A/N:
Erehem, tes, tes. Okey.
Yak, selamat pagi/siang/sore/malam untuk teman-teman semua dimanapun anda berada. Perkenalkan, saya Sakurazaka Ohime, orang baru ehemmantanninjaehem disitus ini. Fanfiksi yang akan anda baca sebentar lagi adalah publish pertama saya di fandom Hetalia, karenanya saya harap bisa diterima baik disini.
Saya ingin berterimakasih sekali untuk kak nana_0_o yang telah bersedia jadi beta reader saya *peluk* dan terimakasih atas puppy eyesnya saat memberi saran—setengah nodong—pemotongan chapter. I really cant refused that eye~ Tunggu ya kak, RomaMonaSpain nya pasti saya selesein walaupun entah kapan :3
Oh ya saya berusaha jujur disini, pertama, bahwa benda ini sebenarnya oneshot yang tanpa author note terhitung 8075 kata. Demi kenyamanan bersama saya memutuskan untuk memenggal fiksi ini jadi 3 bagian yang langsung saya publish dalam satu hari.
Kedua, saya memohon dengan sangat untuk teman-teman yang punya pengetahuan/mengerti tentang sejarah PDI/II, Germany reunification, AstroHungary union dan yang masih berhubungan dengan itu untuk sementara menghapusnya dari otak anda. Karena Fiksi ini sama sekali ngaco dari alur sejarah—yang mudah-mudahan bisa saya jelasin di author note akhir chapter 3.
Ketiga, saya menyelesaikan fiksi ini sambil mendengarkan JBF (Gero version), Wedding bell, Pavane for the dead princess dan beberapa lagu depapepe di album Depaclay juga Marukaite Chikyuu America version (Al, thanks for the spirit!). Okey, pemberitahuan ketiga bisa anda abaikan. Pemberitahuan lebih lanjut adalah sebagai berikut.
Pairing: PrusHun, AusHun, Germancest? (no, this is brotherly love), GerIta if you squint
Rated: T for foul mouth, character death, dan sedikit darah
Genre: Hurt/Comfort, Romance, sedikit bumbu Angst dan Tragedy
Warning: OOC, Human name used, roman picisan
Disclaimer: Hetalia Character © Himaruya Hidekazu
Paman penjual kentang, satu keluarga korban perang, si penabrak Prussia dan semua figuran © Sakurazaka Ohime
Gambar cover © The Illustrator who i dont know
Another web: kalau menurut anda 8075 kata dibagi tiga itu masih terlalu sesak, anda bisa baca versi kaskusnya. Linknya bisa dilihat di profile saya.
Cara baca: Preußen bisa anda baca Preussen
Itu saja yang bisa saya jelaskan, semoga tulisan saya bisa anda nikmati. Take a seat, and please enjoy!
Okay, awal cerita ini buruk. Akan kujelaskan dengan bahasa yang mudah. Hufft.. West kalah dalam Perang Dunia II.
Para fans adikku, hilangkan cemas kalian. Karena dia baik-baik saja, yeah, harfiah. Walaupun keadaannya AKAN mengenaskan. Rumah yang dipecah-pecah oleh para sekutu busuk itu mungkin akan sedikit menyulitkan dan menyiksanya, tapi setidaknya aku bersyukur dia tidak kehilangan status negaranya. Tidak sepertiku. Status rumahku sebagai Negara—atau lebih tepat kerajaan—akan dihapus dalam entah beberapa hari, minggu, atau bulan kedepan, aku belum tahu. Tapi yang jelas, saat status negara hilang, personifikasinya akan ikut menghilang, atau dalam bahasa yang lebih riil, tewas.
Paragraf diatas menjadi alasanku agak sedikit melankoli sekarang ini. Oh, ayolah, aku tahu nasibku akan mati muda tapi aku tak mau jadi perjaka ting-ting di akhir hayatku.
Oke, lupakan kalimat barusan.
