.
.
Yang Taehyung ingat hanyalah rasa sakit. Dan dingin.
Dengung klakson yang terdistorsi oleh deru hujan, decit kampas rem yang menyakitkan telinga, suara gesekan yang nyaris tak terdengar ban mobil pada jalanan yang kuyup tergenang cipratan hujan. Rengkuhan hangat yang menyentak menyelubunginya. Sepersekian detik. Kemudian suara benturan keras memekakkan telinganya. Dunianya berputar dan Taehyung memejamkan mata.
"Eomma—"
Sakit. Kepalanya berdenyut dan dia merasakan sesuatu yang hangat merembes di sisi kepalanya. Pandangannya kabur dan dia mulai terisak. Tangannya yang mungil menggoyang lengan hangat yang tadi merengkuhnya –ibunya.
Dingin. Hempasan air hujan merangsek ke dalam mobil dari jendela yang kacanya hancur berantakan. Juga hembusan angin yang basah. Tubuh mungil Taehyung menggigil.
"Eomma?"
Deru hujan mengalahkan seruannya memanggil ibunya. Suara guyuran hujan yang berdebam menghantam atap mobil menenggelamkan isakannya.
Dan Taehyung menyalahkan hujan. Hujan –Jika saja saat itu hujan mengalah. Sebentar saja, berhenti—
Mungkin ibunya akan bisa mendengar panggilannya.
.
.
Disclaimer : I own everything but the cast. All of them belong to God, their parents, and Bighit Ent.
.
Cast : Jeon Jungkook x Kim Taehyung
.
Arcanisve present
.
Let The Rain Fall
Chapter 1 : Tell Me Why
.
.
Taehyung duduk di bangku halte. Ujung kakinya yang terbalut converse warna abu-abu pudar mengetuk-ngetuk lantai halte dengan ritme tak keruan. Kedua tangannya mendekap buku-buku yang ia bawa, mencengkeramnya terlampau erat sehingga buku-buku jarinya memutih. Sesekali tanpa sadar ia menggigit bagian dalam bibirnya, gelisah. Iris hazelnya menatap lurus ke depan tanpa benar-benar fokus memandang apapun.
Apa yang mau dipandang, ketika di luar naungan halte hujan turun dengan derasnya. Bulir-bulir air yang berebutan turun mengaburkan dunia di sekelilingnya. Membentur atap halte, menimbulkan bunyi ketukan-ketukan yang ricuh, mengusik telinga Taehyung. Yang lain, yang terjun bebas berdebam mendarat di aspal, berjumpa dengan kawannya yang telah lebih dulu sampai, mengirim cipratan-cipratan kecil ke arah Taehyung, membuatnya berjengit. Sebagian lagi tempias oleh angin, meniupnya dengan hembusan yang dingin dan basah.
Taehyung baru saja melangkahkan kaki turun dari bus yang ia naiki dari kampusnya. Menapakkan kaki di halte yang sepi. Setelah itu dia hanya butuh berjalan kaki menuju tempat tujuannya, tidak terlalu jauh. Seharusnya. Tetapi rencananya kandas ketika tetesan pertama hujan jatuh dan seketika berubah menjadi deras.
Hujan pertama musim ini.
Tak diduga dan tak diundang.
Di saat ada hal penting yang harus ia lakukan.
"—tidak akan berhenti hanya karena kau pandangi."
Taehyung mengerutkan kening ketika sebuah benda tiba-tiba muncul di hadapannya. Sebuah payung biru muda dengan totol-totol berwarna cream –manis sekali, diulurkan ke arahnya oleh tangan yang menggenggam pegangannya. Seseorang rupanya berdiri di sampingnya tanpa ia sadari, entah sejak kapan. Mungkin turun dari bus yang baru saja berlalu.
Taehyung mendongak, mendapati seraut wajah yang nampak familiar. Helaian rambut sehitam eboni milik pemuda itu jatuh di keningnya karena dia menunduk untuk bisa menatap Taehyung pada posisinya yang berdiri.
"Pakai payungku, hyung—" pemuda di depannya berhenti di tengah kalimatnya, dan mengoreksinya "—sunbae."
Hanya menggeleng perlahan, Taehyung kembali menatap keluar halte.
Dia menghela napas tanpa sadar. Bodoh, dia bahkan tidak membawa ponselnya sehingga nihil kemungkinan menelepon Jimin untuk menyuruhnya menjemputnya. Apalagi dia tak memberi tahu Jimin kemana ia akan pergi hari ini.
