.

Pagi yang cerah merekah. Burung-burung kecil berkicau di atas dahan pohon. Sinar matahari menembus kaca jendela, jatuh di atas wajah Yuuichi yang tengah pulas di ranjang sakitnya. Dahinya mengernyit, memaksanya membuka mata.

Sudah pagi, ya...?

Dengan tubuh yang masih kaku karena kesadaran yang belum kembali sepenuhnya, ia berusaha mengingat-ingat tanggal dan hari. Dan sesaat kemudian tersentak panik.

Sial! Bukan saatnya bersantai! Hari ini aku ada latihan pagi, kan?!

Cepat disibakkannya selimut, tanpa berpikir dua kali, ia menggeser tubuh untuk turun dari tempat tidur.

Namun belum lewat satu detik kedua kakinya menyentuh lantai,

GUBRAK!

Bunyi keras itu sontak membangunkan tubuh Kyousuke yang juga tengah pulas dengan posisi telungkup di tepi ranjang.

"A-ada apa? Bunyi apa tadi?"

Kekagetannya terjawab dengan suara rintihan dari balik tempat tidur di hadapannya.

"A-aduh…."

Bergegas ia menaiki kursi roda, mengayuhnya menuju asal suara, dan menemukan sosok Yuuichi yang terjerembab di atas lantai keramik keras.

"Kyousuke, kamu nggak apa…, lho…?"

Untuk sesaat keduanya terpana, saling menatap satu sama lain. Detik berikutnya, barulah dua bersaudara itu mengerti ada satu keganjilan yang tak mereka sadari ketika terbangun tadi.

Yuuichi mengerti kenapa tadi ia tertidur dengan posisi telungkup, dan bukannya terbaring seperti biasa.

Kyousuke mengerti kenapa setelah berdiri tubuhnya langsung dikirim untuk mencium lantai, dan bukannya langsung mengarah ke lemari untuk berganti pakaian.

Semua karena mereka... sedang berada di tubuh yang salah!


.

Switched!

Disclamer: Inazuma Eleven GO (c) Level-5.

Hari Pertama

.

.

Ragu-ragu, Yuuichi menapakkan jari kakinya ke atas lantai. Lantas menggerakan lutut agar tubuh yang tengah dihuninya itu bangkit dari kursi roda. Yuuichi menahan napas dengan mata terkatup rapat saat ia berusaha melakukannya, seolah pada tubuh itu tertempel puluhan permata yang akan berguguran jika ia tidak berhati-hati.

Namun semua ketakutan pun perlahan sirna, saat kedua kaki itu dengan kukuh menyangga tubuhnya.

"Kyou... Kyousuke, aku bisa berdiri..." Yuuichi sendiri tak percaya saat ia mengatakan kalimat itu.

"Iya..." Meski dengan posisi yang sangat tidak mengenakan—tersungkur di atas lantai—Kyousuke tidak bisa tidak bahagia melihat reaksi kakaknya.

"O-oh, ya! Maaf, aku sampai lupa! Aku akan segera memindahkanmu!" Bergegas Yuuichi mendekati tubuhnya sendiri—yang sekarang tengah dihuni adiknya, dan menggendongnya kembali ke atas tempat tidur.

Kyousuke menghela napas lega saat tubuh kakaknya ini sudah berada di tempat yang aman.

"Maaf, Kyousuke... Pasti sakit, ya, tadi...?"

"Aku tidak apa-apa, kok. Tapi..."

"Ada apa? Ada yang luka, ya?"

"Sebenarnya…," Kyousuke ragu. "Hari ini aku harus ke sekolah pagi-pagi. Tapi kalau begini jadinya…apa aku bolos saja, ya?"

"Mana boleh 'kan? Kamu harus tetap sekolah!"

Hening sesaat. Dua kepala itu berpikir keras. Bagaimana caranya menghadapi masalah yang tidak biasa ini.

"Bagaimana kalau Nii-san saja...," Sebetulnya Kyousuke tak yakin ini bisa jadi solusi. "...yang pergi ke sekolah...?"

.

.

.

Setelah bertanya ke sana-sini, Yuuichi akhirnya berhasil menemukan jalan ke SMP Raimon. Ia merasa seperti orang bodoh. Padahal letak rumah sakit dan sekolah itu cuma berjarak beberapa blok, dan bisa dicapai dalam waktu lima belas menit.

Yuuichi yang sudah bertahun-tahun tidak menjelajahi kota, membutuhkan waktu dua kali lipatnya untuk tiba di sana.

"Ma-maaf. Saya terlambat," engahnya begitu memasuki lapangan.

"Tumben, Tsurugi telat," sapa Tenma yang baru selesai pemanasan keliling lapangan. "Bangun kesiangan, ya?"

"Eh..., iya...," sahut Yuuichi sekenanya, kemudian berganti baju dan menyusul yang lain mengelilingi lapangan.

Setelah berdiri, berjalan, berlari..., lantas menggiring bola. Empat hal yang dari dulu sangat ingin dia lakukan, hari ini semuanya telah ia coba tanpa kendala sedikitpun. Kalau pun ada, hanya sedikit rasa lelah sebagai kompensasi.

"Tsurugi... kelihatan semangat sekali, ya..." Shindou mendekati Tenma yang sedang istirahat di pinggir lapangan.

Tenma menurunkan botol minumnya dari wajah. "Iya, ya... Seperinya hari ini dia sama sekali tidak kelihatan capek."

Begitulah. Lagi-lagi Shinsuke tidak bisa membendung tembakan dari Tsurugi. Entah gol ke berapa yang masuk tadi.

