Naruto © Masashi Kishimoto
High School Memories : Friendship & Love Auttle Leaf
Warning : Don't Like Don't Read
- PART ONE -
TAP
TAP
TAP
Derap langkah Haruno Sakura terdengar menggema di koridor sekolah yang telah sepi sejak tiga jam yang lalu. Gadis berambut merah muda itu terlihat kepayahan membawa buku-buku dan beberapa lembar kertas di tangannya. Ia menebar pandangan, berharap masih ada seseorang yang masih tersisa di sana untuk membantunya. Namun sepertinya tak ada siapapun di tempat itu.
Ia baru saja selesai rapat OSIS dan harus membawa semua tugas-tugas beserta proposal yang harus ia periksa lagi setelah sampai di rumah. Ia berani bertaruh kalau malam ini tidak tidur karena menyelesaikan semua itu. Ya, paling tidak ia harus rela melakukannya sebagai salah satu pengurus OSIS di sana. Lagi pula ini adalah pengabdian terakhirnya sebelum masa jabatannya habis dan harus digantikan oleh pengurus-pengurus baru nantinya. Belum lagi saat rapat tadi ia sempat kesal atas kerja pengurus OSIS lainnya yang kurang memuaskan. Ia harus menyelesaikan semua ini, semuanya.
BEEP
Sakura merasakan ponselnya bergetar di saku bajunya. Dan sekarang ia benar benar bingung bagaimana cara mengambil benda itu dengan tangannya yang penuh dengan buku dan kertas.
"Ah, siapa saja, bantu aku!" Omelnya sendiri sambil menoleh ke sekitarnya. Tapi nampaknya tak ada satupun orang di sana.
Dengan hati-hati ia berusaha memindahkan buku buku dari tangan kanannya ke atas tumpukan kertas di tangan kirinya agar ia dapat mengambil ponselnya yang terus bergetar.
"Butuh bantuan?"
"Ah!" Pekik Sakura tertahan.
Suara berat yang tiba-tiba itu sukses membuatnya terkejut dan menjatuhkan benda benda di tangannya. Dengan sebal ia berbalik ke belakang dan mendapati seorang laki laki bertubuh tinggi berdiri dua meter di belakangnya
"Kau lagi?" Sekarang wajah gadis cantik itu semakin kusut dari sebelumnya "Ini sudah ratusan kali kau membuatku terkejut. Sepertinya kau berniat membunuhku"
"Kau berlebihan. Aku hanya berbaik hati menawarkan bantuan. Dan apa untungnya membunuhmu?" Ujar laki laki berambut merah itu dengan nada datar sambil menaikkan sebelah alisnya
"Agar kau tidak mempunyai saingan berat sepertiku lagi di sekolah." Sakura menghembuskan nafasnya keras "Lagipula tidakkah kau berpikir betapa terkejutnya aku saat kau berbicara di tempat sepi seperti ini? Padahal sedari tadi tak ada seorangpun disini. Kau seperti hantu, Akasuna Sasori!" Ia berbalik dan memungut buku bukunya yang berserakan di lantai.
Sementara Sasori hanya tersenyum kecil. Tak ada gunanya membalas ucapan gadis berisik di hadapannya ini. Apapun yang ia katakan, gadis itu pasti tetap keras kepala seperti biasanya.
Sasori melangkahkan kakinya mendekati Sakura yang sibuk merapikan kertasnya "Tidakkah kau membutuhkan bantuanku, Sakura?"
"Hei, aku bisa sendiri. Tak usah berpura-pura baik. Kembalikan kertas itu, Akasuna." Sakura mengulurkan tangannya meminta tumpukan kertas yang ada di tangan laki-laki itu.
Sasori menatap gadis itu dan memberikan kertasnya kemudian menunjukkan senyumannya yang sukses membuat jantung Sakura berdetak tak karuan walau hanya sebentar.
"Jangan sering-sering tersenyum seperti itu. Aku tahu itu senyuman palsu. Kau hanya mau mengerjaiku." Sakura menarik cepat-cepat kertasnya dan berusaha bersikap dingin di hadapan Sasori.
Harus ia akui laki-laki itu memang tampan. Ya, setidaknya itulah yang juga di katakan seluruh gadis-gadis di sekolahnya. Tapi tetap saja, Sasori adalah saingannya di sekolah. Laki-laki itu selalu mengalahkannya dalam prestasi, sementara ia kedua setelahnya. Itu membuat Sakura kesal dan menjadikan Sasori rival.