Aku hanya tidak ingin menyesal lebih dari ini. Kehilangan rumah dan melihat adikku tersiksa didepan mataku, tapi aku tak bisa apa-apa bahkan malah akan meninggalkannya sudah cukup melukai batinku. Aku tak ingin menambah sebuah penyesalan lagi karena tak sempat mengutarakan perasaanku pada seorang wanita.
Yup, karena alasan itulah sekarang aku berdiri gugup didepan pintu sebuah rumah dengan sangat tidak awesome dan sebuket bunga ada ditanganku. Ah, kalau kalian berpikir aku akan menuruti buku yang dibeli West, kalian salah sangka. Aku tak sekaku itu dalam pergaulan.
Dengan ketetapan hati kutekan bel rumah itu. Daaannn ini sangat out of character. Mana pernah aku masuk kerumah ini dengan sopan?
Pintu itu terbuka, menampilkan sesosok gadis muda berambut cokelat terang dan bermata hijau.
"Prusia? Tumben sekali kau pakai menekan bel segala."
"Hungaria, ayolah, gak mungkin kan aku yang awesome ini ga punya sopan santun." Argh, salah kalimat.
"Sejak kapan kau punya sopan santun? kalau bau asem sih iya." Tuh, kan.
"Siapa yang kau bilang asem, dasar fujoshi akut!" Mein Gott, kenapa mengontrol mulut itu susah sekali? Dan, kenapa tangan Hungaria tiba-tiba menggenggam fry pan?
"Maumu apa sih albino berisik? Dateng-dateng ngehina orang! menghancurkan moodku saja!"
"Heh! Sejak kapan kau punya mood baik?" Stop! Stop! Mulut, kau lupa sama buket bungamu, hah?
"Sejak Mr. Austria mengajakku ke konser barusan, moodku masih baik sekali, MR. PRUSIA!"
BUAAKKKK!
Fry pan kesayangannya mendarat mulus di mukaku. Membuatku jatuh terjerembap.
"Ouch..."
Dengan mata yang masih berkunang-kunang aku berusaha berdiri dan menatap Hungaria yang masih mengeluarkan aura ungu mirip Rusia. Tak ada jalan lain, kulemparkan buket bunga tepat di wajahnya.
"Semoga ulat di mawar itu menggerayangimu, jelek!"
Aku segera beranjak pergi, meninggalkan Hungaria yang bingung menatap buket ditangannya. Tapi mana mungkin aku bisa tahan tidak meliriknya saat terdengar tawa kecilnya dibelakangku.
"Tata bahasamu buruk." Kudengar dia bergumam sambil memegang kartu kecil di buket itu, mukanya memerah. Begitu pula mukaku.
Untukmu dengan Penuh cinta
~Prussia and Hungary Love Story~
"God give you all soul, so you can die easy and peacefully. But with us he show no mercy. We cant die from a bullet, cant die from an arrow, but a pen and a pact will give us sorrow."
Kejadian diatas cukup menjelaskan keadaannya, kan? Kalau ada yang memasukkan namaku dalam 'Daftar cowok yang gak bisa mengungkapkan perasaan' aku tak bisa mengelak. Perlu kuceritakan lebih lanjut?
Aku kembali kesana, dua hari setelahnya. Membawa tiket konser, berharap strategi tembak-dia-saat-lagu-romantis berhasil. Apa yang terjadi? Kami kembali adu mulut dan berkelahi. Tiketnya? Robek terinjak olehnya.
Aku datang lagi tiga hari berikutnya. Kondisinya agak berbeda kali ini, aku tahu keadaan tak menjadi semakin baik tiap harinya. Aku diburu rasa takut kehabisan waktu. Karena itu aku datang membawa kotak kecil berisi cincin. Nekat? Iya, karena aku sudah tak peduli lagi.