"Dan entah kenapa, dari tadi juga dia juga senyum terus. Aneh...," Kariya bergabung.

"Mungkin ada sesuatu yang membuat dia senang," tambah Kageyama.

Tenma memandang Tsurugi yang sekarang bicara dengan Shinsuke. Seperti sedang memberi saran. Tampak Shinsuke mengangguk dan kembali ke posisinya di depan gawang. Tsurugi kembali melepaskan tembakan, dan kali ini Shinsuke berhasil menahannya.

"Bagus, Shinsuke-kun! Sekali lagi, ya!"

Shinsuke-kun…? Tenma bengong. Tsurugi memanggil Shinsuke dengan nama kecilnya ditambah embel-embel "kun"? Memangnya sejak kapan mereka jadi akrab?

Bel masuk berbunyi, menghentikan aktivitas klub sepak bola. Meski agak kecewa, Yuuichi bergegas mengenakan seragam sekolah kembali.

"Tsurugi, nanti temani aku latihan lagi sepulang sekolah, ya?" kata Shinsuke saat mereka bersama-sama menuju kelas.

Wajah Yuuichi, bukan, wajah Kyousuke kontan cerah. "Oke!"

Sesaat Shinsuke tertinggal di belakang. Takjub. Baru sekali ini ia melihat wajah Tsurugi secerah itu.

.

.

.

Usai menghabiskan saparan dan minum obatnya—obat kakaknya, Kyousuke hanya bisa menghabiskan waktu sambil berbaring menatap langit-langit kamar, tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk melewati pagi.

Sekitar pukul delapan, seorang perawat datang. Mengukur tekanan darah dan suhu tubuh, serta menanyainya apakah ada sesuatu terasa yang sakit. Kyousuke menjawab tidak. Meskipun nyeri akibat jatuh ketika bangun tadi masih tersisa, ia tak ingin menceritakannya.

Setelah si perawat pergi, tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Waktu rasanya berjalan lambat sekali. Dicobanya menyalakan televisi, sekadar mengusir sepi yang menguasai kamar. Sementara pembawa acara televisi mengoceh di depan, Kyousuke membiarkan isi benaknya melayang keluar. Berpikir, bagaimana kakaknya bisa bertahan melewati waktu-waktu yang membosankan seperti ini setiap pagi.

Acara demi acara berlalu, tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Kyousuke tak kuat lagi. Dimatikannya televisi, dan berbaring kembali. Namun tak lama kemudian, ia merasakan ada sesuatu yang basah, perlahan mengaliri bagian paha celananya. Segera ia pun terduduk dan menyibakkan selimut. Memastikan apa sebenarnya cairan yang kini mulai menyebar ke atas sepreinya itu.

Seketika, satu bau khas menyapa hidungnya. Astaga...

Baru pertama kali dalam hidupnya, Kyousuke merasa sepanik ini. Ingin ditekannya tombol untuk memanggil perawat. Namun kemudian, tangannya terhenti, ragu. Bagaimana kalau yang datang perawat wanita? Bagaimana ia menjelaskannya?

Tapi kalau dipikir lagi, mustahil ia—dengan tubuh Yuuichi—bisa mengurus masalah ini sendirian. Seseorang harus membantu. Kalau pun yang datang perawat wanita, mereka juga pasti tahu apa yang harus dilakukan di situasi seperti ini. Akhirnya ditekannya juga tombol itu.

Beruntunglah. Yang datang laki-laki. Meski begitu, tetap saja. Dengan muka merah terbakar menahan malu, ia menceritakan masalahnya. Anehnya, si perawat tidak tertawa atau bahkan tersenyum, meskipun sekilas. Laki-laki, yang ditaksir Kyousuke berumur dua puluhan itu cuma mengangguk paham, lalu memintanya kembali berbaring, agar ia mudah melepaskan celananya.

Beberapa menit kemudian, Kyousuke sudah bisa duduk nyaman di atas kursi roda dengan piyama dan celana dalam bersih, sementara si perawat sibuk membersihkan tempat tidurnya.

"Ma...maaf... Saya merepotkan..." ucap Kyousuke pelan. Rona merah masih belum meninggalkan kedua pipinya.

"Ah, tak apa, kok, Yuuichi-kun. Yang seperti ini kan memang kadang biasa terjadi," sahut si perawat ramah, tanpa menghentikan kesibukannya.

Getar ponsel di atas meja terdengar. Bergegas Kyousuke meraihnya. Melihat nomornya sendiri tertera di sana. Dari Nii-san?

"Halo?"

"Kyousuke, kamu sudah ngompol, ya?"

Tanpa tedeng aling-aling, suara di seberang berkata. Muka yang tadinya sudah mulai normal, kembali memerah seketika.

"Nii-san, sssttt~!" desis Kyousuke, panik campur malu.

"Tenang, aku menelepon dari toilet, kok. Ini masih jam pelajaran, soalnya..." Yuuichi menenangkan. "Ternyata benar, ya? Kamu ngompol?"

"I-iya…. Tapi…, kenapa Nii-san bisa tahu?" tanyanya dengan suara pelan, agar tak terdengar oleh si perawat.

"Harusnya tadi aku memperingatkanmu soal ini, ya…?" suara di seberang terdengar menyesal. "Sebenarnya…, karena tubuhku tidak bisa lama menahan buang air, jadi aku harus segera ke toilet, beberapa jam sehabis minum. Tapi, kamu pasti kesulitan kalau harus ke toilet dengan tubuhku, kan? Bagaimana kalau untuk sementara kamu minta pasangkan itu saja sama perawat…?"