"Berhentilah bersikap seperti itu. Sejak rapat OSIS tadi sampai sekarang alismu berkerut terus. Kau terlihat seperti wanita tua."
"Apa?!" Gadis itu menatap Sasori seolah olah akan menelannya sekarang juga.
Sasori hanya terkekeh pelan dan berjalan mendahului Sakura yang terlihat sangat sebal.
"Terkutuklah kau, Akasuna Sasori!" Hana masih bisa mendengar suara tawa mengejek dari Sasori meski laki laki itu sudah jauh di depannya.
.
.
.
"Hei, apa yang kau pikirkan?" Teguran Ino membuat Sakura tersentak.
"Oh, Kau." Ia berdecak. "Banyak sekali, Ino. Banyak."
"Program OSIS lagi? Oh, bukankah kalian sedang menyiapkan acara ulang tahun sekolah?"
"Hm." Sakura mengusap rambutnya dengan kedua tangan. "Dan itu membuatku kurang fokus pada pelajaran."
"Aku tahu. Pasti sulit membagi waktu." Ino menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dan melipat tangannya di dada "Oh," Ia teringat sesuatu. "Sakura, sepertinya aku tidak bisa pulang bersamamu. Kau pasti masih lama tinggal di sekolah usai jam pelajaran. Aku tidak bisa menunggumu. Aku harus pulang cepat. Kau tahu? Ibuku sakit. Aku tak bisa membiarkannya sendirian di rumah."
"Ayahmu?"
"Oh sudahlah, jangan mengingatkanku pada pria tua menyebalkan itu." Seketika raut wajah Ino menahan amarah. "Ia takkan pulang meskipun kami sampai mati menunggunya. Cih, benar-benar tidak bertanggung jawab." Kini ia memalingkan wajahnya menatap aliran air hujan yang mengalir di kaca.
"Hei, hei. Apa yang kau katakan? Di ayahmu, bagaimanapun juga."
"Terserah. Tapi aku tak menganggapnya begitu."
"Kau itu keras kepala sekali meski sudah berkali-kali ku beri tahu" Sakura membaringkan kepalanya diatas meja dan menutup mata saat Ino mengangkat bahu tak peduli.
Lima menit yang lalu bel istirahat berbunyi namun sepertinya Sakura enggan ke kantin meski harus ia akui perutnya sedari tadi berbunyi meminta diisi. Ia tak peduli. Yang ia inginkan adalah istirahat dan menenangkan pikirannya setelah semalaman lembur dan pagi ini otaknya dipaksa memahami mata pelajaran yang membuatnya semakin pusing. Belum lagi pulang sekolah nanti masih banyak hal yang harus ia urus untuk mempersiapkan acara sekolah. Mengingatnya saja sudah membuat kepalanya nyaris pecah.
Sebenarnya ia sudah cukup terbiasa dengan semua kesibukan-kesibukan gilanya itu. Hanya saja kali ini terasa berbeda. Lebih berat. Apalagi harus buru-buru menyelesaikan program-program kerja sebelum pengurus-pengurus OSIS berikutnya menggantikan mereka.
"Teh hangat itu mungkin bisa sedikit membantu." Suara berat itu sontak membuat Sakura terkejut. Kini Sasori memberikannya kaleng minuman dan duduk di sebelahnya sambil tersenyum tanpa dosa.
Sakura melihat sekelilingnya "M-mana Ino? Barusan dia duduk di sebelahku. Dan kau.. kenapa bisa berada di sini?"
"Minumlah." Sasori menunjuk dengan dagunya minuman yang tadi ia sodorkan diatas meja tanpa memperdulikan pertanyaan Sakura.
"Oh," Sakura menghela nafas keras. "aku lupa kalau kau itu hantu." Ia membuka kaleng minuman dari Sasori. "Jadi dimanapun kau bisa muncul." Ia meneguk minumannya hingga tersisa setengah. Harus ia akui setidaknya cairan teh hangat itu sedikit membuatnya lebih baik.
"Selama pelajaran berlangsung tadi aku melihatmu tidak fokus. Kau bahkan tidak mencatat. Kalau begitu saja malas, bagaimana bisa jadi sainganku, hm?" Sasori terkekeh pelan saat melihat buku di atas meja Sakura kosong tanpa coretan sedikitpun. "Untukmu." Ia meletakkan buku catatan bersampul cokelat diatas meja. "Catat dan pelajari itu. Aku tidak mau bersaing dengan orang bodoh."