Untuk mempersingkat, kurasa tak perlu kuberitahu apa yang terjadi sampai Hungaria memukulkan fry pan kesayangannya kemukaku 'kan? Yap, itu terjadi lagi, dengan sedikit perbedaan di ujungnya.
"Pru, Prusia?"
"Apa? Kenapa mukamu begitu?"
"Kau baik-baik saja? Apa aku begitu keras memukulmu?"
"Hah? maksudmu?"
"Hidungmu! Ya, Tuhan, darahnya mengalir deras sekali!" Ujarnya sambil mengambil sapu tangan, berusaha menyeka hidungku. Aku terkejut sekali, pukulan Hungaria tak pernah menyakitiku sampai seperti ini. Ini pertanda buruk.
Firasat burukku terbukti. Hungaria masih berusaha menghentikan darah di hidungku saat tiba-tiba nafasku sesak. Sepertinya paru-paruku penuh dengan asap.
"Uhuk, Uhuk.. Urgh.." Aku berusaha berdiri dengan susah payah.
"Tunggu, kau kenapa?" Suaranya terdengar cemas.
"Aku pergi." Kutegakkan badanku, berusaha berjalan. Aku harus cepat pergi, aku tahu apa yang sedang terjadi. Paru-paruku sesak. Berarti ada yang membakar ibukotaku, atau setidaknya ada kebakaran besar disana.
"Hungaria.. besok aku kembali." Aku sudah beberapa langkah darinya.
"Tunggu! Kau yakin baik-baik saja?" Sial, jangan berwajah cemas begitu! Dari tadi aku susah payah menahan diri tidak menciummu tahu.
"Kau juga personifikasi, kan? Mestinya kau mengerti apa yang terjadi." Aku berusaha menjelaskan. Wajahnya berubah serius dan horor.
"Jangan bilang.."
"Ya begitulah, aku pergi." Aku kembali beranjak pergi.
"Tunggu! Jangan pergi sendirian, ajaklah Jerman bersamamu!" Aw, manis sekali Hungaria. Sayang keadaannya begini. Aku hanya bisa melambaikan tangan dan pergi tanpa berbalik lagi. Tanpa sadar meninggalkan cincin dan Gilbird bersama Hungaria.
Aku berlari sepanjang jalan. Paru-paruku sesak, kepalaku sakit, dan aku nyaris tak bisa merasakan kakiku. Bersamaan dengan kakiku berlari, pikiranku berjalan cepat, aku harus cepat sampai di Berlin, mengetahui pasti keadaannya dan menemui West.
Aku sampai di Berlin tanpa halangan berarti dalam beberapa belas menit. Cukup awesome, walau belum secepat Italia bersaudara dalam 'mode kabur'. Dan aku benar, sebuah daerah perdagangan habis dilalap api. Dengan cepat kuhubungi markas disana dan meminta bantuan. Sambil menunggu, kukerahkan rakyatku untuk memadamkannya dengan alat seadanya. Aku sudah lupa sama sekali dengan rasa sakit di tubuhku. Rakyatku lebih penting.
Dalam waktu beberapa jam, api berhasil dipadamkan. Meninggalkan bongkahan-bongkahan hitam di bayangan mentari senja. Rasa lelah dan sakit di sekujur tubuh memaksaku pulang. Kepalaku sudah sakit sekali mengingat informasi yang kudapat tentang penyebab kebakaran ini. Seorang tentara Rusia yang mabuk TIDAK SENGAJA melempar GRANAT tangan, meledakkan beberapa tong minyak. Verdammt! Sekarang rakyatku akan makan apa? Daerah itu salah satu titik pasokan terbesar untuk rakyatku!
Pikiranku kusut tapi kakiku tanpa sadar membawaku pulang. Aku baru sampai didepan pintu saat tiba-tiba adikku membuka pintu menyambutku.
"Bruder! Akhirnya!"
"Ah, West! Kau dirumah dari tadi?"