"Itu?"

"Ng…," agak susah ngomongnya. "Itu… pampers…."

"Hah?"

"Sebetulnya kemarin malam aku memakainya. Tapi menjelang subuh, rasanya sudah terlalu penuh, jadi kubuang saja. Ah iya, waktu itu tubuh kita masih benar..."

"Nii-san..., serius menyuruhku pakai itu...?"

"Dari pada kamu harus kerepotan sering-sering ke toilet? Atau ngompol...?"

Iya, sih... Mengingat kejadian tadi saja, rasanya memalukan sekali.

"Kalau kamu malu, biar aku saja yang bicara sama perawat."

"Jangan!" cegah Kyousuke. "Tidak apa-apa. Biar aku saja. Nii-san balik saja ke kelas. Aku sudah tidak apa-apa, kok. Sudah, ya!"

"Eh, tunggu dulu! Kyou..."

Di seberang, Yuuichi hanya bisa mendengar bunyi tut-tut-tut menjawab kata-katanya. Ia kebingungan. Apa Kyousuke marah, ya?

Sementara itu, Kyousuke sedang menarik napas dalam-dalam, menyusun kalimat yang baik untuk dilontarkan pada si perawat yang hampir menyelesaikan pekerjaannya.

.

.

.

Waktu istirahat siang. Satu pesan masuk dari Kyousuke yang mengatakan di dalam tasnya masih ada roti sisa kemarin. Yuuichi membongkar tas dan menemukan roti itu sudah diliputi bintik-bintik hijau.

Yuuichi geleng-geleng kepala. Mana mungkin ia memasukan benda berbahaya itu ke dalam perut adiknya? Tapi di sisi lain, ia juga tak mau membiarkan tubuh Kyousuke kelaparan. Hm, bagaimana, ya...? Yuuichi berjalan bimbang menuju kantin. Yang lebih buruk, di dompet Kyousuke juga tak ada uang. Dia lagi bokek rupanya. Kenapa sih, Kyousuke tidak menceritakan masalah-masalah itu padaku?

"Tsurugi!"

Yuuichi menoleh. Tenma, Shinsuke, Kariya, dan Kageyama berdiri di belakangnya.

"Tsurugi, makan siang bareng, yuk!" ajak Tenma sambil menunjukkan kotak bekalnya.

"Percuma! Kamu 'kan tahu Tsurugi-kun tidak suka jam siangnya diganggu..." bisik Kariya dari belakang.

"Eh, boleh, nih?"

Wajah antusias itu sama sekali tak diduga mereka berempat. Meski awalnya kaget karena wajah Tsurugi yang tiba-tiba begitu dekat, Tenma mengangguk. Jarang-jarang, kan, Tsurugi mau kumpul-kumpul dengan mereka pas jam istirahat?

"I-iya, tentu saja!"

"Ng, tapi," Yuuichi ragu, "...sebenarnya aku hari ini nggak bawa bekal, sih..."

"Nggak apa-apa!" sela Shinsuke. "Ya, 'kan Tenma?"

"Iya. Yang lain juga nggak bawa kok! Soalnya hari ini aku memang bermaksud mengajak semuanya makan-makan masakannya Aki-nee."

"Aki-nee…? Kakaknya Tenma-kun?"

…'kun'?

Kali ini bukan cuma Tenma dan Shinsuke, Kariya dan Kageyama juga mendengar jelas panggilan untuk Tenma dari Tsurugi itu. Dan butuh waktu beberapa detik bagi mereka untuk memulihkan wajah kaget masing-masing.

Yuuichi yang menyadari perubahan wajah anak-anak di depannya, jadi merasa ada yang salah.

"Eh, bukan, ya?" Yuuichi menatap mereka satu-persatu. "Bukan kakaknya Tenma-kun?"

"Ng..., bukan kakak kandung, sih..." Tenma yang pertama kali mampu bersuara kembali. "Aki-nee itu kerabat jauhku, sekaligus pemilik apartemen tempat aku tinggal."

"Oh...," Yuuichi mengangguk-angguk paham.

"Ayo, Tsurugi!" Shinsuke yang juga mulai pulih, menghela tangan Tsurugi. Agak sulit karena ukuran tubuh mereka yang jauh berbeda. "Nanti waktu istirahat keburu habis. Masakan Aki-nee nya Tenma itu enak banget, lho!"

"Sungguh?"

Kalau Tsurugi memang masih waras..., batin Tenma. Kurasa dia akan menepiskan tangannya Shinsuke...

Bagai bola yang digiring Kageyama saat dia pertama kali belajar sepak bola, dugaan Tenma benar-benar lepas dari jalur. Tsurugi justru membungkuk, agar Shinsuke bisa dengan mudah menarik tangannya, lantas mereka berjalan beriringan menuju atap sekolah; tempat Tenma dan kawan-kawan biasa menghabiskan jam makan siang, sekaligus makan siang itu sendiri.

Takjub atas itu, Tenma nyaris melepaskan kotak bekalnya ke lantai jika tidak segera ditangkap oleh Kariya.

Sayang kan kalau makanan seenak ini sampai tercecer, begitu mungkin pikir Kariya. Ia sendiri sudah pulih, dan memutuskan untuk bersikap masa bodoh dengan keanehan-keanehan Tsurugi.

"Apa Tsurugi-kun lagi sakit, ya?" akhirnya Kageyama bisa juga sesekali berpikir negatif. Mungkin ketularan Kariya.

