Pagi itu, tidak seperti biasanya…
Ia lebih suka mendengarkan betapa cerewetnya sang Umma daripada keheningan yang mencekam di ruangan berbau khas itu. Ia tak mengerti, mengapa ia harus berada di tempat menakutkan itu. Setiap ia mengingat penyebab ia berada di ruangan itu, kepalanya serasa dihantam palu besar. Padahal ia sama sekali tidak merasakan sakit di salah satu bagian tubuhnya. Tidak secara kasat mata, tapi hatinya sakit. Kepalanya pusing.
Kejadian tempo hari kembali menggelayuti ingatannya. Memaksanya untuk mencengkeram rambutnya dan berteriak di detik selanjutnya. Mendatangkan seorang perawat dan seorang dokter yang biasa menjaganya.
Tak sampai lima menit, ia merasakan tubuhnya lemas setelah sang dokter menyuntikkan obat penenang di lengannya. Sang perawat membersihkan peluh di sekitar wajah namja berusia duabelas tahun itu.
Tak berselang lama, seseorang membuka pintu kamar rawat itu. Seseorang berpakaian rapi dengan beberapa tanda yang menempel di pakaiannya. Jabatan dan prestasi yang pernah diraihnya mungkin.
"Oh, Inspektur. Anda sudah datang?" tanya dokter itu setelah membungkukkan badannya.
Sang namja paruh baya itu tak menanggapi ucapan sang dokter karena terlalu fokus menatap saksi tunggal kasusnya, yang sedang berbaring lemah di atas tempat tidur itu. Tak sadarkan diri lagi, padahal penyelidikannya harus segera diselesaikan.
"Apa yang terjadi?" tanya sang Inspektur pada dokter itu dengan tatapan tajamnya.
Sang dokter menatap pasiennya sebentar lalu menjawab, "Traumanya kembali."
Sang Inspektur menghela nafas panjang, "Padahal aku harus segera menyelesaikan kasus ini, Minho-ya…" keluhnya sambil mengusap rambut rapinya ke belakang. Ia menatap sahabatnya ─sang dokter─ yang menatapnya penuh tanya. "Permasalahan keluarga Jung terlalu pelik. Tidak ada satu pun bukti yang tersisa di istana itu." mata tajamnya kembali menatap namja yang tertidur di atas ranjang itu. "Hanya dia saksi kuncinya. Kalau kami terlambat sedikit saja, mungkin ia juga akan terbunuh."
Dokter muda bernama Minho itu menepuk bahu sahabatnya, "Bersabarlah, Jonghyun-ah! Pasti akan selalu ada jalan keluar di setiap masalah." Hiburnya sambil tersenyum.
Jonghyun, sang Inspektur balas menatap sahabatnya sejak sekolah menengah lalu tersenyum. Tak lama sang perawat ikut bergabung bersama mereka lalu melaporkan hal-hal yang ia catat tadi selagi kedua namja itu berbincang.
"Luka pasien sebenarnya sudah sembuh, Uisa. Tapi seperti yang kita ketahui, traumanya belum sembuh benar." Sang perawat bisa melihat kedua namja di depannya itu menghela nafas berat. "Kalau saya boleh usul, mungkin sebaiknya pasien dibawa ke seorang psikiater. Pasien lebih membutuhkan itu daripada perawatan di sini. Maaf jika saya lancang." Perawat itu tampak menunduk takut saat kedua mata tajam namja di hadapannya menatapnya.
Tapi tak lama kemudian, terdengar suara renyah dari dua namja itu.
"Jangan terlalu formal, Sunny-ah… kau seperti tidak mengenal kami saja." Ujar Jonghyun sambil memegangi perutnya yang sakit karena terlalu lama tertawa.
"Tapi ini sedang di tempat kerja." Perawat yang tak lain adalah teman kedua namja itu masih menundukkan kepalanya.
Sret!
Minho dengan santainya meraih dagu yeoja itu dan mengangkatnya. Memaksa yeoja itu untuk balas menatapnya. "Tak apa. Hanya ada kita bertiga di sini." Ujarnya sambil tersenyum lembut pada yeoja itu, yang tak ayal langsung mendatangkan rona merah di pipinya.
"Ehem! Yah…Kurasa aku adalah pengganggu di sini." Goda Jonghyung. Namja muda itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya lalu kembali berkata. "Kalau suami dan istri sudah bersama, dunia seakan milik berdua."