Dan sebersit pemikiran ia sadari dengan getir.
Jiminie pasti cemas setengah mati.
Taehyung tersentak ketika merasakan sesuatu menyentuh kakinya. Rupanya si pemuda tadi meletakkan payungnya di pangkuan Taehyung.
"Sunbae bisa kembalikan besok. Dan jangan tanya kenapa warnanya begitu. Itu punya adikku," dia berkata sembari melangkah ke tepi halte.
"Apa—"
"Sebenarnya aku mau saja sepayung berdua dengan sunbae, tapi sepertinya kau yang tidak akan oke dengan hal itu."
Si pemuda itu lalu melangkah ke bawah hujan, langsung diserbu guyuran air yang membuatnya basah kuyup dari ujung kepala sampai kaki. Lalu berlari menerjang hujan. Meninggalkan Taehyung yang menatapnya kosong, merasakan dingin mendesir di punggungnya melihat pemandangan itu. Bagaimana bisa seseorang berlari di bawah hujan dengan begitu tanpa beban.
Dan dia duduk di sana selama dua jam penuh hingga hujan reda.
Payung biru bertotol cream itu masih tergeletak di tempatnya semula, tak tersentuh.
xxx
"Kau yang memohon-mohon padaku untuk menerimanya karena dia temanmu."
Jungkook menatap laki-laki di depannya yang membawa tongkat pel, tengah berusaha melenyapkan hasil tempias air hujan yang menggenang di teras kafe. "Ne," jawabnya singkat.
"Tapi mana, ini hari pertamanya, dan ia bahkan tak memunculkan batang hidung—" ucapan pemuda itu terhenti ketika Jungkook mengambil tongkat pel dari tangannya tanpa peringatan. "Ya-"
"Hyung," Jungkook memulai. "Seokjin Hyung yang tampan. Anggap saja hari ini pekerjaan Taehyung aku yang meng-cover. Sepertinya dia terjebak hujan."
Jungkook menangkap gelagat akan membantah dari Seokjin dan menyambar cepat, "Lagipula kafe sepi."
Kim Seokjin, 'bos' Jungkook, pemilik kafe tempatnya bekerja paruh waktu selama dua tahun terakhir, mendelik mendengar perkataaannya. "Dasar bocah kurangajar," semprotnya. "Bersenang-senanglah kafe sepi, karena itu berarti gajimu akan turun juga."
Dan dengan kalimat penutup yang bernada seperti kutukan itu, Seokjin melangkah melewati Jungkook hendak masuk ke kafe. "Gomawo, Hyung," Jungkook tersenyum lebar.
"Tapi Hyung—" Jungkook menambahkan setengah berseru. "Jangan pernah bilang ke Taehyung kalau aku yang menyuruhmu menerimanya."
Yang diteriaki menoleh. "Kenapa?" ia bertanya.
Jungkook bungkam, menunduk fokus pada gagang pel di tangannya.
Dia menatap lantai teras kafe yang tadi becek. Sekarang sudah tidak lagi, dan layak dilewati. Sebenarnya pekerjaan Seokjin tadi sudah selesai, dan aksi heroik Jungkook merebut gagang pel sebenarnya tidak menguntungkan siapapun.
Jadi Jungkook beranjak ke dalam kafe. Dan karena jam ini bukan jatahnya berjaga di konter depan, dia mengambil serbet di dapur dan mulai mengelap meja-meja yang baru saja terpakai. Hanya beberapa meja. Ketika teori mengatakan saat hujan pembeli di kafe akan makin banyak karena kebutuhan akan makanan dan minuman hangat meningkat, yang terjadi sebenarnya adalah orang-orang enggan keluar karena malas menerjang hujan. Sehingga kafe sepi tak berpengunjung, selain beberapa orang yang menumpang berteduh sembari memesan segelas minuman.
Membuat pikirannya memiliki waktu untuk meruam kemana-mana, disela sesekali melempar senyum kalem pada beberapa gadis di sudut yang curi-curi pandang ke arahnya.
Jungkook sudah biasa menjadi objek curi-curi pandang –curi-curi pegang juga, bahkan, jika kebetulan tengah melayani pelanggan yang kurangajar. Tapi kini dia curiga mereka menatapnya karena alasan lain. Dia menunduk menatap kemeja putih seragam kafe yang ia pakai. Kedodoran. Nampak begitu besar membungkus tubuhnya, lengannya ia gulung berkali-kali hingga sampai siku. Milik seorang rekan kerjanya yang hari ini tidak jaga. Ukuran badannya hampir dua kali lipat Jungkook.