Tenma memandang punggung Tsurugi dan Shinsuke yang sudah agak jauh di depan mereka, dengan tatapan seolah sedang melihat seorang anak TK bersama ibunya nyasar ke SMP Raimon. Yah, soalnya memang kelihatan begitu, sih…

"Bisa jadi..."

.

.

.

Antaran makan siang tiba. Sesaat Kyousuke menghela napas lega. Akhirnya ada juga yang bisa dikerjakannya selain tiduran, nonton TV, dan... ganti pampers.

Semangkuk bubur dengan lauk kecil-kecil, sup tanpa minyak, susu putih tawar, dan ketimun(?). Satu-satunya yang lumayan, cuma sepotong agar-agar sebagai pencuci mulut. Itu pun rasanya nyaris tak bisa dibilang manis. Meski begitu, Kyousuke menghabiskan semua dengan lahap. Pelampiasan antara kelaparan dan kebosanan.

Usai menghabiskannya, Kyousuke kembali terbengong. Sekarang ia benar-benar kehabisan sesuatu untuk dikerjakan.

Ah, mungkin hari ini Nii-san ada jadwal terapi? Kyousuke berharap pintu terbuka, dan seorang perawat memanggilnya agar ia bisa segera keluar dari kamar.

Sebenarnya ia ingin mencoba turun sendiri dari tempat tidur ke kursi roda, tapi ia takut kalau-kalau malah salah gerak dan akan menyakiti tubuh kakaknya. Sekarang ia sendirian di kamar, dan jika sampai terjadi sesuatu, otomatis takkan ada yang menolongnya. Jadi tak ada pilihan bagi Kyousuke, kecuali bersabar.

Sore menjelang. Yang ditunggu-tunggu pun akhirnya terjadi juga. Pintu terbuka, namun tak ada siapa-siapa di baliknya. Setelah beberapa detik menunggu, akhirnya satu kepala pun melongok. Namun, bukan dari balik pintu, tapi dari samping tempat tidur.

"Yuuichi-saa~n!"

Satu jeritan nyaris keluar dari mulut Kyousuke, bukan, mulut Yuuichi. Kalau Kyousuke tidak segera mengendalikan jantungnya yang berlompatan akibat kemunculan satu manusia berambut jingga tepat di samping bantalnya. Rupanya tadi, ia masuk sambil merayap di atas lantai, sehingga tak terlihat oleh Kyousuke yang tengah berbaring di ranjang.

Tunggu, rambut jingga...? Rasanya kenal...

"A-Amemiya?!"

"Yuuichi-saan!" Tanpa peringatan, makhluk kepala jingga itu menyerang tubuh Yuuichi dengan satu pelukan kuat. "Tolong sembunyikan saya! Lagi-lagi Fuyuka-san mau ngasih saya suntikan. Dan lagi, hari ini suntikannya dua! Huhuhu..., nggak mau! Disuntik sekali saja sakit, apa lagi dua!" ceracaunya sambil berusaha naik ke atas ranjang, menyusup ke dalam selimut.

Ini anak betulan sakit, nggak sih? Pelukannya membuat Kyousuke serasa hampir mati tercekik.

"Oi, jangan macam-macam! Cepat keluar dari selimutku!" Kyousuke berusaha menarik selimut dari tubuh Amemiya yang sedang tiarap di sampingnya. Tapi Amemiya sudah keburu memegang ujung selimut erat-erat. Ikh, seandainya kaki Nii-san bisa digerakkan, sudah ditendangnya anak ini keluar dari kamar. Lewat jendela sekalian. Enak saja dia masuk-masuk ke dalam selimutnya Nii-san. Kyousuke sebagai adiknya saja nggak pernah, kok. Ups...

"Saya mohon, Yuuichi-san! Sekali iniii, saja! Nanti, saya traktir makan es krim di kantin rumah sakit, deh! Janji!"

"Nggak bisa! Cepat keluar!" bentak Kyousuke, kejam. "Kalau tidak, kupanggil keamanan..."

"Ja-jangaaann!" Amemiya panik, kepalanya keluar dari selimut. "Yuuichi-san kok hari ini tega, sih?! Biasanya 'kan Yuuichi-san selalu mau menyembunyikanku..."

APPPAAAA!? suara hati Kyousuke berteriak. Jadi, si kepala jingga ini sudah sering menyusup masuk selimut kakaknya? Dasar kepala jingga kurang aj-piiip-, mes-piiip, abnor-piiip.

Nii-san juga, kenapa sih mau-maunya berurusan dengan anak ini?

"Ke-Lu-Ar." Kyousuke mendesis, lambat-lambat. Pertanda amarahnya sudah berkumpul di puncak kepala.

Mau tak mau Amemiya bergidik juga melihat aura hitam yang membungkus tubuh Yuuichi. Samar, ia melihat sosok ksatria dengan pedang dan perisai terbentuk dari aura hitam itu, siap mencabik-cabik dirinya.

"Ya-ya sudah... kalau nggak boleh. Saya sembunyi di kamar mandi saja." Tanpa menunggu persetujuannya, bergegas Amemiya turun, dan tergogoh-gopoh menyusup ke dalam kamar mandi.

"Oi! Tunggu dulu!" Kyousuke tak sempat mencegah. Amemiya sudah terlanjur mengunci pintu.

Selang beberapa menit, Suster Fuyuka muncul di ambang pintu kamar. "Yuuichi-kun, kamu lihat Taiyou-kun, tidak?"