"Yah! Kami belum menikah!" bentak Sunny yang sontak mendatangkan tawa bagi kedua namja itu.
Mereka masih tertawa, mengabaikan seorang namja kecil yang masih bertarung dengan rasa sakitnya.
'Umma… Appa… Eodiga?'
.
.
NOVEMBER with LOVE
Chang Min Sa
2014
Prolog
.
.
One year later….
Sebuah mobil tiba di depn sebuah bangunan yang mengasuh anak-anatk tanpa orangtua. Dari mobil itu keluarlah seorang yeoja berpakaian rapi dan seorang namja berusia tigabelas tahun. Mereka memasuki halaman gedung itu dan segera menemui pemilik yayasan. Setelah bertemu dan bercakap-cakap panjang lebar, yeoja itu mengajak namja muda itu berkeliling. Mengenalkan beberapa tempat di yayasan itu meski ia tak yakin apakah namja itu mau mendengarkannya.
"Yunho-yah… mulai sekarang, ini adalah rumahmu. Kau akan tinggal di sini karena Noona tidak bisa membawamu pergi. Noona harus menemani suami Noona ke Itali. Kau tahu kan, Noona sudah mencoba membujuk suami Noona, tapi namja bodoh itu tetap tidak mau membiarkanmu ikut. Mianhae, Noona tidak bisa mengajakmu, Yunho-yah…." Ujar yeoja itu setelah meyelesaikan serangkaian tur kecilnya dengan namja bermata musang itu.
Namja kecil itu hanya menatap yeoja itu dengan tatapan datarnya. Ia tidak menanggapi perkataan psikiater-nya yang bersedia merawatnya selama satu tahun belakangan ini.
Tentu saja setelah ijin dari pihak rumah sakit dan kepolisian, Yunho diantar ke rumah seorang psikiater kenalar Sunny, yaitu Kang Yunjin. Yunjin hidup dengan suaminya yang seorang konselor. Tahun ini, tepatnya lusa, mereka berencana untuk pergi ke Itali karena suaminya dipindahtugaskan. Karena tidak bisa membawa Yunho seterusnya, suami Yunjin menyarankan agar Yunho dibawa ke yayasan. Setidaknya di tempat barunya, Yunho masih tetap mendapatkan kasih sayang.
"Noona…" panggil Yunho setelah lama terdiam. Namja bermata musang itu menatap yeoja itu dengan tatapan datar. "Yunho ingin pergi."
Yunjin mencelos. Ia belum mengerti perkataan Yunho, ia tiadak mau salah paham.
"Yunho ingin melihat-lihat tempat ini." lanjut Yunho sambil menatap sekelilingnya.
"Jja! Akan Noona tema_"
"Aniya! Yunho ingin jalan-jalan sendiri." Tegas Yunho sambil menatap tajam Yunjin. Dan tanpa menunggu jawaban dari Noona-nya Yunho berjalan meninggalkan yeoja itu.
.
.
.
Duk… duk… duk…
Bola berwarna hitam putih itu menggelinding dan berhenti setelah mengenai kaki Yunho. Namja bermata musang itu mengambil benda bulat itu sambil memlihat sekelilingnya. Siapa tahua ada yang tidak sengaja melempar bola itu ke arahnya.
Benar saja. Dapat dilihatnya seorang namja berbadan cukup berisi tengah berlari ke arahnya. Nafasnya berburu sekalipun ia sudah berhenti di hadapan Yunho. Setelah cukup mengendalikan nafasnya, namja berwajah bulat itu menatap bola di tangan Yunho. Lalu ia menatap Yunho dengan tatapan memohon.
"Itu bolaku…." Rengeknya yang justru membuat Yunho tersentak.
Yunho segera memberikan bola itu pada namja berpipi chubby itu lalu lekas berbalik.
"Tunggu!" sebuah suara di belakangnya berhasil menghentikannya. Yunho tidak berbalik hanya menunggu kata-kata dari namja yang ditemuinya itu. "Gumawo, ne?"
Yunho tak merespon tapi juga tidak beranjak dari tempatnya. Membuat namja di belakangnya cukup kesal. Ia melangkah menghampiri Yunho dan berdiri di depan namja tampan itu. "Namaku Kim Junsu. Kau siapa?" tanyanya sambil mengulurkan tangannya.
Yunho bergeming. Membuat Junsu kesal untuk kedua kalinya. Diletakkannya bola itu di samping tubuhnya lalu meraih tangan kanan Yunho dan mengarahkannya untuk menjabat tangannya. "Nah, jadi siapa namamu?"