"Tidak, aku juga baru sampai. Aku sudah dengar soal Berlin. Tapi sama sekali tidak bisa kesana! Aku terjebak pertemuan dengan pasukan sekutu!"
"Tidak apa-apa West. Semuanya sudah kuselesaikan dengan awesome! Lalu, ada laporan tentang pembagian wilayah dari para kutu busuk itu?"
"Ada. Tapi kurasa lebih baik kau mandi dulu, kau pasti lelah," ujarnya sambil memandangku yang berantakan.
"Vee~ Pastanya juga sudah siap, kalian bisa makan dulu sebelum membicarakan hal yang berat-berat"
"Ita-chan! Kau juga ada disini?"
"Ng! Tak apa 'kan kalau aku menginap disini?"
"Tentu saja!" Aku senang, setidaknya ada yang memberi warna di rumah yang suram ini.
"Sudah! Bruder cepat mandi! Dan Italia siapkan makanannya!" Oh West, tenanglah. Aku tak akan merebut Uke-mu, jadi tak perlu melepaskan pelukanku dengan Ita-chan sekasar itu!
"Lalu West, bagaimana laporannya?" Aku menjatuhkan diri di sofa ruang tamu, berhadapan dengan adikku. Italia? Dia sudah bermimpi indah di kamar West. Kenapa di kamar West? Oh haruskah kujelaskan?
"Bruder, sebelumnya, hentikan narasimu yang seolah-olah kau mendukung GerIta!"
"Eee? Kenapa memangnya?"
"Karena aku tidak seperti itu!"
West, kalau mau mengelak dengan meyakinkan, setidaknya hilangkan rona merah di wajahmu.
"Arrggghhh..! Sudahlah! Pertama, Bruder, kau sudah menemui Bosmu?"
"Old Fritz? Belum. Aku yakin kami sama-sama tak ada waktu."
"Tepat. Tadi dia disana, dan menitipkan ini padaku."
Kuambil sebuah surat dari tangannya. Ekspresinya aneh saat menyerahkan surat itu. Kulihat surat itu cukup pendek.
"Untuk Prusia
Kurasa aku tak perlu menjelaskan keadaannya lagi padamu. Aku akan langsung pada titik permasalahan. Status Kerajaan Prusia akan dihapuskan dalam waktu seminggu dari saat kau membaca surat ini. Bekas wilayah kita terbagi, sebagian menyatu dengan Jerman dan sebagian lagi akan dipecah lagi untuk Rusia dan Polandia. Sementara Jerman akan terbagi empat berdasarkan kekuasaan para tentara sekutu.
Gilbert, aku tahu ini berat. Aku pun tak ingin mengucapkan selamat tinggal melalui surat, tapi aku tak akan tega menatap wajahmu yang sudah kuanggap anakku sendiri untuk terakhir kalinya. Terimakasih atas kerja keras dan pengabdianmu.
Aku menyayangimu anakku.
Frederich"
Aku bingung, kepalaku kosong. Rasanya aku jadi mengerti perasaan para penderita kanker yang tahu kapan dia akan meninggal.
"West, kau sudah tahu apa yang SEDANG terjadi?"
"Ja."
Lemah, mana suaramu yang gagah itu adikku? Dan kenapa kau tak menatapku?
"Baguslah. West, kutitipkan rakyatku padamu. Kau pasti bisa!" Jeda, aku merasa dia tak memperhatikanku, "West? Kau mendengarku tidak?"
"Kenapa?"
"Eh?"
"Kenapa kau bisa setenang itu?!" Suaranya bergetar, kedua tangannya terkepal diatas meja. Aku hanya bisa memejamkan mata.
BRAKK!
"Mana mungkin aku hidup sedangkan kakakku tewas! Mana mungkin aku melangkahi mayatmu, untuk terus hidup?" Suara dan tangannya bergetar hebat setelah memukul meja didepannya.
"Kenapa... Kenapa kakakku harus tewas? Kenapa.. kau bisa setenang itu.. Uh.."