"Eh, dia..." Kyousuke sudah ingin menjawabnya. Tapi, Fuyuka mendekat dengan langkah cepat dan menyibakkan selimut dari tubuh Yuuichi. Begitu melihat kalau selimut itu benar-benar 'bersih dari tuduhan', Fuyuka pun berbalik. "Bukan di sini, ya? Aneh juga. Padahal tadi sepertinya dia lari ke sini..." gumam Fuyuka sambil beranjak pergi.

Jawaban Kyousuke soal 'kamar mandi' pun terpaksa menyangkut di kerongkongan.

Setelah yakin situasi sudah cukup aman, Amemiya pelan-pelan membuka pintu, menyandarinya dan menarik napas lega luar biasa. Sementara Kyousuke memandang si kepala jingga itu dengan tatapan kesal, yang juga luar biasa.

Dengan riang Amemiya mendekat, menyalami kedua tangan Yuuichi dan mengguncang-guncangnya, kuat. "Makasih banyak, Yuuichi-san! Yuuichi-san memang selalu bisa diandalkan! Kalau seandainya Yuuichi-san nggak memasang wajah seram seperti tadi, mungkin saya nggak akan terpikir untuk sembunyi di kamar mandi."

Kyousuke mendengus. Memangnya siapa yang bermaksud menolongmu?

"Sesuai janji, saya akan traktir es krim di kantin bawah. Katanya ada banyak rasa baru, lho!"

"Nggak usah!" tolak Kyousuke. Ia ingin agar Amemiya cepat-cepat menyingkir dari kamar kakaknya.

"Nggak pa-pa! Sebentar saja, kok!" Tanpa sungkan, Amemiya mengangkat tubuh Yuuichi dari tempat tidur menuju kursi roda. "Begitu kita selesai makan, pasti akan saya antar lagi ke kamar!"

Terlalu kaget atas tindakan mendadak Amemiya, Kyousuke tak sempat berbuat apa-apa, kecuali membiarkannya mendorong kursi roda keluar dari kamar. Dia beneran sakit, nggak sih? Sampai kuat menggendong badan orang... Dan lagi, badannya Nii-san... Rasa cemburu itu masih tersisa. Tapi kali ini Kyousuke tidak bisa protes, karena dia sebenarnya juga sudah ingin sekali keluar dari kamar.

.

.

.

"Tsurugi, kamu sakit, ya?" tanya Tenma hati-hati saat mereka berada di ruang ganti.

"Iya, Tsurugi-kun. Kalau kamu memang nggak enak badan, lebih baik tak perlu ikut latihan sore..." tambah Kageyama.

Kariya angkat bahu. Shinsuke mengerutkan kening.

"Eh?" Yuuichi bingung. "Memangnya aku kelihatan sakit?"

"Iya, nih. Kalian ini...," suara Shinsuke terdengar. "Memangnya Tsurugi kelihatan sakit?"

"Ng..., maaf kalau buat kalian khawatir. Tapi aku baik-baik saja, kok." Yuuichi tersenyum menenangkan. Namun justru memberi efek sebaliknya untuk Tenma dan Kageyama.

Akhirnya latihan sore pun berjalan seperti biasa. Tenma masih mengamati Tsurugi dari kejauhan. Tatapannya cemas.

"Shindou-senpai, kayaknya Tsurugi lagi sakit, deh..."

Shindou mengangkat kepala dari daftar menu latihan yang sedang ditekuninya, ke arah orang yang dimaksud Tenma.

"Sakit? Maksudnya?" Shindou tak paham. "Dia kelihatan sangat sehat, menurutku."

"Iya sih... Tapi, hari ini Tsurugi aneh. Dia jadi periang, murah senyum, terus mau makan siang bersama kami..."

"Lho, itu 'kan bagus? Berarti kalian sudah akrab, kan?" sela Nishiki yang rupanya dari tadi ikut menguping.

"Yaah, mungkin Tsurugi-kun lagi sakit jiwa...," cetusan ide dari Kariya yang sebenarnya cuma asal itu, ternyata lebih dari cukup untuk membuat wajah Tenma kehilangan warna.

"Sa-sakit jiwa...?" getar suara Tenma.

"Kariya, kalau ngomong mikir sedikit, dong!" sergah Kirino, kesal.

Kariya cuma mengikik pelan seraya berlalu.

"Sudahlah, Tenma-kun. Jangan dipikirkan. Mungkin Tsurugi-kun cuma lagi senang saja hari ini...," Kageyama kelihatannya sudah menyerah memikirkan Tsurugi. Tapi Tenma tidak. Bergegas ia ke tengah lapangan, tempat di mana Tsurugi sedang berlatih bersama Shinsuke.

Tanpa permisi, dihelanya tangan Tsurugi menjauh. "Tsurugi, ayo kita pergi!"

"Eh? Ke mana?" Yuuichi tergopoh mengikuti langkah cepat Tenma ke pinggir lapangan.

"Pelatih Endou!" seru Tenma memanggil. "Boleh kami ijin pulang lebih cepat? Tsurugi lagi sakit!"

"Eh? Ya..., boleh sih..." Endou menyilakan walau dengan raut heran. "Sakit apa, memangnya?"

"Sakit jiwa desu," bisik Kariya dari belakang bangku Endou. Keruan saja sang pelatih kaget mendengar jawaban tak terduga namun sebenarnya ngawur itu.

"Mu-mustahil... Sakit jiwa? Tenma, apa itu ben..."

Persis saat ia bermaksud mengonfirmasikannya pada yang bersangkutan, mereka sudah keburu pergi jauh.

.

.

.

"Enak, 'kan? Yuuichi-san?"