Tapi dia tidak punya pilihan lain. Pakaiannya basah kuyup.
Karena kejadian tadi.
Hujan deras turun saat dia turun di halte pemberhentiannya untuk kemari. Dia membawa payung, sebenarnya. Lebih tepatnya tadi pagi Yoongi, hyungnya, menjejalkannya ke dalam tas, berkata datar bahwa hari ini mungkin akan hujan. Dan anehnya, memang terjadi. Tapi saat hendak membuka payungnya, Jungkook menyadari ada orang lain yang duduk di bangku halte sejak tadi.
Kim Taehyung. Nampak gelisah menatap hujan.
Taehyung itu sunbae Jungkook di kampus. Beda angkatan dan beda jurusan, belum pernah bertegur sapa. Tetapi Jungkook tahu mereka sekelas pada dua mata kuliah umum. Jadi, ya, pasti Taehyung pernah sekali dua kali lah melihatnya. Harusnya.
Apalagi Jungkook populer. Sangat.
Tetapi tadi, sewaktu di halte, ketika dia mengulurkan payung miliknya untuk ia pakai, Taehyung hanya menatapnya kosong sambil menggeleng pelan, lalu membuang pandangan. Jangan-jangan dia tidak mengenalinya.
Jungkook menggeleng. Sama sekali tidak mengenalinya, mana mungkin?
Tapi ketika ia memikirkannya lagi, bukan tidak mungkin kalau Taehyung memang tidak mengenalinya di antara teman-teman kampusnya. Setidaknya, mungkin tidak menganggapnya cukup penting untuk diingat.
Karena, Jungkook menghela napas, dia hanya selalu mengagumi sosoknya dari kejauhan. Dalam diam.
Dan itu yang membawanya berulangkali menatap pintu masuk saat ini. Kemana Taehyung?
Sepuluh menit. Dua puluh menit. Satu jam. Dan dua jam kemudian ketika hujan reda, barulah Jungkook melihatnya memasuki kafe. Payung biru bertotol cream miliknya ia pegang di tangannya. Kering sepenuhnya.
xxx
Jeon Jungkook.
Siapa yang tidak mengenalnya. Sepertinya seluruh sivitas Universitas Yonsei tahu tentang dirinya. Golongan peringkat papan atas kesayangan para dosen. Kapten tim basket universitas yang terkenal dengan ketampanannya. Yang digadang-gadang sudah membuat dua per tiga sunbae di seantero kampus patah hati.
Dan dengar-dengar dia kerja paruh waktu di sebuah kafe, membuat list pelanggan membludak oleh 'fans'nya.
Hanya, Taehyung tidak tahu menahu kalau kafe yang dimaksudkan itu di sini. Di sini.
Dia mengerjap ketika mendapati juniornya itu berada di kafe yang seharusnya menjadi tempatnya akan bekerja. Tengah membawa nampan menuju meja di sudut dan sepertinya tak menyadari kedatangannya yang menemui si pemilik kafe, ragu-ragu menanyakan apakah lowongan pekerjaannya masih eksis, mengingat dia terlambat dua jam tepat di hari pertamanya.
"Kuanggap tidak apa-apa. Ada yang sudah sukarela menggantikan pekerjaanmu tadi," si pemilik kafe berujar.
Taehyung mengerutkan kening tidak mengerti.
Dia kemudian menghampiri Jungkook yang kini beralih haluan, mengelap meja. Menjadi tontonan beberapa gadis yang duduk di kursi sudut. Taehyung mengenali mereka sebagai juniornya. Wow, jadi rumor itu benar.
"Jeon," dia memanggil ragu. Jungkook menoleh. "Payungmu kutaruh di tempat payung. Dan aku baru tahu kalau kau kerja di sini."
Dan Taehyung mengernyit heran ketika Jungkook mengerjap dan berkata, "Kau mengenalku, ternyata."
xxx
Kim Taehyung itu –
Sulit dijelaskan.
Makhluk paling indah di Universitas Yonsei. Menawan dengan cara yang sukar diungkapkan. Hiperbolanya sih begini, sepasang hazel miliknya seakan bisa menyedot habis napas siapapun yang menatapnya, meninggalkan mereka tergagap-gagap mencari udara. Parasnya yang rupawan, hidungnya yang runcing. Rambutnya dicat brunette, sebagian poninya jatuh di kening, ujungnya menyentuh bulu matanya yang melengkung mengesankan. Bibirnya semerah cherry, menantang ingin dicium habis-habisan.