Sakura mengangkat alis. "Kau bersikap baik padaku? Apa yang kau rencanakan, Sasori?" Ia menyipitkan matanya curiga.
"Tidak ada. Bukankan aku memang orang yang baik? Hanya kau saja yang selalu berprasangka buruk." Ia meminum kopi dari kaleng minumannya.
"Dasar pembohong." Sakura mencibir.
"Lagi pula kau itu lemah sekali. Baru sibuk sedikit saja sudah seperti orang frustasi." Sasori tersenyum mengejek.
"Coba saja kau berada di posisiku, bodoh!" Sakura menatap Sasori sebal.
"Jangan lupa, kalau aku juga pengurus OSIS. Bahkan jabatanku lebih tinggi darimu. Tugasku tentu lebih berat. Tapi aku masih bisa membagi waktu. Kau saja yang berlebihan."
Sakura terdiam. Ia tak berniat membalas ucapan Sasori yang memang benar adanya.
.
.
.
"Kau ingat foto itu, Sakura?" Ibunya menuangkan air putih di gelas Sakura, sementara gadis itu tampak mengamati foto yang diberikan ibunya." Ibu menemukannya terselip diantara buku-buku sewaktu membersihkan gudang tadi pagi."
"Emmm" Gumam Sakura dengan alis berkerut. Berusaha mengingat. Mulutnya sedang penuh dengan makanan dan membuat pipinya menggembung "Ah!" Ia tiba-tiba teringat, tapi sedetik kemudian ia tersedak.
"Minum airmu! Sudah ibu bilang jangan bicara kalau sedang mengunyah." Omel ibunya sambil menepuk-nepuk pelan punggung putri satu satunya itu.
Dengan susah payah Sakura menelan makanan di mulutnya. "Aku ingat sekarang, Bu" Ujarnya setelah makanan di mulutnya habis tertelan. "Ini foto waktu umurku tujuh tahun. Ah.. waktu liburan ke rumah paman, kita sempat mampir ke kebun strawberry bersama. Aku benar kan?"
Ibunya mengangguk. "Untungnya kau ingat. Kau bahkan lebih sering lupa dari pada ibu. Seperti wanita tua saja" Ia mengacak rambut putrinya sambil tertawa.
Sakura menggembungkan pipinya kesal. 'Wanita tua?' Bukankah itu hal yang sama yang pernah Sasori katakan? Kenapa ibunya juga mengatakan itu?
"Ibu! Aku bukan wanita tua. Ish…" Protesnya sambil meraih tasnya diatas meja makan. "Ingat, umurku masih tujuh belas tahun." Ia beranjak dari kursinya. "Aku pergi dulu. Ada rapat siang ini."
"Sakura, habiskan makananmu! Air putihmu juga! Kau harus banyak minum." Ibunya menggeleng "Baru saja anak itu pulang, sekarang pergi lagi."
.
.
.
Sasori memasukkan kedua tangannya di saku jaket hitam tebalnya. Hari ini hujan meski tak deras namun suhunya cukup rendah dan membuatnya menggigil. Ia mempercepat langkahnya masuk ke dalam gedung sekolahnya yang tampak sepi dan buru buru menaiki tangga.
"Dingin sekali!" Omel seorang gadis di teras sekolah sambil menutup payung putihnya. Ia sepertinya baru saja sampai.
Suara itu cukup familiar di telinga Sasori. Membuatnya berhenti dan menoleh sebentar. Gadis itu tampak menepuk nepuk sweaternya yang terkena sedikit tetesan air hujan sambil mengomel sebal. Sasori hanya tersenyum sebentar. Haruno Sakura. Gadis itu selalu mengeluh, pikirnya. Kemudian berjalan menuju ruang OSIS.
.
.
.
"Bisakah kau menyimpannya?" Tanya Konan sambil menyodorkan sebuah flashdisk.
"Apa ini? Untuk apa?" Sakura balik bertanya. Ia bingung kenapa benda itu diberikan padanya.
Rapat OSIS siang itu berakhir sekitar lima menit yang lalu. Sakura baru saja akan keluar dari ruang OSIS kalau saja Konan tak menahannya.