Kyousuke manggut-manggut saja. Kali ini ia harus berterima kasih pada Amemiya. Akhirnya ia bisa juga menikmati udara segar di luar kamar. Di samping es krim yang enak tentu saja.

"Yuuichi-san mau satu cangkir lagi? Biar kupesankan." Amemiya sendiri sudah menghabiskan cangkir ke lima. Kyousuke baru dua.

"Nggak perlu..." Nanti badan Nii-san jadi gendut.

Setelah pesta kecil itu selesai, Amemiya menepati janjinya untuk segera mengantar Kyousuke kembali ke kamar. Di depan lift, mereka berpapasan dengan dua sosok yang sangat mereka kenal.

"Tenma-kun, sudah kubilang aku nggak sakit..."

"Setidaknya kita minta pendapat Yuuichi-san dulu, kamu benar sakit apa tidak. Kalau kata Yuuichi-san iya, berarti kita memang harus membawamu ke dokter!"

"Tenma?" ujar Amemiya dan Kyousuke bersamaan.

Saat dipanggil itulah, Tenma baru menyadari keberadaan mereka berdua. "Taiyou? Eh, Yuuichi-san juga ada? Kebetulan sekali! Yuuichi-san, coba tolong lihat Tsurugi..., apa kelihatannya dia sedang sakit?"

Kyousuke menengadah memandang kakaknya. Sementara Yuuichi menatap balik dengan mata menyiratkan kata-kata: "Maaf, Kyousuke. Sepertinya aku tidak bisa memerankan dirimu dengan baik..."

"Sakit di mananya?" akhirnya dilontarkan juga pertanyaan itu. Meski Kyousuke tahu persis dia—kakaknya, sama sekali tidak sakit. Soal kaki, itu lain perkara. Lagipula dia-lah yang sekarang mengenakan tubuh Yuuichi

"Hari ini, Tsurugi agak lain. Dia..."

"Tenma," sela Taiyou. "Maaf, tapi kami harus cepat-cepat balik ke kamar, sebelum ketangkap sama Fuyuka-san. Gimana kalau ngobrolnya di kamar Yuuichi-san saja?"

"Tidak boleh!" suara Yuuichi terdengar, tapi atas kendali Kyousuke. "Ni—maksudku, Kyousuke tidak sakit. Aku berani jamin. Sebaiknya kamu pulang saja," kata Kyousuke pada Tenma.

"Eh, tapi..."

"Bagaimana pun, makasih sudah mengantar Kyousuke kemari. Ayo, Amemiya!" Kyousuke lebih dulu mengayuh kursi rodanya memasuki pintu lift yang terbuka.

"I-iya," gegas Amemiya menyusul masuk. Pintu lift tertutup, meninggalkan Tenma dan Yuuichi di lantai dasar.

"Tenma...," Yuuichi mencoba memanggilnya ala Kyousuke. "Kamu dengar kata Kyo—maksudku, Nii-san tadi 'kan? Aku memang tidak apa-apa, kok. Sungguh!"

"Yang benar?" masih ragu. "Apa besok kamu masih bersikap begini?"

"Eh, itu...," Yuuichi bingung harus mengatakan apa.

"Seharian ini kamu sama sekali tidak merengut. Senyum... terus. Makanya aku khawatir." Tenma akhirnya terus terang.

Sekarang keduanya sama-sama terdiam. Sampai kemudaian Yuuichi berkata, "Tenma-kun..., bisa kita bicara...?"

.

.

.

Yuuichi berhasil menyusul Amemiya dan Kyousuke saat mereka hampir mencapai kamar 315.

"Kyo...," buru-buru Yuuichi mengerem panggilan itu. "Nii-san!"

Persis saat Amemiya dan Kyousuke hendak berbalik ke arahnya, satu panggilan lain mengalihkan perhatian mereka.

"Ah, ketemu juga! Taiyou-kun!"

Sontak Amemiya mengkeret. Lima meter di depan ia dan Kyousuke, berdiri tegak Suster Fuyuka. Segera ia berbalik, hanya demi menghadapi hadangan suster lain dari arah yang berlawan. Amemiya terkepung. Kyousuke yang ikut terjebak dalam situasi menegangkan—bagi Amemiya—itu, cuma angkat bahu. Tak peduli, ia membuka pintu kamar, sambil mengisyaratkan agar Yuuichi ikut masuk.

Begitu dua bersaudara itu sudah aman berada di dalam, hiruk-pikuk karena rontaan Amemiya mulai terdengar. Namun kemudian perlahan-lahan menghilang. Amemiya nampaknya berhasil digelandang balik ke kamarnya, meski dengan cara paksa.

"Kasihan sekali Taiyou-kun..."

"Itu salahnya sendiri," Kyousuke cuek. Didekatinya tempat tidur, tapi kemudian bingung bagaimana menaikinya.

Yuuichi yang tanggap, bergegas membantunya naik. Sambil merapikan selimut untuk Kyousuke. Yuuichi membuka percakapan, "Bagaimana, Kyousuke? Capek, ya?"

"Yah..." jawab Kyousuke sekenanya sambil berbaring. "Oh, ya. Apa Nii-san hari ini ada jadwal terapi?"

Yuuichi menggeleng. "Tidak, kok. Jangan khawatir. Lagipula hari ini kamu pasti sudah capek sekali, kan?"

Kyousuke tidak menjawab. "Lalu kapan Nii-san ada jadwal terapi lagi?"

"Besok ada... Memangnya kenapa?"

Kyousuke mengalihkan pandang. "Tidak, kok..."

