

Gadis itulah yang membuat Sasuke mau menghadiri pertemuan keluarga ini.

"Jadi, Hinata-san adalah kakak kelas Sasuke di sekolah?" ayah Sasuke, sang CEO Uchiha corp, Uchiha Fugaku tersenyum menatap Hinata.

Walaupun sudah memiliki dua orang putra, Fugaku masih terlihat awet muda. Wajah tegasnya yang memancarkan wibawa, ternyata juga menurun pada kedua putranya.

"Ya, ketua, Sasuke-san adalah adik kelasku di sekolah." Jawab Hinata tenang.

"Apa dia bersekolah dengan baik?"

Sepintas, mata Hinata melirik Sasuke untuk memastikan sesuatu sebelum ia menjawab pertanyaan Fugaku.

"Dia.." Hinata mencoba menyusun kata kata yang akan keluar dari bibirnya.

"Dia sangat berbakat."

Sasuke membuang wajah.

Sementara Fugaku terlihat bangga mendengar kata kata pujian Hinata, Itachi sibuk dengan makanannya sendiri.

"Itachi, lihatlah betapa tunanganmu ini memperhatikan Sasuke. Aku rasa ia pasti akan menjadi seorang ibu yang sangat luar biasa." Kata Fugaku, bahagia.

"Hm. Tentu saja, Hinata mempunyai 4 adik.. Jadi pastilah ia telah terbiasa, ayah." Itachi hanya tersenyum sebentar, lalu kembali fokus pada makan malamnya.

.

.

"They say love is in the air, so I hold my breath."

.

.

"Oneechaaaaaaan! Onechaaaaaan.. Aku tidak bisa menemukan dasiku.."
"Onechan, lihat kaos kaki olahragaku tidak?"

"Yo sis, tolong bela aku, Sasori menuduhku memakan rotinya!"
"Tapi Gaara memang memakannya, Hinata! Kau harus percaya padaku!"

"Oneechaaan!"

"Oneechan oneechan.."

Namaku Sabaku Hinata, 17 tahun. anak tertua di keluarga Sabaku. Aku memiliki 4 orang adik, adik perempuanku kembar, begitu juga dengan adik laki lakiku.

Setiap hari, kami selalu memulai pagi dengan keributan yang sama diruang keluarga. Entah itu Gaara dan Sasori yang berebut makanan, atau Ino dan Temari yang selalu menaruh barang mereka sembarangan.

Sebagai anak tertua, aku harus menjadi yang paling dewasa dalam mengatasi masalah.

Sejak kecil, ayahku selalu mengajariku untuk tetap tenang, dan berpikir dewasa. Aku belajar mengontrol emosiku agar tidak meledak ledak dan tidak mudah menangis. Selalu demikian, sampai sekarang.

"Ino, kemarin kau melempar kaos kakimu ke keranjang cucian. Pakailah yang baru." Aku mencari dasi Temari.
Sambil mencari, aku melihat Gaara mengambil roti milik Ino. "Gaara jika kau belum kenyang katakan saja, jangan makan milik orang lain." Aku mengingatkannya.

"Dasimu ada di atas lemari piring." Temari menganga, ia berhenti mencari.

"Oh astaga, padahal aku tak pernah menaruhnya disana!" Ujarnya. Aku menyerahkan dasinya dan dia segera memakainya.

Ino keluar dari kamar tergesa gesa, berteriak. "Aku terlambaaaaaat!"

Aku menjulurkan roti isi kepadanya, "Kau tidak terlambat, ini masih jam 6.20."
Ia melirik jam sambil mengunyah. "Ah, benar." Bahunya tak lagi tegang.

"Hei! Oneechan jangan membuat roti lagi untuk Gaara, nanti juga ia jajan lagi di kantin sekolah! Such a fat man!" Ino menatap Gaara yang kini memakan roti isi ke 3.

Suara klakson mobil terdengar di halaman depan rumah. Temari segera berdiri dengan sumringah lalu memakai tasnya, "Aku berangkat!"

"Huh, dasar sombong." Sasori buang muka, "Baru berhasil mengencani seorang dj saja sudah berlagak." Ia mengomel.

"Aku berangkat, Big sis." Gaara berdiri lalu mencium keningku.

Ah, anak lelaki memang sangat cepat bertumbuh.

Aku masih ingat benar wajah Gaara dan Sasori yang sangat mirip saat mereka masih setinggi meja makan. "Hei idiot! Tunggu aku!" Teriak Ino sambil segera mengejar Gaara.

Sasori berjalan santai, "Hinata, Mau ikut denganku?"

Aku sedang memakai tasku saat ia menjulurkan sebuah helm kepadaku. "Hm? Tak pergi bersama Sakura hari ini?" Aku bertanya sambil tetap berjalan ke pintu depan.

"Begitulah." Jawab Sasori singkat.