"Aku ingin kau yang menyimpan data-data penting itu. Flashdisk itu berisi konsep-konsep acara ulang tahun sekolah dan beberapa file penting lainnya." Konan tersenyum saat Sakura mengambilnya dengan ragu-ragu "Kamarku itu acak-acakan. Dan karena itu barang-barangku sering hilang. Aku takut flashdisk itu juga hilang. Aku bisa mati kalau itu terjadi."
"Oh." Sakura mengangguk-angguk mengerti. Sesaat kemudian ia bertanya "Benarkah?" Ia tertawa "Maksudku… kamarmu acak acakan? Yang benar saja."
Konan mengerucutkan bibirnya. "Kau berkata seolah-olah itu hal yang mustahil terjadi. Memangnya kenapa?" Ia menaikkan alisnya.
"Yang aku tahu kau itu sangat feminim. Bukankah aneh kalau ternyata kamarmu acak-acakan?"
"Apa aku seperti itu? Ah, itu tidak benar. Sudahlah, bukan hal yang penting. " Ia mengambil buku-buku diatas meja dan memeluknya di dada. "Ingat, flashdisk itu penting. Semua kerja keras dan kreativitas yang kita rencanakan selama sebulan untuk acara sekolah semuanya tersimpan pada benda itu."
"Semuanya?" Sakura membulatkan matanya.
Konan mengangguk tanpa ragu. "Selama sebulan seluruh anggota susah payah mengurus itu. termasuk kau kan? Kau bahkan terlihat frustasi." Ia tertawa sebentar. "Aku yakin acara tahun ini keren sekali. Dan kau tahu kan? Beberapa sekolah saingan kita selalu berusaha mencuri konsep- konsep acara setiap tahun. Jadi kau harus hati-hati. Aku pulang dulu." Ia menepuk pundak Sakura pelan. "Sasori pasti sudah menungguku di mobil." Gadis itu pun keluar ruangan dan menghilang di balik pintu.
Sakura mengangkat kedua alisnya. Sasori? Pulang bersama laki-laki menyebalkan itu? Ah… ia tahu Konan dan Sasori memang sering pulang bersama. Rumah mereka berdekatan, sehingga jika Konan meminta pulang bersama Sasori, itu tak masalah bagi laki-laki itu. Mereka bahkan terlihat seperti pasangan kekasih yang serasi. Sakura juga tahu kalau Konan menyukai Sasori. Itu sangat terlihat.
Tunggu. Seperti pasangan kekasih?
Tiba-tiba ada yang bergejolak di hatinya. Apa yang ia rasakan? Kenapa ia juga memikirkan itu? Dan kenapa ada perasaan… tidak suka saat mengingat hal itu?
Sakura menggelengkan kepalanya. Membuang pikiran itu. Ada yang salah dengannya. Ia mungkin tak berani memikirkan tentang apa yang ia rasakan pada laki laki itu. Ego nya bahkan terlalu besar untuk mengakuinya. Takut mengetahuinya.
Ia mungkin terlalu lelah, pikirnya.
Alasan itu memang tak ada hubungannya. Tapi Sakura tetap mengambil kesimpulan itu. Ia hanya tak ingin memikirkan hal yang tak perlu ia pikirkan. Apalagi yang berhubungan dengan sasori. Itu saja.
.
.
.
"Kupikir orang mati." Sahut Sasori melihat Sakura yang berbaring di lantai atap gedung sekolah sambil merentangkan tangannya.
Sakura menghela nafas sebal tanpa mengubah posisinya ataupun membuka matanya. Ia sedang ingin menikmati cuaca cerah siang ini dengan tenang. Tapi laki-laki menyebalkan itu selalu saja datang. Ia pun tahu betul suara yang menegurnya adalah milik Sasori.
"Yang terlihat seperti orang mati itu kau, Akasuna, bahkan wajahmu terlihat datar dan dingin. Seperti alien."
Sasori tak membalas. Biarpun Sakura menutup matanya, ia bisa tahu kalau Sasori sedang tertawa pelan. Ia bisa mendengarnya.
"Hei, kau itu suka diam-diam mengikutiku, ya? Dimanapun aku, kau pasti datang mengganggu."
"Jangan besar kepala. Itu hanya kebetulan. Aku sendiri sering kesini kalau kelas kosong."