"Yunho. Jung Yunho." Jawab namja bermata musang itu singkat.
Junsu tersenyum cerah lalu melepaskan jabatan tangan mereka. Ia mengambil bolanya lalu menatap Yunho lagi. "Kau mau bermain denganku? Aku kesepian. Umma dan Appa-ku sedang melihat-lihat anak-anak di yayasan ini." ajak Junsu menatap penuh harap teman barunya.
Tapi Yunho hanya terdiam menanggapi celotehan Junsu. Sebenarnya ia cukup gugup berhadapan dengan Junsu karena ini pertama kalinya ia berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya. Sebenarnya tidak pertama kali, tapi Yunho seakan tidak punya kehidupan sebelum kebakaran itu. Kebakaran yang merenggut keluarganya.
Dan sebelum ketakutan kembali menghampirinya, Yunho memutuskan untuk menjawab, "Aku ikut." Sambil menatap mata Junsu yakin.
.
.
.
Seminggu berlalu dan Yunho masih sendirian. ia masih tertutup dengan orang-orang di sekitarnya. Kalaupun ada yang berbicara dengannya, ia hanya menyimak dan menjawab jika ia sudah ditanya. Ia belum mau membuka diri lagi. Pertemuannya dengan Junsu hanya berlangsung satu hari karena Junsu harus kembali pulang ke Seoul dengan orangtuanya. Orangtua Junsu ternyata adalah penyumbang utama yayasan itu. Junsu berjanji akan bertemu lagi dengan Yunho jika ada kesempatan dan itu cukup membuat Yunho lega.
Malam itu, bulan November….
Yunho meringkuk di atas tempat tidur sambil memandangi jendela kamarnya. Lampu kamarnya sudah ia matikan karena memang ini sudah memasuki jam tidur dan semua anak di yayasan itu harus ada di kamarnya masing-masing. Tapi mata musangnya enggan untuk menutup. Mungkin baying-bayang masa lalu itu masih terasa saat ia kesepian seperti ini.
Tak sengaja mata musang itu menanggap ribuan bahkan jutaan butiran berwarna putih yang jatuh dari langit. Membuatnya penasaran benda apakah itu. Mungkin trauma itu berhasil membuatnya lupa akan beberapa hal, termasuk kebahagiaan di saat seperti ini.
Dilangkahkan kaki jenjangnya menuju jendela kamarnya, membukanya perlahan lalu mengulurkan tangannya hanya untuk merasakan tekstur benda itu. Benda itu terasa dingin tapi akan segera meleleh jika terlalu lama dalam genggaman Yunho.
"Salju?" gumam Yunho tak yakin. Sekali lagi namja tampan itu mengulurkan tangannya, merasakan dingin di telapak tangannya. "Mungkinkah…ini salju pertama yang turun di tahun ini?" tanyanya pada angin. Yang justru hanya akan mengambang di udara. Tak ada yang menjawab.
Yunho terdiam. Perlahan ia memposisikan diri senyaman mungkin di pintu jendela itu. Ia ingin merasakan kesejukan yang jarang dirasakannya saat berada di ruang tertutup dan gelap seperti kamarnya. Dipejamkannya mata musang itu, menyesapi angin dan aroma dingin yang makin terasa membuat hatinya nyaman. Yunho tak pernah merasa setenang ini sebelumnya. Tidak sebelum detik ini.
"Huwaaaaa! Salju pertama turuuuunnn! Yeeee!" sebuah suara keras berhasil membuyarkan ketenangan yang baru saja Yunho dapatkan. Memaksa namja tampan itu untuk mencari asal suara dan menatapnya tajam. "Aku bisa merasakan salju pertama tahun iniiii!"
Seorang anak seumurannya terlihat berlari-lari mengelilingi sebuah pohon sakura yang sudah tak berdaun, hanya tersisa ranting-ranting kering yang mulai tertutup salju. Namja itu memakai jaket tebal selutut, topi hangat, dan sarung tangan berwarna merah. Anak itu kini tengah menengadahkan tangannya untuk merasakan dinginnya butiran salju yang terus-menerus jatuh dari langit.
Dapat Yunho lihat, anak itu memiliki kulit putih dan bibir merah sewarna darah. Dari sana Yunho menyimpulkan bahwa anak itu adalah yeoja, tapi ia ragu pasalnya ia mendengar suara anak tadi seperti namja.