Dan dia populer dengan cara yang berbeda. Perbandingannya, kalau Jungkook misalnya, terkenal dalam artian siapa pun akan mengantri to get fucked by him. Tapi Kim Taehyung, well, everyone wanna fuck him. Tipe yang membuat semua orang ingin merengkuhnya dalam pelukan. Ingin menggenggamnya dan menjadikannya miliknya.
Dan tak terhitung sudah berapa puluh orang yang pemuda itu tolak hanya dengan gelengan kepala pelan.
Dingin, jauh, tak tersentuh.
Jungkook jarang sekali melihatnya tersenyum. Kecuali beberapa saat langka ketika busur panah itu melengkungkan senyum tipis, dan itu kebanyakan ketika seseorang yang bernama Park Jimin berada di sampingnya.
Dan kening Jungkook mengerut tak suka. Tak ada gosip apapun antara mereka berdua, memang. Dan semua orang tahu Park Jimin pacaran dengan Min Yoongi, senior dari fakultas sebelah –well, hyungnya. Tapi, tetap saja, Taehyung seakan terlalu jauh untuk bisa digapainya.
Jadi ketika beberapa hari yang lalu dengan tanpa diduganya pemuda itu muncul di kafe tempat Jungkook bekerja, menjajal interview yang tengah bosnya gelar untuk mencari karyawan baru, Jungkook ambil tindakan. Mencegat Seokjin dan memaksanya menerima Taehyung.
Dan ini yang dia dapatkan sekarang, bekerja di kafe yang sama dengan Taehyung. Menerangkan seluk beluk kafe pada pemuda Kim itu. Membantu menjelaskan tugas-tugasnya. Boleh ditambahkan, Jungkook tersenyum puas, dia tak lagi harus mengelap meja –Taehyung yang akan melakukannya.
Tapi, hari-hari berlalu dan semua masih sama. Mereka memang sesekali bertukar obrolan, tetapi di waktu lain sunbaenya itu masih hening. Dingin.
Sesekali waktu Jungkook akan mendapati Taehyung yang sedang tidak ada pekerjaan menatap hujan di luar. Mengingat saat ini musim hujan, dia melakukannya sering sekali. Entah di tepi jendela dapur, entah di halte saat menunggu bus.
Dan di beberapa waktu ketika hujan turun saat mereka pulang kerja, Taehyung hanya akan berdiri di teras, memandang dunia yang buram oleh hujan. "Duluan saja," dia akan berkata pelan. "Aku menunggu hujan reda."
Jungkook pernah bertanya, sekali. "Hyung, kenapa kau suka sekali menatap hujan?"
Dia tidak menjawab.
xxx
Taehyung tak pernah memahami definisi keindahan yang orang-orang jabarkan ketika berbicara tentang hujan. Segala hal tentang kedamaian dan ketenangan, aroma hujan pada tanah yang menenteramkan, itu bullshit.
Hujan, Taehyung membencinya. Dan dia selalu memandang hujan bukan karena menyukainya —sebaliknya, dia menunggunya berhenti.
Debam hujan sama sekali tidak menjanjikan ketenangan. Aroma tanah yang basah oleh hujan justru memuakkan. Langit yang gelap membawa hawa dingin yang hanya menjanjikan rasa sakit.
Dan sore itu Taehyung membeku. Ketika ia tengah berjalan menuju kafe dan tiba-tiba serbuan rintikan air itu datang. Menghujaninya dengan kilasan akan ingatan yang menyakitkan hati.
Eomma?—
Taehyung seakan bisa mendengar kembali teriakannya memanggil ibunya yang ditenggelamkan hujan.
Bohong. Orang-orang bilang hujan akan membawa keindahan setelahnya. Pelangi akan terbit dan langit akan kembali biru setelah hujan reda. Bohong. Karena saat itu, ia menunggu. Terus menunggu. Dan hujan memang reda, tetapi ibunya tak pernah kembali. Melunturkan harapan yang hanya berupa kepalsuan.
Dan Taehyung sesak, rongga dadanya seakan menyempit memaksa udara di paru-parunya keluar, menekan hatinya yang sudah lebam sejak lama. Ngilu. Dia memejamkan mata.
"—hyung."
Mendengar suara memanggilnya.
Dan tiba-tiba hujan berhenti. Tak ada guyuran air yang kembali mendera.