Sakura membuka matanya. Ia melihat laki-laki itu sedang berdiri di sudut atap sambil memandangi kesibukan kota yang terlihat jelas dari ketinggian itu. "Aku lebih sering kesini. Tapi tak pernah melihatmu."
"Kau tak melihatku, tapi aku melihatmu. Kau suka berbaring seperti orang mati disini. Kupikir kau orang yang aneh."
Kini giliran Sakura yang diam. Ia hanya memandangi awan-awan yang bergerak perlahan. Entah kenapa ia suka sekali melihat pemandangan itu. Rambut panjangnya dibelai lembut oleh angin. Dan itu adalah hal yang sangat disukai Sakura.
Beberapa saat keduanya diam. Sibuk dengan pikiran masing masing. Tapi kemudian Sasori memecah keheningan.
"Kau sudah mencatat buku yang ku pinjamkan kemarin?"
"Ha?" Sakura membasahi bibir bawahnya. "Oh, itu. Membukanya saja tidak."
Sasori tertawa pelan, "Kau pikir aku tidak melihat kemarin di kelas kau membuka buku itu?"
Sakura membuka mulutnya sedikit dengan gugup. Sasori tahu ia berbohong "Ah... aku hanya melihat lihat. " Ujarnya malu
"Dan barusan kau bilang tidak membukanya. Kebohongan yang gagal. Apa bedanya? Kau melihatnya, tentu saja membukanya juga."
"Diam kau, Akasuna!" Sakura kini duduk, tak lagi berbaring seperti tadi. "Akan ku kembalikan secepatnya." Ia melirik Sasori yang tersenyum. "Tak ada yang sedang bahagia disini. Kenapa kau tersenyum?"
"Memangnya kenapa?" Sasori memasukkan tangannya di saku celana dan berjalan mendekati Sakura. "Ada yang ingin ku katakan." Laki-laki itu duduk tepat di samping Sakura. Sementara gadis itu hanya menatapnya. Menunggu apa yang akan dikatakan Sasori.
"Bisakah kau berhenti menganggapku sebagai rivalmu?"
Sakura cukup terkejut mendengar ucapan laki laki di sebelahnya itu. "Ha?"
"Aku tak suka kau seperti itu. Tak bisakah kau menganggapku seperti temanmu saja?"
"Ha?"
"Aku tidak butuh kata 'ha' mu itu. Dan berhentilah bersikap terkejut yang berlebihan seperti itu."
"Apa yang kau bicarakan?"
"Aku tahu kau selalu kesal setiap kali melihatku. Dan selama hampir tiga tahun kau terus-terusan menganggapku sebagai rivalmu."
"Kau memang rivalku. Selama ini aku selalu peringkat umum di sekolah. Tapi setelah satu sekolah denganmu, aku selalu nomor dua. Bukankan itu menyebalkan? Tentu saja kau bukan temanku. Kita saingan."
"Kalau aku membiarkanmu menjadi nomor satu, apa kau masih menganggapku rival?" Ujar Sasori pelan, nyaris tak terdengar. Namun Sakura masih bisa mengetahui apa yang ia katakan.
"Apa?" Ia menatap Sasori heran.
Sasori menarik nafas. "Kalau semester ini kau peringkat satu umum, apa kau mau menghilangkan kata 'saingan' itu? Dan menjadi temanku. Seperti orang lain?"
.
.
.
Belakangan ini Sakura jarang sekali melihat Sasori. Meskipun sekelas, ia tak tahu-menahu kemana saja laki-laki itu. Tapi beberapa saat yang lalu saat sedang mengambil sepatunya di loker, ia mendengar percakapan dua gadis di sebelahnya kalau Sasori bimbingan dan lomba.
Tentu saja. Dia memang selalu begitu. Guru-guru di sekolahnya mempercayakan Sasori untuk mewakili sekolah. Kadang ia merasa tersinggung. Kenapa hanya Sasori? Kenapa ia juga tidak? Padahal dirinya peringkat kedua setelah Sasori.
Tapi… mungkin belum saatnya saja. Pikir Sakura. Ia tak ingin terus-terusan memikirkan hal itu. Itu hanya akan membuatnya semakin iri. Sudah cukup Sasori membuatnya sebal karena selalu mengalahkannya.
Sakura mengecek arlojinya di tangan. Terlambat lima menit. Hari ini ia berjanji untuk menemani Ino menjenguk ibunya di rumah sakit. Ia mempercepat langkahnya menuruni tangga sambil menempelkan ponselnya di telinga, menghubungi Ino kalau ia akan terlambat.