Hening sebentar. Membiarkan keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Ng, Kyousuke..."

"Ya?"

"Aku... sudah menceritakan masalah kita pada Tenma-kun..."

Sontak, Kyousuke menatap kakaknya. "Nii-san cerita?"

Pelan-pelan Yuuichi mengiyakan. "Ng, cuma garis besarnya saja, kok. Soal kamu yang pagi tadi ngompol..., tentu saja tidak..."

"Nii-san! Itu jangan dibahas lagi!"

"Iya, iya..." Yuuichi geli sendiri melihat reaksi adiknya. Sudah lama sekali Kyousuke tidak begitu. "Soalnya aku juga bingung, bagaimana caranya agar kita berdua kembali seperti semula... Jadi aku minta pendapatnya."

"Lalu, apa katanya?"

"Menurut Tenma-kun, mungkin kita bisa kembali, kalau kita melakukan hal yang sama dengan yang kita lakukan sebelum kita tertukar."

"Apa yang kita lakukan... sebelum tertukar?" ulang Kyousuke. "Ya... tidur, kan?"

"Mungkin maksudnya, sebelum kita tidur. Kalau aku..." Yuuichi meletakkan dua jari di dagu "...rasanya, tidak ada hal aneh yang kulakukan sebelum tidur. Paling mandi."

"Kalau aku...," Kyousuke mengingat-ingat. "Ah, iya. Aku kan kemarin tertidur di sini karena..."

Sepasang mata itu bertatapan, menyelaraskan pikiran.

"Hujan!" lanjut keduanya bersamaan.

"Kalau begitu apa kita harus menunggu hujan dulu, supaya bisa kembali...?" simpul Yuuichi, kurang yakin.

Kyousuke angkat bahu. "Entah."

Ternyata tak perlu bagi mereka untuk memikirkannya lama-lama. Sayup-sayup terdengar rinai gerimis menyelimuti hari yang kini beralih petang. Perlahan gerimis renyai itu berubah menjadi guyuran hujan lebat, disusul satu-dua guruh yang bersahutan. Yuuichi menatap adiknya lega.

"Hujan, lho, Kyousuke! Sama seperti kemarin!"

"Ya, tapi..." Kyousuke merasa masih ada yang kurang. "Kalau mengikuti kilas balik kemarin malam, itu artinya aku harus mandi kan? Seperti Nii-san kemarin. Tapi, rasanya aku..."

"Tidak apa-apa. Kalau kamu kesulitan, biar aku bantu," Yuuichi menenangkan.

"Bantu? Maksudnya?"

"Nanti aku mandikan," terang Yuuichi, senyum tanpa dosa.

.

.

.

Jam makan malam tiba. Kyousuke menatap nampannya tak berselera. Selain menunya yang memang tak menarik, ia sedang bingung lantaran ingat kalau sebentar lagi Nii-san akan memandikannya. Memang sih, yang akan dimandikan bukan badannya, tapi badan Nii-san sendiri. Namun masalah utamanya memang bukan itu. Yang membuatnya segan adalah, karena yang akan memandikan badan kakaknya, adalah badannya sendiri.

Kyousuke menutup muka. Selapis uap kecil muncul di sekitar wajah yang memerah. Bergabung dengan kepulan uap sup miso yang masih teranggur di depannya, tak tersentuh sama sekali.

Sementara Yuuichi sendiri sedang keluar sebentar untuk meminta tambahan pampers baru.

Seingatnya, sejak tak bisa menggunakan kakinya, Yuuichi memang selalu mandiri untuk urusan kamar mandi. Jadi bisa dibilang dia sama sekali tidak punya pengetahuan atau pengalaman dalam membantu kakaknya mengatasi kesulitan yang berhubungan dengan itu.

Nah, tiba-tiba saja kali ini badannya akan melakukan itu. Bagaimana mungkin Kyousuke bisa tidak gugup?

Pintu terbuka. Yuuichi kembali. Buru-buru Kyousuke bertingkah seperti biasa.

"Oh, malam malam sudah datang, ya?"

"I-iya..." sahut Kyousuke. Suaranya terhambat nasi yang disuapkan tergesa.

"Tidak apa. Aku sudah makan kok, Kyousuke. Di kantin, tadi," ujar Yuuichi sambil mengisi dan menyerahkan segelas air.

"Oh..." diterima dan diteguknya, melegakan kerongkongan, sekaligus perasaannya, sedikit.

" Kamu habiskan saja makan malammu dulu," Yuuichi melangkah menuju kamar mandi. "Aku akan siapkan air hangat..."

Gumpalan nasi yang tadi sudah turun lancar, serasa kembali naik ke atas.

Saat Yuuichi mendorongnya ke kamar mandi, kata-kata "Gimana, nih? Gimana, nih?" terus bergema dalam otaknya.

Namun perlahan-lahan ketidaknyamanan itu sirna dengan sendirinya. Yuuichi melakukan semua—mulai dari melepas pakaian, menyabuni, membilas tubuhnya—dengan penuh kelembutan dan kehati-hatian, sampai Kyousuke tidak percaya kalau yang melakukan semua itu adalah sepasang tangan miliknya sendiri.

Sambil mengosok punggungnya, Yuuichi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di sekolah hari ini. Sesekali diselipkannya satu-dua guyonan. Kyousuke mau juga menanggapi dengan ujung bibir sedikit terangkat.

"Kalau begini, sepertinya Nii-san cocok jadi perawat," kata-kata itu terceplos begitu saja dari mulutnya. Yuuichi yang sedang menyabuni kesepuluh jari-jari menengadah.