Entah mengapa, Yunho segera beranjak dari tempatnya. Mengambil mantel dari lemari dan bergegas keluar kamar.
.
.
.
Hati Yunho mencelos. Anak itu….namja?
Namja berkulit putih itu kini tengah membuat boneka salju tanpa mengetahui ada seorang namja tampan yang menatapnya bingung. Saat hendak mencari ranting pohon untuk hiasan boneka saljunya, barulah namja berkulit putih itu menyadari keberadaan Yunho.
"Oh… Mwo? Nuguya?" tanya namja bermata bulat itu sambil mendekati Yunho. Namja itu tampak memperhatikan Yunho dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dan entah karena efek cahaya yang minim atau apa, pipinya mulai bersemu merah. Bahkan namja berkulit putih itu menundukkan kepalanya.
"N-nugu?" bukannya menjawab, Yunho justru balik bertanya. Menatap kaku namja yang masih disangsikannya.
Membuat namja bertubuh kecil itu mendongakkan kepalanya, menampakkan mata hitam bulatnya yang menatap Yunho heran. Karena tak ingin suasana semakin kaku dan ia merasa lawan bicaranya cukup pendiam, namja berkulit putih itu berinisiatif memperkenalkan diri terlebih dulu. Diraihnya tangan Yunho secara paksa lalu mereka berjabat tangan, "Naneul Kim Jaejoong imnida. Aku tinggal di asrama Bolero yayasan ini. Lalu kau?"
Yunho merasakan tangannya dingin. Tapi tak lama kemudian tubuhnya seolah tersengat listrik. Hangat. Meski gugup Yunho tetap mencoba menjawab, "Nan…Jung Yunho imnida. A-aku…tinggal di asrama Miracle."
Namja bernama Jaejoong itu tersenyum. Memutuskan acara jabat tangannya lalu beranjak dari tempatnya. Kembali mencari ranting pohon untuk hiasan boneka saljunya. Tak mendapat pergerakan dari kenalan barunya, Jaejoong berinisiatif mengajak Yunho.
"Jja! Yunho-ya! Bisa kau bantu aku membuat boneka salju? Kudengar di asrama Miracle banyak anak yang pintar menyusun hiasan." Ajak namja bermarga Kim itu yang diselingi kebohongan kecil. Ia tak tahu apakah benar asrama yang dihuni Yunho itu memang ahli menyusun hiasan seperti yang dikatakannya. Tapi Jaejoong tak peduli, ia hanya ingin mencairkan suasana di antara mereka.
Yunho beranjak dari tempatnya. Meski ragu, ia tetap mendekati Jaejoong dan membantu namja itu untuk membuat boneka salju.
Di tengah acara itu, keheningan menyelimuti keduanya. Tak ada satupun yang berusaha memecahkan keheningan itu. Yunho diam karena memang dasarnya ia tidak bisa terbuka sebelum orang lain bertanya padanya. Sedangkan Jaejoong? Uhm, sepertinya namja bermata bulat itu hanya focus pada obyek pembuatannya.
"Jja! Sudah selesai!" girang Jaejoong sambil mengangkat kedua tangannya ke udara. Mengalurkan kegirangannya dan sedikit rasa pegal di tubuhnya. Namja itu berdiri dari jongkoknya dan mengambil sesuatu dari saku jaketnya.
Mendatangkan kerutan di dahi tegas Yunho.
"Jja! Bagaimana kalau kita berfoto, Yunho-ya?" tawar Jaejoong begitu ia berhasil mengeluarkan kamera poketnya dari jaket.
Yunho masih bergeming di tempatnya, memperhatikan namja berbibir merah itu mengerutkan keningnya. Jaejoong menatap kameranya lalu berkata seolah mengerti arti tatapan heran Yunho.
"Oh, aku mendapatkan kamera ini dari para pengasuh saat hari Natal dua tahun lalu." Jaejoong menatap Yunho. "Kalau anak-anak di sini bersikap baik, dia akan mendapatkan apa yang mereka inginkan di hari Natal."
Tapi celotehan itu bagai angin lalu bagi Yunho. Namja tampan itu masih betah di tempatnya. Karena gemas, Jaejoong mendekati Yunho dan menarik namja tampan itu untuk berdiri di samping boneka salju yang tak lebih dari tinggi Yunho. Setelahnya Jaejoong mundur beberapa langkah lalu mulai menyalakan kameranya, membidik Yunho yang terngah berdiri kaku di sebelah boneka salju yang dibuatnya bersama kenalan barunya.