"Sakura!"
Sakura menoleh ke asal suara yang memanggil namanya. Konan.
"Kau terlihat terburu-buru. Mau kemana?" Tanya Konan basa-basi.
"Aku harus menemui seseorang." Ia tersenyum dan menghentikan kegiatannya yang mencoba menghubungi Ino. Lagi pula ia belum juga mengangkat telpon.
Konan mengangguk-angguk mengerti. "Oh, bisakah aku meminjam sebentar flashdisk yang kutitipkan beberapa hari yang lalu padamu? Ada file yang ingin aku perbaiki. Ada sedikit kesalahan."
"Tentu saja." Sakura segera mencari flashdik itu di tasnya. Beberapa saat kemudian ia kebingungan.
"Apa ada masalah?" Tanya Konan saat melihat Sakura yang mulai panik.
"Ah, tidak, tidak." Jawab Sakura sambil mengaduk-aduk isi tasnya. "Barang-barangku terlalu banyak disini. Jadi agak sulit menemukannya." Ia tertawa gugup. "Kemana benda itu?" Gumamnya.
"Sudahlah." Konan memperhatikan Sakura yang sibuk menghambur isi tasnya. "Akan ku ambil besok saja. Aku juga harus pergi sekarang." Ia menepuk pundak Sakura.
"Ah, iya, maaf membuatmu menunggu. Akan ku pastikan benda itu ada di tanganmu besok. Aku janji." Ujarnya dengan raut wajah menyesal
Konan hanya mengangguk dan melangkah pergi. Sementara Sakura masih terlihat kebingungan.
"Aku yakin flashdisk itu kutaruh di tas." Ia menggigit kuku telunjuknya dengan khawatir "Tidak mungkin benda itu bisa berjalan sendiri."
.
.
.
Ino dengan pelan mendorong kursi roda ibunya masuk ke taman rumah sakit. Setelah lama di rawat di dalam kamarnya, ibunya meminta Ino mengajaknya jalan-jalan di sekitar taman. Setidaknya kondisi ibu Ino telah membaik. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya. Dan sekarang ingin menghirup udara segar yang bebas dari bau obat-obatan. Aroma rumah sakit memang tak pernah menyenangkan.
"Kata dokter, Ibu boleh pulang hari ini." Ujar Ino memecah keheningan yang sempat menyelubungi mereka.
Wanita itu tersenyum lemah. "Ibu senang mendengarnya."
Ino menghentikan kursi roda di dekat air mancur disana. Ia tersenyum. Hari ini ibunya bisa pulang dan ia tak sendirian lagi. Ia menatap lekat ibunya yang tampak menikmati suara air sambil menutup matanya. Wanita itu tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Ia tahu, ibunya itu terlalu banyak berpikir sejak ayah mereka pergi. Susah payah ibunya mengurus anak satu-satunya itu sendirian dengan segala keterbatasan ekonomi. Karena itu, ia sangat menyayangi ibunya lebih dari apapun. Karena wanita itu adalah satu satunya harta berharga yang ia miliki.
"Ino?"
"Ya, Ibu?"
"Maaf, Ibu harus membuatmu khawatir dan susah-susah mengurus Ibu. Tidak seharusnya Ibu sakit seperti ini. Bagaimana dengan biaya rumah sakit Ibu? Maaf, Ino." Mata wanita itu masih terpejam. Sudut matanya berair. Ia tak bisa membayangkan betapa menderitanya putrinya itu selama ini. Gadis itu masih terlalu muda. Seharusnya ia bahagia.
"Tidak usah pikirkan apapun. Aku akan melakukan semua demi Ibu. " Ino menghela nafas berat "Seandainya ayah tidak pergi.. seandainya dia.."
"Berhentilah menyalahkan ayahmu. Ibu yang salah. Seandainya Ibu bisa menjadi apa yang ayahmu harapkan, maka ia takkan meninggalkan Ibu, meninggakan kita. Maka kau tak akan memikirkan hal ini." Dadanya nyeri begitu mengingat semua itu. Ia tersenyum perih "Maafkan Ibu." Ia menarik nafas dan tertawa sumbang. "Seharusnya ayahmu bisa melihat putrinya sekarang. Tumbuh menjadi gadis cantik yang kuat. Ibu bahkan tak menyadari kau kini sudah besar…"
Ino menggigit bibirnya. Berusaha untuk tidak menangis. Ia memeluk leher ibunya dari belakang. Ia membisikkan kalimat yang pernah dikatakan ayahnya dulu. Kalimat yang mereka tanam dalam keluarga mereka. Namun sosok yang mengucapkan kalimat itu pergi entah kemana. Meninggalkan mereka.