Aku menghampirinya. Menghampiri adikku yang berusaha menutupi tangisnya dengan kedua tangannya. Kurangkul tubuh kekarnya. Tanganku menepuk-nepuk punggungnya. "Tenanglah West, tenang."
Aku masih bisa mendengarnya sesengukan. Sedewasa apapun dia, dia tetap Ludwig, adik kecilku. Aku tak pernah tahan mendengar tangisnya. Kulepaskan pelukku, kupegang pundaknya.
"Schau mich an. Alles wird in Ordnung sein. Vertrauen Sie mir [Lihat aku. Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah padaku]." Kutatap tepat di matanya saat berkata-kata. Dia menatapku lama, tangisnya terhenti. Keheningan hadir cukup lama hingga akhirnya adikku tersenyum lemah.
"Ja, bruder.. Ich vertraue dir [Ya kak, aku percaya]."
Pagi dan siang keesokan harinya berjalan seperti biasanya dan mulai agak melankoli lagi saat West melihatku mengusir Gilbird.
"Apa yang kau lakukan?"
"Mengusirnya."
West menatapku tidak percaya.
"Tinggal lima hari. Aku tak mau dia melihatku pergi, pasti menyakitkan untuknya," dan juga untukku.
Adikku terdiam. Gilbird masih terbang berputar di depanku.
"Pergi. Bangun sarangmu dan bahagialah!" Aku berteriak pada si burung kecil yang malah mematuki wajahku.
"Ow, Ouch! Apa yang..." Ucapanku terhenti, mata mungil burung kecil itu menatapku tajam.
"Kurrr..." Dia mematuk dahiku lemah, dan pergi. Meninggalkanku mematung menatapnya menjauh.
"Bruder." Panggilan West mengembalikanku ke alam nyata. Aku menoleh tanpa berkata-kata. Dia merangkul pundakku sambil berkata, "Ayo minum. Kutraktir."
Ini hari kedua setelah pemberitahuan. Dalam sisa empat hari ini bagaimanapun caranya aku harus berhasil menyatakan perasaanku. Cukup menyatakan saja. Aku tak pernah berharap dia membalas perasaanku. Aku sudah berusaha menghilangkan harapanku cukup lama.
Harapanku, bukan perasaanku. Harapanku mungkin sudah hilang saat dia datang kerumahku dalam keadaan kesal, memaki-maki seorang pria aristokrat berkacamata di wajahku tetapi kembali tersenyum saat sadar bahwa dia hanya salah paham pada pria itu. Atau saat dia datang di hari hujan dengan wajah penuh air mata, bercerita bahwa si aristokrat itu kencan bersama wanita lain. Atau menolak ajakanku makan dengan berkata, "Hari ini aku akan pergi ke konser Mr. Austria."
Tapi perasaanku tak bisa hilang begitu saja. Melihatnya tertidur pulas dipelukanku setelah lelah menangis. Melihatnya tersenyum cerah kembali setelah melemparkan semua kekesalannya padaku. Mendengarkan panjang lebar ceritanya ditelepon saat tengah malam dan berkata, "Prusia, aku butuh bantuanmu."
Perasaan itu terus tumbuh, dengan rasa senang akan ketergantungannya padaku sebagai pupuknya. Berkali-kali aku merasa jadi pecundang saat melihatnya kembali pada pria itu. Berkali-kali aku ingin dia pergi dari hatiku. Ini menyakitkan, kenapa kau selalu kembali kesini tapi tak memperbolehkanku mendekatimu?
Dia tak pernah tahu betapa kuatnya aku melawan Lust dan Greed dalam diriku saat dia tertidur diranjangku. Dia tak pernah tahu terkadang aku ingin menjauh darinya karena takut tak sanggup menahan pikiran-pikiran jahatku. Tapi kurasa dia tak perlu tahu itu semua, karena pada kenyataanya aku masih disini, di depan pintu rumahnya membawa setangkai bunga anyelir merah sambil melawan sakit kepala setelah minum bersama West kemarin.