"Eh, apa benar?"

"Ya... Ng, mungkin..." Kyousuke agak serba salah.

Yuuichi kembali menunduk, melanjutkan pekerjaannya. "Sebetulnya aku juga berpikir begitu..."

"Eh, apanya?"

"Menjadi perawat."

"Perawat...?" tak disangka Yuuichi menganggapnya serius

"Iya. Wajar saja, kan? Umurku sekarang delapan belas, bukan anak-anak lagi. Belakangan ini aku sering berpikir, mau jadi apa kalau sudah besar nanti. Tak mungkin bergantung terus pada ayah dan ibu, 'kan?"

"Tapi...," Kyousuke menelan ludah. "Bagaimana dengan sepak bola?"

Yuuichi menarik napas, sebelum berdiri dan tersenyum. "Kyousuke, aku harus realistis. Kakiku sudah tidak bisa diharapkan. Aku harus menyesuaikan cita-cita dengan kemampuanku. Lagipula, kan masih ada kamu, yang akan mewujudkan impian kita."

"Nii-san...," Kyousuke memandang Yuuichi yang sedang meraih handuk yang tersampir di balik pintu.

"Katanya banyak lho, orang-orang yang cacatnya lebih parah dari aku, tapi masih bisa mengabdikan diri untuk membantu orang lain. Makanya, aku pikir mungkin tidak ada salahnya mencoba belajar untuk jadi perawat, melayani dan menolong orang sakit agar mereka merasa lebih baik. Itu juga, pasti tak kalah menyenangkan dengan bermain sepak bola, kan?" lanjut Yuuichi, masih dengan lembut mengeringkan tubuhnya. Lantas menaikkannya kembali ke kursi roda.

Tak lama kemudian, tubuh Yuuichi sudah duduk manis di atas tempat tidur, mengenakan piyama bersih dengan pampers baru dibaliknya. Sembari membiarkan tangannya menyisir rambut Nii-san, Kyousuke menghela napas pendek.

"Nii-san..., maaf. Aku memang payah. Baru satu hari memakai badan Nii-san, aku sudah merepotkan orang seperti ini..."

Dari belakang punggungnya terdengar suara tawa kecil. "Kamu bicara apa, sih? Dulu waktu pertama kali aku juga dimandikan ibu. Juga sempat ngompol beberapa kali."

"Eh, tapi aku kok tidak pernah lihat...?"

"Waktu itu kamu sekolah," jelas Yuuichi. "Dan aku juga tak menceritakannya padamu. Malu!"

"Masa?"

"Iya, benar! Buat apa aku berbohong?"

Selesai menyisiri, Yuuchi membetulkan posisi tubuhnya agar bisa bersandar nyaman di atas ranjang.

"Aku juga mau mandi, deh. Kyousuke, mau televisinya dinyalakan?"

"Eh, ya..., bolehlah..."

Di depannya kini, layar televisi tengah menayangkan acara komedi dengan lawakan-lawakan segar, namun suara guyuran air dari dalam kamar mandi lebih mengusik pikirannya. Kyousuke menghela napas, lagi. Sekarang ia baru menyadari, bahwa Tuhan membebankan cobaan ini pada Yuuichi bukanlah tanpa alasan. Seandainya yang waktu itu cedera adalah dirinya, mungkin ia takkan bisa setegar kakaknya.

Jam tidur tiba. Awalnya Kyousuke agak keberatan melihat Yuuichi harus tidur dengan posisi telungkup, seperti yang dilakukannya kemarin malam.

"Tidak apa-apa. Kalau tidak begini, kita tidak bisa kembali seperti semula," kata Yuuichi sambil menaruh kepala di atas lipatan tangan.

"Iya, tapi..." Nii-san kok, percaya benar dengan apa kata si Tenma...?

"Sudah. Jangan mikir macam-macam lagi. Hari ini kamu sudah cukup capek. Cobalah beristirahat dengan nyaman malam ini."

"Iya..."

Sebelum menutup mata, Yuuichi berkata lagi, "Semoga besok ... semua kembali seperti semula, ya... Kyousuke?"

Kyousuke tidak langsung menjawab. "... Iya..."

Sambil menunggu kantuk datang, Kyousuke memandangi langit-langit kamar. Sampai kemudian terdengar napas teratur kakaknya, menandakan kalau ia sudah pulas. Pelan, diulurkannya tangan ke arah Yuuichi, menyentuh sedikit rambut miliknya itu, dan bergumam pelan.

"Aku... tidak ingin pulang..."

.

.

.

.

Bersambung


.

Sudut coretan author:

Lagi-lagi bikin cerita Tsurugi bersaudara. Hehe… ga pa-pa ya? ^^

Sebetulnya saya kurang tahu juga bagaimana rasanya paraplegi/lumpuh tungkai kaki, tapi katanya mereka—maaf—susah ngontrol buang air, ya?

Lantas, saya kepikiran… apa itu artinya Nii-san pernah ngompol, yaa… ehkk *kerongkongan author dibejek2 Kyousuke. x.x

….

Ya udah, kalau Kyou-chan nggak mau liat kakaknya begitu, biar Kyou-chan sendiri aja yang mengalami. Gimana? (^w^)#muka watados

Kyou: WTF?

yah begitu deh kurang lebih asal-usul saya terinspirasi bikin fic gaje ini. Ahaha… Kyou-chan ngomp…

Kyou: Lancelot. Cincang pita suaranya.

Lan-chan: Roger!

Tunggu, emang Lan-chan punya mulut?