Sasori jarang sekali memanggilku kakak, namun ia selalu baik dan perhatian padaku. Aku senang bisa menjadi kakaknya.

"Aku dengan mobil saja, lagipula kau bisa terlambat jika mengantarku dulu." Aku tersenyum padanya.

Ia menaiki motor besarnya.

"Okay, see you sis." Sasori menyalakan mesin motornya, lalu menutup kaca helm dan pergi.

Setelah Sasori pergi, seorang pria membukakan pintu mobil untukku. "Silahkan nona." Ia membungkuk.

Aku masuk kedalam mobil dan berangkat ke sekolahku, Konoha High.

"Nona, kau akan pulang terlambat lagi hari ini?" Supir pribadiku, Hatake, melirik ke belakang lewat kaca spion.

"Ya, aku masih harus mengurus sesuatu setelah klub basket selesai." Aku tersenyum pada Hatake.

.

.

Look At Me, Senpai!

.

.

Jika Juliet memiliki Romeo, dan Jamine memiliki Aladin, maka Sabaku Hinata memiliki Namikaze Naruto senpai. Memang, Hinata tak pernah menyatakan perasaannya pada Naruto, namun Hinata selalu merasa senang jika bisa bersama dengan senpainya itu.

Naruto adalah kapten tim basket sekolah yang sangat ceria, bersemangat dan pantang menyerah. Naruto selalu baik dan suka membantu semua orang, karena itulah Hinata sangat menyukai pria itu. Ia bahkan sampai rela mendaftarkan diri sebagai manager tim basket sekolah hanya demi bisa melihat wajah Naruto setiap hari.

Bagi Hinata, Naruto senpai sama seperti prince charmingnya Snow White namun dibungkus dalam kerennya robin hood. Rambut pirang nanas dan mata biru langitnya.. Ah, memikirkannya saja sudah membuat Hinata mabuk kepayang.

"Hinata senpai."

Setengah kaget, Hinata menengok untuk melihat siapa yang memanggilnya.

Dan disana, lelaki dengan tubuh yang lebih besar dan lebih tinggi dari pada Hinata berdiri menyandar pada tembok ruang kelas 1-C yang sudah mulai riuh. Rambut ravennya terlihat sedikit berantakan, sama seperti seragamnya. Walaupun begitu, wajah kouhai Hinata itu sangatlah tampan. Ketampanannyalah yang membuat ia bebas berpakaian seperti apapun.

Setahu Hinata, kouhainya ini memiliki banyak penggemar. Bahkan menurut beberapa gosip, ia memiliki klub penggemar sendiri.

"Ada apa, Uchiha-san?" Hinata menunggu jawaban dari kouhainya itu.

Lama terdiam, mereka berdua lebih terlihat seperti patung hiasan.

"Dadamu besar juga ya." Dengan tampang seakan tak bersalah, Uchiha Sasuke, si kouhai Hinata memfokuskan pandangannya pada dada sang senpai. "Rasanya dulu tidak sebesar itu."

Dengan segala kejengkelan, Hinata menghela nafas menyesali waktunya yang terbuang sia sia hanya untuk meladeni Sasuke mesum itu dan berjalan lebih cepat, bermaksud meninggalkan Sasuke sendirian.

"Kau bicara seperti seorang maniak." Hinata menggumam.

"Senpai," Sasuke mengikuti Hinata dari belakang.

"Apa hari ini kau juga akan mengepel lapangan basket sendirian?" Pertanyaan sasuke membuat Hinata terdiam.

Melirik kebelakang sedikit, Hinata menjawab dengan tetap tenang, "Tentu saja aku akan mengepelnya. Memangnya kau mau berlatih dengan lapangan yang kotor dan licin?"

Setelah mengatakanya, Hinata kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas 2-A

Sasuke tetap disana, menatap punggung Hinata yang kini menjauh.

'Si maniak itu, bahkan di pagi hari pun pikirannya sudah tercemar..' Hinata berjalan dengan kejengkelan dikepalanya, namun tetap mencoba tenang.

Dikelas, Hinata memperhatikan kelas Naruto yang berada persis disebrang kelas hinata.

Jendela jendela kaca bening besar berkonsep futuristik di sekolahnya itu sungguh mendukung prosesi flirting pagi Hinata. Dengan wajah bersemu merah, Hinata memperhatikan setiap gerak gerik Naruto senpai, dan menghitung setiap senyum yang tercipta di wajahnya.

'Aku akan terus melihatmu seperti ini, senpai. Akan terus seperti ini hingga kau lulus.' Ia berkata dalam hati.

.

.

.


This fanfiction is inpired by otome games, so please follow the route below:

A - for Sasuke

B - for Naruto

C - for Itachi

D - for Sasori

Don't go through all chapter, or else, you'll be messed up.

.

.

Comments for your favourite pairing!