"Prusia!" Teriakan khasnya membahana seketika dia membuka pintu rumahnya, "Astaga, kau membuatku cemas tahu! Kau bilang akan datang kemarin, tapi tak ada kabar! Apalagi kau pergi dalam keadaan aneh begitu!"
Aku bengong. Karena senang.
"Hungaria, kau mencemaskanku?"
Ada rona merah di wajahnya sebelum menjawabku.
"Tentu saja bodoh! Aku selalu khawatir kalau kau sudah bertindak aneh dan gegabah. Apalagi disaat sedang kacau begini!"
"Kesesese.. Maaf, maaf..." Kumohon kakiku, tetaplah menapak ditanah.
"Ya ya ya.. Aku sudah biasa dengan tingkah bodohmu. Lalu.. Ini.." Dia mengeluarkan cincin dari sakunya. Aku mematung. "Gilbird mematuki kotaknya hingga bolong, jadi kubuang kotaknya. Tapi cincinnya tetap kusimpan karena kupikir ini milikmu."
Aku diam sesaat saat dia memberikan cincin itu dan hanya bisa berkata, "Itu untukmu." Sudah terlanjur basah, tenggelam saja sekalian.
"Eh?"
"Itu untukmu, mau tidak?"
"Cincinnya cantik sih, tapi menerimanya seperti ini—"
"Yasudah, sini." Kurebut cincin itu dari tangannya, kulepaskan kalung rantai pemberian West dan memasangkan cincin itu.
"Kalau begini tidak apa-apa, kan?" tanyaku sambil mengalungkan kalung itu di lehernya. "Ah, sekalian." kuselipkan bunga anyelir itu ditelinga kanannya.
"Tu, tunggu dulu! Ini tidak apa-apa untukku? Bukannya ingin kau berikan pada orang lain? Dan ini kan kalung dari Jerman?" Tanyanya ragu sambil memandangi cincin yang ada didadanya.
"Kan tadi sudah kubilang, itu untukmu jelek."
"Jelek? Enak saja kau bilang aku jelek! Maumu apa sih, memberiku hadiah lalu mengataiku? Da—"
Hungaria tiba-tiba diam dari omelannya, wajahnya mengkerut seperti berpikir sesuatu.
"Kau aneh."
"Eh?"
"Iya. Memberiku mawar, membawa tiket konser—walaupun aku baru sadar saat tiketnya robek, memberiku cincin dan bunga anyelir ini. Semuanya aneh, kau seperti bukan Prusia. Otakku rasanya ingin meledak kalau mengingat kau bersikap manis seperti ini."
"Apakah seaneh itu untukku bersikap manis?"
"Iya, tentu. Terlalu aneh soalnya, apalagi untuk menebak penyebab keanehanmu ini, rasanya seram"
"Oh, tolonglah, sekali ini saja pertajam otakmu yang gak awesome itu, aku begini karena mencintaimu, bodoh!" ucapku tak sadar.
Apa? Barusan apa yang kukatakan?
Aku berhasil mengatakannya! Walaupun konteksnya salah. Dalam keheningan yang tercipta setelah perkataanku, aku merasa wajahku panas sampai ke telinga. Dengan ragu-ragu kuberanikan diri melihat wajahnya. Yang ternyata juga merah sempurna.
"Prusia, aku—"
Dia berusaha memecahkan keheningan sampai seseorang memanggil namanya, dan saat menoleh kearah sumber suara, aku yakin mendengar gelegar petir. Austria berdiri disitu. Wajahnya datar.
"Maaf Prusia, aku tak bermaksud menguping pembicaraan kalian. Tapi memang aku selalu ada saat kalian bicara dan memperhatikan kalian dari jauh."
"Lalu? Apa urusanmu? Memperhatikan aku dan Hungaria seperti itu, seperti stalker saja."