Ibunya memegang erat tangan Ino, menahan sesak dan air mata. Semua sudah berlalu, menyisakan luka yang entah dimana obatnya. Ia tak ingin Ino membenci ayahnya. Karena ia sendiri tak pernah bisa membenci pria itu.
'Aku tak pernah mencari surga, aku tak pernah penasaran surga itu seperti apa. Aku sudah tahu. Hal itu ada di depan mataku, aku merasakannya, ia memenuhi semua kebahagiaanku, keluargaku.'
.
.
.
Sakura menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Ia benar-benar lelah mencari flashdisk itu. Ia yakin sekali, benda itu selalu disimpan di tasnya. Sudah ia cari di mana-mana. Loker, laci meja, sampai mengeluarkan seluruh isi tasnya di sekolah. Sekarang ia sudah mengacak-acak kamarnya, mencari benda kecil itu. Tapi tidak ada dimanapun.
Sakura mengerang frustasi. Apa yang harus ia katakan pada Konan besok? Gadis itu sudah percaya padanya agar tak menghilangkan flashdisk itu. Ia teringat kata-kata Konan beberapa hari yang lalu kalau benda itu sangat penting. Semua hasil kerja OSIS selama sebulan tersimpan disana. Dan sekarang ia menghilangkannya. Bagus sekali.
Tiba tiba ia teringat sesuatu. Ia segera meraih ponselnya.
"Ino? Maafkan aku tidak bisa datang ke rumah sakit tadi." Ujarnya pada Ino di ujung telpon. "Hmm… aku kehilangan sesuatu dan sibuk mencarinya sampai lupa dengan janjiku. Maaf, Ino." Sambungnya dengan nada menyesal. "Oh, ibumu sudah bisa pulang? Syukurlah. Iya… iya.. baiklah. Terima kasih sudah mengerti. Hmmm, baiklah. Sampai jumpa." Sakura menyentuh icon merah di layar ponselnya untuk mengakhiri telpon.
Ia menghela nafas. Untung saja Ino tak marah. Baru saja ia akan meletakkan ponselnya tepat di sampingnya saat ia merasakan tangannya menyentuh sesuatu.
"Foto?" Sakura teringat. Itu adalah foto yang pernah diberikan ibunya. Ia tersenyum sambil memandanginya. Ada tiga lembar foto di sana. Foto pertama adalah fotonya bersama pamannya, yang kedua fotonya bersama keluarga besarnya. Dan foto terakhir adalah foto yang diambil saat ia sedang memetik strawberry sambil tertawa bersama dua anak sebayanya. Dua-duanya laki- laki. Satu menggunakan jaket biru tua dan satunya lagi jaket hitam. Ia tak tahu nama dua orang itu. Yang ia ingat, mereka sama-sama memetik buah.
Sakura tertawa sebentar. Itu adalah pertama kalinya ia memetik strawberry secara langsung. Saat itu ia benar-benar bersemangat.
Tanpa sadar Sakura mengusap-usap permukaan foto itu. Ia rindu pamannya. Ia rindu saat saat dimana ia bisa bebas berlarian, tertawa, dan menikmati suasana yang hangat. Pamannya terlalu baik dan ramah. Senyuman pamannya membuatnya tenang. Sayang sekali, lima tahun yang lalu dia meninggal.
.
.
.
"Kenapa bisa begitu?" Sahut Konan kesal dan kecewa.
"Maaf." Bibir Sakura hanya bisa mengatakan itu. Ia tak tahu lagi. Ia sudah seharian mencari flashdisk itu tapi tak kunjung ketemu.
"Tidakkah kau tahu benda itu sangat penting? Apa kau bisa menggantikan semua kerja keras para pengurus OSIS selama ini? Sebulan kita susah payah, Sakura… sebulan!" Tampaknya Konan tak bisa menahan rasa kecewa dan amarahnya pada Sakura. Padahal ia benar-benar berharap gadis itu bisa menjaga flashdisk penting itu.