Tidak, Taehyung masih bisa mendengar suaranya. Hempasan air yang di sekelilingnya. Dan Taehyung terduduk, menggigil luar biasa dan mulai terisak.
Dan sesuatu yang hangat itu merengkuhnya.
xxx
Park Jimin.
Jungkook harus menemukannya.
Pemuda jangkung itu menerabas lalu lintas selasar kampus yang ramai di pagi hari, mengabaikan panggilan beberapa orang yang hanya terdengar seperti dengung samar di telinganya. Melangkahkan kaki cepat-cepat ke gedung Fakultas Seni, abai pada fakta bahwa sepuluh menit lagi kelas paginya dimulai.
Peduli setan dengan kelasnya.
Dia juga tidak akan bisa berkonsentrasi karena pikirannya tengah berhamburan kemana-mana.
Kemarin. Kemarin benar-benar menjungkir balikkan perasaannya. Awalnya semua terlihat normal, hanya sore hari yang biasa. Angin berhembus sedikit kencang menerbangkan dedaunan. Matahari yang sudah condong ke barat hampir sepenuhnya tersembunyi di balik mendung yang menggumpal. Tapi itu hal yang biasa karena hujan turun hampir setiap sore akhir-akhir ini. Dan Jungkook tengah berjalan menuju kafe, ketika melihat Taehyung berjalan di depannya. Dia tersenyum lebar, mempercepat langkahnya berniat menyejajari langkah Taehyung. Ketika hujan tiba-tiba turun.
Dan Jungkook tertegun melihat Taehyung berhenti. Diam. Kenapa?
Jungkook berlari ke arahnya dan yang ia lihat membuat hatinya mencelos. Taehyung berdiri di sana, memejamkan mata kuat-kuat. Helaian rambut brunettenya basah kuyup oleh hujan, juga sekujur tubuhnya. Wajahnya pias dan dia menggigit bibir bawahnya yang pucat. Taehyung menggigil.
"Hyung, kau baik-baik saja?"
Entah Taehyung mendengarnya atau tidak.
Jungkook menatap payung yang tergenggam di tangannya. Dia baru saja membeli payung baru, wana biru tua. Dia tak pernah tahu apa alasan Taehyung selalu menolak pinjaman payungnya selama ini, dan berpikir mungkin karena dia malu dengan wujud payungnya yang menggelikan.
Tapi, melihatnya seperti ini, Jungkook tahu ada alasan yang lain. Ada alasan yang tidak ia ketahui.
Mengabaikan tubuh keduanya yang sudah basah kuyup, Jungkook membuka payungnya. Memblokir hujan yang terus turun mendera.
Dan Jungkook menyaksikan Taehyung terduduk, mengisak pelan. Detik itu juga hatinya rengkah berkeping-keping.
xxx
"Kim, mau jalan denganku sore ini?"
Taehyung menoleh pada seseorang yang menyejajari langkahnya. Dia menggeleng.
"Alasan?" pemuda itu kini melangkah di depannya, berjalan mundur.
Taehyung mendorongnya menepi, melangkah melewatinya. "Aku tidak ingin kencan, Jung. Ada banyak orang yang mengantri untukmu, pilih saja salah satu."
Si pemuda Jung itu mendengus lalu bergabung dengan gerombolannya di tepi lorong.
"Ya, Kim Taehyung, bukankah berpelukan dengan Jeon Jungkook di bawah hujan adalah hal paling klise dan norak yang bisa kau lakukan?"
Taehyung tak menoleh, dan pemuda-pemuda itu tak melihatnya mengigit bibir ketika mereka melanjutkan ucapannya.
"Berlagak sok suci dan menolak separuh penghuni kampus tapi nyatanya hanya menjadi mainan si bangsat Jeon Jungkook, huh?"
xxx
Berlagak sok suci dan menolak separuh penghuni kampus tapi nyatanya hanya menjadi mainan si bangsat Jeon Jungkook.
Jung Hoseok. Kim Namjoon. Jungkook merapal nama-nama pemuda yang sedang tertawa di pinggir lorong, tangannya tanpa sadar terkepal.
Kim Taehyung, Jungkook mengeratkan kepalan tangannya. Bukan mainannya.
xxx
—TBC—
xxx
.
.
Bunch of babbling and big minus of skinship details, yes. Maafkan :") Terima kasih udah scrolling sampai bawah. Leave some reviews for me? You can write me anything.
See you~
.
.