"Jja! Say 'CHEERS', Yunho-ya!"
Click!
.
.
.
Bukannya segera kembali ke asrama, dua namja itu masih betah berada di luar, bersama rintikan salju yang masih dalam intensitas sedang. Bahkan kini keduanya tengah duduk santai di salah satu kursi di bawah pohon sakura besar itu. Tak ada percakapan di antara mereka, hanya sedang ingin menikmati salju pertama mungkin.
"Yunho-ya?" panggil Jaejoong memecah kesunyian. Matanya masih menatap butiran salju yang turun dari langit.
"Hmm?" gumam Yunho menjawab panggilan Jaejoong. Namja tampan itu tidak menoleh pada Jaejoong, hanya menundukkan kepalanya seperti yang dilakukannya sejak sekian menit yang lalu.
"Yunho-ya, kenapa kau ada di sini? Di mana orangtuamu?"
"…"
Mendapati keheningan dari lawan bicaranya, Jaejoong menatap Yunho. Mencoba menerka apa yang menjadi beban namja tampan itu. Jaejoong adalah anak yatim yang sudah tinggal di yayasan itu selama sepuluh tahun dan ia belajar menjadi orang dewasa karena kebanyakan temannya berusia di bawahnya. Namja berkulit putih itu sudah sering berhadapan dengan banyak anak yang memiliki sejuta alasan mengapa mereka bisa ada di tempat ini. Tapi ia belum pernah bertemu orang semacam Yunho, yang sepertinya punya trauma tersendiri tentang keluarganya. Sangat berbeda dengan kebanyakan temannya yang justru dibuang orangtuanya atau korban kecelakaan sejak kecil.
"Aku…dulu dibuang orangtuaku…sejak aku masih balita." Cerita Jaejoong. Ia menatap langit yang masih menurunkan butiran salju. "Mereka bercerai dan tak ada satupun yang bersedia merawatku. Aku langsung dibawa ke sini oleh tetanggaku karena aku ditinggalkan kedua orangtuaku di rumah. Aku tidak mengenal siapapun di dunia ini tapi aku mencoba untuk mengenal dunia ini lewat yayasan ini. sejak aku di sini, aku berusaha mengenal berbagai macam karakter orang dan berusaha menjadi teman terbaiknya." Jaejoong berhenti bercerita, ia menatap Yunho yang ternyata juga tengah menatapnya. "Dan mungkin kau juga mau menceritakan masalahmu. Aku akan menemanimu, Yunho-ya…"
Yunho bergeming untuk beberapa saat tapi kemudian mengalihkan pandangannya ke langit.
"Kau, setidaknya masih beruntung, Jaejoong-ah…" gumam Yunho tanpa mengalihkan pandangannya. "Orangtuaku…kini sudah di surga…"
Hening.
Jaejoong hanya mampu terdiam. Ia tidak biasa menghadapi masalah seperti ini. Untuk pertama kalinya ia merasa tidak berguna, ia merasa tidak bisa menjadi teman berbagi bagi orang lain. Dan Jaejoong semakin terkejut kala melihat setitik cairan bening mengalir dari mata musang itu.
.
.
TBC
.
.
Annyeong! Minsa comeback!
Kali ini aku bener-bener mau bikin YunJae seromantis yang aku bisa ^_^
Tapi, aku nggak bisa update cepat karena setelah prolog ini muncul, aku akan hiatus sampai Ujian Nasional selesai.
Aku Cuma dapet ide dasar seperti ini dan belum mendapat bayangan untuk alur selanjutnya.
Jadi, aku membuka peluang bagi reader-deul yang ingin menyumbangkan idenya untuk kelanjutan ff ini.
Kalau bisa kirim email ke bigeast-fan-toho gmail . com
(hilangkan spasi dan tanda hubung)
Yang berisi ide kalian untuk alur cerita ff ini. Kalo bisa yang ringan-ringan aja karena aku lagi nggak pingin bikin konflik berat macam ff sebelumnya. ^_^
Atau kalau yang punya akun ffn, bisa langsung PM saya. Boleh juga via twitter ato facebook, kalo punya akun-ku…
But, please, jangan lupa cantumin nama dan umur kalian.
Ribet ya? Biarin XP
.
.
Last one, REVIEW please…!