"Aku yakin, aku selalu menaruhnya di tas dan tak pernah ku pindahkan sama sekali." Hanya itu pembelaan yang bisa Sakura lakukan.
"Lalu kemana sekarang? Hm?" Konan mendesah kesal "Astaga..."
Sakura menggigit bibirnya. Ia menunduk. Tak sanggup melihat wajah Konan. Gadis itu tak pernah semarah ini sebelumnya. Ia juga merasa tak enak hati. Bagaimanapun, Sakura sangat menghargai Konan, gadis itu selalu ramah dan bersikap dewasa. Tapi kali ini ia benar-benar mengecewakannya. Tidak, mengecewakan seluruh teman-temannya yang sudah susah-susah bekerja keras untuk acara sekolah.
"Sekarang apa? Apa yang harus dilakukan?" Konan menghela nafas. "Aku benar-benar kecewa." Sebenarnya ia tak tega memarahi Sakura seperti ini. "Aku yang salah." Ia tersenyum kecut. "Tak semestinya benda itu kutitipkan padamu."
Sakura mengangkat wajahnya. Ada raut penyesalan di wajah Konan. Sekarang ia benar-benar merasa sangat bersalah. "Maaf."
Konan menatap Sakura lekat. Ia menelan ludah. "Aku harap konsep acara itu tidak diketahui orang lain." Ujarnya nyaris seperti bisikan dengan nada kesal kemudian pergi meninggalkan Sakura yang masih menundukkan kepalanya. Sakura bisa merasakan Konan menyenggol sedikit bahunya.
"Maafkan aku, ini sepenuhnya salahku!" Sahut Sakura. Namun sepertinya Konan enggan untuk berbalik melihat Sakura. Ia tetap berjalan menjauh.
Bibir Sakura bergetar. Ia ingin menangis. Tapi ia berusaha menahan.
'Jangan menangis.. jangan…'
.
.
.
Sakura memijat-mijat pelipisnya. Hari ini ia berusaha memutar otaknya untuk memperbaiki semua kesalahannya. Ia mencoba memikirkan ide-ide baru untuk acara sekolah. Ini adalah kesalahannya. Selagi flashdisk itu belum ditemukan, ia akan mencoba membuat konsep-konsep baru.
Ia mengamati layar laptop di hadapannya. Ia ingat, masih ada konsep awal untuk acara. Dan ia ingin mengembangkan kembali konsep itu. Tangannya sedari tadi sibuk mencoret-coret kertas di hadapannya. Ia butuh ide segar.
BEEP
Ponselnya bergetar. Ada pesan masuk.
"Konan?" ia mengerutkan dahi.
FROM: KONAN
Coba lihat siaran televisi lokal sekarang.
"Memangnya ada apa?" Tanyanya sambil menyalakan televisinya.
Tiba-tiba Sakura terkejut luar biasa. Ia bahkan hampir lupa bagaimana cara untuk bernafas. Apa ini? Kenapa bisa seperti ini?
Di layar televisi terlihat jelas, ada siaran mengenai acara ulang tahun sekolah sainganya disana. Dan konsep yang mereka gunakan… sama persis dengan konsep acara yang dibuat oleh Sakura dan pengurus OSIS lainnya!
Sakura membekap mulutnya. Ia menjatuhkan tubunya di sofa kamarnya.
Bagaimana ini?
Sudah pasti flashdisk itu ditemukan oleh salah satu siswa sekolah lain. Tapi bagaimana itu bisa terjadi? Seingatnya ia tak pernah menjatuhkan benda itu. Benda itu tersimpan rapi dan tak pernah ia sentuh di tasnya. Apalagi ia menaruhnya di kantung paling dalam tasnya.
Sakura menelan ludah. Bagaimana ini? Apa yang akan dikatakan semua orang di sekolahnya besok padanya? Ini fatal. Fatal sekali.
Konsep acara itu bocor dan kini digunakan oleh sekolah lain. Hasil kerja keras semua pengurus OSIS selama ini sia-sia. Itu karena dirinya. Ponselnya kini berkali-kali berbunyi. Entah pesan masuk ataupun panggilan telpon. Itu pasti dari mereka. Ia tak berani melihat ponselnya sekarang.
Sakura memeluk lutunya, takut. Ia takut sekali. Ia harus siap mental besok.
.
To Be Continued...