Dia mendekati Hungaria, merangkul pundaknya, menatapku tajam dan menjawab pertanyaanku. "Jelas ini urusanku. Aku tidak mau meninggalkan kekasihku berduaan saja bicara dengan pria liar sepertimu."
Aku berharap tuli saat itu. Dia apa, katanya?
Aku tahu selama ini Hungaria menaruh perasaan padanya, tapi mereka jadi sepasang kekasih? Aku sama sekali tidak tahu.
"Terus kau mau apa tuan muda? Mendampratku karena menggoda pacarmu?" Aku berbalik, sambil melangkah pergi, "Maaf saja, aku gak level kena omelanmu yang mirip piano rusak!" Aku menoleh sebelum benar-benar pergi, menatap wajah sepasang kekasih itu, khususnya wajah Hungaria yang ekspresinya campur aduk.
Aku sudah beberapa meter dari mereka saat Hungaria berteriak memanggilku, "Prusia! Tunggu dulu!" Ada rasa putus asa dikalimatnya.
Nona, kau benar-benar memanggilku atau tidak? Kalau iya kenapa kau tidak mengejarku? Kenapa suaramu malah menghilang bersamaan dengan menjauhnya langkahku?
Bar yang berada tepat di ujung jalan tampak seperti oasis saat itu. Tanpa pikir dua kali aku menenggak bergelas-gelas bir disana. Berharap perasaanku bercampur dengan bir yang kuteguk dan hilang lenyap tak bersisa. Perasaanku kacau, aku mestinya sudah mematikan harapanku padanya, tapi kenapa rasa sakit ini masih ada? Kenapa saat Tuhan menciptakan rasa lega dan bahagia, Dia juga menciptakan sedih dan putus asa?
Aku terbangun menjelang pagi. Kepalaku sakit, tubuhku rasanya seperti akan meledak, sedangkan hatiku remuk. Segelas air putih mungkin bisa menenangkanku setelah berbotol-botol bir tadi malam. Karena itu aku berjalan sempoyongan menuju dapur sambil memijat-mijat kepalaku.
Aku sudah berada di depan pintu dapur saat kulihat pintunya sedikit terbuka dan ada cahaya dari celahnya. Didorong rasa penasaran, aku mengintip dan mendapati adikku serta Italia ada di dalam.
"Ve! Jerman, kau juga berniat bangun pagi?" Tanya Italia tanpa menolehkan wajahnya dari panci besar diatas kompor.
"Tidak. Aku... Hanya tiba-tiba terbangun karena haus," jawab adikku sebelum meneguk segelas penuh air putih dan terduduk diam di meja makan. Gelas tadi diacuhkannya di atas meja, kedua tangannya menyatu menyangga dahi dan matanya terpejam. Rasa penasaran terhadap sikapnya membuatku tak ingin beranjak dan hanya berdiri bersandar pada dinding sebelah pintu.
"Jerman? Kau kenapa?"
Ada hening lama, sampai suara Italia terdengar lagi.
"Kau baik-baik saja, ve?"
"Ja Italia, aku baik-baik saja." Kudengar suara lemah adikku.
"Oh ya? kurasa kau tidak begitu baik."
"Aku baik-baik saja Italia, kau dengar aku, kan?"
"Ve~ Jerman, kau itu tidak pandai berbohong, kau tahu?"
"ITALIA!"
Bentakannya menciptakan keheningan di dapur, yang dipecahkan kembali olehnya, "Maaf.. Tapi, aku baik-baik saja."
Italia tak langsung membalas ucapan adikku, seolah dia menunggu kalimat lain yang akan keluar dari lawan bicaranya. Tapi kurasa ia menyerah pada kekeraskepalaan West dan kembali bicara.
"Apa ini soal fratello Gilbert?"
Aku tak tahu bagaimana ekspresi West saat itu, tapi yang kutahu ada keterkejutan dalam wajahku. Bukan karena sebutan yang Italia berikan padaku, tapi ada nada serius dalam kalimatnya dan juga karena jawaban West setelahnya,
"Aku lupa kalau instingmu tajam Italia."
"Vee~ Kalau tidak begitu aku tidak tahu kalau ada musuh datang~" Kudengar suaranya kembali ke nada biasa.
Ada suara kompor dimatikan dan kursi tergeser sebelum percakapan kembali berjalan.
"Lalu? Ada apa sebenarnya?"
Hening sejenak sampai West bertanya, "Italia, apa yang akan kau lakukan kalau tiba-tiba kau tahu Romano akan mati?"
"Eh? Tentu saja aku tak akan membiarkannya! Aku pasti akan melakukan apapun agar dia selamat dan terus disampingku. Aku tidak mau kehilangannya! Kalau perlu aku akan memaksa tentaraku un—" Italia tiba-tiba berhenti ditengah jawabannya yang panjang lebar.
"Jerman, jangan bilang kau—"
"Ya, aku tahu ini percuma. Melawan sekutu dalam kondisi saat ini seperti menegakkan benang basah. Tapi aku tak peduli, aku tak ingin kakakku pergi! Demi Tuhan! Aku tak akan pernah rela dia mati! Dia yang merawatku, membesarkanku, memberitahuku dunia ini! Mana mungkin aku bisa melangkahi mayatnya untuk terus hidup! Aku sama sekali tak bisa membayangkan rumah ini tanpanya! Aku hancur tanpa dia! Tapi kenapa dia bisa tenang? Apakah dia tak menganggapku?.."
"Jerman..."
"..Apakah aku hanya beban baginya? Ya, aku pasti hanya beban.."
"Jerman."
"..yang memberatkan pundaknya yang menggangu tidurnya, dia pasti lebih memilih meninggalkanku daripada—"
"JERMAN!"
Teriakan Italia cukup membuatku tercengang dan menciptakan keheningan di dapur. Merasa mendapatkan efek yang diinginkan, Italia kembali bicara.
"Aku tahu kau sedih dan kehilangan. Tapi tidak begini caranya. Kau yakin dengan apa yang kau katakan? Kau sadar perkataanmu kontradiksi? Untuk apa fratello Gilbert merawatmu kalau hanya menganggapmu beban? Dia berusaha untuk kuat dihadapanmu! Tak ingin membuat hatimu lebih hancur lagi! Tapi kau—"
"Kau tak mengerti perasaanku! Kakakku akan mati tahu! Menghilang dari hadapanku!"
"Aku memang tak mengerti perasaanmu, dan kupikir aku tak mau mengerti perasaanmu. Untuk apa aku mengerti perasaan orang yang malah menambah beban orang yang akan pergi?"
"KAU!"
"Aku benar, kan? Kalau kau menyayanginya, dukung dia sampai akhir, lepaskan dia dengan senyuman, berikan dia rasa bangga telah merawatmu. Lihat dirimu. Kau hancur. Apa kau BENAR-BENAR menyayanginya?"
Ada hening lagi sebelum adikku menjawab dengan terbata-bata, "Aku menyayanginya.. jelas.. Uh.. Tapi dia.. mati.. kenapa.. Uh.."
Terdengar kursi bergeser dan tangis adikku semakin menjadi.
"Italia.. Aku menyayanginya.."
"Ya Jerman, ya."
"Dia kakakku.. satu-satunya.. kubanggakan.. kusayangi.. kenapa? Kenapa begini? Uh.."
"Dia juga menyayangimu, tersenyumlah untuknya."
Tangisan adikku tak mereda, hingga beberapa saat kudengar dalam getar suaranya, "Maaf Italia, tapi aku akan tetap menyiagakan pasukanku melawan sekutu."
Aku merosot didinding. Tak bisa mendengar apa apa lagi, telingaku berdengung, tenggorokanku tercekat, dan wajahku basah oleh air mata.
